Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Prapaskah III A - 24 Februari 2008


Hello ,

Injil dan bacaan pertama Minggu Prapaskah III/A - 24 Februari 2008 (Yoh 4:5-42; Kel 17:3-7)

PERJUMPAAN YANG MEMPERKAYA BATIN

Rekan-rekan yang budiman!
Satu hari dalam perjalanannya menuju Galilea, Yesus singgah melepas lelah di dekat sebuah sumur di daerah Samaria. Di situ ia bertemu dengan seorang perempuan yang datang hendak menimba air. Terjadi percakapan di antara mereka. Lambat laun perempuan itu mengenali Yesus sebagai nabi dan sebagai Mesias yang dijanjikan. Perempuan itu kemudian mengajak orang-orang sekota ikut menemui sang tokoh dan mereka pun menjadi percaya. Begitulah ringkasan isi Yoh 4:5-42 yang dibacakan pada Minggu III Prapaskah tahun A ini. Jalan ceritanya sederhana, tapi maknanya dalam dan bisa memperkaya batin orang zaman sekarang pula. Pada akhir tulisan ini akan ditunjukkan pula bagaimana Injil ini dapat dipakai membaca kembali peristiwa umat mempertengkarkan kehadiran ilahi yang diceritakan dalam Kel 17:3-7.

MENGUBAH CARA PANDANG

Wilayah Israel dulu terbagi tiga daerah, yakni Yudea (Yerusalem) di selatan, Galilea (Nazaret) di utara, dan di antara kedua wilayah ini terletak Samaria. Orang Yudea dan orang Galilea merasa diri orang Yahudi tulen walau sikap keagamaan masing-masing agak berbeda. Orang Yudea, khususnya yang di Yerusalem, beranggapan diri mereka lebih patuh beragama daripada orang Galilea yang biasanya lebih bebas sikapnya. Tetapi baik orang Yudea maupun orang Galilea umumnya menganggap orang Samaria sesat karena mereka hanya mengakui Kelima Kitab Musa (Pentateukh) sebagai Kitab Suci mereka. Orang Samaria juga dianggap bukan Yahudi tulen karena tercampur dengan orang-orang dari wilayah jajahan Asiria dulu. Ada sikap saling tak menyukai antara orang Yahudi (baik Yudea maupun Galilea) dan orang Samaria.  Dalam Yoh 4:9 dikatakan perempuan Samaria itu heran, masakan seorang Yahudi minta minum kepadanya, orang Samaria. Dan Injil menyisipkan penjelasan "Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria."

Perjumpaan dengan perempuan Samaria itu ditampilkan Injil Yohanes dalam bagian yang menunjukkan bagaimana kehadiran Yesus membawakan kegembiraan (Yoh 2:1-11 pesta di Kana diselamatkan) dan membuat orang berpikir mengenai ibadat yang kelihatannya beres, tapi morat-marit di dalamnya (Yoh 2:13-25 pembersihan Bait Allah). Setelah itu ada percakapan dengan Nikodemus (Yoh 3:1-10) mengenai perlunya "lahir kembali" untuk mengawali hidup batin bebas dari praanggapan-praanggapan saleh yang tidak menjamin hidup abadi. Percakapan dengan perempuan Samaria (Yoh 4:4-42) yang dibacakan hari ini merangkum dua gagasan yang ditampilkan tadi, yakni bagaimana mencapai hidup abadi dan menyembah Yang Ilahi setulus-tulusnya.

Murid-murid Yesus heran (ay. 27) melihat guru mereka bercakap-cakap dengan seorang perempuan. Tidak dikatakan murid-murid itu heran guru mereka bergaul dengan orang Samaria. Murid-murid ini sudah mengatasi perbedaan suku dan agama dan wilayah, namun mereka belum lepas dari anggapan bahwa tak pantas seorang perempuan berbicara langsung dengan seorang guru mengenai soal-soal batin. Samar-samar Injil memberi kesan mereka akhirnya berubah pendapat mengenai kaum perempuan.

Dalam masyarakat Samaria, kaum perempuan cukup setara kedudukannya dengan kaum lelaki. Karena itu nanti perempuan Samaria tadi dapat membawa orang-orang kota Sikhar - tentunya kaum bapak terhormat - untuk datang menemui Yesus. Latar belakang ini membuat kita melihat betapa perjumpaan dengan Yesus yang ada dalam perjalanan itu berhasil mengubah sikap-sikap yang biasanya tidak lagi dipertanyakan. Perempuan Samaria itu berubah dari curiga menjadi beperhatian dan melihat Yesus sebagai nabi (ay. 19) dan bahkan Mesias (ay. 25-26). Ia kemudian malah mengajak orang-orang sekota menemuinya. Juga orang-orang Samaria yang lain berubah sikap dari hanya sekedar ingin tahu menjadi tulus dan ramah dan meminta Yesus - tentunya bersama murid-muridnya - tinggal di tempat mereka (ay. 39-42).

"KIRA-KIRA PUKUL DUABELAS"

Perempuan Samaria tadi datang ke sumur "kira-kira pada pukul dua belas" (ay. 6). Biasanya orang tidak menimba air pada tengah hari. Boleh jadi perempuan tadi merasa kurang enak bertemu para perempuan lain. Memang kehidupan pribadinya tidak bisa dibanggakan, juga di masyarakat Samaria sendiri.

Suatu ketika dalam percakapan dengan perempuan Samaria tadi, Yesus memintanya memanggil datang suaminya. Tetapi perempuan itu menjawab ia tidak memiliki suami. Yesus membenarkan sambil menambahkan bahwa perempuan itu pernah bersuami sampai lima kali dan bahkan yang sekarang hidup bersama dengannya bukanlah suaminya. Percakapan mengenai kehidupan pribadi perempuan itu (ay. 16-18) merangkaikan pokok pembicaraan mengenai "air hidup" (ay. 7-15) dan "menyembah Bapa dalam Roh dan Kebenaran" (ay. 9-26).

Keadaan hidup pribadi yang tidak ideal bukan halangan untuk bertemu dengan dia yang sedang berjalan lewat Samaria tadi dan menerima kekayaan batin darinya. Juga tidak menjadi halangan bagi perempuan tadi untuk mengajak orang-orang sekotanya berbagi kekayaan rohani yang baru ini. Yesus bukan tokoh yang mengadili. Ia datang untuk memperkaya kehidupan batin sehingga orang mengenal Tuhan sebagai Bapa.

AIR YANG HIDUP

Dalam bagian pertama percakapan tadi (ay. 7-15) Yesus menyebut-nyebut "air yang hidup" yang bisa diberikannya kepada perempuan Samaria tadi. Dan air yang hidup itu tidak bakal membuat orang haus lagi. Yang meminumnya akan menemukan dalam batinnya mata air yang memancarkan air tak henti-hentinya sampai ke hidup abadi. Apa maksudnya? Dalam bahasa sehari-hari di sana dulu, "air hidup" ialah air yang mengalir, seperti air sungai atau air yang keluar dari sumber air, bukan air yang mandek seperti air yang tertampung dalam sumur.

Yesus - sumber air hidup - meminta minum dari perempuan Samaria yang datang hendak menimba air sumur yang bukan air mengalir - bukan air hidup. Meskipun Yesus menjelaskan arti rohani air hidup, perempuan tadi tidak langsung menangkap. Bisa jadi ia malah mengira Yesus berbicara mengenai tempat yang ada sumber air yang mengalir. Maka perempuan itu mau tahu di mana sehingga tak usah lagi datang ke sumur itu (ay. 15) sehingga tak perlu datang pada waktu sumur itu sepi. Ini sisi humor dalam dialog tadi. Hanya setelah pembicaraan berbelok menyangkut kehidupan pribadinya, barulah perempuan tadi sadar apa maksud Yesus.

DALAM ROH DAN KEBENARAN

Bagian kedua percakapan itu (ay. 19-26) berkisar pada tempat ibadat orang Samaria, yakni di-"gunung" ini, maksudnya gunung Gerizim, tempat pemujaan mereka. Orang Yahudi menganggap orang Samaria sesat karena ada anggapan tempat ibadat yang benar ialah Yerusalem. Perempuan tadi juga tahu hal itu (ay. 20). Tetapi Yesus mengatakan (ay. 21) bahwa akan tiba saatnya orang akan menyembah Bapa bukan di gunung itu dan bukan juga di Yerusalem. Tidak dikatakan di mana. Tapi yang dimaksudkannya jelas, yaitu di dalam dirinya. Lebih jelas lagi, Yesus menolak anggapan teologis yang waktu itu dikenakan orang Yahudi kepada orang Samaria. Mereka dianggap menyembah yang tak mereka kenal, sedangkan orang Yahudi sendiri menganggap diri mereka sajalah yang benar. Mereka mau memonopoli keselamatan (ay. 22). Yesus menegaskan, bukan hanya akan datang saatnya, melainkan sudah tiba saatnya orang menyembah Bapa dalam "roh dan kebenaran" - tidak terikat pada tempat yang membuat kehadiranNya terkurung. Itulah cara menyembah Bapa yang mendapat perkenanNya (ay. 23).

"Dalam roh dan kebenaran", maksudnya membiarkan dituntun oleh daya yang datang dari atas sana, yang betul-betul dapat memberi kelegaan, yang dapat menuntun ke hidup abadi. Dan perempuan tadi bukannya tidak tahu. Ia pernah mendengar bahwa Mesias akan datang untuk memberitakan semua itu (ay. 25). Yesus mengatakan bahwa Mesias yang dimaksud ialah dirinya yang saat itu sedang berbicara dengannya (ay. 26). Saat itulah perempuan tadi mulai mengerti dan segera pergi mengabarkan kepada orang-orang sekota untuk datang menemui Yesus (ay. 28) Dikatakan perempuan itu meninggalkan tempayannya - ia lupa akan tujuan semula pergi ke sumur. Ia mendapatkan sesuatu yang tak terduga-duga sebelumnya yang jauh lebih berharga. Dan inilah yang dikabarkannya kepada orang-orang sekota.

MAKNA BAGI PEMBACA

Baik pembaca dari zaman dulu maupun dari zaman sekarang sama-sama diajak menyadari bahwa Tuhan tetap mendatangi manusia, meskipun kekaburan mata batin kita sering membuat sosoknya kurang jelas dan suaranya terdengar lirih oleh telinga batin yang belum peka. Namun Tuhan membantu, kadang-kadang dengan menyapa kehidupan pribadi kita yang sering menjadi beban yang hanya bisa ditanggung. Baru di situ kita akan menyadari bahwa ada kekuatan dari atas yang mendekati dan memerdekakan.

Pembaca Injil Yohanes diajak memakai percakapan seperti itu untuk membaca kehidupan ini. Halangan-halangan sosial dan moral juga tidak lagi dibiarkan membuat kehidupan rohani macet. Juga sisi-sisi gelap masing-masing tidak usah lagi menjauhkan orang dari sumber air hidup yang menjadi bekal perjalanan ke hidup abadi. Orang diajak melihat terangnya sabda ilahi, dan tak usah murung, malu, terintimidasi oleh sisi-sisi gelap kehidupan ini yang toh tidak bisa diatasi dengan kekuatan sendiri.

Bagaimana Injil ini dapat dipakai membaca kembali peristiwa umat mempertengkarkan kehadiran ilahi yang diceritakan dalam Kel 17:3-7? Umat yang sedang berjalan di padang gurun itu kehausan dan mendambakan "air" agar bisa terus "hidup". Ada perkara yang lebih dalam. Teks Keluaran itu mengisahkan bagaimana kehidupan yang sulit di padang gurun memang membuat orang sulit percaya bahwa Yang Ilahi tetap melindungi. Dan umat waktu itu memang tidak percaya lagi. Umat di padang gurun waktu itu ingin menemui Yang Ilahi dalam ukuran-ukuran mereka sendiri, dalam cara-cara yang mengenakkan diri mereka. Dan bukan dalam cara yang ditawarkanNya sendiri. Ini amat berbeda dengan yang terjadi pada perempuan Samaria dan orang sekotanya. Seperti diulas di atas, lambat laun perempuan yang tadinya terhalang macam-macam hal (sikap permusuhan orang Samaria terhadap orang Yahudi, kehidupan pribadi perempuan itu sendiri) berhasil mengerti dan yakin bahwa sang tokoh ini ialah Mesias. Malah orang-orang sekota akhirnya dibawanya menjadi percaya.

Salam hangat,

A. Gianto 




Minggu Prapasakah II A - 17 Februari 2008


Halo,

Injil dan bacaan pertama Minggu Prapaskah II/A - 17 Februari 2008 (Mat 17:1-9; Kej 12:1-4a)

Wajahnya Seperti Matahari

Kawan-kawan yang baik!
Di kotak surat saya temukan secarik pesan ini, "Matt, seperti hari Minggu lalu, apa masih bisa tolong jelaskan Injil hari Minggu Prapaskah II tentang Transfigurasi Yesus di sebuah gunung dalam Mat 17:1-9. Sekalian singgung kaitannya Kej 12:1-4a yang dijadikan bacaan pertama. Cheers, Gus." Ia hanya meninggalkan serangkai alamat yang mesti dikirimi lewat accountnya di milis Internos.

Dikisahkan dalam Mat 17:1-9, selang enam hari setelah menjelaskan syarat-syarat mengikutinya, Yesus mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ ia berubah rupa. Tampak pula Musa dan Elia sedang berbicara dengannya. Petrus bergairah dan mau mendirikan tiga kemah bagi ketiga tokoh itu. Saat itu juga datang awan yang bercahaya datang menaungi mereka dan terdengar suara menyatakan bahwa Yesus itu anak terkasih yang mendapat perkenan dariNya dan hendaklah ia didengarkan. Ketiga murid itu telungkup gentar. Tetapi Yesus menyentuh mereka dan menyuruh mereka berdiri dan tak usah takut. Semuanya pulih kembali seperti biasa. Dan hanya terlihat Yesus seorang diri. Dalam perjalanan turun Yesus melarang para murid itu menceritakan penglihatan tadi kepada siapa pun sebelum kebangkitan terjadi.

Sebenarnya ini olahan kembali catatan Mark (Mrk 9:2-8) sambil menyesuaikannya dengan kebutuhan di sini. Hal ini juga dilakukan Luc. Tahun lalu Gus sudah membicarakan Luk 9:28-36 dan menjelaskan bahwa Luc bermaksud menonjolkan siapakah Yesus yang sudah jadi buah bibir orang banyak itu. Di situ Luc lebih banyak menambah teks Mark daripada saya. Menurut Gus, peristiwa itu bahkan ditampilkan Luc sebagai dasar kisah perjalanan Yesus ke Yerusalem. Memang dalam versi Luc, kedua tokoh besar Musa dan Elia disebutkan sedang berbicara dengan Yesus mengenai "tujuan perjalanan"-nya, yakni ke Yerusalem. Luc dan Gus sudah kerap mengupas perkara itu. Saya sendiri berminat untuk menyoroti keadaan para murid.

Mata batin orang yang semakin mengenal Yesus tentu menangkap yang tak kasat mata. Lama saya kaji perkara ini. Sering saya berkonsultasi dengan beberapa pakar spiritualitas karena saya ingin mengerti pertumbuhan hidup rohani. Oleh karena itu saya anggap penting mengambil alih keterangan Mark "enam hari kemudian" pada awal kisahnya. Catatan ini merangkaikan peristiwa di gunung itu dengan yang dikisahkan sebelumnya, yakni pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus dan syarat-syarat mengikutinya (Mat 16:21-28). Mengenai peristiwa itu Luc bilang "kira-kira delapan hari sesudah [Yesus] menyampaikan semua pengajaran itu" (Luk 9:28). Jangan bingung dengan perbedaan dua hari ini. Mark dan saya menunjuk pada tenggang waktunya, sedangkan Luc menghitung juga awal dan akhirnya. Contohnya, jarak waktu antara dua hari Minggu bisa dikatakan sepekan atau enam hari bila dihitung mulai dari Senin sampai Sabtu. Tapi kalau hari-hari Minggunya ikut dihitung, ya kedapatan delapan hari.

Penampakan kemuliaan Yesus terjadi sesudah selang waktu yang cukup bagi ketiga murid tadi untuk memikirkan dua hal berikut, yaitu (i) pemberitahuan sengsara, kematian dan kebangkitan Yesus (Mat 16:21) dan (ii) kata-kata Yesus mengenai pengorbanan di dalam mengikutinya (Mat 16:24-28, yakni menyangkal diri, memikul salib, berani berkorban demi dia, dst.). Tentu para murid selama itu bertanya-tanya dalam hati, sepadankah pengorbanan dalam mengikuti guru yang toh sudah tahu bakal menderita dan meninggal seperti diungkapkan sendiri itu? Lagi pula apa untungnya lebih besar daripada ruginya?

Memang kami juga memakai perhitungan dalam urusan seperti ini, bukan nekat-nekatan saja. Dalam hal ini saya tidak akan begitu saja mengiakan gagasan bahwa iman itu bagaikan "melompat ke dalam kegelapan". Memang ungkapan itu menunjuk pada komitmen orang yang beriman, namun iman tidak mulai di situ. Iman tidak mulai sebagai bonek - bocah nekat. Kepasrahan iman itu buah, bukan titik tolak. Iman tumbuh dari kesadaran mengenai siapa dia yang patut menerima komitmen yang makin besar dan demi maksud apa. Bisa disimak dalam kaitan ini bacaan mengenai Abraham yang kalian dengar hari ini juga (Kej 12:1-4a). Perintah Tuhan untuk pindah dari negerinya itu masuk akal bagi Abraham. Kepadanya dijanjikan akan menjadi bapak bangsa besar dan menjadi jalan berkat bagi semua orang. Begitulah, komitmen mengikuti Yesus juga butuh dipertanggungjawabkan. Peristiwa penampakan kemuliaan Yesus di gunung itu menolong mereka.

Murid-murid melihat wajah Yesus berubah menjadi "bercahaya sebagai matahari". Ungkapan ini maksudnya untuk memperjelas rumusan Mark yang hanya menyebut bahwa Yesus "berubah rupa" (Mrk 9:2). Mark memang suka membiarkan pembacanya membayangkan sendiri. Bercahaya seperti matahari berarti tidak bisa ditatap begitu saja, menyilaukan. Di kaki gunung Sinai dulu umat Perjanjian Lama melihat kulit wajah Musa bercahaya dan karenanya takut mendekat. Waktu itu Musa, yang baru saja berbicara dengan Tuhan, turun membawa loh perintah Tuhan (Kel 34:29 dst.). Perjumpaan dengan sabda Tuhan membuat wajah Musa bercahaya. Kali ini Yesus tampil sebagai Musa yang baru, yang membawakan sabda Tuhan di dalam dirinya, di dalam kehidupannya.

Yesus yang kalian ikuti itu amat dekat dengan keilahian sendiri sehingga menjadi berpendar-pendar menyilaukan. Kalian boleh jadi belum pernah mengalaminya. Dan syukur demikian. Tak usah terpaku pada hal-hal spektakuler seperti itu. Hidup yang dengan apa adanya kalian usahakan sebagai jalan mengikuti Yesus itu akan cukup membuat kalian makin melihat wajahnya yang sesungguhnya tanpa merasa silau. Dengan demikian cara hidup kalian juga tidak akan menyilaukan orang sekitar kalian. Menerangi memang jati diri kalian - ingat Mat 5:13-16 - tapi tak usah bikin silau! Tetapi kalian boleh pegang dalam hati bahwa yang kalian ikuti itu memang "menyilaukan", tetapi jangan kalian pantulkan dia begitu saja. Justru tugas yang luhur bagi murid ialah membawakan Yang Ilahi dalam ujud yang amat manusiawi dan sehari-hari. Ini kerohanian yang dulu saya usahakan bertumbuh di dalam komunitas saya yang hidup di masyarakat yang memiliki keyakinan hidup berbeda-beda. Nilai kemanusiaanlah yang bisa kami pakai sebagai dasar saling mengerti. Bagaimana dengan keadaan kalian?

Yesus sendiri sebetulnya juga begitu. Ia tidak setiap saat memantulkan cahaya keilahian. Kita tak akan tahan. Ia menghadirkan keilahian dengan cara yang bisa dimengerti, dengan melayani kebutuhan orang-orang yang datang kepadanya, mencerahkan budi mereka, menyembuhkan, dengan bersimpati dengan orang lemah yang menanggung beban hidup. Ia yang sebetulnya menyilaukan itu bisa didekati tanpa membuat orang langsung merasa terancam. Dan dia itulah yang kalian ikuti. Kalian boleh memperkenalkan dia dengan cara seperti dia sendiri membawakan keilahian. Dan tak usah takut karena Yang Ilahi sendiri akan bertindak. Dia sendiri sudah berfirman agar orang mendengarkan Yesus ("Dengarkanlah dia!"), karena ia amat dekat denganNya ("anakKu yang terkasih") dan diberi kuasa bertindak atas namanya ("kepadanya Aku berkenan").

Gus tentu akan mengingatkan kalian bahwa ungkapan "kepadanya Aku berkenan" dalam ay. 5 itu tidak ada pada teks Mark. Oleh karenanya Luc juga tidak menyebutnya. Rumusan itu ada di sini untuk membuat pembaca tertolong melihat kesamaan dengan peristiwa pembaptisan dan turunnya Roh ke atas diri Yesus. Di situ ungkapan tadi dipakai dalam ketiga Injil (Mat 3:17; Mrk 1:11; Luk 3:22). Kita boleh yakin bahwa para murid juga menangkap hubungan antara kedua peristiwa itu. Dan kalian akan banyak belajar tentang siapa Yesus itu bila melihat kedua peristiwa itu bersama-sama. Kuncinya ada pada Roh! Rohlah yang membuat Yesus dapat bertindak atas nama Yang Ilahi. Kalian ingat, di padang gurun Roh itu tetap mendampinginya. Dan kemudian ia mengirim Roh yang sama itu kepada semua muridnya, termasuk kita-kita ini.

Ketika berjalan turun, ketiga murid itu dipesan Yesus agar tidak bercerita kepada siapapun sebelum kebangkitan terjadi. Pesan seperti ini maksudnya agar murid sempat memperoleh pengalaman batin mengenai kebangkitan, mengenai keilahian Yesus yang mengatasi kematian itu. Bila pengalaman batin ini belum ada maka cerita mereka yang hebat-hebat nanti mudah gembos tanpa arti. Tapi bukan maksud saya mengatakan kalian musti punya pengalaman batin sebelum bisa berbicara mengenai kebesaran Yesus. Ini tidak diharapkan dari kalian. Bagi generasi saya saja keadaannya sudah lain. Kami kan hidup sesudah Yesus bangkit dan kebangkitan itu justru dasar kehidupan rohani kami. Begitu juga bagi kalian. Maka kita sepatutnya berterima kasih kepada Petrus, Yakobus, dan Yohanes yang menyimpan pengalaman hebat itu dalam hati bagi kita semua! Dan masa menyongsong paskah ini masa yang tepat untuk mengingat-ingat kejadian itu dan menarik hikmatnya.

Teriring salam,

Matt

 

Minggu Prapaskah I A - 10 Februari 2008

Halo,

Injil dan bacaan pertama Minggu Prapaskah I/A - 10 Februari 2008 (Mat 4:1-11; Kej 2:7-9 dan 3:1-7)

Tentang Nafas Hidup dan Kekuatan Roh

Rekan-rekan yang budiman!
Karena Injil Minggu Prapaskah kali ini akan diuraikan dengan panjang lebar oleh Matt sendiri, maka catatan berikut hanya menyangkut bacaan pertama, yakni Kej 2:7-9 dan 3:1-7. Disebutkan pada bagian awal bagaimana Tuhan membentuk manusia dari "debu tanah", yakni bahan yang ujudnya gumpalan-gumpalan berserakan belaka. Inilah cara Alkitab menggambarkan sisi ringkih dari manusia. Namun sentuhan-sentuhan tangan ilahi memberinya bentuk. Begitu pula, hembusan nafas hidup dariNya menjadikannya makhluk yang hidup. Ini bukan hanya cerita melainkan penegasan iman yang berani. Bila tetap bersentuhan dengan Yang Mahakuasa dan membiarkan diri dihidupi olehNya, maka serapuh dan seringkih apapun manusia akan se-nafas denganNya. Karena itu manusia juga memiliki tempat kehidupan yang membahagiakan di firdaus. Tetapi, seperti dikisahkan dalam bagian kedua, manusia akhirnya menjauh dari padaNya karena terpukau ajakan sang nakhasy (kata Ibrani bagi 'ular'), yakni tarikan-tarikan kekuatan jahat yang memakai ujud seperti manusia, bisa bicara, bisa meyakin-yakinkan, tetapi yang melilit dan akhirnya melumpuhkan.

Kisah memakan buah larangan tentu sudah lazim dikenal. Buah itu, bila dimakan, menurut sang nakhasy, akan membuat manusia terbuka matanya dan tahu tentang "yang baik dan yang jahat" , artinya jadi mahatahu seperti sang Pencipta sendiri. Tetapi baiklah kita jeli menafsirkan hal ini dan tidak segera menghukum dorongan ingin tahu sebagai kesombongan manusia di hadapan Tuhan. Tak ada jeleknya  kan ingin mengetahui apa saja. Bahkan bukankah ini ciri hakiki manusia? Coba kita ingat, manusia ditegaskan sebagai makhluk yang se-nafas dengan Dia Juga diceritakan dalam kisah firdaus yang tidak ikut dibacakan hari ini, bagaimana manusia dipimpin Pencipta untuk memberi  nama kepada semua makhluk hidup yang diciptakanNya (Kej 2:19-20). Begitu maka ia diberi kemampuan mengetahui apa saja yang bisa diketahui. Bukan di situ letak permasalahan dan kendala manusia. Memang dalam kisah kejatuhan manusia ini ditandaskan pula bahwa keinginan tahu akan segala sesuatu itu tidak tercapai dan mereka tidak menjadi seperti Tuhan sendiri. Yang diperoleh hanyalah kesadaran mengenai keadaan diri sendiri: telanjang (Kej 3:7). Begitu maka manusia menyadari keterpisahannya dengan Yang Ilahi.

Yang membuat manusia menjauh adalah ketidaksetiaan terhadap pesan agar tidak memakan buah pengetahuan baik dan jahat yang bisa mematikan (Kej 2:17). Bila dibaca ulang, akan menjadi jelas bahwa bukan larangannyalah yang ditekankan, melainkan pesan agar menjaga kehidupan yang dihembuskan ke dalam diri manusia. Manusia diminta agar memelihara keadaan se-nafas denganNya. Tapi gagal.

Setelah makan buah larangan, memang manusia menyadari keadaan diri sendiri, tetapi mengapa tidak langsung mati seperti terungkap dalam larangan tadi? Bisa dijelaskan bahwa maksudnya ialah manusia menjadi makhluk yang mengalami kematian, seperti kenyataannya. Akan tetapi bisa dilihat sisi lain dari kejadian ini. Memang sebenarnya kematian akan langsung terjadi pada saat manusia melanggar pesan tadi dan hanya kemurahan Tuhan sendirilah yang mengurungkan kematian langsung itu. Ini kiranya warta yang tersirat dalam kisah di atas. Semakin didalami, semakin terang bahwa kisah ini bukannya berpusat pada hukuman melainkan pada kerahimanNya. Memang manusia kini mengalami jerih payahnya menjaga nafas hidup yang diberikan Pencipta. Tetapi ia tetap disertainya dalam pelbagai cara. Dan hanya dengan demikianlah bisa dimengerti betapa keramatnya pesan menjaga kehidupan tadi. Dalam Injil kali ini oleh Matt akan ditampilkan seorang manusia yang mampu berteguh menghayati pesan ilahi menjalani kehidupan yang berasal dari padaNya seperti apa adanya. Tetapi baiklah kita dengarkan uraian Matt sendiri berikut ini.

Selamat menikmatinya!
A. Gianto

___________________________________________________________________

Kawan-kawan sekalian!

Dengar-dengar pada hari Minggu pertama masa puasa sebelum paskah tahun ini dibacakan kisah Yesus dicobai di padang gurun. Tahun lalu dari versi Luc, tahun depan tentunya dari Mark. Saya dan Luc (Luk 4:1-13) mengolah kembali catatan Mark (Mrk 1:12-13) dengan menyertakan bahan mengenai pembicaraan Yesus dengan penggodanya yang belum tersedia ketika Mark menulis. Seluk-beluk selanjutnya tanya Gus; ia gemar menduga-duga maksud kami. Tapi ia malah minta saya menjelaskan sendiri, "biar rada otentik" bujuknya.

Sebelum menulis Mat 4:1-11, saya sudah dengar dari Mark bahwa Yesus dibawa Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis selama 40 hari. Maksudnya, Yesus dibawa Roh sampai ke tempat itu dan tetap disertai olehNya di sana selama itu. Luc memperjelas dengan mengatakan Yesus dibimbing Roh "di" padang gurun. Jadi Yesus tidak ditinggalkan Roh yang turun ke atasnya pada waktu menerima baptisan (Mrk 1:10 Mat 3:16 Luk 3:22). Catatan Oom Hans malah menyebut Yohanes Pembaptis melihat Roh turun dari langit dan tinggal di atas Yesus (Yoh 1:32). Tolong ini diingat bila kalian menguraikan teks kami.

Tak usah kisah itu ditafsirkan sebagai kisah tentang orang yang luar biasa laku tapanya sehingga mampu mengalahkan godaan sebesar apapun seperti yang digambarkan dalam kakawin Arjunawiwaha, mahakarya sastra Jawa Kuno itu. Kami tidak ada maksud menampilkan Yesus sebagai manusia sakti atau petapa digdaya, ksatria suci yang siap menempur si angkara murka Niwatakawaca, bukan pula sebagai manusia teladan yang dijadikan ideal. Tujuan kami berbeda. Yesus kami wartakan sebagai manusia yang disertai Roh, bukan agar dikagumi dan dicontoh, melainkan agar diikuti. Dia itu yang diutus Yang Mahakuasa kepada semua orang untuk membawa kita semua kembali ke diri kita yang sejati.

Ada tiga godaan. Yang pertama yakni mau mengurus semuanya sendiri sehingga tak ada kesempatan mendengarkan isyarat-isyarat ilahi. Akhirnya Yang Ilahi tak masuk dalam pola bertingkahlaku. Mau merebut yang termasuk wilayah Sana. Ini godaan besar. Kami mengatakannya dengan memakai lambang dari dunia orang Yahudi. Yesus lapar dan digoda agar mengubah batu jadi roti. Ingat kisah umat pilihan yang kelaparan dan kehausan di padang gurun dulu dan mulai menyangsikan Tuhan, mereka datang ke Musa minta mukjizat (Kel 17:1-7). Ini namanya mencobai Tuhan. Mukjizat akhirnya terjadi, tapi mukjizat yang diminta dengan paksa itu cuma menepis rasa haus, tidak memuaskan batin. Yesus tidak memaksa batu jadi makanan, seperti dulu Musa yang terpaksa membuat padas kersang memancarkan air segar. Memang Yesus lapar, tapi ia tidak menukar kesertaan Roh dengan makanan. Ia tetap Anak Allah, maksudnya, orang yang amat dekat denganNya sampai dapat membiarkanNya sendiri terlihat. Ia anak Allah bukan dalam arti yang hendak diisikan oleh penggoda: pembuat mukjizat untuk diri sendiri. Yesus yang disertai Roh itu bersedia hidup dari sabda ilahi yang menyebutnya "anak terkasih" yang diperdengarkan pada saat ia dibaptis.

Godaan kedua lebih berat. Menjatuhkan diri dari puncak Bait Allah agar Allah mau tak mau menyelamatkan. Jadi memaksaNya bikin mukjizat! Apakah Ia membiarkannya binasa terbanting? Dan malaikat-malaikat akan berpangku tangan nonton saja? Kan tertulis dalam Mzm 91:11-12 bahwa Allah akan menyuruh malaikat-malaikat menadahi kakinya agar tak terantuk batu, begitulah bisikan Iblis. Ia juga mahir memakai Kitab Suci dan menafsirkannya bagi tujuan sendiri. Tetapi Roh menjernihkan budi Yesus sehingga ia tetap melihat kedudukan dirinya sebagai Anak Allah sejati. Tidak mau mencobai Dia. Roh juga mengarahkan ingatan pada ayat suci Ul 6:16 yang melarang orang membiarkan diri dikuasai perasaan ragu akan Yang Mahakuasa. Jadi, tak usah gentar pada Iblis, ada Roh yang menyertai kalian. Biarkan Roh menjernihkan kembali tafsir yang dikisruhkan Iblis.

Godaan ketiga makin gencar. Yesus ditawari kekuasaan atas seluruh dunia beserta kemegahannya. Syaratnya, sujud menyembah Iblis. Semakin dipikir semakin mengerikan. Iblis bisa menawarkan dunia dan kemegahannya. Berarti semuanya bisa dialihmilikkan begitu saja oleh Iblis! Dan kalian hidup di dunia yang begitu itu. Untunglah ini baru wacana, belum kejadian yang nyata. Baru menjadi nyata kalau Yesus menurutinya. Syukur tidak. Roh tetap menyertainya dalam berteguh pada pilihannya. Karena itu penggoda kehabisan akal dan tersingkir oleh daya Roh.

Nanti Yesus menjadi Kristus Raja Alam Semesta seperti kalian tahu. Tapi ini terjadi karena ia tetap meniti jalan ilahi, tidak mengikuti lorong satani. Ia tidak mendahului langkah-langkah Roh.

Dalam semua godaan itu Yesus berpegang pada ayat-ayat suci, semuanya dari Kitab Ulangan. (Ay. 4 = Ul 8:3; ay. 7 = Ul 6:16; ay. 10 = Ul 6:13.) Apa intinya? Seruan untuk mementingkan Dia Yang Mahatinggi itu. Tiga ayat suci itu memberi ruang bagi sabda yang datang dari Dia, bagi kesungguhanNya melindungi, bagi kebesaranNya.

Mau mengenali si penggoda dari dekat? Dalam petikan yang kalian bacakan itu ia tampil sebagai "diabolos" (= Iblis, ay. 1, 5, 8, 11), "peirazoon" (= pembujuk, ay. 3), dan "satana" (= setan, ay. 10). Yang ketiga ini bahkan diucapkan oleh Yesus sendiri. Sayang dalam terjemahan LAI, kata "setan" dalam ay. 10 itu cuma dialihkan jadi "Iblis" -  kata yang sudah beberapa kali dipakai. Yesus kan menggertak, "Enyahlah, Setan!" Hardikan ini terdengar sekali lagi dalam kesempatan lain, lihat di bawah.

Penggoda tampil pertama-tama sebagai "Iblis", Yunaninya "diabolos". Menurut arti kata itu, pekerjaannya ialah memecah belah pikiran dan membuat hati bercabang. Ia mau menduakan perhatian Yesus yang sepenuhnya terarah kepada Bapanya. Iblis mau membuatnya berorientasi pada dia juga. Perhatikan yang dikatakan dalam ay. 8 ketika Iblis menawari Yesus kekuasaan akan dunia dan kemegahannya. Ia tidak meminta Yesus meninggalkan Yang Mahakuasa. Iblis cuma ingin agar dirinya ikut diakui oleh Yesus. Itu cukup. Jadi inti godaannya ialah menyisihkan sedikit tempat bagi Iblis dengan imbalan seluruh isi dunia dan kebesarannya. Pemikirannya begini: ah, Yang Mahakuasa kan sudah punya apa saja, kalau kita ada simpanan rahasia sedikit tak apa kan? Apalagi kalau sedang tak beres hubungan dengan Dia, ke mana kita ngumpet?

Tetapi Yesus mengusir Iblis dan menghardiknya sebagai "setan". Kalian ingat peristiwa pemberitahuan pertama mengenai penderitaan Yesus? Langsung Petrus berusaha mencegah agar Yesus tidak terus berjalan ke arah penderitaan itu. Yesus berpaling dan mengucapkan (Mat 16:23 Mrk 8:33) "Enyahlah setan!" seperti ketika menggertak penggoda tadi. Petrus mau menduakan perhatian Yesus. Lihat betapa lembutnya godaan itu. Setan pintar menabur benih perseteruan di dalam batin manusia sendiri. Ia menuduh-nuduh apa cara hidupmu ini benar, apa yang ini yang terbaik, kok ndak gini saja, dst. Ia membimbangkan, ia membuat orang jadi ragu-ragu. Ia itu bisa terasa amat dekat, bahkan kayak orang kepercayaan. Dalam Injil, setan itu bukan jejadian yang membikin bulu kuduk berdiri kayak yang disuguhkan tontonan horor di TV kalian. Ia punya wajah kalem tapi diam-diam menjerumuskan ke jalan buntu.

Heran bahwa hardikan keras kepada Petrus di atas tidak ikut disebut Luc? Tapi kawan kita ini kiranya mau menyampaikannya dengan cara lain. Segera setelah pemberitahuan pertama mengenai sengsara (Luk 9:22), Luc mengutipkan beberapa ajaran tegas Yesus tentang arti mengikutinya..., baca Luk 9:23-27. Seluk-beluknya tanya sama Luc sendiri, atau minta Gus njelasin.

Bagaimana membeda-bedakan yang benar dari yang tipuan? Sendirian kita tak bisa. Hanya dengan bantuan Roh kita akan mendapati jalan kebenaran. Tak bisa dengan kekuatan sendiri saja. Tak mungkin dengan keberanian belaka. Tak cukup dengan laku tapa dan askesis melulu. Bahkan berkutat menjalani retret Ignatian sebulan tak akan membekali kalau dalam waktu itu belum bisa belajar membiarkan diri disertai Roh.

Memang tak gampang mengenali "pembujuk", Yunaninya "peirazoon" dan maknanya "dia yang berusaha meyakin-yakinkan dengan niat menipu dan menjatuhkan". Orang dulu paling takut pada cobaan seperti ini. Pasti kalah. Pada akhir doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus dan diteruskan Luc secara apa adanya (Luk 11:4) itu ada permohonan, "Dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan". Untuk menjelaskan lebih lanjut, saya perluas rumusannya dengan "tapi bebaskanlah kami dari yang jahat"(Mat 6:13). Godaan itu alam yang jahat yang amat mengerikan. Manusia tak bisa melawan. Satu-satunya yang bisa dilakukan ialah minta Bapa melepaskan dari kuasa jahat itu. Dan Ia menjalankannya dengan kekuatan yang datang dariNya sendiri, yakni Roh. Ingat juga, nanti di Getsemani Yesus tergoda untuk ambil jalan lain, tapi ia tetap mendekatkan diri kepada Bapanya (Mrk 14:36 Mat 26:39 Luk 22:42).

Begitulah di padang gurun Yesus berjumpa dengan "diabolos", Iblis pemecah belah, bertemu "peirazoon", pembujuk yang menyebar benih permusuhan, dan bertatap muka dengan "setan" yang mau menyeretnya ke jalan sesat. Yesus berhasil keluar dari padang gurun karena ia tetap disertai Roh. Tokoh utama dalam kisah di padang gurun itu Roh sendiri! Kalian amati gerak geriknya ketika menyertai Yesus dan ambillah hikmatnya!

Bagaimana kita tahu kita didampingi Roh? Bila kita ikuti jalan Yesus, bila tidak kita sangsikan kesungguhan Yang Mahakuasa, dan bila kita membiarkan diri dituntun kekuatan dari atas untuk mengerti kebesaran ilahi yang sesungguhnya.

Semoga kalian tetap didampingi Roh!

Matt 




Rabu Abu - 6 Februari

Halo,

Rabu Abu - 6 Februari 2008
[2Kor 5:20-6:2 dan Mat 6:1-6; 16-18]

Rekan-rekan!
Dalam 2Kor 5:20-6:2 yang dibacakan pada hari Rabu Abu tanggal 6 Februari 2008 ini, Paulus mengimbau umat agar membiarkan diri didamaikan dengan Yang Ilahi oleh pengorbanan Kristus. Orang Korintus diajak Paulus agar tidak lagi menganggap kehadiran ilahi sebagai ganjalan dalam hidup mereka. Itulah yang dimaksud dengan berdamai denganNya. Bagaimana penjelasannya?

TEOLOGI REKONSILIASI PAULUS

Bagi Paulus, berdamai dengan Allah bukan semata-mata mencari pengampunan dari pelbagai perbuatan yang salah. Bila hanya itu, maka tidak akan tercapai perdamaian atau rekonsiliasi yang utuh. Lebih-lebih, bukan bagi pengampunan seperti itulah kurban Yesus Kristus terjadi. Paulus melihat permasalahannya dalam ukuran yang jauh lebih besar. Ia bertolak pada pelbagai kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia dan alam yang menunjukkan bahwa ciptaan ini bukanlah barang yang sempurna. Banyak cacatnya. Besar kekurangannya. Terasa kerapuhannya. Ada macam-macam ketimpangannya. Dan semua ini memang menjadi bagian dari kehidupan. Akan tetapi, bagi Paulus, keliru bila orang membiarkan keadaan ini berlangsung terus. Hanya mereka yang tidak mempercayai maksud baik Pencipta akan beranggapan demikian. Mereka itu sebetulnya tidak mau menerima bahwa Ia tetap bekerja memperbaiki dan menyempurnakan ciptaanNya. Allah belum beristirahat. Lebih tepat bila dikatakan, Ia belum dapat beristirahat karena karyaNya belum selesai. Hari ketujuh belum sepenuhnya tercapai. Hari ketujuh pada Kitab Kejadian itu dipaparkan untuk menegaskan bahwa hari itu nanti sungguh akan tercapai. Sementara itu yang kini sedang terlaksana ialah penciptaan dunia, isinya dan manusia yang menjadi gambar dan rupa Pencipta di jagat ini

Dunia beserta isinya masih terus berkembang. Berarti juga ada kemungkinan melawan maksud Pencipta. Ada kemungkinan menolak menjadi semakin sempurna. Inilah keberdosaan. Inilah yang membuat ciptaan, khususnya manusia belum ada dalam keadaan berdamai dengan Penciptanya. Bahkan menjadi pesaing. Atau merasa diperlakukan tidak semestinya. Atau kurang membiarkan diri semakin dijadikan gambar dan rupaNya.

Manusia tetap akan mengalami kematian. Dan bila direnggut maut, ia tidak akan kembali lagi dan habislah kehidupannya. Inilah kendala terbesar dalam kehidupan manusia. Juga alam semesta ini pada kenyataannya akan tidak berlangsung tanpa akhir. Dalam pikiran Paulus, hanya keberanian Allah untuk mengatasi kerapuhan ciptaanNya sendirilah yang akan membuat ciptaan dapat menjadi sesuai dengan kehendakNya. Peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus itulah yang ada dalam pusat gagasan Paulus. Dengan membangkitkanNya dari kematian, Allah "mempercepat" perjalanan seorang manusia menuju kesempurnaan tadi. Ada satu dari yang tak sempurna yang kini telah utuh: Yesus Kristus. Keberanian Allah tadi bukan tanpa risiko. Ia memberanikan diri masuk dalam dunia untuk menjadikannya sempurna. Tetapi seketika masuk ke situ, ia ikut menjadi terbatas. Hanya kesediaan orang yang dipilihNyalah yang membuatNya dapat bertindak leluasa. Dan memang terjadi demikian. Yesus menjadi Yang Terurapi  - menjadi Mesias -  ketika ia membiarkan diri disempurnakan oleh Allah sendiri, membiarkan diri direnggut dari maut. Dengan demikian ia menjadi bagian keilahian sendiri, dan tetap satu dari ciptaan yang tadinya rapuh. Oleh karena itu ia menjadi yang pertama dari ciptaan yang telah utuh dan menjadi jaminan akan utuhnya seluruh ciptaan. Inilah yang diungkapkan dengan padat dalam 2Kor 5:21 "Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita, supaya dalam dia kita dibenarkan oleh Allah."

PENERAPANNYA?

Dengan uraian tadi kiranya tidak sulit dimengerti mengapa Paulus mengimbau orang Korintus agar membiarkan diri didamaikan oleh Allah. Paulus mengajak orang agar menjadi seperti Yesus, membiarkan diri menjadi tempat Allah menyempurnakan ciptaanNya. Tidak banyak yang dituntut.  Cukup bila tidak menghalang-halangiNya. Tentunya tak banyak yang sengaja begitu. Bila diam saja dan membiarkan diri terbawa kerapuhan manusiawi maka sebenarnya orang menghalangi karya ilahi sendiri.

Baru-baru ini orang mengalami dari dekat macam-macam bencana: tsunami, gunung meletus, gempa bumi. Dan paling akhir, banjir. Semuanya itu gerakan alam. Menjadi bencana karena ada manusia yang terkena. Memang manusia belum seutuhnya selaras dengan gerakan alam. Ini bukan mistik alam, tetapi kenyataan. Bencana yang disebut paling belakangan itu menunjukkan hal ini. Yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya bukan hanya gerakan alam belaka, tetapi gerakan yang dikacaukan oleh macam-macam tindakan manusia yang membuat perputaran alam tidak lagi mengikuti irama dan keadaan yang lumrah. Air hujan tak teresap oleh tanah tapi mengalir terus ke bawah. Sungai di hilir makin sempit karena banyak himpitan-himpitan bangunan. Para ahli lingkungan akan dapat menjelaskan keadaan ini dengan lebih runut. Tetapi apa hubungan ini semua dengan "berdamai" dengan Allah tadi?

Bencana ialah kenyataan yang menunjukkan kerapuhan ciptaan, khususnya manusia. Keadaan inilah yang menyebabkan manusia belum bisa dikatakan berdamai dengan Pencipta. Lalu apa imbauan membiarkan diri didamaikan akan membuat manusia sempurna? Akan tidak lagi kena bencana? Tentunya tidak ke arah itu pemikirannya. Yang justru dapat menjadi pemikiran ialah bagaimana "membiarkan diri didamaikan" itu bisa diterjemahkan dalam kenyataan hidup sehari-hari di dalam masyarakat. Salah satunya ialah mengusahakan agar lingkungan semakin serasi dengan pemukiman dan pemukiman semakin melestarikan lingkungan. Artinya, orang sebaiknya paham tanda-tanda gerakan alam. Perlu ada sistem peringatan dini akan gempa dan tsunami. Sebaiknya dibuat perencanaan untuk menangani keadaan darurat. Tatakota hendaknya diatur sehingga menjamin penyaluran air. Penggundulan hutan perlu dikendalikan. Dan seterusnya. Hal-hal itu tidak bergantung  pada maksud baik saja melainkan juga pada perencanaan serta pelaksanaannya. Banyak akan ditentukan oleh strategi pemerintahan dan koordinasi badan-badan yang mengurus masing-masing wilayah. Ini semua sebenarnyalah yang dalam bahasa teologis terungkap sebagai "membiarkan diri didamaikan dengan Allah."

WARTA INJIL

Injil Rabu Abu (Mat 6:1-6; 16-18) termasuk salah satu dari rangkaian pengajaran Yesus kepada murid-muridnya di sebuah bukit (Mat 5-7;  lihat juga catatan tentang "Mengajar di sebuah bukit" dalam ulasan Injil Minggu IV/A 3 Feb 2008).  Dalam petikan bagi Rabu Abu ini terdapat ajakan untuk mengamati cara bersedekah (ay. 1-4), berdoa (ay. 5-6), dan berpuasa (ay. 16-18). Para murid dihimbau agar tidak seperti "orang munafik" yang bersedekah dengan tujuan agar dipuji orang, yang berdoa dengan di tempat-tempat umum agar dilihat, dan yang berpuasa dengan memasang wajah muram. Sebaliknya dianjurkan memberi sedekah dengan diam-diam, berdoa kepada Bapa yang ada di tempat yang tak segera kelihatan, dan menjalankan puasa dengan penampilan biasa. Demikian ibadah tadi ditujukan kepada Dia Yang Tersembunyi dan bukan untuk dipertontonkan kepada orang-orang lain. Bila begitu maka pahala akan datang dari Dia, dan bukan sekedar "wah" yang diucapkan orang.

Spiritualitas sejati? Bisa dikatakan begitu. Namun ada yang lebih mendalam yang hendak diutarakan di dalam petikan itu. Orang diminta mencari Dia Yang Tersembunyi, yang juga dapat disebut Bapa. KeadiranNya itu nyata walau tidak selalu terasa jelas. Dan bersedekah, doa, puasa itu ialah ibadat untuk mendekat kepadaNya dan menemukanNya.

Bacaan Injil ini dibacakan untuk mengantar orang memasuki Masa Prapaskah, yaitu masa berpuasa menyongsong peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus yang menjadi misteri paling besar dalam iman umat kristiani. Misteri tidak bakal ditembus sepenuhnya, hanya dapat didekati dan diakrabi. Dan tindakan berpuasa, berdoa, berbuat baik bukan demi dipuji dan dilihat orang melainkan demi membangun hubungan rohani dengan keilahan ialah cara menghayati misteri iman itu.

MASA PRAPASKAH

Rabu Abu mengawali Masa Prapaskah - masa puasa untuk menemukan kembali kuatnya arus-arus yang membawa kita mendekat pada Allah dan menjauhi ganasnya tarikan-tarikan menjauhiNya. Rabu Abu juga dijalani dengan menerima tanda abu di dahi atau kepala. Kita diingatkan bahwa kita akan menjadi hancuran seperti abu. Tapi kita tidak akan tetap di situ bila kita mau membiarkan diri disempurnakan Allah sendiri...dengan percaya kepada Kabar Gembira. Khususnya bahwa Allah berani memperbaiki ciptaanNya dengan upaya khusus. Tinggal menerima. Tinggal ikut serta. Tinggal membiarkanNya semakin leluasa bertindak. Tinggal mengajak orang lain rela demikian.

Satu wilayah dapat dikembangkan dalam ukuran kecil tapi akan luas dampaknya, yakni menumbuhkan kesadaran lingkungan. Pendidikan kesadaran lingkungan, baik alami maupun sosial. Juga di situ akan dapat terjadi apa itu "membiarkan diri didamaikan dengan Allah."  Ini juga persiapan menyambut Paskah - peristiwa utama yang mendamaikan manusia dengan Allah.

TENTANG PENERIMAAN ABU

Penerimaan abu pada Rabu Abu ini berasal dari kebiasaan yang ada pada abad pertengahan dalam menjalani denda dosa muka umum (penitensi umum). Mereka berpakaian berpakaian bahan kasar/bagor, dan menaburkan abu di atas kepala mereka. Dalam Perjanjian Lama ada kebiasaan menjalankan upacara menyesali dosa (juga upacara berkabung) dengan duduk bersimpuh di atas debu dan menaburi diri dengan abu itu, lihat Yes 58:5; 61:3; Yer 6:26 (menarik di baca, gulung koming!) Rabu Abu yang mengawali Masa Prapaskah (=masa puasa) ini ditandai dengan upacara pemberian abu di dahi (atau di bagian kepala yang dibotaki, ditonsur, bagi kaum klerus) seperti yang sekarang. Abu-nya diperoleh dari abu bakaran daun palem kering dari Minggu Palem tahun sebelumnya.

Kebiasaan ini sudah dikenal sejak abad ke-8. Pada zaman itu mulai dipakai kata-kata yang dibisikkan imam ketika menandai dahi dengan abu "Ingatlah, hai manusia, kamu dari debu dan akan kembali menjadi debu". (Rujukannya ialah Kej 3:19; alih-alih kini sering lebih dibisikkan kutipan Mrk 1:15 "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!") Abu atau debu? Barangnya memang berbeda, tetapi dalam perkara upacara orang tidak pertama-tama memikirkan barangnya, tapi lambang serta yang diperlambangkan. Pemikiran simboliknya begini: baik abu maupun debu itu barang yang remeh, tak ada bobotnya, ditiup saja terhambur ke mana-mana dan akhirnya diinjak-injak.  Dalam perkembangannya, diingat dua hal. Manusia menurut Kej 2:7 dibentuk dari debu tanah yang dihembusi nafas kehidupan Tuhan. Nah, kalau nafas kehidupan ini kembali ke Tuhan, maka manusia ya kembali ke debunya tanah tadi. Lebih lanjut, debu dan abu ini membuat orang menyadari betapa lemahnya manusia; ia dekat pada dosa (Ay 30:19, Kej 18:27). Itulah yang dapat diingat bila menerima tanda abu pada hari Rabu Abu.


Salam,

A. Gianto




Minggu Biasa IV A - 3 Feb 2008


Halo,

 
Injil dan bacaan pertama Minggu IV/A - 3 Feb 2008 (Mat 5:1-12a dan Zef 2:3; 3:12-13)

Membaca Sabda Bahagia di Masa Kini

Dalam Mat 5:1-12a didapati delapan Sabda Bahagia yang ditujukan kepada semua orang (ay. 3-10) serta satu Sabda Bahagia yang khusus diucapkan bagi para murid (ay. 11) dan dilanjutkan dengan seruan agar mereka tetap bersuka cita (ay. 12a). Disebutkan dalam ay. 1-2, ketika Yesus melihat orang banyak, ia naik ke bukit dan mengajar agar para pendengarnya semakin memahami diri mereka. Sabda Bahagia juga dapat membantu kita membaca pengalaman kita sekarang ini juga.

Arah seperti itu juga didapati dalam bacaan pertama. Bagian awal, yakni Zef 2:3, memuat seruan agar umat tetap terus berupaya mencari Tuhannya keadilan dan kerendahan hati. Ungkapan ini menarik karena perilaku sosial yang dapat seutuhnya diwujudkan oleh orang-orang yang berkehendak baik dalam masyarakat, yakni keadilan (=saling menghormati hak dan kewajiban) serta kerendahan hati (= tidak mau mengecilkan pihak lain) kini ditunjukkan sebagai perilaku yang mengikutsertakan kehadiran ilahi. Dan mereka yang bertindak adil dan rendah hati seperti itu boleh berharap akan dilindungiNya. Kemudian dalam bagian kedua, Zef 3:12-13, ditegaskan bagaimana integritas, kejujuran, sikap apa adanya dalam hidup umat memberi arti pada apa itu menyatakan diri mau berlindung kepada Tuhan. Umat yang demikian tidak bakal membuat pihak-pihak lain merasa kurang enak atau tertekan. Dalam bahasa sekarang, kesungguhan hidup beragama menjadi lebih nyata di dalam perbuatan yang membangun kesejahteraan hidup di masyarakat, bukannya pertama-tama di dalam pernyataan-pernyataan mengenai pokok kepercayaan belaka. Inilah yang diserukan nabi dan yang dapat didalami lebih lanjut dengan Sabda Bahagia dalam Injil.

"BERBAHAGIALAH....!"

Tiga Sabda Bahagia (Mat 5:3-5) menegaskan bahwa orang dapat disebut berbahagia karena tumpuan harapan dalam hidupnya ialah Tuhan sendiri. Gagasan "miskin" dalam ay. 3 ialah kebersahajaan batin, oleh karenanya diberi penjelasan "di hadapan Allah". Dapat dicatat, penjelasan tambahan itu tidak terdapat di dalam Sabda Bahagia menurut Luk 6:20 karena yang ditekankan Lukas ialah orang yang betul-betul yang kekurangan secara material, orang yang tak bisa mencukupi kebutuhan hidup yang kini diperhatikan oleh para pengikut Yesus yang bersedia berbagi keberuntungan dengan mereka. Kemudian ay. 4 menyebut berbahagia orang yang "berduka cita", maksudnya orang yang hanya akan dapat terhibur oleh kesadaran bahwa Tuhan tetap berada di dekat kendati orang mengalami kesulitan. Termasuk di sini sikap tidak berpihak pada kekerasan yang terungkap dalam ay. 5 sebagai "lemah lembut".

Selanjutnya ada dua Sabda Bahagia (Mat 5: 6 dan 8) yang menyebut keinginan untuk menjalankan kehendak Tuhan sebagai hal yang membahagiakan, seperti terungkap dalam ay. 6 sebagai yang "lapar dan haus akan hal yang lurus" dan dalam ay. 8 sebagai yang "berhati bersih". Ungkapan terakhir ini dipetik dari gaya bahasa Ibrani (lihat misalnya Mzm 24:4) dan artinya ialah mampu berpikir secara jernih, berbudi wening. Orang yang demikian ini tidak gampang dipengaruhi keinginan-keinginan yang menjauhkannya dari Tuhan. Jadi bukan sekedar ajaran agar menjauhi nafsu-nafsu yang biasanya disebut kotor.

Dua Sabda Bahagia yang lain (Mat 5: 7 dan 9) menegaskan bahwa upaya menghadirkan Tuhan kepada sesama menjadi kegiatan yang mendatangkan kebahagiaan. Upaya ini ditegaskan dalam ay. 7 sebagai "berbelaskasihan" dan dalam ay. 9 sebagai "pencinta damai". Hasrat menghadirkan kebaikan Tuhan kepada orang lain ini karena orang sadar akan perlunya saling mendukung dan sikap pendamai.

Tidak disangkal adanya kesulitan, seperti jelas dari Mat 5:10-12. Orang yang nyata-nyata hidup dalam kerangka di atas sering menderita dimusuhi, seperti terungkap dalam ay. 10 "dikejar-kejar karena bertindak lurus". Kemudian secara khusus kepada murid-muridnya Yesus menambahkan Sabda Bahagia yang ke sembilan,  yakni yang menyangkut pengalaman dimusuhi orang karena menjadi muridnya (ay. 11). Pengharapan mereka dibesarkan (ay. 12a "bersuka citalah karena besar pahalamu di surga").

Tiap pengalaman di atas dapat dihayati semua orang yang memberi ruang bagi Yang Ilahi. Dapat pula dikatakan pengalaman ini juga melampaui batas-batas agama. Mereka yang mendalami makna Sabda Bahagia dapat semakin mengenali liku-liku kehidupan rohani dan pergulatan di dalamnya. Hidup yang terarah kepada Yang Ilahi itu membawa kebahagiaan. Di situlah ditemukan makna "berbahagia".

SABDA BAHAGIA DALAM INJIL

Dalam Injil Matius, Sabda Bahagia berperan sebagai pembukaan pelbagai pengajaran Yesus yang disampaikan dalam Mat 5-7. Ada lima rangkaian  pengajaran seperti itu, yakni Mat 5-7 (Khotbah di Bukit); 10 (pedoman hidup bagi pewarta Kerajaan Surga); 13 (penjelasan mengenai Kerajaan Surga); 18 (pengajaran bagi para murid dalam hidup bersama); 23-25 (uraian di Bukit Zaitun tentang kedatangan Kerajaan Surga pada akhir zaman). Di antara kumpulan yang satu dengan yang berikutnya ditaruh kisah mengenai tindakan Yesus, mukjizat dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan para murid.

Kelima kumpulan itu tersusun dengan cara yang unik. Yang terakhir berlatarkan pengajaran di bukit Zaitun. Latar ini mengingatkan pada kumpulan pertama yang berlatarkan sebuah bukit pula. Tentang ini akan dibicarakan lebih lanjut. Kemudian kumpulan keempat, yakni yang menyangkut kehidupan para murid, erat berhubungan dengan yang kedua, yakni pedoman hidup bagi para murid-murid Yesus yang akan meneruskan menjadi pewarta Kerajaan Surga. Kumpulan ketiga menyoroti Kerajaan Surga, warta paling pokok yang dibawakan Yesus. Penyusunan secara "konsentrik" seperti ini dapat menjadi pegangan mendalami masing-masing kumpulan itu. Demi mudahnya, kumpulan yang pertama (Mat 5-7) sebaiknya dilihat dalam hubungannya dengan warta pokok, yakni Kerajaan Surga (Mat 13) dan apa kenyataannya yang penuh nanti pada akhir zaman (Mat 23-25). Dan dengan demikian para murid akan siap menghayati pedoman hidup secara orang-perorangan (Mat 10) maupun dalam kebersamaan (Mat 18).

Upaya mendalami Sabda Bahagia sebagai pembukaan kumpulan yang pertama dapat menciptakan hubungan guru-murid dengan Yesus. Dan bila terjadi orang akan merasa tertuntun mendekat kepada kenyataan hadirnya Yang Ilahi di antara manusia juga. Hubungan ini akan mendekatkan orang pada kenyataan Kerajaan Surga di dunia dan kepenuhannya kelak di akhir zaman. Dengan demikian dapat juga menjadi pangkal berharap ikut menikmati kenyataan itu.

MENGAJAR DI SEBUAH BUKIT

Injil Matius ditulis bagi orang-orang yang mengenal akrab alam pikiran Perjanjian Lama. Intinya, yakni diturunkannya Taurat kepada Musa di Sinai. Bagi umat Perjanjian Lama, Taurat berisi ajaran kehidupan dalam bentuk pedoman, petunjuk, tatacara ibadat, hukum yang bila dijalani dengan jujur dan ikhlas akan membuat mereka menjadi dekat pada Tuhan dan menjadi umat yang dilindungiNya. Dengan latar inilah Matius mengisyaratkan kepada pembacanya bahwa Yesus kini menjalankan peran Musa. Yesus membawakan petunjuk, ajaran, kebijaksanaan yang bila dihayati akan membuat orang menjadi bagian dari umat yang baru pewaris Kerajaan Surga.

Memang ada beberapa perbedaan mencolok di antara penampilan Musa dan Yesus. Di Sinai dulu Musa sedemikian jauh. Awan meliputi pucuk gunung tempat Musa memperoleh Firman ilahi. Tak ada yang berani mendekat karena kebesaran ilahi sedemikian menggentarkan. Sekarang Yesus tampil sebagai tokoh yang dekat dengan orang banyak. Matius memang sengaja menampilkannya sebagai kenyataan dari "Tuhan menyertai kita" - Imanuel. Kini bukan lagi awan yang menggentarkan, melainkan kemanusiaan Yesus-lah yang menyelubungi kebesaran ilahi sehingga orang banyak dapat datang mendekat. Tempat pengajaran diturunkan tidak lagi digambarkan sebagai gunung yang tinggi yang hanya bisa didaki Musa sendirian. Bukit tempat menyampaikan pengajarannya terjangkau oleh orang banyak dan bahkan mereka dapat langsung mendengarkannya. Bagaimanapun juga, tetap ditegaskan, tempat yang mudah tercapai ini menjadi tempat keramat juga, seperti puncak Sinai dulu. Namun kekeramatan yang dekat - bukan yang sulit terjangkau.

Nanti menjelang akhir kehidupannya, Yesus masih memberi pengajaran kepada murid-muridnya di sebuah bukit pula, di bukit Zaitun. Kita boleh ingat akan Musa di gunung Nebo, memandang ke barat ke Tanah Terjanji. Ia sendiri tidak akan memasukinya. Yosua-lah yang akan memimpin umat ke sana. Peristiwa ini besar maknanya bagi pembaca Injil Matius. Nama Yesus dalam bentuk Ibraninya sama persis dengan nama Yosua penerus Musa tadi. Dengan demikian disarankan bahwa Yesus bakal memimpin orang banyak memasuki negeri baru yang dijanjikan, yakni Kerajaan Surga.

WARTA SABDA BAHAGIA

Sabda Bahagia dalam Injil menggambarkan apa yang nyata-nyata dialami dan terjadi di antara orang-orang yang hidup mengikuti Yesus, bukan dimaksud untuk menunjuk pada hal-hal yang belum terjadi. Dengan perkataan lain, Sabda Bahagia itu sifatnya deskriptif, bukan preskriptif. Beberapa contoh lain dari Sabda Bahagia selain yang sedang dibicarakan ialah Mzm 1:1; 32:1-2; 144:15; Mat 11:6; 13:16; 16:17; Luk 6:20; 11:28; 12:37; Yoh 20:29; 1 Pet 4:14. Sabda Bahagia bukanlah kata-kata yang memiliki daya untuk mengadakan sesuatu, seperti "berkat", juga bukan serangkai resep hidup bahagia. Sabda Bahagia menunjukkan apa yang terjadi bila orang berada dalam keadaan yang digambarkan di situ. Pendengar diajak memikirkan lebih lanjut dan mengambil sikap-sikap baru. Dengan demikian Sabda Bahagia bukan mengajarkan "yang itu-itu" saja. Sabda itu tetap menyapa.

Sabda Bahagia sebaiknya juga dibaca dengan menengok ke depan, yakni ke pengajaran Yesus mengenai Penghakiman Terakhir dalam Mat 25:31-46. Kedua bahan ini membingkai seluruh pengajaran Yesus. Kedua-duanya diberikan pada sebuah bukit. Kedua-duanya membicarakan siapa-siapa yang bakal memiliki Kerajaan Surga, yang dapat memasuki kebahagiaan kekal. Dalam Mat 25:35-36 ditegaskan bahwa berbuat baik kepada sesama berarti berbuat baik kepada Tuhan sendiri. Yesus memanusiakan gambaran Penghakiman Terakhir. Diajarkan bagaimana orang bisa mengerti bahwa yang dikerjakan bagi sesama nanti dijadikan batu uji masuk surga. Kebijaksanaan dan akal sehat menjadi penuntun yang baik ke arah pertanggungjawaban terakhir nanti. Orang dihimbau sejak kini agar nanti bisa mengatakan kita juga telah memperkaya Tuhan dan telah berbuat baik kepadaNya. Sabda Bahagia menggambarkan keadaan batin dan sikap hidup mereka yang nanti pada akhir zaman akan dapat mengatakan bahwa telah berbuat banyak bagi sesama. Dan Tuhan akan mengatakan itu semua dikerjakan bagiNya. Mereka yang demikian akan betul-betul dapat disebut "Berbahagia"!

Salam hangat,

A. Gianto--