Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Paskah VI A - 27 April 2008


Hello,

Injil dan bacaan pertama Minggu Paskah VI/A - 27 April 2008 (Yoh 14:1-14 Kis 8:5-8.14-17)
22 April 2008 13:41

SANG PENOLONG, ROH KEBENARAN DAN PARA MURID

Rekan-rekan yang budiman!
Bacaan Injil Minggu Paskah VI tahun A ini (Yoh 14:15-21) dipetik dari "wejangan-wejangan terakhir" Yesus yang terungkap dalam Injil Yohanes 14. Jenis tulisan seperti ini memuat ringkasan ajaran seorang guru rohani yang digambarkan sedang berkata-kata kepada para murid pada saat-saat terakhir. Minggu lalu telah dibacakan bagian pertama dari tulisan seperti itu (Yoh 14:1-14). Di sana Yesus membesarkan hati para murid. Mereka diajak tetap berteguh pada jalan yang benar yang memberi hidup. Keteguhan inilah yang menumbuhkan iman. Minggu ini dibacakan bagian kedua dari wejangan-wejangan itu. Gagasan pokoknya berkisar pada mengasihi. Memang keteguhan iman baru utuh bila ada kasih. Bacaan ini memberi pendalaman di seputar apa itu "kasih" dalam hubungan dengan keteguhan mempercayai Yesus tadi. Bagian ketiga dari wejangan-wejangan terakhir ini, yakni Yoh 14:22-29 (31), dibacakan pada Minggu Paskah VI tahun C. Akan dibicarakan pula kaitannya dengan bacaan pertama (Kis 8:5-8.14-17).

MENURUTI PERINTAH-PERINTAG

Awal dan akhir petikan ini berbicara mengenai "menuruti perintah-perintahku". Disebutkan dalam ay. 15, "Jikalau kamu mengasihi aku, kamu akan menuruti perintah-perintahku." Tentu saja kita akan bertanya perintah-perintah mana yang dimaksud. Sebelum melangkah lebih jauh, baiklah diteliti dulu pernyataan dalam ayat itu. Kalimat itu janganlah dimengerti sebagai "Kalau kalian betul-betul mengasihiku, maka mestinya kalian menaati perintah-perintahku." Seolah-olah kecintaan terhadap guru perlu dibuktikan dengan melakukan hal-hal yang diperintahkan. Memang gagasan ini memiliki nilai sendiri, tapi bukan itulah maksud kalimat dalam ay. 15. Kalimat ini justru menggarisbawahi kebalikannya. Ringkasnya, mengasihi Yesus itu bakal membuat orang dapat mengenal perintah-perintahnya dan menurutinya. Jadi, mengasihi sang guru menjadi jaminan agar dapat memperhatikan perintah-perintah sang guru. Begitulah pada ay. 21 nanti terungkap bahwa siapa saja yang memegang dan menuruti perintah-perintahnya, dia itulah yang juga nyata-nyata mengasihinya. Oleh karena itu, ia akan dikasihi Bapa dan Yesus sendiri.

Dalam ayat-ayat di atas "mengasihi" Yesus dipakai dalam arti mengakui kebesarannya dan meluangkan tempat bagi dia, setia kepadanya. Ini dari sisi murid. Dari sisi sang guru? Dikasihi oleh guru berarti menerima perlindungan darinya. Latar belakang ungkapan "mengasihi" ini ialah kehidupan umat Perjanjian Lama. Mereka dipilih, dikasihi, dilindungi, dipedulikan Allah, tapi sekaligus mereka diharapkan tetap setia dan memberi tempat padaNya..... Jadi mengasihi dalam pengertian itulah menjadi dasar bagi "menuruti perintah-perintah". Meskipun kata yang dipakai sama, ungkapan itu tidak hanya menunjuk kepada perintah yang pernah diucapkan sang guru. Oleh karena itu pembicaraannya tidak berpusat pada perintah saling mengasihi (Yoh 13:34 15:12). Patut dicamkan, kata "perintah" dalam kedua ayat ini bentuknya tunggal sedangkan dalam Yoh 14:15 dan 21 jamak.

Yang dimaksud dengan "perintah-perintah" di dalam petikan ini ialah kekuatan-kekuatan yang menggerakkan dari dalam dan muncul dari hubungan batin dengan sang guru sendiri. Demikianlah maka tindakan para murid tidak bersumber dari diri dan kemauan mereka sendiri. Tindakan mereka dijiwai oleh kehadiran guru mereka dalam diri mereka. Orang banyak akan melihat bahwa perilaku serta tindakan-tindakan para murid Yesus menghadirkan kembali Yesus sendiri. Hidup mereka seakan-akan menyuratkan perintah dari atas yang dapat dibaca orang banyak. Dalam hal ini hidup mereka menjadi kesaksian. Tapi sebagai kesaksian, tidak selalu berhasil. Bahkan bisa jadi mereka sendiri kehilangan kepekaan akan "perintah-perintah" tadi dan berubah jadi orang yang tidak lagi bisa dikatakan murid, atau orang yang tidak lagi berhubungan dengan Yang Ilahi.

SANG PENOLONG DAN DAYA-DAYA BATIN

Dalam ay. 16 disebutkan Yesus akan minta kepada Bapa agar memberi Penolong yang lain yang menyertai murid-murid selamanya. Dalam bahasa Yunani Injil Yohanes, Penolong itu disebut "parakleetos", yakni dia yang selalu siap dipanggil datang membantu, memberi uluran tangan di saat-saat gelap, menuntun di jalan yang licin. Dialah yang akan dikirim dari atas sana menyertai murid-murid. Ia akan menunjukkan jalan ke pegangan yang sesungguhnya, yang bisa dipercaya, yang bukan tipuan dan mencelakakan. Maka ia disebut Roh Kebenaran. Jadi para murid boleh merasa aman? Ya.

Bagaimana kehadiran Roh Kebenaran dapat dirasakan? Bagaimana Penolong itu bertindak? Tentu dalam diri murid-murid sendiri, dalam batin mereka, dalam ujud kepekaan hati nurani mereka. Di situlah mereka membedakan yang benar dari yang keliru. Jadi semacam "discernment" yang membeda-bedakan pelbagai gerakan dalam batin. Dalam bahasa Injil Yohanes hari ini, gerakan-gerakan batin yang datang dari atas sana itu disebut "perintah-perintah". Jelas mengikat dan membawa orang bertindak. Sekali lagi perlu diingat bahwa dasarnya ialah "bila kalian mengasihi aku". Tanpa ini, gerakan-gerakan itu malah akan mengacaukan dan membuat hidup rohani mandul. Perintah-perintah yang datangnya bukan dari sana akan mengurangi kemerdekaan batin, dan bisa-bisa malah mencekik.

PENGUTUSAN DAN PERUTUSAN KE "DUNIA"

Dalam Yoh 14:17 dikatakan bahwa "dunia" tidak dapat menerima Roh Kebenaran karena tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Ditegaskan selanjutnya bahwa para murid mengenal Dia sebab ia menyertai mereka dan akan tinggal di dalam diri mereka. Ayat ini sarat dengan muatan rohani.

Pertama-tama hendak disoroti bahwa menjadi murid Yesus itu berarti hidup mewaspadai gerak gerik kekuatan-kekuatan jahat, yakni "dunia". Dalam Injil Yohanes kata "dunia" (kosmos) dipakai dalam arti seperti itu. (Di dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru lainnya kata itu memiliki arti netral, yakni tempat manusia hidup.) Bagi Yohanes, tempat manusia hidup itu, dunia, sudah dikuasai kegelapan. Dunia tidak mengenal Sang Sabda lagi walaupun tadinya diciptakan olehNya. Jadi dunia menyangkal asal usulnya sendiri dan dengan demikian mengubah diri menjadi tempat kegelapan, bukan tempat terang yang diciptakan oleh Sabda pada hari pertama itu. Karena itulah dalam Yoh 14:17 dikatakan, dunia tidak bisa menerima Roh Kebenaran. Dunia seperti itu tidak memiliki kepekaan akan kehadiranNya. Lebih buruk lagi, dunia tidak mengenali lagi asal usulnya sendiri. Ini penderitaan terbesar. Akan tetapi, rupa-rupanya dunia yang demikian ini bahkan tidak tahu bahwa  menderita kehilangan persepsi dari mana datang dan ke mana berjalan.

Semua ini disodorkan kepada murid bukan untuk mengecam dunia dan menghukumnya, melainkan agar mengasihaninya dan mencarikan jalan bagi yang masih ada dalam kegelapan. Murid-murid akan dikuatkan oleh dampingan Roh Kebenaran dan bimbingan sang Penolong sendiri. Jadi pengetahuan bahwa sang Penolong akan datang bukan untuk ditimang-timang belaka dan dijadikan jaminan rasa aman bagi diri sendiri, melainkan agar diamalkan agar dunia memperoleh terang. Jadi ada pengutusan dan perutusan yang besar bagi para murid. (Pengutusan = perihal mengutus; perutusan = bersangkutan dengan pengalaman diutus.)

Dalam cara berpikir Yohanes, para murid itu menjadi tempat Roh Kebenaran tinggal. Sekali lagi, gambaran ini membuat murid-murid berani menolong orang-orang yang terancam kekuatan-kekuatan gelap "dunia" yang menolak kehadiran ilahi tadi.

PENERAPAN BAGI GEREJA

Bila "Pesan-pesan terakhir" Yesus yang disampaikan Yohanes itu berisikan pengutusan dan perutusan sebesar itu, bagaimana penerapannya bagi orang biasa yang hidup di zaman ini? Kan sudah lama kita sadar wahana kehidupan kita tidak intrinsik buruk, malah jadi kalangan yang bisa makin memanusiakan - eh - mensosialisasikan Gereja, kalau kata itu belum terlalu menggelembung kena inflasi di Indonesia. (Atau malah sudah gembos?)

Peneliti teks dan pengintip makna seperti saya tidak bisa bicara mengenai kenyataan sehari-hari seperti orang lapangan. Namun demikian saya melihat pengutusan dan perutusan murid-murid bukan sebagai panggilan agar menjauhi dunia, seburuk apapun, melainkan untuk mencarinya dan mengajaknya bicara. Lambat laun nanti dunia yang macam apapun itu akan mulai samar-samar mendengar suara Penolong yang tinggal dalam diri murid-murid atau siapa saja yang merasa jadi murid Yesus. Banyak dari mereka saya lihat jadi pendidik, entah di ruang kelas atau di masyarakat. Pendidik seperti ini bahkan akan belajar banyak dari keanekaragaman masyarakat yang diterjuni. Dan dalam dialog seperti itu akan tercipta keadaan yang baru yang dapat menjadi alternatif "dunia" lama yang dikacau kegelapan. Gereja akan mengubah diri menjadi kumpulan orang yang bisa berbicara dengan kekuatan-kekuatan segelap apapun dan mengajaknya berjalan ke terang.

KAITAN DENGAN BACAAN PERTAMA

Bacaan pertama (Kis 8:5-8.14-17) boleh dipandang sebagai sebuah gambaran pemenuhan janji yang disampaikan Yesus kepada para muridnya dalam petikan Injil Yohanes di atas. Datangnya kekuatan penolong dalam kehidupan itu bukan terbatas pada generasi para rasul, melainkan kepada para pengikut mereka pula. Dikisahkan dalam petikan Kisah Para Rasul ini bagaimana Filipus mewartakan Mesias di Samaria, Filipus ini tokoh yang telah disapa dan diajak Yesus mengikutinya dan karena itu ia dapat melantarkan orang lain kepada Yesus (lihat Yoh 1:43-47; 12:21-22). Orang-orang Samaria menyaksikan bagaimana Filipus mengerjakan tanda-tanda hebat, mengeluarkan roh jahat, serta menyembuhkan orang lumpuh dan timpang. Di tempat itulah orang-orang tadi menerima baptisan atas nama Tuhan Yesus. Ketika mendengar terbentuk komunitas pengikut Yesus di tempat itu, para rasul mengutus Petrus dan Yohanes ke sana untuk mendoakan agar Roh Kudus turun ke atas mereka. Kedua rasul itu pun menumpangkan tangan ke atas orang-orang Samaria itu. Begitulah mereka dapat berbagi kehadiran Roh ada dalam diri para rasul. Kehadiran "penolong" dan "roh kebenaran" yang disebut dalam petikan Injil Yohanes tadi kini mulai menjadi kenyataan dalam komunitas orang beriman. Gereja dapat diharapkan dapat menjadi penerus iman komunitas pertama ini.

Satu catatan lagi. Bila kita ikuti cara berpikir Injil dan bacaan pertama tadi, maka hubungan dengan roh kebenaran itu terjadi bukan dengan mengukuhi kebenaran atau mempersaksikan diri memegang kebenaran. Ini malah sering berakhir dengan silang pendapat. Yohanes berbicara mengenai mengasihi kebenaran, artinya membiarkan diri dengan ikhlas dirasuki kebenaran. Murid yang sampai pada taraf ini akan menikmati hadirnya sang Penolong dan memperoleh hikmat dari Roh Kebenaran. Begitu pula dalam bacaan pertama, kehadiran Roh Kudus dalam diri para rasul justru menjadi kenyataan bila dapat dibagikan kepada kaum beriman yang lain. Namun sekali lagi, berbagi kekuatan Roh ini terjadi karena kedua rasul tadi diutus kumpulan para rasul untuk itu, bukan karena mereka pergi ke mana begitu saja membagi-bagikan roh! Bukan prakarsa perorangan, melainkan pengutusan dan perutusan dalam kebersamaan.

Salam hangat,
A. Gianto

--



Minggu Paskah V A - 20 April 2008

Hello,

Injil dan bacaan pertama Minggu Paskah V/A - 20 April 2008 Yoh 14:1-12 Kis 6:1-7

DI JALAN YANG BENAR DAN HIDUP -  BEGITUKAH GEREJA ?

Dalam Injil Minggu Paskah V tahun A ini (Yoh 14:1-12) Yesus menghibur para murid, "Janganlah gelisah hatimu...!" (ay. 1). Tidak selalu mudah mengerti arah perkataannya itu. Dia sendiri beberapa kali gundah. Perasaannya campur aduk ketika melihat Maria menangisi kematian Lazarus (11:33), ia gundah ketika menyadari bakal mengalami kematian di salib (12:27), dan dengan berat hati ia menyebutkan bahwa salah satu di antara mereka akan berkhianat (13:21). Mengapa ia menghibur murid-muridnya?

PERLINDUNGAN

Di dalam kesadaran orang pada zaman itu, pengalaman paling menyeramkan ialah merasa "tertinggal" di luar, tak ada yang mengurusi. Dalam keadaan ini orang merasa seperti berada di luar pintu kota pada malam hari, sewaktu-waktu bisa dimangsai penyamun dan serigala. Dengan latar inilah Injil Yohanes berbicara mengenai tempat yang paling memberi rasa aman. Tempat itu ialah kediaman Bapa sendiri. Di situ Yang Maha Tinggi berkuasa. Tak ada yang dapat mengganggu gugat mereka yang berdiam di dekatnya.

Dikatakan dalam Yoh 14:2 bahwa di sana ada banyak "tempat tinggal". Ini cara untuk mengatakan bahwa siapa saja boleh dan bisa menemukan ketenteraman dan perlindungan di dekat Yang Mahakuasa. Tidak lagi akan ada yang bakal merasa ditinggalkan. Tidak usah berebut dan waswas bakal tidak dapat tempat.... Yesus datang memberitahukan hal itu. Seperti ditegaskannya dalam ay. 2, dia sendiri akan menyiapkan tempat itu, dan bila nanti ia sudah selesai ia akan kembali dan membawa murid-murid ke tempat yang aman itu tadi. Dan mereka takkan berpisah lagi dengannya. Murid-murid dikuatkan agar mantap hatinya. Itulah arti ajakan untuk mempercayai Bapa dan mempercayai Yesus dalam ay. 1.

JALAN, KEBENARAN, DAN KEHIDUPAN

Yesus memperhatikan keadaan murid-muridnya. Ia dapat dibayangkan sebagai "gembala yang baik". Ia juga berlaku sebagai "pintu". Begitulah petikan yang dibicarakan Minggu lalu. Kali ini ada kiasan lain untuk memperkenalkan siapa Yesus itu. Dipakai gagasan "jalan". Jalan ialah arah yang perlu dilalui, ditempuh agar sampai ke tujuan. Ada tumpang-tindih dengan kiasan "pintu". Kedua-duanya perlu dilalui agar sampai ke tujuan. Pintu titik awal dan di luar itu ada jalan yang perlu ditempuh. Di luar pintu itu banyak bahaya. Pada jalan yang benar ada jaminan akan sampai ke tujuan. Jalan yang sejati itu bukan barang yang berhenti, yang tinggal diam, melainkan jalan yang betul-betul bisa membawa ke tujuan. Jalan itu jalan yang hidup.

Tiga kiasan, yakni "jalan", "kebenaran", "hidup", diterapkan pada diri Yesus yang telah berjanji akan datang kembali untuk membawa murid-murid ke tempat mereka nanti dapat sungguh-sungguh berbagi kehidupan dengan Yang Mahakuasa sendiri. Ketiga kiasan itu ditampilkan untuk menjawab Tomas yang mengeluh bahwa murid-murid tidak tahu ke mana Yesus pergi (ay. 5). Murid-murid memang belum melihat jelas arah yang sedang dijalani Yesus. Bagaimana murid-murid bisa terus mengikutinya bila arah yang ditempuh Yesus tidak jelas bagi mereka? Itulah pertanyaan para pengikut Yesus, juga hingga hari ini.

Keinginan mencapai hidup abadi dan bahagia memang menjadi dasar kehidupan ini. Namun demikian, sering jalan ke sana tidak pasti. Oleh karena itu banyak macam usaha. Dan "agama" ialah upaya menjawab kebutuhan akan jalan yang pasti itu. Dalam menjalani agama, orang yang percaya semakin mendekat kepada yang dituju. Perlahan-lahan orang terbawa ke sana. Dan nanti pada satu saat akan tercapai. Jadi tujuan menjadi makin nyata justru dalam berupaya menempuh jalan itu sendiri. Tujuan yang dimaksud bukanlah tempat yang ada di "sana", hanya tinggal diarah saja. Sebenarnya dapat dikatakan, tujuan itu sendiri makin ke-"sini". Inilah kiranya yang hendak diajarkan Yesus kepada Tomas.

FILIPUS DAN KENDALA KEPERCAYAAN

Dalam Yoh 14:9-14 ada penjelasan bagi Filipus yang mohon agar Yesus "menunjukkan Bapa". Seperti kebanyakan murid lain dan para pengikut Yesus sepanjang zaman, Filipus berharap bisa melihat dengan mata kepala sendiri tujuan yang mau dicapai tadi. Orang ingin mendapat pengalaman yang membuat tunduk dan mantap percaya. Inilah yang dimaksud Filipus ketika berkata, "itu sudah cukup bagi kami". Tapi ada kendala yang mengganjal.

Boleh dikata, agar percaya dibutuhkan kemantapan. Ini kendala yang bisa mengurung orang dalam lingkaran setan. Pemecahan yang terpikir biasanya seperti diusulkan Filipus tadi: biarkan kami melihat Bapa, dan kami akan mudah percaya. Tapi Filipus tidak sadar bahwa bila sudah melihat Bapa maka "percaya" sebetulnya tidak ada banyak artinya lagi. Justru percaya itu hidup dengan sisi-sisi yang tidak pasti. Menerima ketidakpastian itu dengan ikhlas, membuat orang menjadi orang yang "percaya".

Jawaban bagi kendala yang dialami Filipus tadi diberikan dalam ay. 9-14. Dikatakan, hendaknya cara berpikir seperti Filipus tadi tidak dijadikan cara untuk sampai kepada sikap percaya. Akan macet dan akan menuai kekecewaan. Malah orang akan kehilangan pegangan satu-satunya yang sudah ada, yakni Yesus sendiri yang akan membawa murid-murid kepada Bapa dan membawakan Bapa kepada mereka! Dia itu kan "jalan", ia itu kan "kebenaran", dan ia "hidup"! Pembaca yang jeli akan menangkap gema kata-kata Yesus kepada Tomas sebelumnya.

Uraian kepada Filipus itu bukan semata-mata ajaran di seputar kesatuan antara Yesus dan Bapanya, melainkan jawaban bagi masalah kepercayaan yang paling dalam dan paling sulit. Pada dasarnya jawaban itu seperti berikut. Bila mau percaya, hendaklah mulai dengan menjauhi kepercayaan yang dibuat sendiri, seperti halnya keinginan untuk melihat Tuhan dan menggapaiNya! Ini gagasan semu dan akan membuat orang menangkap kekosongan. Tak bakal sampai. Mulailah dengan yang sudah ada di dekat tetapi yang bukan hasil buatan dan idam-idaman sendiri. Itulah kehadiran Yesus dalam hidup murid-murid. Kehadiran ini membukakan macam-macam dimensi dalam hidup ini. Dia itulah yang membuat tujuan yang rasanya mengawang tadi menjadi dekat, menjadi bagian dalam hidup. Yang muncul dalam keseharian.

PEKERJAAN-PEKERJAAN BESAR?

Ay. 12 menyebutkan bahwa siapa yang percaya kepada Yesus akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya, bahkan yang lebih besar daripada itu. Yang dimaksud bukanlah mengerjakan mukjizat, penyembuhan, membuat tanda-tanda yang membuat orang takluk. Dengan "pekerjaan-pekerjaan" di situ dimaksud hidup pribadi yang dapat mempersaksikan kepercayaan kepada Bapa yang hadir di dalam Yesus itu. Praktisnya, hidup mengGereja, hidup sebagai kumpulan orang yang percaya, yang merasa terpanggil untuk meluangkan tempat bagi kenyataan ilahi di dalam hidup ini dan mengakuinya di hadapan orang banyak. Itulah Gereja dalam arti yang paling apa adanya.

Gereja dapat melakukan hal-hal yang tak terpikirkan dan tak terbayangkan sebelumnya, yakni membawakan keilahian ke dunia ini. Keprihatinan utama bukan lagi untuk menggapai dan mencapai Yang Ilahi yang di "sana", melainkan membawakanNya ke "sini". Itulah yang dimaksud dengan "pekerjaaan-pekerjaan besar". Dan hingga hari ini Gereja tetap dipanggil untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan besar ini.

KOMITMEN SOSIAL GEREJA DAN KEHADIRAN SABDA

Dalam bacaan pertama (Kis 6:1-7) dikisahkan bagaimana komunitas para pengikut Yesus mulai berkembang. Dengan jumlah yang besar maka keragaman serta perbedaan kebutuhan makin terasa. Dan inilah yang terjadi. Ada sebagian yang merasa kurang mendapat perhatian para pemimpin yang karena keterbatasan manusiawi tidak begitu melihat kebutuhan mereka. Jalan keluarnya menarik. Dua cara ditempuh sekaligus. Yang pertama ialah mengatur, mengorganisir, membuat manajemen yang memadai kebutuhan. Kini tidak lagi pemimpin mengurus segala-galanya melainkan dibantu ketujuh diakon umat, yakni orang-orang yang  bertugas melayani anggota yang kurang terjangkau. Yang kedua, ialah mengusahakan agar para rasul, para pemimpin, lebih memusatkan perhatian pada doa dan pelayanan sabda., semakin merohanikan peran mereka. Begitulah dua cara ini, manajemen yang memadai dan pemantapan peran kerohanian para pemimpin berangsur-angsur memberi bentuk pada komunitas gerejawi yang semakin bertumbuh itu. Inilah sebabnya mengapa sejak awal gereja hingga kini ditandai dengan komitmen sosial yang penuh tetapi sekaligus juga menjadi penghadir kenyataan Sabda. Keduanya bahkan menjadi ukuran ketepercayaan gereja. Bila hanya ada salah satu maka sulit dikatakan gereja sungguh memungkinkan komunitas para pengikut Kristus hidup dan berkembang seperti dikehendakinya, yakni menghadirkan kemurahan Yang Maha Kuasa dan sekaligus mempercayai dia yang amat dekat dengan Yang Maha Kuasa yang diperkenalkannya sebagai Bapa.

MENEMUKAN JALAN YANG BENAR DAN YANG HIDUP

Di zaman kita ini makin tumbuh kesadaran bahwa ada pelbagai jalan yang mengarah ke tujuan yang sama. Lalu apakah praktisnya bisa dikatakan "banyak agama, tujuan sama"? Luruskah amatan ini? Pluralitas kepercayaan menjadi titik tolak? Perkara sensitif. Dan makin peka bila berkaitan dengan ajaran agama. Tetapi sering kita terpaksa mengakui seperti Tomas tidak tahu mana arah yang sesungguhnya. Syukurlah Tomas, dan siapa saya yang seperti Tomas, diajak melihat bahwa ada jalan, ada kebenaran, dan ada yang membawakan kehidupan.

Tersirat adanya pembedaan antara "jalan, kebenaran, dan hidup" dengan mereka yang menempuhnya. Orang-orang yang menempuh jalan mau tak mau akhirnya akan menemukan jalan yang satu-satunya bagi dia dan tidak merasa butuh berpindah-pindah lagi. Kebenaran justru akan makin ditemukan di dalam menempuh arah yang ditekuni itu. Namun demikian, dalam menjalaninya akan berkembang juga keragaman, justru karena jalan itu jalan yang hidup, bukan jalan yang sudah selesai dan tinggal dilalui dan habis perkara. Bahkan yang dituju sendiri itu hidup, yakni Yang Ilahi sendiri. Apa yang paling berharga di dalam tiap tindakan menempuh jalan ini? Dalam bahasa sekarang, komitmen yang dijalani dengan tulus serta bertanggungjawab Itulah sikap keagamaan yang diajarkan kepada Tomas dan kepada Filipus dalam petikan Injil Yohanes yang dibacakan hari ini. Itu juga sikap yang diajarkan kepada pengikut Kristus. Dan kiranya masuk akal juga bila kumpulan orang dipanggil untuk percaya menawarkan sikap ini kepada semua orang yang berkemauan baik.

--



Minggu Paskah IV A - Minggu Panggilan - 13 April 2008


Hello,

Injil dan bacaan pertama Minggu Paskah IV A - 13 April 2008 (Yoh 10:1-10 Kis 2:14a,36-41)
08 April 2008 11:46

TENTANG PINTU, GEMBALA YANG BAIK, DAN PEMIMPIN UMAT

Rekan-rekan yang baik!
Dua buah perumpamaan terjalin erat satu sama lain di dalam Yoh 10:1-10 yang dibacakan pada hari Minggu Paskah 1V tahun A ini. Pertama, Yesus mengumpamakan diri sebagai pintu bagi kawanan domba. Kedua, ia mengibaratkan diri sebagai gembala bagi kawanan domba. Gambaran pintu dapat membuat orang berpikir mengenai jalan masuk yang dipakai pemilik domba-domba. Mereka yang masuk tanpa melewati pintu itu berniat mencuri dan merampok dan tak bisa dipercaya. Mereka membuat kawanan ketakutan menjauh. Gembala datang melewati pintu dan memanggil kawanan satu persatu dan memimpin mereka berjalan ke padang rumput. Bagaimana menafsirkan "pintu dan gembala" itu dan mengembangkannya lebih lanjut? Bagaimana menerapkannya bagi keadaan sekarang?

TENTANG PINTU, GEMBALA, DAN PENCURI

Gagasan sesederhana seperti "pintu" bisa mengecoh. Langsung bayangan kita terarah pada jalan masuk, penyekat, penutup, pemisah antara yang di luar dan yang di dalam. Dan memang semuanya benar. Semakin disimak, akan semakin terasa ada hal lain yang hendak dikatakan. Dalam bagian awal petikan dikatakan bahwa yang memasuki tempat kawanan tidak lewat pintu adalah pencuri dan perampok yang membuat kawanan ketakutan. Jadi gembala diperlawankan dengan pencuri dan perampok justru dalam hal masuk melewati pintu atau tidak. Dalam ay. 7 Yesus mengatakan dirinya itulah pintu bagi gembala. Ditegaskannya pula bahwa yang datang sebelum dia adalah pencuri dan perampok. Dapat disimpulkan, sebelum ia datang, kawanan itu tinggal di tempat yang tidak berpintu. Mereka ada di lapangan terbuka dan bisa dimangsa pencuri dan pembunuh. Kawanan itu tak terlindung. Kedatangan Yesus menjamin kehidupan mereka. Yang melalui "pintu" ini akan menemukan padang rumput. Pintu dan gembala seolah-olah menyatu. Dan memang itulah yang dimaksud dalam petikan ini. Tetapi mengapa justru gambaran pintu dipakai?

Pintu dipakai untuk menutup jalan atau membiarkan orang melewatinya. Yang ditutup ialah jalan masuk bagi orang yang tak berwenang untuk mengambil begitu saja hak milik orang. Hanya gembala yang bakal dibukakan pintu karena kawanan itu miliknya. Yang dibuka ialah jalan keluar ke padang rumput tempat kawanan dipimpin oleh sang empunya, bukan oleh orang sewaan. Pemimpin ini membawa kawanan itu ke tempat mereka bisa menikmati kesejahteraan.

Dengan menggambarkan diri sebagai pintu yang tadinya belum ada itu Yesus hendak mengajarkan bahwa kini telah mulai zaman baru. Dia yang datang ke dunia itulah yang menjadi pintu. Ia bakal membawa orang ke padang rumput, ke tempat sejahtera. Zaman ancaman yang tak dapat ditanggulangi sudah selesai. Kini ada pembatas jelas, yakni dirinya, sang pintu itu. Memang masih akan ada ancaman dari mereka datang tanpa lewat pintu itu. Tetapi kawanan sudah tahu bahwa mereka itu tidak bermaksud baik. Dan mereka itu tidak mengenal kawanan satu persatu. Mereka hanya akan merampas dan membawa mereka ke pembantaian, bukan ke padang rumput.

KIASAN DAN MAKNA GANDA

Memang dalam teks Yohanes dipakai kata Yunani "thura" untuk mengungkapkan pintu jalan masuk dan keluar kebun, rumah, kandang. Dalam gambaran orang dulu, pintu berasosiasi dengan gerbang kota tempat orang berkumpul guna membicarakan urusan penting, untuk membawa perkara ke pada penguasa setempat. Untuk ini memang ada kata Yunani lain, yakni "pulee". Tetapi di sini kedua gagasan itu kiranya sengaja ditumpang-tindihkan agar tampil bayangan mengenai gembala yang memperlakukan kawanan dengan baik. Boleh dicatat, dalam bahasa Aram ("bahasa Yesus") kedua gagasan itu biasanya terungkap dengan satu kata saja, tidak seperti Yunani atau juga Ibrani. Namun tak usah kita membebani pembicaraan dengan amatan dari segi bahasa-bahasa itu. Kita anggap saja, bagi para pembaca Injil Yohanes, ibarat pintu dapat menimbulkan dua gagasan tadi. Yang satu ialah jalan keluar masuk yang resmi, dan yang kedua, tempat orang dapat berkumpul membicarakan masalah karena di situ para tetua kota berkumpul (Ul 21:19 25:7 Ams 31:23), jadi semacam pengadilan (Mzm 69:13 127:5 Ayub 31:21 Amos 5:10) atau tempat orang mengadakan kontrak dan perjanjian dengan saksi yang sah (Kej 23:10 Rut 4:1). Di tempat seperti itulah orang boleh berharap memperoleh keadilan dan perlindungan.

Bagi orang zaman dulu, tiap pemimpin, entah itu raja atau Tuhan sendiri, bisa digambarkan dengan gembala. Dalam Yeh 34 Tuhan digambarkan sebagai gembala yang baik yang melawan gembala-gembala jahat, yakni pemimpin yang bertindak tak adil. Demikianlah dalam petikan dari Yoh 10 itu dimunculkan gambaran seorang pemimpin baik yang datang membawakan yang adil kepada umat yang berkumpul menantikan dan mengharap-harapkannya. Ini semua dimungkinkan dengan ibarat "pintu" dan "gembala" yang datang lewat pintu itu. Pemimpin atau raja wajib memberi keadilan bila orang datang kepadanya. Sekali lagi gambaran ini sudah menjadi klasik dan termasuk dalam dunia alam pikiran orang waktu itu. Kenyataan sehari-hari tentu sudah berbeda karena kelembagaannya sudah berbeda. Namun demikian, "pintu" yang memiliki asosiasi dengan gerbang kota tadi dapat membuat orang berpikir mengenai tempat berkumpul menantikan tindakan seorang pemimpin yang mereka percayai.

MENGIKUT  SANG GEMBALA

Setelah kekayaan ibarat pintu serta gembala disadari, dapatlah didalami kelanjutannya. Dikatakan gembala memanggil kawanan satu persatu. Maksudnya, masing-masing domba dikenal gembala yang empunya kawanan itu tadi. Kawanan itu tidak diperlakukan secara anonim. Mereka tidak dianggap sebagai barang, melainkan sebagai pribadi. Hubungan antara pemilik dan kawanan itu hubungan pribadi. Bahkan bisa dikatakan tidak akan ada hubungan antara pemilik atau gembala dengan kawanan tadi bila tidak terjalin hubungan saling mengenal yang memberi rasa aman, rasa percaya.

Ketika disapa Yesus "Bu, kenapa menangis? Siapa yang kaucari?", Maria Magdalena malah mengira sedang berhadapan dengan penjaga taman pekuburan Namun ketika Yesus memanggilnya dengan namanya, "Maria!" (Yoh 20:16), maka Maria Magdalena langsung mengenalinya. Begitulah sapaan pribadi membuatnya melihat siapa yang mendatanginya. Kembali ke ibarat gembala yang memanggil satu persatu kawanan yang akan dipimpinnya ke padang rumput tadi. Sapaan perorangan yang dialami dalam batin juga akan membuat orang mengenali kehadiran ilahi. Ia bukan orang yang tak dikenal yang membuat waswas. Begitulah pengalaman Maria Magdalena. Begitulah juga pengalaman para pengikut Yesus sepanjang zaman.

Disebutkan dalam Yoh 10:3, domba-domba itu mengikuti sang gembala. Mengikuti bukan berarti mencontoh, melainkan meniti jalan yang dibuka oleh yang berjalan di muka menuju ke padang rumput. Di dalam kesadaran para pengikut Yesus, pemimpin bukanlah dia yang meniru gembala sang empunya kawanan tadi, apalagi mengambil alih kedudukannya sebagai pemilik kawanan. Yang diberi kedudukan memimpin juga mengikuti dia yang menyapa satu persatu tadi. Mereka ini membantu agar kawanan bisa lebih melihat siapa yang berjalan di muka. Siapa saja yang merasa diajak memimpin juga akan memberi tahu sang empunya kawanan bila ada dari antara kawanan yang tertinggal dan tak menemukan jalan. Dalam Injil lain gembala yang empunya kawanan itu dikatakan akan mencarinya sampai ketemu (Luk 15:1-7 Mat 18:12-14).

PEMIMPIN UMAT

Menurut adat kebiasaan, Paus menyebut diri "servus servorum", harfiahnya 'abdinya para abdi'. Yang dimaksud jelas bukanlah abdi dari sekalian abdi, abdi paling kecil, melainkan pembantu utama Yesus sang Gembala sendiri. (Bandingkan ungkapan "servus servorum" dengan "King of Kings", Raja Besar, juga dengan "Song of Songs", artinya Kidung Agung.) Jadi ia sendiri juga mengikuti Yesus sang Gembala, sang Empunya kawanan. Bukan dialah pemilik umat. Ia membantu agar umat dapat mengarahkan diri kepada sang Gembala. Kini dapatlah kita semakin menghargai siapa saja yang diserahi kedudukan ikut membawa umat lebih jauh ke depan. Mereka itu memungkinkan orang dapat mengalami kehadiran Gembala yang baik, sang Empunya kawanan dengan lebih nyata. Bila mereka menjalankan tugas mereka dengan sepenuh hati dan jujur, mereka tidak akan mengukuhi kawanan itu bagi mereka sendiri. Di situlah integritas pemimpin umat.

DARI BACAAN PERTAMA

Kis 2:14a.36-41 menyampaikan awal dan penutupan kotbah Petrus kepada orang-orang yang menyaksikan peristiwa datangnya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Di situ Petrus menandaskan bahwa "Allah telah membuat Yesus yang kalian salibkan itu menjadi Tuhan dan Kristus". Ternyatalah bahwa dia yang disalibkan itu - Yesus orang Nazaret - kini diangkat oleh Yang Maha Kuasa menjadi Tuhan dan utusan resmi dariNya sendiri. Salib yang dilaluinya kini menjadi jalan keselamatan bagi semua orang. Tetapi yang diwartakan Petrus lebih dalam. Pelaku penyaliban bertanggung jawab atas tindakan mereka, tetapi pertanggungjawaban ini bukan berupa hukuman melainkan hak untuk diselamatkan! Dan hak ini turun temurun dan meluas ke seluruh umat manusia. Ini teologi salib yang amat berani. Sekaligus ini penalaran yang menunjukkan betapa besarnya kemurahan ilahi.

Salam dari Roma,
A. Gianto



Minggu Paskah III A - 6 Apr 08


Hello,

Injil dan bacaan pertama Minggu Paskah IIIA - 6 Apr 08 (Luk 24:13-35 Kis 2:14.22-33)
31 Maret 2008 15:48

ANTARA YERUSALEM DAN EMAUS

Rekan-rekan yang baik!
Dikisahkan dalam Luk 24:13-35 (Injil Hari Minggu Paskah III/A) perjalanan dua orang murid ke Emaus meninggalkan kota Yerusalem berikut peristiwa-peristiwa yang membuat angan-angan mereka tentang Yesus pudar. Tetapi selama perjalanan itu juga mereka memperoleh penjernihan dari orang yang tak dikenal yang tiba-tiba saja menyertai mereka. Baru pada akhir perjalanan itu mereka mengenali siapa sesungguhnya dia. Tetapi saat itu juga ia lenyap dari pandangan mereka. Pengalaman berjumpa dengan dia telah memperkaya mereka. Dan mereka pun bergegas kembali ke Yerusalem mengabarkan pengalaman mereka kepada para murid yang masih berkumpul di sana. Bagaimana memahami kisah itu?

PENTINGKAH LOKASI EMAUS?

Emaus disebut sebagai "dusun" yang letaknya kira-kira 11 km dari Yerusalem. Kerap lokasinya disamakan dengan Emaus yang disebut-sebut dalam 1 Mak 3:40-57; 4:3; 9:50. Di situ pada tahun 166 seb. Masehi terjadi kemenangan perlawanan Yudas Makabe terhadap kekuasaan asing. Peristiwa ini makin menyuburkan perkembangan harapan akan seorang Mesias yang akan membangun kembali kejayaan di masa lampau, semacam gagasan mesianisme politik. Harapan ini bahkan makin tebal ketika gerakan keluarga Makabe dan penerusnya mulai mundur dan tertumpas. Angan-angan seperti itu masih tetap subur pada zaman Yesus. Banyak orang mengira Yesus itu Mesias dalam artian itu. Bahkan banyak di antara murid-murid yang paling terdekat berpendapat demikian. Memang Yesus resminya dihukum mati sebagai pemimpin gerakan politik.

Akan tetapi Emaus yang dibicarakan dalam Kitab Makabe itu letaknya sekitar 30 km sebelah barat laut Yerusalem. Terlalu jauh bagi perjalanan pulang balik dalam satu sore dan malam. Lukas juga menyebut tempat itu jaraknya hanya sekitar 11 km dari Yerusalem. Jadi jelas yang dimaksud bukan Emaus tempat kemenangan gerakan Yudas Makabe dua abad sebelumnya itu. Beberapa tempat lain pernah diduga sebagai Emaus-nya kedua murid tadi. Tetapi tak satu pun bisa dipastikan. Lukas kiranya memang tidak hendak berbicara mengenai lokasi geografis. Boleh diperkirakan ia memakai nama Emaus guna memunculkan asosiasi antara tempat mulai suburnya mesianisme politik dan kenyataan sekarang bahwa tumpuan harapan itu tidak ada lagi karena sudah dihukum mati dan disalibkan (ay. 19-21). Ketimpangan informasi mengenai jarak Yerusalem  -  Emaus dalam kisah ini (sekitar 11 km) dengan jarak antara Yerusalem  -  Emaus zaman Makabe dulu (sekitar 30 km) rupa-rupanya sengaja ditampilkan agar pembaca memahami tempat itu bukan dalam artian geografis. Dengan demikian pembaca bisa memahami perjalanan ke Emaus sebagai perjalanan batin menyadari pelbagai distorsi dalam benak masing-masing mengenai siapa Yesus itu. Yesus yang telah bangkit itu menjumpai murid-muridnya dan meluruskan gagasan mereka mengenai dirinya Angan-angan keliru tentangnya hanya membuat hidup suram.

DUA ORANG MURID

Hanya satu dari kedua orang murid disebutkan namanya, yakni Kleopas (Luk 24:18). Mengapa? Ini cara Lukas untuk membuat pembaca ikut serta di dalam kisahnya. Pembaca seakan-akan diajak menjadi murid yang tak disebut namanya itu. Dengan demikian pembaca bisa merasa ikut disapa oleh musafir yang tiba-tiba menyertai perjalanan mereka ke Emaus (ay. 17), "Apa yang sedang kalian percakapkan?" Ditanya demikian, kedua murid itu terhenyak dan menyadari bahwa hingga kini mereka berjalan menuju "cita-cita yang berakhir dengan kekecewaan" itu. Dan muka mereka pun menjadi muram. Kleopas balik bertanya (ay. 18) apa orang itu satu-satunya peziarah di Yerusalem yang tak tahu apa yang terjadi hari-hari itu. Pembaca yang mengidentifikasikan diri dengan murid yang lain yang tak disebut namanya itu dapat ikut serta di dalam pembicaraan tadi. Mungkin reaksinya tak sama dengan yang dikatakan Kleopas. Boleh jadi juga akan hanya diam dan menggagas siapa gerangan orang ini. Dan musafir itu malah bertanya lebih lanjut mengenai apa yang terjadi. Maka mereka pun mulai bercerita mengenai Yesus orang Nazaret. Dengan cara ini Lukas makin mengikutsertakan kesadaran pembacanya dalam pembicaraan mengenai siapa Yesus dari Nazaret itu. Injilnya mempertemukan pembaca dengan sang musafir itu sendiri. Ada baiknya pembaca zaman sekarang juga mengikuti perjalanan itu hingga akhir dan tidak tergesa-gesa memoralisir peristiwa ini. Sebuah kesempatan langka orang dapat mengikuti peristiwa ini dari dalam. Sayang bila segera digantikan dengan pesan-pesan seluhur apapun, dengan maksud saleh manapun.

Bagaimana penerapannya? Kita masing-masing diajak untuk menceritakan pengalaman kita hingga kini mengenai Yesus kepadanya sendiri. Ia menyertai perjalanan kita. Juga perjalanan dalam macam-macam kekecewaan batin yang sebenarnya berasal dari gambaran keliru kita mengenai apa dan siapa tumpuan harapan hidup kita. Juga sikap kurang percaya kita akan didengarkannya seperti ketika ia mendengarkan kecurigaan dua murid itu terhadap kesaksian para perempuan mengenai Yesus (ay. 22-24).

DIKAWANI DIA YANG TELAH BANGKIT

Musafir itu menanggapi kisah kedua murid itu dengan berkata (Luk 24:25), "Hai kamu orang bodoh dan lamban pikiran!" Dalam bahasa kita kata-kata ini terasa sebagai celaan. Tapi dalam cara berdiskusi para cendekia di zaman itu, kata-kata seperti itu dimaksud sebagai ajakan untuk bersama-sama memikirkan kembali perkaranya guna menemukan penjelasan yang lebih memuaskan. Pemikiran mana yang hendak ditampilkan di sini?

Dengan merujuk pada nubuat mengenai penderitaan Mesias sebagai jalan ke kemuliaannya Injil hendak mengingatkan pembaca pada pemberitaan sengsara yang pernah sampai tiga kali disampaikan Yesus sendiri kepada para murid (Luk 9:22, 9:33-45; 18:31-34), yakni bahwa ia bakal dimusuhi, menderita dan dibunuh, tetapi akan dibangkitkan pada hari ketiga. Memang tiap kali para murid tak bisa memahami. Tak tecerna oleh mereka mengapa sang Mesias sampai perlu menderita dan bahkan dibunuh, agar mencapai kemuliaannya. Perjalanan dari Yerusalem ke Emaus ditampilkan sebagai penjernihan gagasan para murid - gagasan kita masing-masing - mengenai Yesus. Caranya sederhana. Kedua murid itu diminta mengingat-ingat kembali semua yang sudah pernah didengar tentangnya. Tapi kali ini mereka diajak membaca kembali pengalaman itu dengan pikiran yang merdeka yang tidak dikuasai agenda tersembunyi yang ini atau yang itu. Mereka dihadapkan kepada sumber-sumber kepercayaan yang sejati (ay. 27: "mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi"). Seperti mereka, kita juga diajak agar bersedia berdialog dengan sabda Tuhan sendiri dan membiarkan diri diperkaya olehNya.

Seperti disebutkan nanti dalam ay. 32, mereka berkata satu sama lain "hati kita berkobar-kobar". Yang "berkobar-kobar" biasanya api yang menerangi dan memiliki daya memurnikan logam campuran. Jadi pikiran ("hati") mereka yang tadinya gelap kini terang menyala-nyala dan yang tadinya bercampur baur kini dimurnikan. Murid-murid "terbuka matanya" (Luk 24:31) dan mengerti bahwa Yesus menyertai mereka. Mereka segera berangkat kembali dan membagikan pengalaman mereka kepada murid-murid lain di sana yang belum ikut mengalami kebangkitan Yesus.

MENGENALINYA

Di Emaus "ketika Ia memecah-mecah roti" barulah kedua murid itu mengenali siapa sesungguhnya orang yang menyertai mereka tadi. Baru pada saat itulah mereka menyadari sepenuhnya bahwa orang itu sama dengan dia yang dalam Perjamuan Malam (Luk 22:16 dan 18) mengatakan tidak akan makan dan minum lagi sampai Kerajaan Allah betul-betul datang. Mereka berdua mengalami bahwa kini Yang Ilahi bisa benar-benar hadir di tengah-tengah manusia. Artinya, mereka yang percaya bahwa Yesus telah bangkit juga akan mempercayai kehadirannya di dalam kehidupan mereka. Dan kehadirannya inilah yang memberi harapan yang baru dan wajah yang baru bagi kemanusiaan. Yang diminta dari kita ialah membiarkan kehadirannya makin tampak dan makin biasa dirasakan orang banyak, makin memberi harapan.

Pada saat kedua murid tadi menyadari siapa orang yang mereka ajak datang ke rumah mereka di Emaus - ke dalam kehidupan mereka - saat itu juga Yesus lenyap. Kehadirannya tak dapat mereka kukuhi bagi mereka sendiri. Namun demikian, ada yang tinggal, yakni kebijaksanaan serta kekuatan baru untuk meniti jalan kembali ke Yerusalem dalam terang kobaran "hati" (= pikiran) mereka dan membawakan kabar gembira kepada rekan-rekan mereka yang sedang berkumpul di tempat yang butuh kesadaran baru. Perjumpaan dengan dia yang bangkit bukanlah pengalaman yang menggumpal ke dalam dan tinggal diam. Perjumpaan ini sumber kekuatan yang merebak ke luar dan menyentuh banyak orang.

Bacaan pertama dari Kis 2:14.22-33 menyampaikan sebagian dari kotbah Petrus pada hari Pentakosta kepada orang-orang Yahudi dan siapa saja yang berada di Yerusalem. Pada intinya ia menegaskan bahwa Yang Mahakuasa telah membangkitkan Yesus orang Nazaret dan dengan demikian ia menjadi Kristus, Dia yang Terurapi oleh Yang Mahakuasa sendiri. Maut tidak berkuasa mencengkeramnya. Petrus menandaskan pula bahwa hal ini sudah disadari oleh Daud jauh-jauh hari sebelumnya. Begitulah maka kebangkitan Kristus bukan gagasan para murid Yesus belaka. Kristus kini berbagi daya hidup ilahi - Roh Kudus - dengan mereka yang mengikutinya. Inilah sumber kekuatan mereka. Apa relevansi peristiwa ini bagi orang sekarang? Kebangkitan Kristus telah mengubah hidup umat manusia dari yang dikuasai maut hingga menjadi kehidupan yang dimerdekakan. Dalam keadaan ini besarlah peran orang-orang yang percaya dan mempersaksikan kenyataan iman ini dengan pelbagai cara. Ada yang mewartakannya dengan kata-kata yang menguatkan. Ada yang mempersaksikan dengan perbuatan mengangkat kemanusiaan. Inilah daya Roh Kudus.

Salam hangat dari Emaus,
A. Gianto