Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Injil Minggu Biasa XVII A - 27 Juli 2008

Halo,

Injil Minggu Biasa XVII/A 27 Juli 2008 (Mat 13:44-52)
21 Juli 2008 07:41

MENCAPAI KEINGINAN

Rekan-rekan yang baik!Pokok pengajaran dalam serangkai perumpamaan dalam Mat 13 berkisar pada Kerajaan Surga. Ada perumpamaan mengenai penabur beserta penjelasan khusus bagi para murid; menyusul perumpamaan mengenai lalang dan gandum dan penjelasannya yang mengapit perumpamaan biji sesawi dan ragi. Setelah itu, seperti Injil Minggu Biasa XVII tahun A ini (Mat 13:44-52), ada tiga perumpamaan lainnya. Dua yang pertama mengumpamakan Kerajaan Surga sebagai harta yang ditemukan orang di sebuah ladang (Mat 13:44) dan sebagai mutiara yang dicari saudagar (13:46). Masing-masing menjual seluruh miliknya agar dapat membeli barang yang diinginkan itu. Dalam perumpamaan yang ketiga (13:47-52), Kerajaan Surga diumpamakan sebagai jala besar yang menangkap macam-macam ikan. Nanti ikan yang baik dimasukkan dalam tempayan dan yang tak baik dibuang. Begitu pula, dikatakan di situ, orang jahat nanti akan dipisahkan para malaikat dari kumpulan orang baik. Tujuh perumpamaan ini dimaksud untuk memberi gambaran yang penuh mengenai Kerajaan Surga. Bagaimana tafsir keseluruhannya?

HARTA DAN MUTIARA

Minggu lalu disarankan untuk mengerti perumpamaan mengenai sesawi dan ragi dengan cara berikut: biji yang sekecil sesawi saja atau ragi sedikit saja sudah bisa mengembang besar, apalagi Kerajaan Surga! Dapat juga cara ini diterapkan pada perumpamaan mengenai harta yang ditemukan di ladang dan mutiara indah yang sejak lama diinginkan seorang saudagar. Namun demikian, bila pusat perhatian kedua perumpamaan sebelumnya terletak pada kekuatan Kerajaan Surga, kini pusat perhatian beralih kepada sikap orang yang mencari kehadiran ilahi. Baik orang kaya seperti sang saudagar maupun orang yang boleh jadi hanya buruh tani itu kedua-duanya menjual semua yang ada pada mereka agar dapat membeli barang yang diinginkannya. Bila harta di ladang dan mutiara indah dapat membuat orang sedia mempertaruhkan semua yang mereka miliki, apalagi Kerajaan Surga! Wajar bila orang merelakan apa saja yang dipegang hingga kini agar bisa masuk ke dalam Kerajaan itu.
Ini khotbah untuk merelakan segala milik kita demi yang lebih luhur? Sisi ini kadang-kadang terlalu ditekankan Tetapi rasa-rasanya bukan itulah yang hendak disampaikan kedua perumpamaan tadi. Pendengar yang menikmati kedua perumpamaan tadi sudah rela dan sudah "menjual seluruh milik" mereka. Mereka yang menceritakan kembali perumpamaan tadi juga tidak bermaksud meyakin-yakinkan orang banyak agar menjadi seperti kedua orang tadi. Bukan ajaran muluk-muluk yang cepat gembos bila menghadapi pelbagai kenyataan di dunia ini. Tak banyak artinya bila perumpamaan itu dianggap sebagai seruan komitmen tunggal pada Kerajaan Surga. Ini sudah diandaikan. Lalu, apa warta yang dapat diperdengarkan bagi orang-orang pada zaman ini?
Apa inti kedua perumpamaan kali ini? Orang yang menemukan harta di ladang dan kemudian memendamnya lagi di situ boleh jadi hanya buruh harian yang menggarap ladang yang bukan miliknya. Ia tidak memiliki tanah. Ia memang memiliki beberapa barang, tak banyak, tapi kiranya cukup untuk "menebus" ladang yang ada hartanya tadi. Tak perlu kita lanjutkan ke soal yuridik - ini kan perumpamaan untuk mengajak pendengar berpikir. Apa yang membuat orang tadi bersuka cita? Bukan semata-mata karena menemukan harta, melainkan karena melihat sebentar lagi ia bisa menjadi pemilik ladang yang ada harta karunnya! Dari sewaan menjadi milik, dari hidup kais pagi makan pagi menjadi orang yang terpandang. Ini cita-cita orang pada umumnya. Nah, menemukan Kerajaan Surga itu akan membuat orang menjadi pribadi yang terpandang, jadi orang yang mampu melaksanakan keinginan dan hasrat-hasratnya.
Bagaimana dengan saudagar yang tentunya sudah jadi orang terpandang? Jangkauannya lain. Ia mencari yang terindah. Di situlah sumber kepuasannya. Begitulah nanti ia akan dikenal sebagai dia yang punya mutiara langka! Saudagar mana yang tidak ingin demikian? Orang yang sebetulnya sudah tidak butuh apa pun dalam hidup ini masih dapat juga menginginkan sesuatu yang langka. Begitulah daya tarik Kerajaan Surga digambarkan. Masih patut dicita-citakan, juga oleh orang yang sudah berkecukupan.
Dalam tafsiran di atas Kerajaan Surga tidak lagi tampil sebagai tempat yang nun jauh "di sana", tak bergerak, sudah jadi. Yang tampil dalam perumpamaan itu ialah diri orang yang mencarinya dengan sungguh. Dan dalam menjalaninya, ia mendapatkan sesuatu yang lebih yang tadinya belum terbayangkan. Bila demikian maka Kerajaan Surga bisa menjadi bagian kehidupan. Juga keanekaan akan ikut termasuk di dalamnya. Jadi apa saja boleh, apa saja bisa? Wah ini perkara yang baru terjawab dengan perumpamaan mengenai jala yang besar. Marilah kita tanya Matt sendiri. Hanya dialah di antara para penulis Injil yang menceritakannya.

MACAM-MACAM, TAPI...

GUS: Matt, mau tanya. Ini satu-satunya perumpamaan yang diangkat dari kehidupan nelayan. Mark dan Luc tak menyebutnya. Oom Hans juga tidak mencatatnya. Dapat dari mana?

MATT: Dari murid-murid Yesus yang mendengarnya dari dia sendiri. Kan juga begitu kata ilmu tafsir kalian.

GUS: Gini nih, apa bisa dikatakan perumpamaan jala ini gema perumpamaan lalang dan gandum?

MATT: Memang! Yang baik pada mulanya ada bersama dengan yang tak baik, semuanya diambil dan dipisahkan pada akhir. Dan malaikat-malaikatlah yang nanti mengerjakannya.

GUS: Jadi kekuatan dari atas sana sendiri. Dan kita diam saja?

MATT: Persis! Tapi diam itu bukan tak peduli lho.

GUS: Kalau begitu sebaiknya membiarkan diri dikenali sebagai yang baik oleh kekuatan-kekuatan ilahi tadi. Ya kan?

MATT: Kalau kita tidak terburu-buru, perumpamaan itu bisa jadi jelas dengan sendirinya.

GUS: Masih penasaran. Jadi ikan yang tak baik itu mereka yang tidak mau dikenali Tuhan sebagai orang baik-baik? Bolehkah dibaca begitu?

MATT: Tentu saja perumpamaan baru berguna bila makin dipikirkan maknanya.

GUS: Kalau begitu, tak ada hitam putih begitu saja di jagad ini?

MATT: Lha iya, mana ada hidup yang hitam putih. Nggak asyik.

GUS: Bisa diterangkan lebih jauh?

MATT: Kawan, ini soal pilihan. Orang kan bisa memilih begini atau begitu dan menjalaninya. Yang mau memilih Kerajaan Surga selamat. Yang tidak mau, ya tahu sendiri nanti, menyesali diri sendiri, meratap sambil kertak gigi.

GUS: Kok serem amat. Boleh pula kan dikatakan, Kerajaan Surga itu dapat dimasuki oleh orang meluangkan diri bagi Yang Ilahi - menjadi orang baik - dikenali sebagai yang baik.

MATT: Mau penjelasan apa lagi. Kalau orang menjadi tempat hadirnya Tuhan, apa malaikat-malaikat tidak bakal mengenalinya sebagai orang yang baik?

BELAJAR DARI MAT

Terhenyak saya oleh penegasan Matt tadi. Tak nyana perumpamaan itu memuat ajaran kebatinan yang amat dalam, tapi juga yang tetap berpijak di bumi. Baik buruk ditampilkan dalam kaitan kesediaan manusia membiarkan diri didiami Yang Ilahi sendiri. Kita kadang-kadang lebih biasa berbicara mengenai kekuatan jahat merasuki orang. Kok tidak mengenai kekuatan ilahi yang mendiami batin ya? Berpikir ke situ maka pertanyaan yang diucapkan Yesus dalam ay. 51, "Mengertikah kamu semuanya itu?" tentu juga dimaksud bagi kita. Dan pembicaraan dengan Matt tadi boleh membuat kita ikut berani menjawab, "Ya kami mengerti." Bila demikian maka kita bakal siap menerima ajaran yang termuat dalam ay. 52. "Setiap ahli Taurat yang menerima pelajaran tentang Kerajaan Surga akan mengeluarkan itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama."

GUS: Matt, kau bicara mengenai ahli Taurat yang "menerima pelajaran" mengenai Kerajaan Surga. Di situ kaupakai kata Yunani "matheteutheis". Tentunya belajar dari guru yang hadir dalam batin dan bukan hanya mendengar dari orang-orang lain kan?

MATT: Ehm!

GUS: Kepegang nih. Kata "matheteutheis" itu bunyinya membuat orang ingat akan namamu "Maththaios". Kayak tanda tangan. Kau mengaku sebagai ahli Taurat yang telah banyak berguru tentang Kerajaan Surga dan mau mengundang siapa saja datang mendengarkan. Kepada tamu-tamu itu akan kauceritakan yang kauketahui sejak dulu dan yang baru saja kaupahami kini. Begitu kan maksudnya harta yang lama dan yang baru?

MATT: You're the exegete!
Saya ingat-ingat kembali pembicaraan tadi. Kiranya memang orang seperti Matt itu ingin menyampaikan semua yang diketahuinya tentang Kerajaan Surga, baik dari khazanah Taurat maupun dari pengetahuan yang diperolehnya dari pergaulan dengan para murid Yesus sendiri. Dan tentu saja dari pengalaman rohani yang makin tumbuh. Ia sendiri bersedia menerima pengajaran mengenai kehadiran Yang Ilahi dalam diri Yesus dan mau meneruskan semuanya kepada kita yang membaca Injilnya. Ini harta yang kedapatan terpendam di ladang. Ini mutiara indah yang menunggu.


Salam hangat,
A. Gianto

Injil Minggu Biasa XVI/A - 20 Juli 2008


Hello,

Injil dan bacaan pertama Minggu Biasa XVI/A - 20 Juli 2008 (Mat 13:24-43 Keb 12:13.16.19)
14 Juli 2008 14:23

TENTANG BENIH YANG BERTUMBUH DAN LALANG YANG MANDUL

Rekan-rekan yang baik!
Injil yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XVI tahun A ini memuat tiga perumpamaan mengenai Kerajaan Surga: lalang dan gandum (Mat 13:24-30); sesawi (13:31-32), dan ragi (13:33-35) diikuti dengan penjelasan Yesus mengenai perumpamaan yang pertama khusus bagi murid-muridnya (13:36-43). Rangkaian seperti ini juga terdapat dalam petikan Minggu lalu (Mat 13:1-23), yakni perumpamaan mengenai penabur beserta penjelasannya bagi para murid. Di situ diperlihatkan betapa rapuhnya benih Kerajaan Surga. Oleh karenanya perlu ada tanah yang cocok serta penggarapan yang sungguh agar dapat bertumbuh dan berbuah. Petikan kali ini memperlihatkan sisi-sisi lain. Lalang yang tumbuh bersama dengan gandum menggarisbawahi daya-daya gelap tidak serta-merta tersingkir dari kehidupan orang beriman. Kerajaan Surga juga seumpama sesawi dan ragi. Walaupun pada awalnya kecil dan sedikit, nanti bila tumbuh dan berkembang akan menaungi dan merasuki banyak orang. Para pendengar diajak menarik hikmat dari perumpamaan-perumpamaan itu untuk membaca kembali iman dalam mengikuti Yesus.

Di bawah juga akan sekadar diikhtisarkan alam pikiran yang melandasi perumpamaan sehubungan dengan gagasan mengenai Yang Ilahi dan manusia dalam bacaan pertama (Keb 12:13.16.19).

DI TENGAH KEKUATAN-KEKUATAN GELAP

Perumpamaan mengenai benih lalang yang ditaburkan musuh di ladang gandum menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan gelap masih tetap membayangi orang-orang yang sudah mau menerima kehadiran ilahi. Sekaligus ditegaskan bahwa keadaan ini nanti akan berakhir. Satu saat yang gelap akan dipisahkan dari yang terang.

Dalam perumpamaan ini diceritakan satu saat para penggarap ladang ("hamba-hamba") melapor kepada pemilik bahwa ada lalang tumbuh di situ padahal sang pemilik kan hanya menabur benih baik, yakni benih gandum. Pendengar sebelumnya sudah mendengar bahwa pada malam hari seorang musuh menyebarkan bibit lalang, namun para penggarap belum tahu. Yang empunya ladang tetap tenang. Ia sadar apa yang terjadi dan memberi tahu para penggarap bahwa ada lawan yang menabur lalang di situ. Para penggarap ladang mau segera mencabuti lalangnya. Dan memang biasanya ladang sering disiangi dan dibersihkan dari tetumbuhan lain. Tetapi dalam perumpamaan ini pemilik mencegah. Aneh! Sikap pemilik itu bukan seperti yang biasa terjadi.

Pendengar yang tahu seluk beluk penggarapan ladang juga segera merasa ada yang tak wajar. Lalang biasanya segera dicabuti, juga bila tumbuh lagi. Semakin aneh lagi, alasannya ialah agar gandum tak ikut tercabut. Mana mungkin! Para penggarap mestinya tahu betul mana lalang dan mana gandum. Kadang-kadang terdengar tafsiran bahwa jenis lalang yang dibicarakan di sini boleh jadi amat mirip dengan gandum sehingga risiko yang diungkapkan pemilik tadi jadi lebih masuk akal. Tetapi penjelasan seperti ini sebetulnya dicari-cari dan malah memiskinkan perumpamaan tadi. Dalam perumpamaan wajar ada hal yang mengusik dan tak langsung terasa klop. Justru unsur itulah yang dapat membuat orang berpikir lebih lanjut. Oleh karena itu lebih baik kita biarkan saja keanehan pemilik ladang tadi. Ia melarang para penggarap ladang itu melakukan pembersihan. Tentu para penggarap akan bertanya-tanya terus. Pendengar akan dapat ikut menikmati ajaran perumpamaan ini bila bersedia membiarkan keanehan tadi.

Kekuatan jahat memang terasa mengancam. Dan tidak usah disangkal adanya. Yang bisa dilakukan ialah belajar mengenali gerak-geriknya. Manusia kiranya juga tak bakal mampu meniadakannya dengan kekuatan sendiri. Nanti akan dijelaskan kepada para murid bahwa lalang ialah orang-orang yang memihak yang jahat. Mereka itu disemai oleh Iblis sendiri. Iblis juga pernah menggoda Yesus tanpa hasil, dan kini Yesus mengajar murid-muridnya agar tahu cara-cara yang dipakai Iblis mengeruhkan keadaan. Para murid dapat belajar menjadi semakin mampu juga membedakan yang baik dari buruk.

AKAN DISUDAHI, TETAPI BOLEH SIAPA?

Pemilik ladang berkata, biarkan lalang dan gandum terus tumbuh sampai panenan. Baru saat itu ia sendiri akan menyuruh para penuai - bukan penggarap yang tadi datang melaporkan adanya lalang - untuk memisahkan lalang dari gandum. Dalam penjelasannya nanti, Yesus mengatakan bahwa para penuai itu ialah malaikat (ay. 39). Dengan kata lain, kekuatan dari langit sendirilah yang akan membasmi yang jahat. Bukan penggarap yang ada di dunia.

Yang terjadi pada musim panen pada akhir zaman dapat menerangkan mengapa pemilik membiarkan lalang tumbuh dan malah melarang penggarap mencabutinya. Pemilik yang tadi menaburkan benih baik tetap tampil sebagai tokoh berwibawa dan tahu apa yang bakal dilakukannya. Ladangnya tak bakal rusak. Panenannya pasti. Ia tidak tergoda bereaksi sesaat meskipun mendapat laporan ada lalang tumbuh di sela-sela gandum. Ia tahu ada pengganggu. Dan ia mengajak para penggarap mengenali gerak gerik musuh pengganggu dan tidak terjerumus ikut bermain dengannya tanpa sadar.

Siapakah tokoh itu? Dalam penjelasan kepada para murid, diterangkan bahwa pemilik yang menaburkan benih baik itu ialah Anak Manusia. Ungkapan ini menunjuk kepada diri Yesus sendiri sebagai dia yang telah mendapat kuasa ilahi sepenuhnya untuk mengurus jagat ini. Boleh kita ingat kembali sosok serupa Anak Manusia dalam penglihatan Dan 7:13-14 yang datang ke hadapan Yang Mahatinggi ("Yang Lanjut Usia") untuk menerima kekuasaan dan kemuliaan yang kekal dan "kerajaannya ialah kerajaan yang tak akan musnah". Para murid tentunya langsung menangkap rujukan kepada tokoh dalam Kitab Daniel ini. Yesus yang mereka ikuti itulah Anak Manusia ini! Untuk apa waswas? Lalang tak lagi berarti apa-apa baginya. Di hadapan tokoh seperti ini kenyataan yang jahat macam apa pun tak lagi bisa mengguncang. Tak perlu berusaha menyiangi lalang menyingkirkan keburukan. Serahkan padanya! Lebih bijaksana berupaya menyadari diri sebagai benih baik dan tumbuh sebaik-baiknya sampai bisa dituai hasilnya. Dalam penjelasan nanti, benih ini disebut "anak-anak Kerajaan", artinya orang-orang yang hidup dalam naungan kuasa Anak Manusia menurut Kitab Daniel tadi. Kerajaannya tak bakal musnah. Para murid boleh merasa tenteram meski hidup di sela-sela lalang, yakni "anak-anak si jahat" yang berasal dari Iblis sendiri. Orang tak diminta memandang diri sebagai yang ditugasi memerangi yang jahat. Yang akan mengakhiri yang jahat itu kekuatan dari atas sana. Orang hanya diminta semakin menjadi diri sendiri: benih yang baik, menjadi anak-anak kerajaan.

Mereka juga disebut orang-orang benar yang akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka (ay. 43). Inilah hidup orang yang mau mengikuti dan memihak pada Anak Manusia. Pusat perhatian bukan pada mencabuti lalang kegelapan, tetapi pada tindakan ikut mengujudkan karya Anak Manusia sendiri. Inilah panggilan para murid. Inilah yang hendak diajarkan kepada orang banyak juga. Inilah spiritualitas budi jernih, bukan sikap rohani yang mau memerangi apa-apa yang dirasa tak beres.

LHA SESAWI DAN RAGI SAJA BEGITU, APALAGI KERAJAAN SURGA

Kerajaan Surga juga diumpamakan dengan biji sesawi yang meskipun terkecil dari antara biji-bijian (ay. 32) bisa menjadi pohon yang rindang. Jalan pikirannya begini. Bila biji sekecil itu saja bisa tumbuh besar menjadi pohon yang menaungi burung-burung, apalagi benih Kerajaan Surga, pasti dapat tumbuh menaungi siapa saja. Ini penyampaian dengan cara "a fortiori". Begitu pula perumpamaan mengenai ragi yang diambil dan diadukkan ke dalam tepung (ay. 33). Meski tak kelihatan, dayanya segera merasuki ke mana saja, bahkan dapat membuat 40 liter tepung berkembang. Nah, bila ragi saja punya kekuatan seperti itu, apalagi Kerajaan Surga, pasti akan lebih mampu mengembangkan siapa saja yang bersentuhan dengannya sekalipun tak terlihat jelas! Memahami perumpamaan sesawi dan ragi dengan cara ini dapat membuat orang semakin memahami betapa besar dan kuatnya Kerajaan Surga yang diwartakan Yesus.

Meskipun demikian hidup berdekatan dengan utusan Yang Ilahi sendiri juga tetap perlu mengakui adanya kenyataan yang jahat. Tidak bijaksana bila orang berupaya meniadakan yang jahat begitu saja dengan kekuatan sendiri. Salah-salah akan terkecoh. Yang bisa dilakukan ialah membawakan perkaranya kepada pemilik. Dia akan menanggapinya dengan bijaksana. Dan boleh kita belajar dari dia. Perjalanan yang semakin memisahkan yang baik dari yang buruk sudah mulai dan akan berakhir. Tetapi yang melaksanakan pemisahan ialah Anak Manusia. Dia yang telah mendapat kuasa ilahi itu akan datang dengan kekuatan-kekuatan surgawi. Tugas orang benar? Ya hidup sebagai orang benar, tumbuh sebagai benih baik dan tidak berubah rupa jadi lalang dan mandul seperti mereka! Itulah kekuatan Kerajaan Surga yang tumbuh seumpama sesawi dan yang menjadi ragi bagi dunia.

KEROHANIAN DAN KEBIJAKSANAAN

Dalam bacaan pertama (Keb 12:13.16.19) diketengahkan pandangan kaum bijak yang hidup di tengah-tengah "kemelut teologi" waktu itu. Maklum kitab Kebijaksanaan Salomo ditulis dalam masa umat Perjanjian Lama semakin perlu hidup bersama dengan orang-orang lain yang budaya Yunani. Bahkan kitab itu dikarang langsung dalam bahasa Yunani bagi kalangan umat yang hidup dalam keadaan itu. Salah satu ketegangan dalam kehidupan rohani umat diakibatkan oleh adanya perbedaan alam pikiran yang mendalam antara budaya agama Yahudi tradisional dan alam pikiran Yunani. Dalam keagamaan tradisional, Yang Ilahi terutama dipahami dalam kerangka "Yang Adil", yakni Dia yang mengganjar atau menghukum seukur dengan kebaikan atau kejahatan. Juga manusia diukur dengan keadilan. Sisi-sisi kerapuhan manusia masuk dalam keburukan. Alam pikiran Yunani berbeda. Berpijak pada sisi-sisi kemanusiaan, alam pikiran ini mengakui kemungkinan-kemungkinan yang ada pada manusia untuk mengenali yang baik dan yang buruk bukan sebagai yang sudah jadi melainkan yang tumbuh dan menjurus entah ke kebaikan yang utuh entah ke keburukan yang tak teratasi lagi. Memang alam pikiran ini bisa menjurus ke sikap tak peduli mana yang baik dan mana yang buruk. Namun dalam budaya Yunani sekaligus ditekankan rasionalitas pilihan, arahan, serta tindakan. Dan kekuatan budi manusiawi inilah yang membuatnya mampu menilai mana yang mengarah ke yang baik dan mana yang tidak. Kaum intelek Yahudi waktu itu mengenal dua alam pikiran tadi, yakni alam pikiran Yahudi tradisional yang menekankan kewajiban dan menggambarkan Yang Ilahi sebagai Yang Adil, tetapi juga alam pikiran Yunani yang mengajarkan rasionalitas dan membawakan gambaran akan Yang Ilahi sebagai Dia yang memahami keadaan manusia. Yang terakhir inilah yang tampil dalam gagasan Tuhan yang menyayangi kemanusiaan, yang bisa memberi waktu kepada manusia untuk mempertimbangkan pilihan sehingga mendapatkan jalan yang benar. Dan kaum bijak waktu itu semakin menyadari bahwa Dia Yang Adil itu juga sekaligus Dia Yang penuh kasih sayang dan berbelas kasihan pada keadaan manusia. Dua sisi ini memang sudah dikenal sebelumnya, namun baru pada zaman itu kedua-duanya tampil bersama. Dan gagasan mengenai Yang Ilahi ini menjadi dasar bagi tindakan dan sikap keagamaan pula. Dalam Keb 12:19 ditandaskan bahwa Dia mengajar umatNya bahwa "orang benar harus sayang akan manusia" dan Ia pun memungkinkan orang memiliki harapan akan perbaikan dan kemajuan. Inilah yang dimaksud dengan "kesempatan bertobat" yang disebut pada akhir ayat itu. Gambaran seperti ini melatari alam pikiran pengajaran Yesus, juga yang disampaikan dalam perumpamaan-perumpamaan Injil kali ini.

Salam,
A. Gianto

Minggu Biasa XV A - 13 Jul 08


Hello,

Injil dan bacaan pertama Minggu Biasa XV/A - 13 Jul 08 (Mat 13:1-23 Yes 55:10-11)
07 Juli 2008 10:25

TANAH SUBUR - TANAH KERSANG

Rekan-rekan sekalian!
Dalam petikan Injil Minggu Biasa XV tahun A ini diceritakan bagaimana Yesus menerangkan kepada murid-muridnya arti perumpamaan mengenai seorang penabur yang pernah disampaikannya kepada orang banyak dalam Mat 13:1-9. Menurut ay.18-23 perumpamaan ini dimaksud menjelaskan bahwa sabda Tuhan datang kepada siapa saja. Tetapi belum tentu pada semua orang sabda itu akan tumbuh dan membawa hasil berlimpah. Benih sabda yang tertabur di pinggir jalan tak sempat tumbuh karena dimakan burung. Ada yang sempat tumbuh tapi tidak berakar seperti yang jatuh ke tanah berbatu-batu atau segera mati terhimpit semak duri. Hanya yang jatuh ke tanah subur bisa bertumbuh dan berbuah berlipat ganda. Apa warta perumpamaan itu? Dan apa maksud penjelasan yang khusus ditujukan kepada para murid? Apakah ada kaitannya dengan bacaan pertama (Yes 55:10-11)?

DARI KEHIDUPAN BERCOCOK TANAM

Cara bercocok tanam pada zaman itu tidak selalu sama dengan yang dikenal sekarang. Dulu biasanya biji disemai sebelum tanah digarap. Bukan sebaliknya. Jadi tanahnya memang belum dibajak atau dicangkul atau dialiri air. Baru kemudian tanah yang sudah ada bijinya itu akan digemburkan. Praktek ini berkebalikan dengan yang biasa dibayangkan orang sekarang. Apa relevansinya bagi tafsir?

Biji yang disebut jatuh di pinggir jalanan itu bukan karena penaburnya menyemai secara acak atau tanpa rencana. Rekannya atau dia sendiri nanti akan menggemburkan tanah di pinggir jalanan yang baru saja ditaburinya tadi. Tetapi apa lacur, seperti diceritakan dalam perumpamaan itu, sebelum tanah sempat digarap, benih yang ditabur di situ keburu dimakan burung.

Yang jatuh ke tanah yang berbatu-batu? Yang dimaksud ialah tanah yang keras, berkapur dan kersang, seperti yang ada di wilayah Gunung Kidul. Penabur tidaklah kebetulan menabur di tanah berbatu-batu. Di situ sengaja ditaburkan benih. Lahan itu nanti akan dibajak, dicangkul, digemburkan sebisanya.

Pendengar pada zaman dulu tentu tersenyum mendengar cerita ini. Mereka tahu bahwa tanah berbatu-batu seperti itu akan tetap kurang baik bagi pertumbuhan biji tak peduli usaha perbaikan macam apapun. Juga bila diairi, dengan cepat akan kering karena airnya terserap ke kedalaman dan kecambah tidak akan mendapat air tanah. Mengapa si penabur tetap menyemai di situ? Karena termasuk ladangnya? Karena ia masih berharap ada yang luar biasa? Pendengar akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan ini dan akan belajar satu dua hal mengenai tekad sang penabur.

Begitu pula dengan biji yang jatuh di antara semak duri. Semak seperti itu bisa tumbuh di tanah kersang dan berbatu-batu sekalipun. Meski tanah yang akan digarap itu dibersihkan dari onak duri, sebentar lagi tentu akan tumbuh kembali. Dan benih yang disemai di tanah yang beronak itu tidak bakal tumbuh baik. Akan terhimpit. Kok dibiarkan saja? Kenapa penabur tetap menabur di situ? Sekali lagi pendengar diajak ikut memikirkan dan membaca kehidupan yang sering seperti hidup di tengah onak duri. Apa yang bisa terjadi?

Lalu apa itu tanah yang baik? Dari semula tentu tanah ini sudah baik. Benih yang ditabur di situ nanti akan tumbuh baik, tentunya setelah tanah digemburkan. Bagaimanapun juga perlu penggarapan agar benih bertumbuh baik dan berbuah melimpah. Tetapi apa bedanya dengan tanah di pinggir jalan? Biji yang jatuh ke tanah baik sebetulnya juga menghadapi risiko dimakan burung. Tetapi tidak begitu kejadiannya. Mengapa? Mungkin karena biji ditaburkan pada waktu tak ada burung mengincar. Boleh jadi juga tanahnya segera digarap sehingga benihnya tertutup tanah dan mulai tumbuh dan burung-burung tak sempat memakannya. Siapakah yang menggarap tanah ini? Begitulah perumpamaan ini mengajak berpikir.

KONTEKS PERUMPAMAAN

Sampai di sini kita boleh bertanya, apakah yang hendak diajarkan Yesus? Pokok yang hendak disampaikan kiranya bukan terutama menyangkut perihal menabur, bukan pula terpusat pada sang penabur, baik dengan huruf p kecil maupun dengan huruf P besar, melainkan perihal tanah yang bakal digarap dan sudah ditaburi itu. Perumpamaan ini diceritakan untuk menggugah kebijaksanaan batin. Bila melihat benih yang jatuh di tanah yang begini atau yang begitu, bagaimana reaksi kita?

Pendengar diajak melihat bahwa pada dasarnya ada dua macam tanah. Ada tanah yang dapat memberi hasil dan ada tanah yang akan tetap mandul. Penyebab tanah mandul macam-macam: kehilangan benih, memang kersang, atau ditumbuhi semak berduri. Dalam konteks Injil Matius, tanah yang mandul ini ialah orang-orang yang tidak bersedia menerima Yesus dan pewartaannya. Mereka itu disebut kaum Farisi. Bersama kaum Saduki, mereka sebenarnya pernah dihimbau Yohanes Pembaptis agar menghasilkan buah sesuai dengan perubahan sikap ("pertobatan") yang mereka niatkan ketika minta dibaptis olehnya (Mat 3:8). Yang diwartakan Yohanes Pembaptis kan kedatangan Yesus. Namun mereka menolak Yesus. Mereka itu tanah yang sudah disemai benih tetapi tidak bisa menikmati pertumbuhannya karena sudah kehilangan benih itu sendiri. Mereka itu juga tanah kersang, bahkan tanah yang hanya bisa ditumbuhi onak. Lalu siapa tanah yang subur? Dalam Mat 12:50 Yesus berkata, "Siapa saja yang melakukan kehendak Bapaku di surga, dialah saudaraku laki-laki, saudaraku perempuan dan ibuku." Mereka yang menjalankan kehendak Bapanya menjadi tanah yang memberi hasil. Arti "menjalankan kehendak" itu ialah menuruti, mendengarkan. Jelas mendengarkan Bapa berarti menerima yang disampaikan olehNya kepada manusia, yakni Yesus sendiri. Orang Farisi menolaknya, karena itu mereka jadi tanah mandul. Para murid menerimanya dan mereka menjadi tanah subur bagi benih sabda.

PENERAPAN

Perumpamaan itu berakhir dengan seruan "Siapa yang bertelinga, hendaklah ia mendengar!" (ay. 9). Dalam alam pikiran orang Semit, telinga itu jalan untuk memperoleh pengertian dan kebijaksanaan. Karena itu, mendengar pertama-tama berarti mengerti dan bertindak sesuai dengan kesadaran ini. Ayat itu mengajak orang menyadari bahwa memang ada tanah yang subur dan ada tanah yang tak menghasilkan apapun. Lahan buruk tidak bisa diperbaiki? Tentu saja kesimpulan ini mengusik batin. Usaha perbaikan sia-sia? Lalu apa yang bisa diperbuat? Kalau begitu, tentunya tindakan yang paling cocok bila melihat ada benih jatuh ke tanah yang tak bakal menguntungkan ya memindah benih itu ke tanah yang subur supaya bisa tumbuh dan berbuah. Kita juga dihimbau agar mengenali tanah yang baik supaya bisa menolong dengan sungguh. Itulah warta perumpamaan tadi.

Dalam ay. 18-23 perumpamaan tadi diterapkan pada kehidupan iman para pengikut Yesus:

-      Orang dihimbau agar menjadi tanah yang subur yang memungkinkan benih tumbuh dan berbuah berlipat ganda. Juga diajarkan bagaimana menjaga agar sabda yang telah ditaburkan tidak hilang atau terhimpit.

-      Bila disadari bahwa benih sabda terancam si jahat (ay. 19), maka orang perlu berjaga-jaga agar benih itu tidak gampang terampas. Secara tak langsung diajarkan agar siapa saja yang mau menjadi murid berani mengusahakan agar semakin banyak benih menemukan tanah yang baik dan tidak membiarkannya tinggal di tanah kersang atau lahan yang beronak duri dan berkeras kepala mengharapkan tanah seperti itu akan bisa membaiki.

-      Tanah kersang dijelaskan sebagai penganiayaan dan intimidasi yang sering dialami kaum beriman. Apa yang bisa diperbuat? Pendengar diminta berpikir. Bisa jadi sikap paling bijaksana ialah secara proaktif mencegah terjadinya keadaan itu. Bila toh terjadi, keadaan sulit tak selalu perlu dihadapi secara frontal. Ada kalanya lebih baik menghindarinya. Beriman tidak identik dengan jadi pahlawan atau martir. Kita dihimbau agar menemukan kebijaksanaan dalam beriman. Dengan demikian kita akan pandai-pandai menghadapi "kekhawatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan" yang menghimpit benih sabda (ay.22).

Penjelasan Yesus berakhir dengan pernyataan bahwa tanah yang baik itu ialah orang yang "mendengar sabda dan mengerti" dan karena itu dapat berbuah berlipat ganda (ay. 23). Bagi mereka yang mengusahakan diri menjadi murid dan pengikutnya, ikhtiar yang sesuai kiranya terletak dalam usaha membuat tanah yang telah ditaburi benih betul-betul menjadi lahan subur. Bila perlu mencari tanah yang lebih baik. Mengerti juga berarti mengusahakan agar tokoh yang mereka ikuti, yakni benih yang tersemai dalam diri mereka, semakin menjadi bagian dalam kehidupan.

DAYA SABDA ILAHI BAGI ORANG BANYAK

Perumpamaan dalam Injil kali ini disampaikan kepada orang banyak. Orang banyak diminta mendengarkan dan menarik kebijaksanaan daripadanya. Tetapi hanya kepada murid-murid Yesus sajalah arti perumpamaan yang khusus dijelaskan. Mereka ini, seperti dikatakan ay. 11, mendapat karunia mengetahui rahasia Kerajaan Surga.

Ayat yang sama juga menegaskan, pada orang banyak karunia itu tidak diberikan.Apa maksudnya? Tentunya untuk membuat para murid semakin merasa bertanggung jawab mengusahakan agar orang banyak menjadi "tanah yang subur" bagi Kerajaan Surga. Mereka diajak agar ikut menjadikan Sabda Ilahi benar-benar terlaksana dan benar-benar menampilkan kekuatannya.

Dalam bacaan pertama (Yes 55:10-11) Sabda Ilahi digambarkan sebagai air yang turun dari langit tidak kembali ke atas, melainkan mengairi bumi, menyuburkannya, menumbuhkan tetumbuhan sampai memberi benih kepada penabur dan akhirnya bahan makanan (ay. 10). Sabda membawakan kehidupan dan tidak tinggal sebagai perkataan suci belaka  - inilah yang dimaksud dengan "sabdaKu...tidak akan kembali kepadaku dengan sia-sia, melainkan akan melaksanakan apa yang Kukehendaki dan berhasil..." (ay. 11).  Petikan dari Kitab Yesaya ini mengajak orang melihat daya Sabda Ilahi yang sesungguhnya: Sabda yang terlaksana, yang menjadi kenyataan. Rekan-rekan pewarta Sabda dapat banyak menarik manfaat dari penegasan ini dengan membantu orang banyak dapat melihat serta merasakan kenyataan itu.

Salam hangat,

A. Gianto

Injil Minggu Biasa XIV A - 6 Juli 2008


Hello,

Injil dan bacaan pertama Minggu Biasa XIV/A - 6 Juli 2008 (Mat 11:25-30 Za 9:9-10)
01 Juli 2008 08:34

SIAPAKAH DIA ITU?

Rekan-rekan yang baik!
Kemarin saya minta Matt mengupas Injil yang dibacakan Minggu Biasa XIV A ini (Mat 11:25-30) yang  memuat pernyataan Yesus mengenai siapa dirinya di hadapan Allah (ay. 25-27), dan siapa dia bagi orang-orang yang bersedia menerimanya (27-30). Berikut ini jawabannya. Ia malah menambah amatan mengenai Za 9:9-10 yang diperdengarkan Minggu itu juga. Selamat membaca!
A. Gianto.
=====================================
Rekan-rekan di ruang Alkitab!

Banyak orang ingin tahu mengenai siapa tokoh Yesus yang katanya mengerjakan hal-hal yang hebat. Mereka bertanya-tanya bagaimana dia dapat mengajarkan tentang Allah dengan caranya sendiri, dari mana dia peroleh kepandaian menyembuhkan dan kekuatan mengusir roh jahat, mengapa dia memilih dan mengutus rasul untuk menjalankan hal-hal yang hingga kini dilakukannya sendiri. Itulah pertanyaan yang mengusik batin orang.

SIAPAKAH YESUS ITU?

Apakah dia itu benar-benar tokoh dinantikan orang banyak (Mat 11:2-6)? Malah Yohanes Pembaptis bertanya demikian. Ada yang berpikir, bila ya mengapa ada yang berani menganggap sepi wartanya mengenai kedatangan Kerajaan Surga dan malah mengira ia berbicara yang bukan-bukan (Mat 11:7-19)? Bahkan di beberapa tempat seperti Khorazim, Betsaida, Kapernaum, orang-orang tak percaya kepadanya meskipun ia mengerjakan hal-hal yang ajaib (Mat 11:20-23). Apa yang dipikirkan Yesus sendiri tentang semua ini?

Tentunya kalian yang hidup pada zaman dan keadaan yang berbeda mempunyai pertanyaan lain, misalnya, apa arti mengikuti dia dalam masyarakat yang tidak lagi terbatas pada dunia orang Yahudi dulu, bahkan tidak ada hubungannya dengan dunia itu sama sekali. Bagaimana tetap bisa menerimanya dan meyakini ajarannya di tengah-tengah pelbagai tawaran ajaran keselamatan yang ada pada zaman kalian ini. Semua ini pertanyaan besar yang pasti mengusik batin kaum cerdik pandai. Tentu saja saya tidak akan ikut menerjuni gelanggang ini. Kali ini saya hanya akan menjelaskan pokok-pokok yang ada dalam petikan itu serta menunjukkan kaitannya dengan kehidupan orang yang memang sudah menerima dia. Saya kira begitu juga sikap kalian.

YESUS DAN BAPANYA

Dari pernyataan Yesus dalam Mat 11:25 dapat disimpulkan betapa ia sungguh mengenal Dia yang diwartakannya kepada orang banyak dengan pelbagai tindakannya: menyembuhkan orang, mengusir roh jahat, mengajar, mengutus para murid. Semua kegiatan itu dilakukannya agar orang makin mengenal kehadiran Allah di dunia, khususnya agar orang dapat melihat bahwa Allah itu Allah yang peduli, bahkan Dia bisa dipanggil Bapa. Semua yang dikerjakan Yesus itu demi Dia yang mengutusnya. Dan ia tidak ragu-ragu mengakui hal ini. Dalam saat-saat yang kurang menyenangkan, seperti ketika dimusuhi, ditolak, Yesus justru menimba kekuatan dari kesadaran batinnya itu.

Rekan saya Luc juga menyampaikan hal tadi. Malah menurut Luk 10:21 Yesus penuh kegembiraan dalam Roh. Di situ Luc sebenarnya mau menggambarkan kegembiraan Yesus ketika mendengar hasil kerja ke-70 muridnya. Mereka berhasil membuat kekuatan-kekuatan jahat takluk ketika mendengar mereka mewartakan nama Yesus. Bagi Yesus, jelas Bapanya sendiri bertindak. Ia merasakan kesatuan dirinya dengan Dia yang mengutusnya. Karena itulah upayanya berhasil. Mereka yang ikut serta memperoleh keberhasilan pula.

Ingin saya tambahkan satu hal. Keberhasilan jangan diukur semata-mata dari besarnya penerimaan orang lho! Ini bisa menjurus ke relativisme! Lebih parah, orang demam sukses. Luc juga tahu itu. Yesus menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilannya itu bergantung pada kesanggupannya dan kesanggupan para murid mewartakan kebaikan ilahi. Perkara diterima atau malah dicurigai itu bukan hal pokok. Para pendengar masih tetap memiliki kemerdekaan. Sisi ini tidak boleh diabaikan. Kalau mereka menjadi sedemikian terpesona dan tak bisa lain kecuali menerima begitu saja maka sulit dikatakan mereka merdeka. Cara seperti ini bukan cara Yesus, bukan juga cara Bapanya. Bukan cara para penerus karya Yesus. Itu cara kekuatan jahat yang biasa menyudutkan dengan macam-macam kebaikan yang mengikat. Bila begitu tak ada kemungkinan memilih, orang hanya akan tanda tangan dan habis perkara. Tapi batin mereka tidak diperkaya. Mereka malah jadi kerdil dan makin terbelenggu.

ROMANTIKNYA "ORANG SEDERHANA"?

Kalian mungkin bertanya. Bukankah dalam ay. 25 Yesus bersyukur bahwa Bapanya menyembunyikan yang hendak disampaikannya terhadap pikiran orang-orang bijak dan orang pandai, tetapi Ia menyatakannya kepada orang kecil. Tapi jangan salah tangkap. Tak ada romantisme "orang kecil". Kita-kita ini sering mengidealkan orang sederhana, kaum kecil. Kita bilang kita mau omong kepada orang di jalanan. Kalau hanya ragam bicara, okay deh, tetapi tak usah kita terbuai retorika kita sendiri. Juga orang kecil jangan kita jadikan komoditi yang bisa diperdagangkan entah oleh Gereja entah oleh LSM entah oleh orang kecil sendiri. Nanti malah berakhir dengan memaksa-maksakan kebaikan kepada mereka dan tidak menjalankan hal yang diinginkan dia yang mengutus kita.

Yang dimaksud Yesus dengan orang bijak dan orang pandai di sini ialah orang yang merasa sudah tahu bahwa Allah bertindak begini dan bukan begitu. Tentu saja mereka itu tidak sebarangan. Memang mereka punya kitab-kitab keramat, dan tradisi. Tetapi mereka lama kelamaan membatasi ruang gerak Allah sendiri. Mereka sulit menerima bahwa Yang Mahakuasa itu dapat memakai cara-cara yang tidak biasa, yang belum jadi rutin. Dengan mengutus Yesus ia memakai cara yang tak lumrah. Yang Mahakuasa memusatkan diri pada manusia Yesus itu. Dia itu satu-satunya yang mendapat perkenan untuk menampilkan wajahNya kepada umat manusia. Karena itu Yesus dapat memanggilNya Bapa dan dapat mengajak kita berani ikut memanggilNya demikian. Jelas hanya Putra sajalah yang mengenal Bapa. Ini kesimpulan iman kami. Dan hanya orang-orang yang diajak dan mau menerima Putra dapat mengenali Bapa seperti Yesus sendiri. Itulah yang diungkapkan dalam ay. 26-27. Untuk menerima kenyataan iman ini, jalan orang bijak dan jalan orang pandai saja tak dapat menjamin. Memang mereka dapat sampai pada serangkai amatan mengenai kenyataan iman itu. Tapi belum berarti mereka hidup di dalamnya. Di sini perlu mereka menjadi orang kecil, menjadi orang yang mau menerima tanpa pamrih. Semacam komitmen dan keberanian melangkahi ambang. Sering sukar dijalani karena orang waswas, karena semua yang dipegang hingga kini tidak lagi kukuh. Yang menjamin ialah yang ada di seberang ambang itu, yang belum terpegang. Penyerahan, ya pasrah pada yang di sebelah sana, itulah sikap orang kecil. Mempertahankan pemikiran, mencari keamanan itu sikap orang bijak dan orang pandai yang tetap ada di sebelah sini. Mereka mandek di tengah jalan.

AJAKAN BAGI YANG PATAH SEMANGAT

Yesus sebetulnya tidak mengecam orang-orang yang dengan upaya sendiri mau mengerti siapa dia dan mau tahu apa hubungannya dengan Allah. Memang dikatakan sikap mau mengenalinya dengan upaya kebijaksanaan sendiri tidak membawa banyak hasil. Mereka nanti akan lelah. Bisa pula kecewa. Mereka akan kehilangan arah dan hilang semangat. Tetapi mereka tidak ditinggalkannya. Mereka telah melihat sejauh mana kebijaksanaan dan kepandaian mereka bisa menolong. Kini ditawarkannya satu hal yang dapat mengubah kehidupan mereka. Yang dapat membawa mereka ke tataran lain.

Bagi orang pada zaman itu jelas yang diarah ialah mereka yang dengan cermat dan saleh mengikuti perintah-perintah Taurat yang jumlahnya sampai 613 - enam ratus tigabelas! Perintah dan larangan ini bisa menjadi beban yang memberatkan dan tak menjamin kebahagiaan yang sejati dan belum tentu bisa menjadi ungkapan iman yang hidup. Nanti dalam Mat 23:4 Yesus memberi tahu orang banyak bahwa para ahli Taurat dan kaum Farisi memonopoli ajaran Musa dan memberatkan umat dengan perintah-perintah yang tidak mereka hayati sendiri. Tak mendatangkan hasil. Dan toh cara-cara itu dianggap cara beragama yang baik! Mereka menjadikan agama beban, bukan jalan memerdekakan batin agar dapat menerima kehadiran ilahi - dan menerima sesama seperti apa adanya.

Ada ajakan untuk ikut mengangkat beban yang dipanggul Yesus, ikut memikul yang dipikulnya. Menerima ajakan seperti ini melegakan. Kenapa? Bila mau pakai pikiran orang biasa, ya mestinya karena yang berat-berat sudah dipikulnya sendiri. Kita ini akan ikut memanggul beban bukan pertama-tama untuk ikut berkorban, ikut menderita, dst., melainkan sebagai tanda terima kasih bahwa dia sudah mau menjalankan tugas yang diberikan Bapanya itu. Kita sudah menikmati hasil jerih payahnya. Dan ungkapan terima kasih inilah yang mendasari keselamatan kita. Bukankah berterima kasih itu sama dengan mengakui kebaikan? Itulah yang dilakukan Yesus ketika ia bersyukur kepada Bapanya seperti terungkap pada awal bacaan hari ini. Orang yang mampu mengucap syukur akan menemukan jalan lapang. Mereka ini juga bisa mengajak orang lain maju terus. Itulah keleluasaan batin orang beriman.

Salam,
Matt

Post Scriptum: Dengar-dengar Za 9:9-10 akan kalian bacakan juga dalam kesempatan kali ini. Petikan itu menyoroti satu sisi baru dari sang "raja" Mesias  yang bakal dimuliakan di bukit Sion di Yerusalem. Dalam alam pikiran orang Yahudi dulu, juga pada zaman Yesus, tokoh Mesias turun temurun menjadi tumpuan harapan akan masa depan yang gemilang, yang jaya, yang adil dan makmur. Kalian tentu tahu bahwa harapan-harapan seperti ini terasa bila keadaan hidup di masyarakat sedang kurang baik. Keadilan serasa dilupakan para pemimpin. Kekerasan merajalela. Susahnya, tak begitu terlihat jalan ke perbaikan. Maka banyak orang mulai menginginkan dan mengangankan keadaan yang sempurna yang bakal datang yang dibawakan oleh seorang utusan resmi dari Yang Maha Kuasa sendiri. Cara ini juga dulu dipakai untuk memahami siapa Yesus tokoh yang semakin tenar di masyarakat dan memikat perhatian orang banyak.

Pada zaman kalian prinsipnya bisa jadi masih sama, cuma tentunya ujudnya agak lain. Gus barusan beritahu tentang keadaan di negeri kalian. Katanya ada pelbagai agama dan macam-macam aliran kepercayaan. Sebetulnya mirip zaman dulu juga. Dalam keadaan ini kerap kali agama berlomba-lomba cari pengaruh dengan macam-macam cara yang sering membuat orang rada kurang merasa enak. Kok gitu ya, batin orang. Memang umat agama juga masih tetap kumpulan manusia yang hidup dalam kaidah-kaidah hidup kemasyarakatan. Dalam hubungan ini bisa jadi agama jadi penghalal apa-apa saja yang melestarikan serta membesarkan kelompok sendiri.

Dalam petikan dari Zakharia itu disarankan agar orang tidak membiarkan diri dikuasai cara berpikir dan bertindak yang begitu. Nabi itu dengan berani mengatakan bahwa sang Terurapi yang betul-betul ini ialah tokoh yang "lemah lembut", dus tidak menakutkan dan tidak membuat orang mulai kehilangan kebebasan di hadapannya.. Ini gambaran yang berbeda dengan yang kerap ditawarkan pada zaman itu. Biasanya mereka berkampanye bagi Mesias yang hebat yang kuat, yang bakal menghantam mampus musuh. Dengan demikian barang siapa yang ikut dia akan dapat bagian dalam kebanggaan ini. Bukan itu, demikian Nabi Zakharia mau mengatakan. Mesias yang benar ialah yang membuat orang bisa bersimpati padanya dan di sinilah mulai ada rasa saling percaya, di sinilah mulai tumbuh iman dan kebenaran. Dan ini juga yang saya olah dalam pelbagai tulisan.