Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa XXVI A - 28 Sept 2008

Hello,

Injil Minggu Biasa XXVI/A - 28 Sept 2008 (Mat 21:28-32)
22 September 2008 10:10

REZEKI YANG DITAWARKAN

Rekan-rekan yang budiman!
Dalam perumpamaan kali ini ditampilkan seorang ayah yang bergilir meminta dua orang anaknya berangkat bekerja di kebun anggur (Mat 21:28-32). Yang pertama pada mulanya tidak bersedia, tapi kemudian menyesal dan akhirnya menjalankannya. Yang kedua sebaliknya berkata "ya" tapi tidak melakukannya. Siapa dari kedua anak itu yang sungguh mengikuti kehendak ayah mereka? Tentu saja yang pertama. Apakah perumpamaan ini sekadar dimaksud mengajarkan bahwa tindakan nyata jauh lebih bernilai dari pada sekedar janji? Adakah hal-hal khusus yang dapat dipetik dari bacaan Injil pada hari Minggu Biasa XXVI tahun A ini?
Di bawah akan dikupas pula masalah perbedaan teks petikan ini.

LATAR BELAKANG

Yesus biasa mengajar di Bait Allah. Di situ ada banyak orang yang datang mendengarkannya. Pada kesempatan itu datang pula imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi. Suatu ketika mereka mempertanyakan, dengan kuasa mana Yesus melakukan "hal-hal itu" (Mat 21:23). Mereka mau tahu apa dan siapa di belakang tindakan Yesus menyembuhkan, menerima murid, mengajar tentang Kerajaan Surga, mengusir roh jahat dari diri orang, menghibur. Maklum, orang banyak makin melihat karya ilahi di dalam diri Yesus.

Para pemimpin masyarakat Yahudi tadi mulai waswas karena Yesus semakin populer. Bukan terutama karena mereka merasa tersaingi. Mereka khawatir jangan-jangan Yesus mengadakan gerakan politik dengan warna agama. Mereka curiga bahwa yang dilakukannya itu gerakan politik mengumpulkan massa dengan dalih keagamaan.

Dalam pembicaraan itu Yesus berkata, ia bersedia menjelaskan dari mana kuasanya asalkan mereka juga dapat menjawab satu pertanyaan darinya. Ia balik bertanya apakah pada hemat mereka Yohanes tokoh yang membaptis banyak orang itu mendapat perkenan dari Allah ("datang dari surga", Mat 21:25) atau tindakan mencari pengikut belaka ("dari manusia"). Para pemimpin tadi merasa terpojok. Bila mengakui adanya perkenan ilahi, berarti mereka mendukung Yohanes dan konsekuensinya akan ikut dicurigai penguasa Romawi. Tetapi bila menyatakan tindakan Yohanes hanya manusiawi belaka, maka mereka akan berhadapan dengan orang banyak yang percaya tokoh ini datang dari Allah.

Begitulah Yesus membuat para pemimpin itu menyadari sikap mendua dalam diri mereka sendiri mengenai Yohanes Pembaptis. Mereka tidak mau memberi jawaban jelas dan hanya berkata, "Kami tidak tahu!" Yesus pun menutup pembicaraan tadi dengan mengatakan karena mereka tak dapat memberi jawaban, maka ia pun tidak akan menjawab pertanyaan mereka pada awal, yaitu mengenai asal kekuasaan Yesus (Mat 21:27). Tapi jelas yang hendak dikemukakannya. Kalian tahu Yohanes menyuarakan seruan dari atas sana, tapi kalian tidak berani mengakuinya terang-terangan. Begitulah sikap kalian kepadaku!

Para pemimpin Yahudi itu memang diserahi tanggung jawab moral oleh pemerintah Romawi untuk menjaga ketenangan di masyarakat. Jangan sampai ada gejolak. Apalagi jangan sampai ada gerakan politik dengan warna agama. Bila terjadi, maka pemerintah Romawi akan bertindak dan akan makin membatasi kebebasan orang Yahudi. Inilah yang dikhawatirkan para pemimpin. Jika nanti Yesus dan pengikutnya dianggap mengadakan gerakan politik yang dibiarkan begitu saja oleh instansi agama, maka pemerintah Romawi tidak akan tinggal diam.

SIKAP YANG COCOK?

Berlainan dengan para pemimpin tadi, Yesus tidak menyembunyikan pendapatnya mengenai Yohanes Pembaptis. Dalam ay. 32 ia berkata bahwa Yohanes "datang untuk menunjukkan jalan kebenaran". Diakuinya penugasan itu berasal dari Allah sendiri. Tetapi para pemimpin Yahudi tidak menanggapinya dengan semestinya, mereka malah takut dan tidak berani mengakuinya. Maka mereka bersikap seperti si anak yang berkata "ya, ya" tapi tidak melakukan yang diharapkan. Orang-orang yang mereka anggap rendah, yakni para pemungut cukai dan pelacur, sebaliknya seperti anak yang pada mulanya menolak permintaan si ayah tapi kemudian menyesal dan menurut. Lawan bicara Yesus juga paham maksud perumpamaan ini. Mereka merasa kena teguran. Dan dasar teguran itu ialah prinsip yang mereka pakai mengadili orang lain, yakni ketaatan atau ketidaktaatan religius.

Perumpamaan ini dipakai untuk menunjukkan sikap yang kurang serius dari pimpinan masyarakat Yahudi dalam perkara-perkara kerohanian. Oleh karenanya malah "pemungut cukai" dan "pelacur" bakal lebih beruntung daripada mereka karena orang-orang ini berani mengubah sikap mereka. Kedua golongan orang ini dianggap paling tidak taat pada ajaran agama. Pemungut pajak dijauhi karena mereka bekerja bagi sistem pajak asing yang memeras bangsa sendiri. Yang kedua dicap tidak punya kesetiaan. Tetapi mereka yang dianggap buruk itu percaya kepada warta pertobatan Yohanes Pembaptis sedangkan para pemimpin tidak. Mereka itu sebenarnya bahkan lebih memeras bangsa sendiri dan tidak setia pada inti ajaran agama.

MENYESAL DAN AKHIRNYA BERANGKAT

Gagasan dasar dalam perumpamaan ini terungkap dalam kata "menyesal" dalam ay. 29. Anak yang pada mulanya tegas-tegas tidak mau menuruti kemauan ayahnya itu kemudian menyesal. Gagasan "menyesal" di sini bukan terutama perasaan bersalah karena telah berbuat sesuatu yang kurang baik dan kini merasa tak enak, ada ganjalan dalam hati, kenapa tadi berbuat begini atau begitu. Oleh karena itu, tidak amat tepat bila kita bayangkan anak yang akhirnya menjalankan permintaan ayahnya itu sebagai orang yang punya hati, berperasaan, dan ingin memuaskan ayahnya. Semua ini memang amat berharga dan sering terjadi. Namun perumpamaan kali ini tidak membicarakan sikap hati seperti itu. Yang ditunjukkan ialah keberanian untuk meninjau kembali niatan dan memikirkan apakah tidak lebih baik menjalankan yang diminta dari pada bersikeras.

Perkaranya menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan anak yang kedua. Sebetulnya dia tidak pernah berniat berangkat bekerja di kebun anggur ayahnya. Ia hanya berbasa-basi mengatakan "Baik pak!" tapi sebetulnya hanya ingin agar tidak diganggu lebih lanjut. Ia lebih berminat meneruskan yang sedang dikerjakannya. Tidak juga ia berminat mencari tahu mengapa ayahnya memintanya pergi bekerja di kebun anggurnya. Ia cuma mau membungkam ayahnya dengan sebuah janji. Ia tidak berpikir panjang mengenai tindakannya atau alasan permintaan ayahnya.

Jadi pengertian "menyesal" dalam perumpamaan ini sebaiknya dipahami sebagai "memikirkan kembali", "meninjau kembali keputusan yang telah dibuat" dan "urung menjalankan yang sudah diniatkan". Ada usaha untuk tidak membiarkan diri terpancang pada satu pandangan mati. Itulah yang terjadi pada anak yang pertama. Meskipun sudah dengan jelas mengatakan tidak mau berangkat, ia akhirnya berangkat pergi juga. Boleh jadi ia mulai berpikir mengapa sang ayah memintanya bekerja. Apa tidak ada pekerja? Apa memang amat perlu? Tidak dijelaskan dalam perumpamaan alasan sang ayah. Tetapi anak yang ini jelas mengerti maksudnya. Dan ia yakin sebaiknya menuruti. Di bawah nanti akan diulas arti permintaan tadi.

PERMINTAAN SANG AYAH = REZEKI PADA HARI INI

Tidak ada buruknya kita coba ikut merasa-rasakan bagaimana sang ayah mengungkapkan keinginannya. Ia berkata, "Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur!" Kata-kata ini tidak berisi sebuah perintah keras, melainkan tawaran yang diungkapkan dengan halus. Terasa juga sapaan yang penuh kasih sayang. Isi permintaannya sendiri sebetulnya tidak amat berarti. Ada banyak orang yang menunggu dipekerjakan di kebun anggurnya. Sang ayah meminta anaknya bekerja di sana justru karena ia mau menawarkan kesempatan bagi mereka. Dan lebih khusus lagi, ia menawarkan kesempatan bekerja "hari ini".

Tawaran bekerja di kebun anggur "hari ini" mengingatkan pada permintaan kepada Bapa dalam doa yang diajarkan Yesus: "Berilah kami rezeki pada hari ini." Dalam perumpamaan ini ditunjukkan betapa sang ayah ingin memberi sesuatu yang dapat membuat anaknya mendapatkan sesuatu pada "hari ini". Rezeki pada hari ini, itulah yang ditawarkannya dengan lembut. Tidak dipaksakannya. Berarti bisa ditolak, bisa tak dianggap penting, diremehkan, tapi tetap ditawarkan. Bagi yang tadinya tidak mau, tetapi kemudian berubah sikap, tawaran itu masih tetap berlaku.

Perumpamaan ini menggemakan tema kemurahan hati Allah yang ditawarkan kepada siapa saja tetapi yang tidak selalu diterima dengan serta-merta. Dalam perumpamaan hari Minggu lalu (Mat 20:1-16) kemurahan hati ini dipersoalkan oleh mereka yang kurang memikirkan keadaan mereka yang kurang seberuntung mereka. Pekerja yang langsung menemukan pekerjaan dan masuk pagi kurang senang melihat yang datang kemudian mendapat upah sama. Tetapi mereka yang datang kemudian ini sebenarnya sudah lama menunggu. Kini dalam perumpamaan tentang dua anak, rezeki hari itu ditawarkan kepada dua orang yang sebetulnya tahu apa itu kemurahan hati dan kebaikan ilahi. Tetapi hanya satu saja yang akhirnya mau menerimanya. Yang lain merasa tidak membutuhkannya. Pembaca perumpamaan ini diajak berpikir di mana kedudukannya sekarang ini. Sekaligus ada imbauan untuk berubah bagi yang bersikap sebagai anak yang kedua.

CATATAN TENTANG TEKS

Dalam teks Mat 21:28-32 yang diulas di sini, memang anak pertamalah yang akhirnya tampil sebagai penurut. Teks ini sesuai dengan terjemahan Perjanjian Baru yang direvisi Lembaga Alkitab Indonesia (terbit tahun 1998) atas dasar teks-teks Yunani yang lebih asli. Dalam teks yang dipakai dalam bacaan liturgi, anak pertamalah yang berkata "baik, bapa", tetapi tidak berangkat, sedangkan yang kedua memang mula-mula menolak, tapi kemudian menyesal dan berangkat juga. Urutan ini sebetulnya upaya dari zaman awal untuk membangun keselarasan dengan ayat 32 yang mengatakan bahwa Yohanes Pembaptis mula-mula berbicara kepada para pemimpin, tapi karena mereka tak mau percaya, ia beralih kepada pemungut pajak dan pelacur yang akhirnya bertobat dan mempercayainya. Perbedaan urutan tadi tidak besar artinya bila dimengerti bahwa titik berat perumpamaan itu ialah tawaran rezeki "hari ini" seperti dijelaskan dalam uraian di atas.

Salam hangat,
A. Gianto

Injil Minggu Biasa XXV A - 21 Sep 2008

Hello,

Injil Minggu Biasa XXV A - 21 Sep 2008 (Mat 20:1-16a)
16 September 2008 07:27

YANG DULUAN YANG AKHIR SAMA SAJA! ADILKAH?

Rekan-rekan,
Pengisi rubrik ini sedang berada di perjalanan. Maka ia meminta saya berbicara mengenai perumpamaan dalam Mat 20:1-16a. Ceritanya tentu sudah anda kenal. Pagi-pagi benar seorang pemilik kebun anggur menawarkan pekerjaan dengan upah sedinar sehari. Upah sedinar memang lazim bagi pekerja harian waktu itu. Tentu saja para pencari kerja menerima. Sang empunya kebun itu kemudian juga mengajak orang yang belum mendapat pekerjaan pada pukul sembilan, duabelas, tiga, dan bahkan sampai pukul lima sore - sejam sebelum usai jam kerja. Masalahnya begini. Tiap pekerja, entah yang datang satu jam sebelum tutup hari, entah yang mulai pagi-pagi mendapat upah sama: satu dinar. Maka yang datang pagi tidak puas, kok upahnya sama dengan yang bekerja satu jam saja.

Pemilik kebun menegaskan, bukannya ia berlaku tak adil. Kan tadi sudah saling sepakat mengenai upah sedinar. Ia merasa merdeka memberi upah sedinar juga kepada yang datang belakangan. Jawaban ini menukas rasa iri hati orang yang melihat ia bermurah hati kepada orang lain. Sebenarnya kata-kata itu bukan hanya ditujukan kepada pekerja yang protes melainkan kepada siapa saja yang membaca dan pendengar perumpamaan.

NAFKAH HARIAN BAGI SEMUA?

Rekan-rekan, perumpamaan ini kerap menjadi sandungan bagi rasa keadilan baik pada zaman dulu maupun sekarang. Tidak perlu kita poles permasalahannya. Justru perumpamaan itu dimaksud untuk membuat kita semakin mencermati anggapan kita sendiri mengenai keadilan. Kita diajak menyadari bahwa keadilan tak bisa ditafsirkan secara sepihak tanpa merugikan pihak lain. Dan pihak lain di sini ialah orang-orang yang baru mendapat pekerjaan setelah hari hampir lewat. Para pekerja yang merasa mendapat upah terlalu sedikit sebenarnya tidak melihat sisi yang lebih dasar dari keadilan, yakni kesempatan yang sama bagi semua orang untuk mendapat nafkah. Orang yang tak puas itu sebenarnya beruntung karena langsung mendapat pekerjaan tanpa perlu menunggu. Upah yang dijanjikan juga jelas dan wajar. Sudah terjamin. Tetapi ada banyak orang yang tak seberuntung mereka. Ada yang masih menganggur sampai siang dan bahkan sampai sore hari karena tak ada yang memberi pekerjaan. Dari mana mereka akan mendapat nafkah bagi hari itu? Apa mereka harus melewatkan malam hari dengan perut kosong? Apa rasa keadilan yang begini tidak muncul?

Sering terdengar, urusan mereka sendirilah bila tidak berhasil mendapat nafkah penyambung hidup. Tetapi hidup dalam Kerajaan Surga tidak demikian. Di situ tersedia kesempatan yang sama baiknya bagi siapa saja. Inilah yang dalam perumpamaan tadi digambarkan dengan tindakan pemilik kebun keluar menawarkan pekerjaan bagi mereka yang kedapatan masih menganggur pada jam sembilan, tengah hari, tiga sore dan bahkan sejam sebelum waktu kerja usai. Mereka yang masih menunggu rezeki tidak ditinggalkan sendirian. Inilah keadilan yang diberlakukan dalam Kerajaan Surga.

Yesus pernah mengajarkan agar kita berdoa kepada Bapa yang ada di surga, mohon diberi "rezeki pada hari ini", maksudnya, nafkah penyambung hari ke hari. Apa yang kita rasakan kita bila kita ada dalam keadaan mereka yang belum mendapatkannya? Orang-orang ini tidak bakal dilupakan.

PERIHAL KERAJAAN SURGA

Kawan-kawan ingat, perumpamaan ini diceritakan Yesus dengan maksud untuk menjelaskan perihal Kerajaan Surga. Ia sudah sering mengajarkan bagaimana kehidupan kita di bumi ini bisa menjadi ruang leluasa bagi kehadiran Yang Mahakuasa. Oleh karena itulah saya menyampaikannya kembali dengan ungkapan Kerajaan Surga. Akan lebih mudah terbayang adanya wahana, ruang batin.

Mark dan Luc lebih suka menyebutnya Kerajaan Allah. Intinya sama, tetapi kedua rekan itu lebih menggarisbawahi yang hadir di dalam ruang batin itu, yakni Allah sendiri. Saya sendiri lebih menyoroti diri kita sebagai ruang tadi. Pemikiran saya ini ada latar belakangnya. Mari kita tengok kembali kisah penciptaan, khususnya yang terjadi pada hari kedua (Kej 1:6-8). Bukankah pada hari kedua itu Allah menjadikan langit? Dan yang dinamaiNya langit itu berperan memisahkan air yang di bawah dan air yang di atas. Karena itulah mulai ada ruang bagi ciptaan-ciptaan berikutnya, yakni daratan, laut, tumbuh-tumbuhan, hewan sampai kepada manusia.

Boleh saya sebutkan, dalam bahasa Ibrani (dan Aram, dan Yunani), kata untuk langit yang kita bicarakan itu sama dengan kata bagi surga, yakni "syamaim" (Aram "syemaya", Yunani "ouranos"). Berkat "syamaim" yang diciptakan tadi, berkat surga, maka bumi beserta isinya, dan khususnya manusia, terlindung. Jadi surgalah yang membendung kekuatan-kekuatan gelap serta kekacauan yang ada di seputar ciptaan yang dilambangkan dengan air-air. Jadi Pencipta menghendaki wahana kehidupan ini sejak awal dilingkupi oleh surga.

Bila gagasan Kitab Kejadian di atas diikuti, maka ciptaan bersama isinya tentunya juga dimaksud agar semakin menjadi tempat kehadiranNya. Oleh karena itu, Kerajaan Surga boleh dibayangkan sebagai wahana yang luas tak berbatas yang semakin terisi siapa saya yang ingin masuk berlindung di dalamnya. Yang datang terlebih dahulu atau yang sudah lama menunggu dan baru masuk belakangan akan mendapatkan tempat.

Yesus datang mewartakan bahwa Kerajaan Surga benar-benar sudah ada di dekat. Ia mengajak orang banyak bertobat - ber-metanoia yang artinya bukan semata-mata kapok dari berbuat jahat dan banting setir, melainkan berwawasan luas melampaui yang sudah-sudah, maksudnya, tidak mengurung diri dalam pandangan-pandangan sendiri, tetapi mulai berpikir jauh ke depan meluangkan diri bagi kehadiran ilahi.

PENERAPAN

Dalam masyarakat kami dulu ada gagasan bahwa semua tindakan di bumi ini cepat atau lambat akan mendapat ganjaran sepadan di sini atau di akhirat, begitu pula kejahatan akan mendapat hukuman setimpal. Semacam balasan dari atas sana dengan menggunakan cara-cara seperti yang ada di dunia. Pendapat ini katanya ada juga dalam masyarakat anda. Kata para ahli, alam pikiran seperti ini ada di mana-mana. Memang ajaran ini menjadi pengontrol perilaku individu. Tapi bila hanya itu, orang akan bertanya-tanya, bagaimana dengan orang yang tidak dapat berbuat banyak? Apa hanya sedikit ganjarannya nanti? Jadi nanti di akhirat ada tingkat-tingkat menurut ukuran yang kita kenal sekarang? Dengan perumpamaan hari ini Yesus mengajak orang menyadari bahwa Kerajaan Surga itu berkembang dengan kemurahan hati Allah dan bukan dengan prinsip ganjaran bagi perbuatan di bumi.

Apakah perumpamaan itu memuat sindiran bagi kita manusia yang cenderung bertabiat mau mengambil lebih? Yang mudah iri bila melihat orang lain beruntung? Ah, tak usah kita pakai Injil untuk menyindir. Dan bukan itulah maksud saya. Yesus kiranya juga tidak bertujuan menyampaikan kritik moral sosial yang perlu kita khotbah-khotbahkan. Tujuannya ialah mengabarkan cara hidup dalam Kerajaan Surga. Pikir punya pikir memang perlakuan istimewa bagi yang masuk kerja belakangan itu termasuk warta mengenai Kerajaan Surga. Kemurahan ilahi juga tidak dapat diukur dengan banyak sedikitnya kerja. Bila diukur dengan cara itu akan bubrah dan Kerajaan Surga akan menjadi perkara jual beli jasa. Lha nanti akan bermunculan spekulannya, berikut calo-calonya, lalu bagaimana?

Ada catatan penting. Orang-orang yang bekerja sejam itu mendapat upah karena juga bekerja sungguh-sungguh. Sedinar itu tidak dihadiahkan begitu saja. Seandainya mereka hanya enak-enak nongkrong di kebun, apa akan mendapat upah? (Ingat orang yang diberi satu talenta tetapi malah menguburkannya! Ia akhirnya tak dapat apa-apa, malah talenta itu diambil daripadanya. Lihat Mat 25:14-30, terutama ay. 24 dst. ) Upah tetap imbalan bagi usaha dan kerja yang nyata. Dan kerja penuh, tidak separo-separo. Yang bekerja hanya sejam itu juga bekerja penuh. Kan tak bisa lebih. Satu jam kemudian sudah tutup hari. Yang datang jam enam pagi ukurannya ya sehari penuh. Kalau dijelaskan begini boleh jadi perumpamaan itu agak lebih mudah dicerna.

Kawan-kawan, Kerajaan Surga itu ditawarkan kepada orang yang berada dalam keadaan yang berbeda-beda. Ada yang sudah menunggu lama tapi tak kunjung mendapatkannya. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, boleh jadi kita bisa lebih memahami kenapa pemilik kebun itu bermurah hati. Dan juga kita-kita yang boleh jadi merasa patut mendapat lebih akan merasa tidak perlu menuntut. Apakah kita tidak malah senang ada makin banyak orang yang diajak bekerja? Paling tidak pekerjaan kita bisa jadi ringan! Dan bagaimana bila yang datang terakhir itu justru kita sendiri?

Salam hangat,
Matt

Minggu Biasa XXIV A - 14 Sept 2008

Halo,

Injil dan bacaan kedua Minggu 14 Sept 2008 - Pesta Salib Suci: Yoh 13-17 Flp 2:6-11
08 September 2008 15:22

"ALLAH SEBEGITU MENGASIHI DUNIA ..."

Rekan-rekan yang budiman!
Konteks bacaan Injil bagi Pesta Salib Suci ini (Yoh 3:13-17) ialah pembicaraan antara Nikodemus dan Yesus yang berpusat pada bagaimana orang dapat sampai ke hidup kekal. Tokoh ini ingin mendapat pencerahan mengenai makna kejadian-kejadian luar biasa yang dilakukan Yesus. Ia mau mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai orang yang berpengalaman dan bijaksana, ia sudah dapat menyimpulkan bahwa Allah Yang Maha Kuasa kini sedang mendatangi umatNya dan mukjizat yang dilihat orang itulah tanda-tanda kedatanganNya. Nikodemus mulai menyadari bahwa Yesus datang dari Dia. Semua ini disampaikan Nikodemus kepada Yesus sambil mengharapkan pencerahan lebih jauh (Yoh 3:2). Dikatakan oleh penginjil, ia menemui Yesus malam hari. Malam adalah saat kegelapan dan kuasanya terasa mencengkam, tapi juga saat-saat Yang Ilahi datang menolong. Pembaca diajak Yohanes mengingat bahwa yang kini ditemui Nikodemus ialah Terang yang diwartakannya pada awal Injilnya. Bagaimana kelanjutannya? Marilah kita catat beberapa pokok dalam pembicaraan itu terlebih dahulu.

PERCAKAPAN DENGAN NIKODEMUS

Injil Yohanes mengajak pembaca ikut mengalami yang dirasakan Nikodemus dan dengan demikian dapat ikut masuk ke dalam pembicaraannya dengan Yesus sendiri. Dalam ay. 3 Yesus menegaskan bahwa hanya orang yang dilahirkan kembali - dan dilahirkan dari atas sana - akan melihat Kerajaan Allah. Semakin disimak, jawaban Yesus ini semakin membawa kita kepada pertanyaan yang sebenarnya ada dalam hati Nikodemus dan boleh jadi juga dalam diri kita: "Apa maksud macam-macam mukjizat yang dilakukan Yesus, yang tentunya disertai Allah itu?" Tentunya tak lain tak bukan ialah...kenyataan apa itu Kerajaan Allah! Itulah yang dibawakan Yesus kepada orang banyak. Dan inilah yang semestinya dicari orang. Nikodemus tentu akan bertanya lebih lanjut: kalau begitu bagaimana caranya bisa ikut masuk ke dalam Kerajaan ini. Ay. 3 tadi ialah jawabannya.

Jawaban tadi semakin membuat Nikodemus bertanya-tanya. Boleh jadi juga kita demikian. Bagaimana bisa orang setua dia, setua kita, dapat lahir kembali. Tentu Nikodemus tidak berpikir secara harfiah belaka. Ia tahu yang dimaksud ialah lahir kembali secara rohani. Tapi justru itulah soalnya, bisakah orang yang sudah jauh melangkah di jalan lain mendapatkan hidup baru. Berangkat dari nol lagi? Apakah hidup dalam roh sepadan dengan pengorbanan yang perlu dijalani? Menanggalkan hidup badaniah, menisbikannya demi hidup dalam roh? Inilah maksud pertanyaan dalam ay. 9, "Bagaimana itu bisa terjadi?"

Penjelasan Yesus tidak diberikan dalam ujud serangkai pernyataan teologi, melainkan dalam ujud kesaksian mengenai dirinya: ia datang dari atas sana (ay. 13). Karena itulah ia dapat membawakan Kerajaan Allah kepada orang banyak. Dalam hubungan dengan yang diperkatakan sebelumnya, Yesus ialah orang yang sudah mengalami apa itu lahir kembali dari atas sana, dan yang kini hidup dalam roh. Untuk mengalami bagaimana lahir dalam roh, jalannya ialah berbagi hidup dengan dia yang sungguh sudah ada dalam keadaan itu. Ini jawaban bagi Nikodemus, juga jawaban bagi kita.

ULAR TEMBAGA?

Selanjutnya ay. 14 merujuk kepada sebuah pengalaman umat di padang gurun. Dalam berjalan mendekat ke Tanah Terjanji dulu, umat mengalami macam-macam bahaya. Salah satu yang paling mengerikan ialah "ular-ular tedung" yang mematikan itu (Bil 21:4-9). Ular-ular itu dapat memagut secepat kilat dan bisanya membakar. Tak ada kemungkinan selamat. Di situ malapetaka tadi digambarkan sebagai akibat kekurangpercayaan mereka sendiri. Mereka memang akhirnya meminta agar Musa memohonkan belas kasihan Yang Maha Kuasa. Begitulah, Musa diperintahkan Allah membuat ular dari tembaga dan memancangnya pada sebuah tiang. Yang dipagut ular akan tetap hidup bila memandangi ular tembaga tadi. Memandangi ular tembaga itu menjadi ungkapan kepercayaan pada Sabda Allah yang menjadi harapan satu-satunya untuk dapat terus hidup menempuh perjalanan di padang gurun sampai ke Tanah Terjanji.

Bagi pembaca Injil Yohanes, Tanah Terjanji kini ialah Kerajaan Allah yang dibawakan Yesus ke dunia kepada semua orang, bukan hanya kepada umat Perjanjian Lama. Untuk mencapainya, jalan satu-satunya ialah tetap mengarahkan pandangan kepada salib, menaruh kepercayaan dan harapan kepada dia yang disalib - diangkat seperti ular tembaga tadi. Mengapa? Jawaban dari Injil Yohanes didapati dalam ay. 16

INTI WARTA KESELAMATAN

"Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadanya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Tidak meleset bila dikatakan bahwa ay. 16 ini berisi ringkasan seluruh Kabar Gembira.

Kalimat ini menegaskan bahwa Allah bukan hanya hasil kesimpulan akal budi, yakni bahwa segala sesuatu yang ada ini mestinya ada yang mengadakan, yakni Allah. Bukan ke sana arah ayat ini. Justru kebalikannya. Tidak lagi dirasakan kebutuhan menunjukkan bahwa Ia ada. Yang diwartakan justru perhatianNya yang membuat jagat ini terus berlangsung. Dia itu Allah yang dihadirkan oleh orang-orang yang dekat denganNya. Dan kali ini bahkan Dia diperkenalkan oleh orang yang paling dekat denganNya, yang menyelami dan hidup dari Dia. Inilah arti kata "anak" yang diterapkan kepada Yesus oleh Injil Yohanes. Pemakaian kata "tunggal" di situ dimaksud untuk memperjelas bahwa tiada yang lebih dekat denganNya daripada Yesus sendiri. Karena itulah ia dapat membawa kemanusiaan berbagi kehidupan kekal dengan Yang Ilahi sendiri tadi.

Ay. 16 dst. berisi kesaksian Yohanes Penginjil akan siapa Allah dan siapa Yesus itu. Allah sedemikian mengasihi dunia ini sehingga ia memberikan AnakNya yang tunggal. Dalam teks Yunani Injil Yohanes, kata "mengasihi" dan "memberikan" itu diungkapkan dalam bentuk yang jelas-jelas mengungkapkan tindakan yang dibicarakan betul-betul sudah terjadi. Sudah jadi kenyataan, bukan hanya sedang atau bakal dikerjakan. Tentunya pengarang Injil berpikir akan peristiwa penyaliban Yesus di Golgota. Injil memang ditulis sebagai kesaksian peristiwa yang sudah dialami dan kini dibagikan kepada orang banyak. Penyaliban Yesus yang dari luar tampak sebagai hukuman, kegagalan, dan kematian itu kini mendapat arti baru. Yang Maha Kuasa mau menerima penderitaan manusia Yesus itu sebagai ungkapan kepercayaan utuh kepadaNya. Dan karena itulah Yesus menjadi AnakNya, menjadi orang yang paling dekat dengan Allah sendiri dan bahkan dengan demikian membawakan Dia ke dunia ini. Penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah itu membuka jalan kehidupan kekal. Itulah ungkapan lain dari peristiwa kebangkitan. Inilah yang dibagikan Yesus kepada orang-orang yang mau mempercayai arti penyerahan dirinya kepada Allah tadi. Dan baru dengan demikian orang dapat ikut mengalami apa itu dikasihi Allah.

IMPIAN ATU KENYATAAN?

Yang diutarakan di atas ialah pengalaman iman dari para pengikut Yesus yang pertama yang kemudian dituliskan dalam bentuk Injil. Tidak segera dapat dicerna orang pada zaman kemudian di tempat lain. Kita boleh bertanya, bila benar Allah sungguh telah memberi perhatian khusus kepada dunia, bagaimana bisa dijelaskan kok masih ada saja yang tak beres, dan rasanya malah kekacauan semakin menjadi-jadi. Sekarang kekerasan, ketidakadilan, kematian terasa semakin mewarnai pengalaman sehari-hari. Retorika sajakah yang diutarakan Injil hari ini? Kerajaan Allah yang sudah datang itu impian atau kenyataan?

Injil Yohanes memecahkannya bukan dengan uraian moralistis atau pengajaran. Yang ditampilkan ialah sebuah kesaksian, yakni bahwa Allah tidak menghendaki kebinasaan. Yang dimauiNya ialah kehidupan kekal bagi semua orang. Bagi dunia. Yang perlu dilakukan manusia ialah berani menerima kebaikanNya. MempercayaiNya. Yang meragukan atau bahkan menolak akan tetap berada di dalam kegelapan, dalam ancaman kebinasaan, dan jauh dari kehidupan yang berkelanjutan. Tentu saja Yohanes memaksudkan kehidupan setelah kehidupan badani ini. Bagi Yohanes, yang kekal itu ialah kehidupan yang berbagi kedekatan dengan Yang Ilahi sendiri nanti. Inilah yang ditawarkan kepada Nikodemus. Dari pembicaraan dalam ay. 1-13 juga terasa betapa beratnya penyerahan seperti ini bagi Nikodemus. Ia masih bergulat agar membiarkan diri dan ikhlas dirasuki terang yang sudah ditemukan dan dilihatnya sendiri itu. Kisahnya bisa juga menjadi riwayat kita masing-masing.

BACAAN PERTAMA: MADAH TENTANG KRISTUS Flp 2:6-11

Di sepanjang Flp 1:27- 2:13 Paulus menyampaikan pelbagai ajakan agar umat di Filipi saling menumbuhkan kebesaran hati di dalam hidup bersama. Dalam rangka ajakan inilah Paulus merujuk pada sebuah madah yang sudah dikenal umat, yakni yang dibacakan kali ini, 2:6-11. Kini cukup jelas aslinya madah itu terkarang dalam bahasa Aram yang dipakai di lingkungan para murid di tanah suci. Tetapi kemudian madah itu dialihbahasakan ke dalam bahasa Yunani sehingga juga dapat dipakai di kalangan yang lebih luas. Dan bentuk Yunani inilah yang kiranya diambil alih Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi.

Mengingat besarnya peranan madah tadi dalam pertumbuhan paham mengenai siapa Yesus yang Kristus itu, marilah kita lihat susunannya. Ada tiga bagian pokok:
a. Ditegaskan dalam ay. 6-7 keberadaan sebagai Yang Ilahi yang bersedia mengosongkan diri dari keilahiannya agar menjadi sama dengan manusia.
b. Kemudian dalam ayat digambarkan dalam ay. 8 keberadaan di bumi, menjalani hidup seperti manusia biasa, juga ketika menghadapi kematian sampai kematian di salib.
c. Akhirnya dalam ay. 9-11diungkapkan kebesaran Kristus sebagai dia yang ditinggikan Allah di hadapan seluruh jagat sehingga seluruh jagat mengakuinya sebagai Kurios, artiya Tuhan sesembahan. Bagian ketiga ini menutup kemungkinan akan penafsiran adanya Allah "kedua", gagasan yang tidak sejalan dengan iman akan keesaan  Yang Mahakuasa. Setelah mengosongkan diri dari keilahian tadi, tokoh yang dimadahkan ini ialah manusia seutuhnya. Ia menjadi sesembahan karena dijadikan demikian oleh Yang Mahakuasa sendiri.

Pokok pertama erat hubungannya dengan iman akan "inkarnasi", yakni keilahian mampu mendekat ke ciptaan sampai lahir sebagai manusia. Sedemikian besar kesediaan ini sehingga digambarkan sebagai keilahian yang mengosongkan diri. Malah keilahian tidak lagi dianggap sebagai yang patut dicari dan direnggut agar tidak lepas. Gagasan ini kemudian kerap dibicarakan di kalangan teolog sebagai "kenosis", pengosongan diri, walaupun dalam madah ini kata benda itu tidak muncul. Yang ada ialah kata kerjanya, yakni mengosongkan diri. Lebih ditampikan pelaku yang menjalani pengosongan diri itu dan bukan proses maupun hasilnya. Sekaligus ditekankan pula siapa kiranya sebelum itu, yakni keilahian sendiri. Dengan meresapi isi madah itu, orang akan tertuntun mendekat pada Yesus yang Kristus yang demikian. Dan bukan terbuai gagasan pengosongan diri  lalu mencoba-coba mencontohnya - bukan ini yang dimaksud madah itu, bukan ini pula maksud Paulus ketika mengutip madah itu bagi umat di Filipi.

Salam hangat,
A. Gianto

Minggu Biasa XXIII A - 7 Sept 2008

Hello,

Injil dan bacaan kedua Minggu Biasa XXIII - 7 Sept 2008 (Mat 18:15-20 Rom 13:8-10)
01 September 2008 10:16

UMAT YANG DEWASA

Rekan-rekan yang budiman,
Disebutkan dalam Mat 18:15-20, bila seorang saudara didapati berbuat dosa, hendaknya ia diberi tahu mengenai kesalahannya secara perorangan terlebih dahulu. Jika tidak ada hasilnya, sebaiknya ia dinasihati di hadapan saksi. Kalau tetap tidak peduli, barulah perlu ia dibawa ke sidang umat. Injil yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XXIII tahun A ini lebih luas dari pada sekadar mengajarkan cara-cara menegur kesalahan atau berprihatin tentang orang lain. Tujuan utamanya ialah membangun komunitas pengikut Yesus yang saling menopang. Diketengahkan bagaimana umat dapat semakin dewasa berkat adanya perhatian satu sama lain, juga dalam menunjukkan kekeliruan.

Akan diulas pula bagaimana dalam bacaan kedua (Rom 13:8-10) Paulus berusaha membuat orang yang mengenal macam-macam aturan Taurat sampai pada inti yang dimaksudkan Taurat itu sendiri.

PELBAGAI CARA MEMBANGUN UMAT

Injil hari ini termasuk salah satu himbauan untuk membangun umat yang dikumpulkan dalam Mat 18:1-35 Pertama-tama ditonjolkan pentingnya sikap tidak mementingkan diri sendiri (18:1-5 disebut dalam cara bicara Injil, bersikap sebagai "anak kecil"). Hukuman besar akan dialami orang yang kurang menghargai sikap ini (18:6-11). Yang kehilangan arah hendaknya sungguh ditolong agar bisa berada bersama kembali bersama umat (18:12-14 "domba yang hilang"). Karena itu perlu diusahakan agar yang salah ditegur dengan penuh perhatian (petikan hari ini, 18:15-20). Akhirnya juga perlu dipupuk sikap pengampun yang seikhlas-ikhlasnya (18:21-35).

Bahan petikan ini diambil Matius dari himpunan kata-kata Yesus yang beredar waktu itu dan diperluas dengan kenyataan yang ada di kalangan para murid yang berasal dari kalangan Yahudi tradisional. Lukas juga memakai himpunan kata-kata Yesus. Tetapi bagian yang sejajar dengan Matius kali ini hanya menyebut titik tolak pembicaraan, yakni perihal menegur saudara yang berbuat dosa, lihat Luk 17:3a (= Mat 18:15a). Tidak dirincikan caranya. Ketiga tahap memperingatkan kesalahan serta menegur saudara itu kiranya khas terjadi dalam umat Matius yang memang berlatarkan tradisi Yahudi. Keadaan umat Lukas lain.

Dalam Kis 2:44-46; 3:34-35 ada secercah gambaran ideal mengenai keadaan umat Lukas serta keprihatinan utama mereka. Disebutkan antara lain bahwa mereka menjual milik mereka, mengumpulkan uangnya, lalu menyerahkan kepada para rasul agar dibagi-bagikan kepada mereka yang membutuhkan. Umat yang digambarkan Lukas memang terutama dari kalangan yang berada. Iman menumbuhkan dalam diri mereka niat serta usaha nyata bagaimana memperbaiki keadaan ekonomi orang-orang yang kurang mampu. Tentunya mereka tidak berpikir akan "membeli" keselamatan bagi diri sendiri dengan bederma dan bersedekah. Gagasan dasarnya bukanlah melepaskan harta demi amal semata-mata, melainkan kepedulian akan keadaan orang-orang yang tidak seberuntung mereka. Berbagi harta itu menjadi salah satu bentuk nyata bagaimana membangun umat. Semangat yang mendasari sikap peduli terhadap saudara seumat itu juga ada dalam kehidupan umat Matius. Tetapi dalam kehidupan mereka kepedulian dasar tadi diwujudkan dengan cara yang berbeda. Seperti dalam petikan Injil kali ini, lebih ditekankan upaya dalam umat untuk menyadarkan saudara yang melakukan kesalahan. Demikian terbangun sikap saling percaya dan saling menopang secara moral. Inilah keutamaan yang dianggap lebih butuh dikembangkan di kalangan umat Matius.

Contoh lain. Lukas menggarisbawahi bahwa umat makin tumbuh bila dipupuk dengan kebesaran hati dalam mengampuni. Matius juga mengolah pokok ini (lihat kelanjutan petikan ini, yakni Mat 18:21-27), tetapi baru setelah menunjukkan pentingnya keberanian memperingatkan kesalahan serta kesediaan menerima teguran. Dari situ bisa terbangun rasa saling percaya.

TIGA LANGKAH MEMBANGUN RASA SALING PERCAYA

Dalam bacaan Injil kali ini dipakai kata "saudara" dan bukan "sesama". Gagasan "sesama" memang berhubungan dengan kehidupan masyarakat yang mengutamakan solidaritas, kepentingan bersama, dan perlakuan terhadap orang lain sebagaimana diinginkan terjadi pada diri sendiri. Tapi gagasan ini lebih diterapkan pada orang yang berada di luar kalangan sendiri. Ungkapan "saudara" lebih berbicara mengenai lingkungan sendiri. Selain itu juga lebih diutamakan sikap saling bertanggung jawab, saling mengurus kebaikan, saling memperhatikan kebutuhan seperti layaknya di antara anggota keluarga.

Cara-cara menegur yang diikuti umat di sekitar Matius menunjukkan adanya keterbukaan satu sama lain. Karena itu langkah pertama ialah mengajak bicara di bawah empat mata (ay. 15). Bila urusan selesai di situ, maka sudah cukup. Rasa saling percaya sudah terbangun. Tidak perlu melibatkan pihak-pihak lain sejak awal. Tetapi bila yang bersalah tidak menggubris, maka perlu didatangkan seorang atau dua orang saksi atau lebih (ay. 16). Maksudnya agar yang bersalah menyadari bahwa perbuatannya memang tidak bisa dibenarkan bukan hanya berdasarkan pendapat satu orang saja. Ada kesempatan melihat kedudukan diri sendiri dengan lebih kritis. Tetapi bila ia tetap tidak bersedia mendengarkan, maka persoalannya patut dibawa ke kalangan yang dapat memutuskan apakah cara hidupnya sebetulnya sudah tidak lagi cocok dengan cara hidup umat. Ia boleh memeriksa diri apakah sepadan bila tetap bersikeras mempertahankan sikapnya sendiri dengan akibat malah memisahkan diri. Dalam langkah-langkah tadi jelas yang bersangkutan tetap diperlakukan sebagai orang dewasa. Meskipun demikian, ia juga diharapkan berani bertanggung jawab atas kelakuannya sendiri. Dengan cara ini bisa terbangun rasa saling percaya. Para anggota umat juga dapat saling menunjang. Itulah dinamika dalam umat yang dilayani Matius.

Orang yang tak mau memperbaiki diri akhirnya dikatakan berlaku sebagai orang yang "tidak mengenal Allah". Dalam umat yang berlatar tradisi Yahudi, orang yang dianggap demikian sebenarnya sudah tidak termasuk umat lagi. Juga disebut "pemungut cukai", gambaran mengenai orang yang tega bekerja bagi kepentingan penindas umat. Itulah gambaran paling buruk yang dapat dibayangkan. Terlihat betapa Matius sedemikian mementingkan terbangunnya umat yang saling menunjang.

MENGIKAT DAN MELEPASKAN

Dalam Mat 18:18 Yesus berkata, "perkara-perkara (jamak) yang kalian (jamak) ikat di dunia akan terikat di surga dan perkara-perkara (jamak) yang kalian (jamak) lepaskan di dunia akan terlepas di surga." Kata "kalian" di situ merujuk kepada mereka yang hidupnya sesuai dengan tujuan umat, yakni mengikuti Yesus dan oleh karenanya dapat memberi tuntunan kepada orang lain. Mereka juga diminta memperhatikan keadaan umat. Terjemahan harfiah di atas juga menunjukkan bahwa yang diikat atau dilepaskan bukanlah orang, melainkan perkara, tindakan atau sikapnya. Mengenai orang, nanti akan diajarkan bahwa pengampunan baginya tak terbatas (Mat 18:21-22; lihat juga Luk 17:4).

Dalam Mat 16:19 terdapat pernyataan yang mirip, tetapi hal yang diikat atau dilepaskan ada dalam bentuk tunggal, bukan jamak seperti di atas. Ditekankan dalam ulasan Injil Minggu XXII tahun A yang lalu bahwa yang disebut diikat di bumi dan di surga dalam ayat itu ialah jalan ke arah alam maut, bukan orang ini atau itu. Begitu pula, yang dilepaskan ialah keterkungkungan kondisi manusia pada umumnya, bukan orang perorangan. Yang ditugasi sebagai pelaku ialah Petrus. Ia dinyatakan sebagai batu karang penyumbat lubang menuju alam maut dan tempat umat dibangun. Itulah ujud kuasa dan tanggung jawabnya sebagai penjaga agar umat tidak tersedot masuk ke alam maut.

PERMOHONAN BERSAMA DAN IMAN YANG HIDUP

Pada akhir kutipan hari ini masih ditambahkan, bila dua orang atau lebih memohon kepada Bapa, maka permintaan itu pasti akan dikabulkan. Gagasan yang mendasarinya begini: bila pendapat satu orang mengenai apa yang baik bagi kehidupan umat diterima oleh orang lain sebagai pendapat yang jujur dan bisa dipertanggungjawabkan, maka pendapat tadi dijamin sejalan dengan yang dikehendaki oleh Yesus sendiri. Dan permohonan yang diungkapkan dengan dasar ini pasti dikabulkan Bapa.

Permohonan bersama yang dikatakan pasti dikabulkan seperti di atas tidak dapat dipisahkan dari sikap saling percaya. Digarisbawahi dimensi horizontal iman kepercayaan. Di situ besar artinya hubungan antara "umat dan diriku". Dimensi vertikal, "Tuhan dan diriku", saja belum utuh. Juga diberikan gambaran tentang iman yang dapat melegakan dan bukan yang mengekang. Sikap iman yang merdeka ini membuat orang berani mencari kebenaran bersama dan berani pula mempercayai satu sama lain. Iman bukanlah kesediaan mengiakan begitu saja pernyataan-pernyataan doktrin, bukan pula melaksanakan aturan-aturan secara ketat. Memang kejujuran dan ketulusan dipersyaratkan. Iman kristiani itu memang sepenuhnya pemberian dari atas, seutuhnya anugerah ilahi, tetapi pertumbuhan yang utuh bergantung pada kesediaan manusia mengembangkannya bersama-sama dalam komunitas, dalam umat. Inilah kreativitas iman yang hidup.

Umat yang memiliki integritas juga mempunyai peluang lebih untuk berbicara dengan kelompok masyarakat luas. Pembicaraan bukan hanya pada taraf rumusan-rumusan doktrin kepercayaan dan ibadat, melainkan langsung terarah pada penanganan masalah-masalah bersama di masyarakat. Integritas umat adalah sumbangan terbesar bagi masyarakat majemuk di negeri kita ini.

TENTANG BACAAN KEDUA  (Rom 13:8-10)

Pada bagian pertama ayat 8 Paulus menegaskan, "Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga..." Baik diketahui bahwa dalam alam pemikiran agama Yahudi, "dosa" digambarkan sebagai berhutang, berhutang sakit hati, hinaan, kesalahan, dan tindakan seperti itu. Menghapus dosa sama dengan menghapus hutang kesalahan. Timbul macam-macam aturan yang terhimpun dalam Taurat untuk menjamin agar orang tidak menjalankan kesalahan. Hidup kerap diukur dengan upaya menjalankan aturan-aturan Taurat dengan sebaik-baiknya. Dalam kenyataannya ini kerap menjadi sumber kesulitan hidup bersama. Ada sikap menilai orang lain sebagai pendosa, pezinah.... Maka Paulus menunjukkan pengertian dasar yang menjiwai aturan-aturan Taurat tadi, yakni "saling mengasihi" yang diungkapkannya dalam bagian kedua ayat 8, yakni, "...tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab siapa saja yang mengasihi sesama manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat."

Namun demikian, pernyataan itu tidak dimaksud untuk menggantikan "hukum Taurat" dengan "saling mengasihi". Yang dikemukakan Paulus ialah apa yang menjadi dasar hukum Taurat. Paulus berbicara kepada pengikut Kristus dari lingkungan orang Yahudi yang berpendidikan modern waktu itu (orang Yahudi helenist). Namun lingkungan budaya modern yang mereka alami, yakni dunia helenist, membuat cara berpikir mereka agak berbeda dengan orang Yahudi tradisional di tanah kelahiran mereka. Bagi orang ini ada kebutuhan intelektual untuk mengenali dasar yang mengasalkan macam-macam hal. Katakan saja, cara berpikir melihat prinsip umum mana yang menerangkan adanya macam-macam kenyataan tertentu. Mana dasar umum hukum serta aturan yang amat banyak seperti hukum-hukum Taurat. Maka Paulus, yang juga mengenal pemikiran helenist, mau mengatakan bahwa hukum-hukum Taurat yang banyak yang mereka kenal itu memiliki satu dasar yang umum, yakni "saling mengasihi" tadi. Begitulah dalam ayat 9 ditunjukkan dasar yang mengasalkan larangan-larangan dalam hukum Taurat. Malah dalam ayat 10 Paulus menambahkan bahwa dasar umum Taurat, yakni "kasih" yang diutarakannya sebelumnya, bakal membuat Taurat menjadi utuh, tidak lagi terasa macam-macam. Inilah yang dimaksud dengan "kegenapan" yang disebut pada ayat itu.

Salam hangat,
A. Gianto