Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Injil Minggu Biasa XXX/B - 25 Oktober 2009

Injil Minggu Biasa XXX tahun B 25 Oktober 2009 (Mrk 10:46-52)

BYAAR! MELIHAT KEMBALI - KE ATAS!

Diceritakan dalam petikan kali ini (Mrk 10:46-52) bagaimana Bartimeus,
seorang pengemis buta, ikut berdesak-desakan mengerumuni Yesus yang sedang
berjalan lewat Yerikho. Ia berseru minta dikasihani oleh Yesus yang
dipanggilnya sebagai "anak Daud", gelar Mesias yang dinanti-nantikan banyak
orang itu. Kendati orang banyak menyuruhnya diam, ia terus berteriak dan
makin keras. Mendengar itu Yesus menyuruh membawa Bartimeus mendekat untuk
ditanyai ingin apa darinya. Ketika ia minta agar bisa melihat kembali, Yesus
mengatakan bahwa imannya telah menyelamatkannya. Saat itu juga Bartimeus
dapat melihat kembali dan mulai mengikuti Yesus dalam perjalanannya. Marilah
kita tengok terlebih dahulu perihal orang buta dalam Alkitab sebelum
mengamati beberapa peristiwa Yesus menyembuhkan orang buta dan menafsirkan
kisah Bartimeus ini.

ORANG BUTA DALAM ALKITAB

Orang bisa buta sejak lahir (Yoh 9:1), atau berkurang penglihatannya karena
usia lanjut (Ishak dalam Kej 27:1; Eli dalam 1Sam 3:2; Ahia dalam 1Raj
14:4). Di luar itu, kebutaan umumnya akibat penyakit mata yang kasep. Hukum
agama dan hukum adat melindungi orang-orang buta (seperti halnya juga janda,
musafir, orang sakit, orang miskin, dst.). Ada ancaman keras jangan
sekali-sekali menyesatkan atau membiarkan orang buta tersandung (Im 19:14
dan Ul 27:18). Hukum-hukum ini keramat. Tipe orang saleh seperti Ayub bisa
berkata sudah menjalankan kebaikan terhadap orang buta (Ayb 29:15).

Kebutaan Saulus (Kis 9) dipakai untuk menyadarkannya bahwa hingga saat itu
ia "buta" akan kehadiran Yesus. Selain itu, kebutaan fisik membuatnya kini
makin menghargai kebesaran Allah yang mengasihani orang buta seperti dia
lewat orang yang mengantarkannya mencari kesembuhan di Damsyik - di sana ia
juga menerima baptisan, yang dimengerti secara teologis olehnya nanti dalam
Rm 6:5 sebagai ikut mati, dikubur, dan dibangkitkan kembali bersama dengan
Kristus.

Kebutaan bisa didatangkan sebagai hajaran kekuatan gaib, misalnya
Saulus/Paulus dengan kekuatan matanya menyihir buta seorang nabi palsu
bernama Baryesus alias Elimas yang menjalankan praktek santet di Pafos di
Pulau Siprus (Kis 13:11). Sambil berdoa Elisa menenung buta sepasukan orang
Aram (2Raj 6:8 dst.). Malaikat Allah membutakan mata orang-orang Sodom yang
berniat berbuat keji terhadap mereka yang menyamar sebagai tetamu Lot (Kej
19:1). Praktek merusak mata lawan juga dikenal, misalnya orang Filistin
mencungkil mata Simson (Hak 16:22), Nebukadnezar membutakan Zedekia (2 RW
25:7).

Kebutaan dapat menggambarkan tipisnya kepekaan rohani, misalnya umat yang
tak lagi mengindahkan Allah (Yes 42:18-19), malah pemimpin umat juga buta
(Yes 56:10); juga orang yang duniawi belaka pikirannya (2Kor 4:4) atau yang
tak berbuat baik kepada sesama (2 Ptr 1:9) dan yang membenci sesama (1Yoh
2:11). Gereja Laodikea dikatakan buta karena tidak menyadari kemerosotan
rohani sendiri (Why 3:17). Orang Farisi diibaratkan orang buta menuntun
orang buta (Mat 15:14; Luk 6:3).

YESUS DAN ORANG BUTA

Seperti diutarakan dalam Mat 11:5 dan Luk 7:(21-)22, dalam menjawab
pertanyaan Yohanes Pembaptis, Yesus menyebut penyembuhan orang buta sebagai
salah satu tanda bahwa dirinya itu tokoh yang telah lama dinanti-nantikan
orang banyak. Hal ini berhubungan erat dengan gagasan Alkitab bahwa
keselamatan datang bagaikan terang bagi orang buta (lihat Mzm 146:8; Yes
29:18; 35:5; 42:16.18; 43:8; Yer 31:8). Tiga kejadian penyembuhan orang buta
diceritakan secara khusus dalam Injil-Injil:

Di Betsaida (Mrk 8:22-25; Mat 9:29): Markus melaporkan bahwa orang buta yang
diludahi matanya dan ditumpangi tangan oleh Yesus mulai bisa samar-samar
melihat kembali dan baru pulih sepenuhnya ketika matanya ditumpangi tangan
sekali lagi. Matius mengandaikan pembaca mampu membayangkan tiap tindakan
Yesus itu dan hanya melaporkan Yesus "menjamah mata" si buta. Akan tetapi,
Matius menekankan orang buta itu ditanya dulu apa sungguh percaya Yesus bisa
menolong mereka.

Mengenai peristiwa di Yerikho (Mrk 10:46 dst.; Luk 18:35 dst.; Mat 20:30
dst.) Markus dan Lukas berbicara tentang Bartimeus si buta yang menjadi
peminta-minta, tapi entah bagaimana Matius menambahkan orang buta yang lain
sehingga penyembuhannya terjadi pada dua orang buta tanpa nama. Boleh jadi
ingatan Matius agak rancu dengan peristiwa yang pernah diceritakannya
sendiri dalam Mat 9:27-29. Bagaimanapun juga si buta itu, satu atau dua
orang, berteriak minta tolong, "Anak Daud, kasihanilah...!" Dan Yesus
langsung berbuat sesuatu. Tak perlu heran, menurut adat dan hukum orang buta
wajib ditolong (lihat catatan di atas), apalagi kalau yang bersangkutan
mengimbau kewajiban keramat Mesias untuk menunjukkan belas kasihan ilahi.

Di Yerusalem (Yoh 9:1-41, orang buta sejak lahir), Yesus meludah ke tanah
dan membuat lumpur yang dipoleskannya pada mata orang buta sejak lahir itu
lalu menyuruhnya pergi berendam di kolam Siloam dan kembali ke Yesus dan
penglihatannya kini beres. Penyembuhan ini terjadi dengan maksud menunjukkan
betapa karya Allah nyata-nyata terjadi dalam diri orang buta sejak lahir itu
(ay. 3).

Yesus bertindak seperti penyembuh paranormal zaman itu, lengkap dengan
gerak-gerik magis-ritual dan penyebutan syarat-syaratnya segala. Injil
kadang-kadang merekamnya, kadang-kadang hanya mengandaikan pembaca sudah
tahu dan bisa membayangkannya sendiri.

DIALOG IMAJINER DENGAN BARTIMEUS

TANYA: Pak Bartimeus, kenapa kok Anda bersikeras minta tolong kepada Yesus?
Apa Anda tidak takut orang banyak yang mengomeli Anda?

BARTIMEUS: Itu hakku, bukan? Yesus itu kan Mesias keturunan Daud, betul
kagak? Ia tidak bakal mengingkari kewajibannya kepada orang kayak gue-gue
ini. Dan ngapain takut sama orang banyak? Mereka kan tidak bakal berani
menjegalku, situ kan ahli Kitab Suci, apa kata Im 19:14 dan Ul 27:18?

TANYA: Okay, Pak. Lain hal, apa yang Anda rasakan waktu Yesus tanya ingin
apa darinya?

BARTIMEUS: Wah, dag-dig-dug! Sampai saat itu aku pikir aku ini kena hukuman
Allah kayak orang Aram atau orang kota Sodom, atau dukun belang yang kalian
kenal dari Kitab Suci. Kebetulan Yesus lewat Yerikho. Dengar-dengar ia
mengajarkan Allah itu Bapa yang baik. Ini perkara baru. Tapi kurang jelas
apa juga berlaku bagi orang seperti aku ini. Maka mau tanya langsung
kepadanya. Tahu-tahunya ia malah nyuruh aku datang mendekat dan bertanya aku
mau dia lakukan apa bagiku. Lha, tentu saja gue bilang pengin bisa ngeliat
kembali. Saat itu juga rasanya byaar!

TANYA: Omong-omong, persisnya Injil-Injil melaporkan "byaar" Anda itu tadi
itu sebagai "saat itu juga ia bisa melihat kembali". Apanya yang "kembali"?
Soalnya begini, sabar ya Pak, teks Injil mengatakan Anda itu "ana-eblepse".
Lha, "eblepse", aorist orang ke-3 tunggal, artinya "mulai melihat" itu
memiliki awalan "ana-" yang mengandung makna "kembali". Jadi, dengan "byaar"
tadi Anda mulai bisa melihat hal-hal seperti dulu lagi. Tetapi awalan "ana-"
itu juga berarti "ke atas", jadi "ana-eblepse" itu juga "mulai bisa
memandang ke atas". Yesus sendiri misalnya ketika hendak memberi makan lima
ribu orang dikatakan dalam Mat 14:19 "... menengadah (= ana-eblepsas) ke
langit lalu mengucap syukur..." Apa Anda setuju dikisahkan dalam Injil-Injil
dengan kata "ana-eblepse" yang sarat dengan dua nuansa itu?

BARTIMEUS: Waduh, waduh, terima kasih diajari Yunani! Memang cerita
Injil-Injil itu jitu. Dalam "byaar" tadi rasa-rasanya mulai tampak juga apa
yang dilihat Yesus ketika ia menengadah.

TANYA: Lha apa itu?

BARTIMEUS: Situ belum tahu? Kursus kilat Yunani saya balas dengan kursus
kilat iman. Yesus bilang sama gue, "Imanmu sudah menyelamatkanmu." Ia tahu
saat itu saya "byaar" dan mulai bisa juga melihat yang dilihatnya seperti
ketika ia menengadah tadi. Inilah yang dia maksudkan. Aku mulai makin
tertarik ikut melihat yang betul-betul dilihatnya, bukan hanya langit saja
tapi siapa yang di sana. Karena itu, aku ikuti dia. Tiap hari aku
mendengarkan ia bercerita mengenai Bapanya yang ada di surga, yang di atas
sana. Maka Mrk 10:52 bilang tentang aku yang mantan pengemis buta ini "lalu
ia mulai mengikutinya dalam perjalanannya". Maksudnya, jalan menuju Bapanya
- tafsir ini ndak bisa Anda raih dengan eksegese tok lho, karena hanya
terjangkau dalam iman yang disebut Yesus tadi. Luk 18:43 mengatakan yang
sama ketika bilang tentang diriku "lalu ia mulai mengikuti dia sambil
memuliakan Allah". Allah yang makin kupandangi dalam mengikut Yesus.

Pada akhir tanya jawab itu, terbayang Bartimeus berjalan mengikuti Yesus -
ia yang tadi buta itu kini menuntun kita semua mulai memahami apa makna
mengikuti Yesus dalam perjalanannya. Ia juga bukan peminta-minta lagi, ia
bisa memberi banyak. Apa rekan-rekan berkeberatan bila dikatakan perjumpaan
Bartimeus dengan Yesus itu justru karena si buta ingin lebih tahu cerita
Yesus tentang Bapanya yang di atas sana, di surga, dan dalam hubungan ini ia
memperoleh kembali penglihatannya?

Salam hangat,
A. Gianto

Injil Minggu XXIX/B - 18 Okt 2009


Injil Minggu XXIX/B 18 Okt 2009 (Mrk 10:35-45, Minggu Pewartaan Kabar Gembira)

DUDUK DI KANAN KIRINYA?

Rekan-rekan yang baik!
Petikan Injil kali ini (Mrk 10:35-45) mengungkapkan keinginan Yakobus dan
Yohanes untuk memperoleh kedudukan di kanan dan kiri Yesus dalam
kemuliaannya nanti. Tetapi Yesus malah menanyai mereka, sanggupkah minum
dari cawan yang diminumnya dan menerima baptisan yang diterimanya.
Ditambahkannya, ia tak dapat menjanjikan kedudukan itu karena hanya Allah
sendirilah yang menentukan siapa yang pantas ke sana. Kemudian Yesus
mengatakan, barangsiapa ingin jadi orang besar hendaknya menjadi orang yang
melayani orang lain. Bagi Anak Manusia, melayani dan mengamalkan diri
menjadi jalan penebusan bagi umat manusia.

KEDUDUKAN KHUSUS, JADI PAHALA KHUSUS?

Yakobus dan Yohanes, seperti Petrus, adalah murid-murid pertama yang dipilih
Yesus (Mrk 1:19). Mereka nanti dibawa serta guru mereka ke atas gunung untuk
menyaksikan kemuliaannya (Mrk 9:2-8). Mereka juga diajak mengawani Yesus di
Getsemani (Mrk 14:34). Jelas, mereka itu amat dekat dengan Yesus. Apa
salahnya mengharapkan pahala duduk di kanan kirinya nanti dalam
kemuliaannya, juga kemuliaan rohani? Konteks terdekat petikan ini ialah
pemberitahuan yang ketiga kalinya mengenai diserahkannya Anak Manusia kepada
orang bukan Yahudi, ia akan dicerca dan disiksa sampai mati tapi akan
bangkit pada hari ketiga (Mrk 10:32-34). Kalimat-kalimat pemberitahuan ini
tentu saja dimengerti para murid walaupun kebenarannya tak tecerna. Anak
Manusia ini makin sulit dimengerti. Tak masuk akal!

MASALAH ILMU TAFSIR

Ketidakpahaman para murid akan penderitaan, kematian, dan kebangkitannya itu
bukanlah ketidaktahuan atau ignorantia belaka, melainkan frustrasi dalam
menghadapi perkara yang tak masuk akal seperti itu. Ada yang menjelaskan
bahwa permintaan Yakobus dan Yohanes ini muncul dari anggapan bahwa Yesus
sebentar lagi akan membangun kembali kejayaan politik dan duniawi Israel.
Gagasan mengenai Mesias seperti itu memang ada dan sementara pengikut dan
lawan Yesus berpendapat demikian. Akan tetapi, tidak bisa murid-murid yang
terdekat begitu saja dianggap sama sekali keliru mengenai guru mereka.
Penjelasan seperti ini kurang cocok dengan nada seluruh petikan. Lebih tepat
bila kita anggap mereka sebenarnya juga mengetahui apa yang sesungguhnya
dimaksud Yesus. Yang tak bisa mereka pahami adalah mengapa ia perlu
menderita dan mati agar mencapai kemuliaan rohaninya itu. Soal mereka ialah
bagaimana mengerti mengapa Allah membiarkan penderitaan seperti itu dan
bukan bahwa mereka terbuai pandangan mesianisme politik. Murid-murid itu
amat dekat dengan Yesus dan sebebal-bebalnya mereka, kiranya tidak akan
terlalu meleset memahami siapa dia.

CAWAN DAN  BAPTISAN

Yesus tidak langsung mencela mereka seperti kesepuluh murid lain yang marah
kepada mereka. Ia hanya bertanya apakah mereka sanggup "minum dari cawan"
yang harus diminumnya dan "dibaptis dengan baptisan" yang bakal dijalaninya.
Minum dari cawan itu idiom bagi mengalami penderitaan, merasai cemooh dan
murka dan hal seperti itu. Di Getsemani Yesus mohon agar Allah meluputkannya
dari cawan (= penderitaan), bila ini memang kehendakNya.
Dalam alam pikiran religius orang dulu, cawan kerap dipandang berisi minuman
yang datang dari dunia ilahi. Minumannya bisa berkat (Mzm 23:5; 116:13),
hukuman (Yeh 23:31-33), atau amarah (Mzm 11:6; 75:9; Yes 51:17:22; Yer
25:15; 49:12; Hab 2:15-16). Menjelang periode akhir Perjanjian Lama, gagasan
cawan berisikan amarah lebih dikenal. Gemanya terdengar dalam Kitab Wahyu
(Why 14:10; 16:8.19; 17:4; 18:6). Karena cawan amarah sedemikian lazim,
orang bilang cawan begitu saja. Bila diminum, amarah dalam cawan itu
menyebabkan penderitaan. Inilah idiom dalam yang dijumpai kali ini dan nanti
di Getsemani. Dengan minum cawan yang berisi murka Allah itu sampai tuntas,
Yesus sang Anak Manusia menghapus amarah Allah dan dengan demikian hubungan
antara manusia dengan Allah baik kembali. Kalau ia tidak meminumnya, amarah
tadi akan tertumpah ke seluruh muka bumi. Menjalani baptisan juga sebuah
idiom, maksudnya mengalami maut. Gabungan cawan dan baptisan berarti
penderitaan yang membawa maut, seperti yang akan dialaminya dan sudah
diumumkannya sendiri sampai tiga kali tapi tak tecerna oleh para murid.
Yakobus dan Yohanes mengerti gaya bicara ini dan jawaban mereka betul-betul
mengungkapkan tekad mereka untuk nekat ikut serta dalam penderitaan dan maut
yang bakal dialami Yesus walaupun tak habis mengerti mengapa perlu sejauh
itu. Mereka memang loyal. Akan tetapi, mereka lebih terdorong harapan bakal
mendapat pahala khusus mengingat kedudukan khusus mereka. Hal terakhir
inilah yang tidak dilewatkan begitu saja oleh Yesus. Ia menegaskan dirinya
tak berhak memberikan kedudukan mulia karena Allah sendirilah yang bisa
menentukan siapa-siapa yang bakal ada di sana.

SIAPA BAKAL DUDUK  DI  KANAN DAN KIRINYA?

Siapa yang ditentukan Allah bakal mendapat kedudukan itu? Tak akan meleset
bila kita berpikir mengenai mereka yang dalam Injil-Injil disebut bakal
masuk Kerajaan Allah atau empunya Kerajaan Allah: anak-anak yang diberkati
Yesus, orang-orang yang disebut bahagia dalam khotbah di bukit, mereka yang
nanti dalam ungkapan Matius tentang akhir zaman terbukti sudah
sungguh-sungguh memperhatikan orang lain. Dalam Mrk 10:43-44 Yesus mengajak
murid-murid agar menjadi pelayan dan hamba. Kata-kata Yesus dalam ay. 43 dan
44 itu bermaksud mengatakan agar para murid saling menjadi pelayan dan
saling mengutamakan. Ajakan ini merombak wacana kekuasaan yang biasa, sama
halnya dengan khotbah di bukit merombak pandangan umum. Dalam wacana
kekuasaan yang lazim, arahnya dari atas ke bawah, seperti ditegaskan dalam
ay. 42. Kebengisan, ketidakadilan, perlakuan buruk amat mudah muncul dalam
wacana itu. Namun demikian, dalam ay. 43-44, wacana "atas-bawah" itu
diratakan, di-horisontal-kan, begitulah istilahnya. Murid-murid diimbau agar
menjadi pelayan bagi satu sama lain dan agar saling menganggap penting.

PANDANGAN  YANG  BERANI

Ajakan dan ajaran tadi diberi penjelasan "karena Anak Manusia datang bukan
untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya
menjadi tebusan bagi orang banyak". "Memberikan nyawanya" dalam gaya bicara
Semit berarti memberikan diri sepenuhnya, punya komitmen total, dan bila
perlu sampai berkurban jiwa walaupun ini bukan hal yang pokok. "Orang
banyak" juga merupakan cara berungkap khas untuk menyebut semua orang, bukan
hanya "banyak". Gagasan "tebusan" datang dari dunia utang piutang dan
pergadaian. Tebusan ialah ganti rugi, silih, yang diberikan untuk
mengembalikan hutang yang tak terbayar dengan cara biasa. Umat manusia,
semuanya, "orang banyak", telah merosot dan bukan lagi citra Allah yang
utuh. Nah, ini rugi besar bagi Allah. Untuk membereskan perlu ada tebusan,
ciptaan baru, sebagai ganti rugi Tak usah kita pakai gagasan "tumbal" di
sini karena konotasi dan alam pikiran "tumbal" ialah kurban peredam amarah,
bukan ganti yang setimpal. Allah akan menuntut ganti rugi yang tak gempil
sana sini. Wacana teologi seperti ini dirombak dalam Mrk 10:45. Allah yang
biasa dimengerti sebagai yang menuntut tebusan sampai sen terakhir itu kini
tampil sebagai Allah yang ikhlas menyerahkan seluruh urusan kepada Anak
Manusia. Dia ini ciptaan baru yang menampakkan wajah Allah yang sejati.
Allah kini tampil bukan sebagai yang murka dan suka membuat perhitungan,
melainkan yang menganggap manusia berharga, Allah yang menganggap kita ini
patut ditelateni, bagaikan seorang pelayan dan hamba menghadapi tuannya.
Bolehkah kita percaya bahwa Allah yang Maha Tinggi itu bertindak demikian
kepada kita? Bisakah kita menerima ajaran Yesus agar orang saling menghargai
sebagai jalan emas penebusan? Beranikah kita menerima itu semua sebagai
Kabar Gembira?

MINGGU PEMBERITAAN KABAR GEMBIRA

Hari Minggu ini juga dirayakan sebagai Minggu Pemberitaan Kabar  Gembira.
(Juga biasa disebut Minggu  Evangelisasi.) Gereja menjalankannya dengan
macam-macam bentuknya. Tapi intinya sama: mendekatkan dunia kepada warta
Kristus sang penebus dunia. Injil hari ini mengajak siapa saja yang
menerjuni karya misi untuk semakin menyadari bahwa yang diharapkan dari
mereka ialah kesanggupan dibaptis dengan baptisan Yesus dan minum dari cawan
yang diminumnya juga. Ini pahala yang terbesar yang bisa diharapkan. Bila
begitu, tidak perlu kita merasa terbawa dorongan dan keinginan mendapat
tempat sedekat-dekatnya dengan Yesus yang mulia nanti. Misi pengikut Kristus
itu bukan program pemurtadan, melainkan ikhtiar untuk berbagi cita-cita
memulihkan keindahan ciptaan. Misi pengikut Kristus bisa dijalani bersama
orang dari kepercayaan lain juga!

Salam hangat,
A. Gianto

Injil Minggu Biasa XXVIII B - 11 Okt 09

Minggu Biasa XXVIIIB - 11 Okt09 (Mrk 10:17-30)


SIKAP BERAGAMA DAN KEROHANIAN SEJATI

Bacaan Injil Minggu Biasa XXVIII tahun B ini (Mrk 10:17-30) memuat
pernyataan Yesus bahwa lebih mudah bagi seekor unta melewati lubang jarum
daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah (ay. 25; lihat pula Mat
19:23-24 Luk 18:25). Murid-murid bereaksi, bila begitu, siapa yang bakal
selamat? Menanggapi persoalan ini, Yesus mengemukakan memang tak mungkin
bagi manusia, namun bukan demikian bagi Allah; bagiNya semuanya bisa
terjadi. Apa artinya pembicaraan itu dan apa wartanya bagi kita sekarang?

SIKAP BERAGAMA DAN KEROHANIAN SEJATI?

Ada orang yang datang dan bertanya kepada Yesus, apa yang mesti diperbuat
supaya mendapatkan hidup kekal (Mrk 10:17). Yesus merujuk kepada
perintah-perintah agama (ay. 19). Tetapi setelah orang itu berkata bahwa
semua sudah dijalankannya (Mrk ay. 20), Yesus mengajaknya melangkah lebih
jauh. Disarankannya kepada orang itu untuk mengamalkan kekayaannya bagi kaum
papa lalu mengikutinya (ay. 21).
Keinginan orang itu untuk memperoleh hidup kekal dihadapkan Yesus dengan
cita-cita untuk mencapai kesempurnaan. Hidup kekal belum bisa disebut
kesempurnaan. Dalam bacaan ini juga menjadi jelas bahwa kesempurnaan
mustahil dicapai oleh manusia dengan upaya sendiri. Kesempurnaan itu karya
Allah bagi manusia. Murid-murid salah paham. Mereka mengira kesempurnaan itu
dituntut agar orang selamat, maka mereka bertanya-tanya siapa bakal bisa
diselamatkan. Dalam ay. 27 Yesus membantu mereka agar mengerti duduk
perkaranya: kesempurnaan itu bukan urusan manusia, melainkan karya Allah di
dalam diri manusia.
Dalam hubungan ini baik dipikirkan perbedaan antara "sikap beragama" dan
"kerohanian". Meskipun berpautan, kedua-duanya tidak sama. Sikap beragama
yang tulus dapat membawa ke hidup kekal dan membukakan dimensi keramat dalam
kehidupan, tetapi belum membawa orang betul-betul merasakan nikmat dan
hikmatnya Yang Keramat. Dia sendirilah yang bakal membawa orang kepadanya.
Tak sedikit orang yang kini merasa jenuh dengan "sikap beragama" dan
menginginkan masuk ke dalam "kerohanian". Injil Minggu ini mengutarakan
perbedaan di antara keduanya. Paradigma "sikap beragama" bisa panjang,
misalnya: menggereja, berkomunitas, membudayakan agama, agamaist. Lalu  apa
paradigma "kerohanian"? Kita tahu ada, tapi apa ujudnya, Dia sendirilah yang
lebih mengetahuinya! Kerohanian sejati luput dari perencanaan justru karena
tidak bisa diagendakan. Dan sia-sialah upaya untuk itu.

JALAN SAMA TUJUAN BERBEDA?

Tanggapan Yesus dalam Mrk 10:27 sebenarnya tidak langsung diarahkan kepada
para murid ("Siapa bakal selamat?"). Mereka sibuk dengan pemikiran mereka
sendiri mengenai keselamatan yang kini justru digoyah Yesus. Mungkin mereka
berpendapat bahwa keselamatan itu ialah mengalami "syalom" atau "kedamaian"
seperti sering dikuliahkan dalam traktat teologi keselamatan. Teologi
keselamatan seperti ini sebenarnya lebih termasuk paradigma "sikap
beragama", dan tidak berada di kawasan "kerohanian". Akibatnya, cepat atau
lambat orang merasa macet, jemu, tak mendapat inspirasi. Penawarnya ialah
teologi keselamatan yang lebih memberi ruang gerak pada Allah yang bertindak
menolong orang-orang yang butuh pertolonganNya. Itulah citra Allah dalam
Perjanjian Lama. Itu juga citra Anak Manusia dalam Perjanjian Baru yang
dinanti-nantikan orang banyak: menyembuhkan orang sakit, mengusir setan,
memberi makan orang banyak, menghidupkan orang.
Mungkin ada yang berkata, karyaNya ini toh bisa kita namai dengan abstraksi
"karya keselamatan", begitu kan? Nah, di sinilah cobaan terbesar: menamai
pengalaman rohani "ditolong Tuhan" dengan abstraksi yang universal mengenai
keadaan damai/syalom. Teologi keselamatan seperti ini memang jelas
penalarannya, tetapi kurang menggarap kerohanian.
Lalu manakah gagasan keselamatan yang lebih memberi ruang pada kerohanian?
Boleh jadi Mazmur 15 dapat membantu. Mazmur itu mulai dengan pertanyaan
siapa yang bakal diam di kemahMu ya Tuhan, siapa yang bakal tinggal di
Gunung SuciMu? Bagi sang petapa dalam Mazmur itu, tinggal bersama Tuhan di
kediamanNya ialah pengalaman rohani menikmati hikmatnya berada di dekat
Allah. Pengalaman rohani ini tidak mudah diabstraksikan menjadi paham damai
atau paham keselamatan begitu saja. Ayat-ayat selanjutnya menyebutkan
macam-macam perilaku yang menjadi petunjuk jalan masuk ke kediaman Tuhan.
Semuanya termasuk "sikap beragama" yang terarah menuju ke kesempurnaan
rohani, yakni tinggal bersama Tuhan di kediamanNya. Demikianlah ditunjukkan
kaitan antara sikap beragama dengan kerohanian sejati yang menjadi
kesempurnaan hidup. Pertanyaan pada awal Mazmur 15 nadanya mirip dengan
pertanyaan orang kaya yang datang kepada Yesus dalam Mrk 10:17 walaupun
titik tolaknya amat berbeda. Petapa dalam Mazmur itu ingin tahu bagaimana
caranya agar orang bisa berada bersama dengan Tuhan karena inilah
kepuasannya. Tetapi orang yang menemui Yesus tadi mencari kepastian
bagaimana bisa menikmati hidup kekal. Baginya berada dengan Tuhan,
"mengikuti Yesus" Mrk 10:21, bukan sumber kepuasannya! Anehnya, jalan yang
ditempuh sang petapa dalam Mazmur 15 dan orang dalam Mrk 10:17-27 praktis
sama. Bandingkan katalog perbuatan baik dalam Mzm 15 dan Mrk 10:19, tetapi
tujuan akhirnya berbeda. Semua perbuatan baik itu termasuk kesungguhan
beragama. Namun sikap ini dapat membawa orang ke dua arah yang amat berbeda
satu sama lain. Yang satu ke kepuasan rohani ada bersama Tuhan, sedangkan
yang lain ke kemuraman, ke rasa pilu karena tidak mampu mengikuti Tuhan. Ini
kendala hidup beragama yang mendua arah tujuannya. Maka tak heran bila
murid-murid Yesus bingung. Jawaban Yesus tidak melanjut-lanjutkan
kebingungan mereka, melainkan membawa mereka menyadari karya Tuhan sendiri.

UNTA MASUK LUBANG JARUM?

Ada beberapa hal dalam Mrk 10:17-30 yang sulit dimengerti. Banyak
pembicaraan mengenai ay. 25 yang menyebut-nyebut "unta" dan "lubang jarum".
Tak sedikit ahli tafsir yang menjelaskan pernyataan itu secara rasional
dengan mengatakan bahwa kata "unta", Yunaninya "kamelos", tertulis di situ
sebagai akibat salah dengar kata "kamilos", yang artinya tali, kabel,
seperti tali jemuran. Tentu saja bila dimengerti sebagai tali, ucapan Yesus
akan terasa kurang aneh. Lebih mudah dimengerti bila perkaranya ialah
memasukkan tali ke lubang pada tiang tambatan perahu., yang diibaratkan
lubang jarum. Orang bisa juga ingat bahwa ada kata Arab "jumal" yang berarti
tali penambat perahu, ada kesamaan dengan kata Arab lain, "jamal", yakni
unta. Bisa diduga-duga Aramnya Yesus dulu berbunyi seperti kata-kata itu
karena memang bahasa-bahasa itu serumpun. Tafsir seperti ini juga agak
mengurangi keanehan Mat 23:24 yang mengecam kaum Farisi yang teliti
menyaring uget-uget bila mau minum air, tetapi suka menelan unta
mentah-mentah! Jadi apa tidak lebih baik diartikan saja sebagai menelan
potongan-potongan tali yang entah bagaimana ada di dalam air minum. Memang
lucu, tapi kurang aneh daripada menelan unta mentah-mentah. Tetapi
naskah-naskah tua Perjanjian Baru yang tepercaya tidak menopang dugaan bahwa
pernah ada salah dengar dan salah tulis "kamilos" (tali) menjadi "kamelos"
(unta) tadi. Penjelasan filologis seperti ini sebetulnya temuan para
orientalis dari abad-abad silam yang diikuti begitu saja oleh para penafsir.
Lalu bagaimana tafsiran yang mengena? Tak ada jeleknya menerima teks seperti
adanya. Tak perlu kita berusaha menyulap unta menjadi tali perahu atau tali
apa saja, lebih-lebih jangan biarkan diri hanyut oleh buaian argumen
rasionalistis. Lebih baik pernyataan Yesus itu didengar sebagai kiasan untuk
membuat orang makin menyadari duduk perkaranya. Artinya, jelas tak mungkin
mereka itu masuk surga.) Yesus mau mengatakan betapa susahnya orang kaya
masuk Kerajaan Allah. Kiasan ini juga menekankan kontras pada akhir petikan.
Memang bagi manusia tak mungkin, tapi semua mungkin bagi Allah! Maksudnya,
manusia tidak bisa dengan upaya sendiri ("sikap beragama" belaka) mencapai
kesempurnaan, tapi bila yang membawanya ke sana itu Allah sendiri (menyadari
gerak "kerohanian sejati"), tentu saja bisa terjadi. Tak usah kita mulai
menuduh-nuduh siapa yang seperti orang kaya itu, juga tak perlu mencari-cari
siapa yang orang miskin yang sungguhan atau yang kurang sungguhan. Yang
penting kita bisa mengajak orang agar ikut bertanya seperti murid-murid yang
tak habis pikir tadi. Bila ini tercapai, kita akan ikut membuat orang jadi
peka akan pesan Injil, yakni insyafilah perbedaan antara "hidup beragama"
dan "kerohanian sejati", yang pertama itu upaya manusia mendekat kepada
Allah, yang lain kehadiran Allah dalam diri manusia.

MELIHAT VERSI MATIUS

Kaidah-kaidah moral yang disebut Yesus dalam Mrk 10:19 yakni jangan
membunuh, jangan berzinah, dst. hingga hormatilah ayah dan ibumu muncul
dalam Mat 19:19 dengan tambahan "dan kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri". Tambahan ini tidak ada dalam Luk 18:20. Gagasan "mengasihi
sesama seperti diri sendiri" memang sering dijumpai dalam Alkitab, lihat
antara lain Im 19:18 Mat 22:39 Mrk 12:31.33 Luk 10:27 Gal 5:14. Rm 13:9 Yak
2:8. Lazimnya gagasan itu dimengerti sebagai ajakan mengasihi sesama dengan
cara seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Terngiang petuah emas Mat
7:12 "Apa yang kamu inginkan bagi dirimu, perbuatlah bagi orang lain!"
Begitukah? Memang tak ada yang bakal menyangkal betapa mulianya ajakan ini.
Persoalannya, kata-kata "seperti kamu sendiri" itu sebaiknya dipahami
sebagai pelengkap "mengasihi" atau pelengkap "sesamamu". Bila dikenakan
kepada "mengasihi", maka kita diajak untuk mengasihi orang lain dengan cara
seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Tetapi bila dikenakan kepada
"sesamamu", maka kita diharap mengasihi sesama yang nasibnya kayak kita-kita
ini. Dengan kata lain, kita diminta agar solider dengan orang lain, agar
peduli terhadap orang lain yang senasib.
Mana tafsir yang jitu? Menurut cara bicara Ibrani atau Aram (dan Yunani
Perjanjian Baru), "kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" seyogianya
dimengerti sebagai ajakan agar kita mengasihi sesama yang kayak kita-kita
ini juga, dengan segala kendala hidup dan hasrat dan cita-cita yang ada,
bukan agar kita memperlakukan orang lain dengan cara seperti kita
memperlakukan diri kita sendiri. Dalam bahasa-bahasa itu, mengasihi sesama
seperti kita mengasihi diri kita akan diutarakan dengan mengulang kata
"mengasihi". Cara berungkap seperti ditemui dalam Yoh 15:12 "Inilah
perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti aku mengasihi kamu".
Jika "kasihilah sesama seperti dirimu sendiri" mau diartikan sebagai "kasihi
sesama seperti halnya kamu mengasihi dirimu sendiri", maka "mengasihi" akan
diulang pula. Tambahan dalam Mat 19:19 itu justru dapat memberi ulasan lebih
jauh mengenai serangkai hukum yang menjamin hidup kekal dalam Mrk 10:19.
Serangkai hukum itu dipaparkan bukan sebagai kewajiban-kewajiban belaka,
melainkan sebagai kepedulian yang mendalam terhadap orang lain yang senasib
sepenanggungan, entah mereka itu ayah ibu, mitra bisnis, lawan beperkara,
istri, atau pemilik barang-barang yang menggiurkan. Menumbuhkan kepedulian
ini menjadi jalan ke hidup kekal.

Salam hangat,
A. Gianto