Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa IX A - 6 Maret 2011

Minggu Biasa IX/A - 6 Maret 2011 (Mat 7:21-27 Ul 11:18.26-28.32)

Rekan-rekan yang baik!
Dalam Mat 7:21-27 Yesus menegaskan bahwa yang membuat orang masuk ke
Kerajaan Surga ialah menjalankan kehendak "Bapa-ku yang di surga" dan
bukanlah semata-mata menjalankan pelbagai kebaikan, seperti bernubuat,
mengusir setan, bermukjizat demi nama Tuhan. Pengajaran ini bagian dari
Khotbah di Bukit (Mat 5-7) yang memuat dasar-dasar kehidupan umat baru:
Sabda Bahagia (5:1-12) yang dilanjutkan dengan penegasan bahwa para murid
itu garam dunia (5:12-14) dan bahwa Yesus mengajar untuk meneguhkan serta
menjalankan yang sudah mereka ketahui dari Taurat Musa (5:17-48). Khususnya
bila memberi sedekah, hendaknya tak usah mempertontonkannya (6:1-4), begitu
juga bila berdoa (6:5-15; "Bapa Kami" 9a-13) dan berpuasa (6:16-18).  Umat
diajar agar tak terikat pada kekayaan duniawi 6:19-24) dan menumbuhkan sikap
pasrah kepada kebesaran ilahi agar rasa khawatir teratasi (6:25-34).
Hendaknya murid tidak bersikap mau menghakimi orang lain (7:1-5), hendaknya
bersikap hormat akan barang keramat (7:6), berteguh dalam memohon (7:7-11),
berani berusaha walau jalan kebenaran terasa sesak dan sempit pintunya
(7:12-14), sambil mewaspadai sikap kesalehan palsu (7:15-23), tetapi
hendaklah bijaksana dan penuh perhitungan (7-24-27). Orang banyak menjadi
takjub karena Yesus mengajar sebagai orang yang berkuasa, bukan seperti para
ahli Taurat mereka (7:28-29).

DARI BACAAN PERTAMA (Ul 11:18. 26-28. 32)

Konteks pengajaran Yesus ialah kehidupan rohani umat Perjanjian Lama. Dapat
dikatakan, inti kerohanian mereka ialah meluhurkan Sabda Ilahi dan
menyediakan diri untuk ditempatiNya. Dengan demikian mereka berbagi hidup
denganNya dan menemukan kebahagiaan sejati. Sabda dapat dikenali dalam ujud
Taurat yang memuat macam-macam ketetapan serta peraturan kehidupan umat.
Oleh sebab itu, menjalankan semua ini dengan sebaik-baiknya menjadi jalan
menuju ke kebahagiaan hidup dan keselamatan. Kesadaran seperti ini tercermin
dalam bacaan pertama, Ul 11:18. 26-28. 32. Orang diimbau agar menaruh
perkataan ilahi dalam hati dan jiwa - maksudnya dalam pikiran, anganan, dan
dalam kehidupan. Juga diminta agar perkataan itu diikatkan sebagai tanda
pada tangan dan menjadi lambang di dahi (ay. 18). Begitu maka semua
perbuatan ("tangan") dan maksud tujuannya ("dahi") dihubungkan langsung
dengan Sabda Ilahi sendiri. Tentu saja bukannya tindakan luar belaka. Bila
tidak disertai kesungguhan, maka perkataan yang mendatangkan berkat itu
malah membuat orang terkutuk justru bila tidak menjalankannya (ay. 26-28).
Oleh karena itu orang sekali lagi diimbau untuk mengikuti
ketetapan-ketetapan dan peraturan hidup yang membuat kehadiran Sabda
terlaksana dalam kehidupan umat (ay. 32). Boleh dikatakan "hukum-hukum
Taurat" dimaksud untuk memudahkan orang mendekat kepada Sabda Ilahi sendiri.
Tetapi bukanlah peraturan-peraturan itulah yang menjadi pokok. Lama kelamaan
dalam keagamaan umat Perjanjian Lama hukum-hukum itu disamakan dengan tujuan
sehingga memberatkan. Oleh karena itu berkembang profesi para ahli hukum
Taurat yang menjelaskan makna peraturan dan mengarahkan pada tujuan hukum
itu sendiri.
Pada zaman kemudian ada pengajar-pengajar yang justru menekankan sisi hukum
dan bukan isi serta tujuannya. Mereka membuat umat terbebani. Sabda Ilahi
yang memerdekakan batin malah tidak ditekuni. Pengajaran Yesus di Bukit (Mat
5-7) khususnya 5:17-48 bertujuan mengembalikan peraturan Taurat ke tujuan
semula. Dan orang banyak menangkap arah ini, oleh karena itu diceritakan
Matius bahwa mereka takjub Yesus mengajar sebagai orang yang berkuasa, bukan
seperti para ahli Taurat mereka (7:28-29).

AGAMA OBROLAN & OBRALAN?

Sebuah ironi bahwa agama sering menjadi buah bibir dan dibicarakan dalam
banyak kesempatan, tetapi berhenti dalam bentuk obrolan belaka. Memang enak
memperkatakan hal-hal yang ada "di sana", bebas dari macam-macam kenyataan
yang tak mengenakkan dalam hidup sehari-hari. Kerap juga sumber-sumber hidup
agama, terutama Kitab Suci dikemas dalam bentuk seruan-seruan moral seperti
barang obralan belaka. Inilah kiranya yang melatari Mat 7:21 "Bukan setiap
orang yang berseru kepadaku 'Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan
Surga, melainkan orang yang melakukan kehendak Bapaku yang di surga." Memang
agama menolong orang untuk melihat arah ke depan, ke hidup kekal, ke
keselamatan. Namun menaruh agama dalam arahan itu sering membuat orang lupa
daratan, menjauhi kenyataan di sekeliling. Masalah ini saya bawa kepada
Matt.

GUS: Ini nih, Matt, kok petikan kali ini ditaruh dalam hubungan dengan "pada
hari terakhir" (ayat 22), maksudnya apa?

MATT: Saat orang tahu betul apa yang betul dan apa yang tidak.

GUS: Lho, jadi sekarang ini tidak begitu jelas mana yang benar?

MATT: Kiranya begitu. Tapi ada pegangannya, sudah disebut di situ:
menjalankan kehendak "Bapa-ku yang ada di surga".

GUS: Penjelasannya bagaimana, umat di paroki masih bertanya-tanya.

MATT: Ehm, ungkapan "Bapa-ku yang ada di surga" itu khas ajaran sang guru
kita Yesus. Ingat, bahwa "Bapaku" itu kalau dilacak Aramnya dikatakan bukan
untuk membedakan "Bapaku" dengan "Bapamu" atau bapanya kaum ini atau itu,
tapi untuk menyebut Yang Mahakuasa dengan cara akrab, dekat, tanpa
sungkan-sungkan.

GUS: Kok masih kabur. Apa maksudnya membedakan Tuhan Allah yang jauh dan
yang dekat, penuh perhatian?

MATT: Persis! Dalam doa Bapa Kami para murid diajak untuk belajar berani
memanggil Yang Mahakuasa dengan cara itu. Jadi kita didorong untuk belajar
mendekat ke Yang Mahakuasa tanpa takut-takut, walau hormat dan pasrah. Maka
doanya berlanjut dengan "jadilah kehendakMu".

GUS: Tapi apa sih kehendak Bapa itu? Bagaimana kita bisa tahu?

MATT: Belum belajar? Lupa novisiat? Begini, orang Perjanjian Lama boleh tahu
yang dikehendakiNya lewat Taurat. pada zaman Yesus orang banyak diajak
mengikuti tafsir Taurat yang hidup dan menakjubkan, yakni Yesus sendiri. Itu
dia pegangannya.

GUS: Jadi gampangnya, kalau buka Kitab Suci, kitab pertama, Kejadian mulai
dengan pernyataan kehendak Yang Mahakuasa, "Jadilah terang!" dan begitu
ciptaan mulai dan seterusnya. Ini kan pegangan kita? Kehendak ilahi dalam
menciptakan wahana kehidupan di jagat ini?

MATT: Wah, pintar nih. Lalu?

GUS: Dari Oom Hans kita tahu bahwa "terang" itu ialah Sabda, yang
kenyataannya ialah Yesus yang kita ikuti ini kan?

MATT: Eh, kalau begini terus nanti kami jadi murid.

GUS [geli, Matt sih memang tidak kenal tulisan Oom Hans, tahunya hanya
Mark]: Kita setuju saja, melakukan kehendak Bapa yang di surga itu sama
dengan tidak  menghalangi agar Terang semakin meluas dan Sabda makin
didengar.

MATT [serius mukanya]: Ya tentu itu yang dimaksud! Mereka yang
menggembar-gemborkan telah begini begitu sebenarnya tidak membiarkan
Sabdanya makin kedengaran, melainkan kata-kata mereka sendiri. Masuk
Kerajaan Surga itu bukan upaya sendiri melainkan diupayakan oleh Yang Di
Atas sana. Hanya perlu membiarkan diri dibawa ke sana.

DUA JALAN

Dalam bagian kedua Injil Minggu kali ini disampaikan perumpamaan mengenai
orang yang membiarkan diri diresapi Sabda, yakni "mendengar perkataanku dan
melakukannya" sebagai orang yang membangun rumah di atas batu. Akan tetap
kokoh sekalipun diterpa hujan dan angin. Tetapi yang mendengar dan tidak
menjalaninya - tidak membiarkan diri dirasuki Sabda - seperti rumah yang
dibangun di atas pasir, bakal rubuh dilanda air banjir hujan dan angin.
Tetapi perumpamaan ini tidaklah sesederhana itu. Masalahnya bukan "sanggup"
atau "kurang sanggup" menjalankan yang didengar. Bila begitu akan tampil
sebagai seruan moral yang bagus didengar tapi risikonya berhenti pada
kesalehan belaka. Matius menaruh persoalannya pada tradisi kebijaksanaan.
Orang yang membangun rumah dengan dasar yang kukuh ialah "orang bijak", tapi
yang mendirikan rumah di atas pasir hanyalah "orang bodoh".  Perumpamaan
mengenai membangun rumah di atas batu atau di atas pasir disodorkan sebagai
dua jalan. Yang satu jalan kepintaran yang mengantar ke keselamatan, yang
lain jalan kebodohan yang mendorong ke kehancuran.
Dalam alam pikiran orang Yahudi, hidup beragama yang benar baru terwujud
bila dijalani dengan bijaksana. Bahkan boleh dikatakan, kebijaksanaan ialah
keagamaan yang sejati. Bukannya semata-mata menetapi hukum-hukum. Bukannya
sekadar menyuarakan ajaran-ajaran. Bukannya melulu menjalankan ini itu "atas
nama Tuhan". Orang bijaksana memperhitungkan tindakan-tindakannya. Seperti
dalam perumpamaan lima gadis bijaksana dan lima lain yang bodoh (Mat
25:1-13), diperhitungkan keadaan yang tidak diharapkan: mempelai datang
larut malam, atau seperti dalam perumpamaan kali ini, hujan angin. Hendak
disampaikan gagasan bahwa menepati ajaran agama tidak otomatis memperoleh
jalan masuk ke Kerajaan Surga. Malah yang beranggapan demikian akan
mengalami kerugian besar.

Salam,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment