Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa V A - 6 Feb 11

Minggu Biasa V/A 6 Feb 11 (Mat 5:13-16)

GARAM DAN TERANG DI MASYARAKAT

Ditegaskan dalam bacaan Injil Minggu V tahun A kali ini, Mat 5:13-16, bahwa
para murid ialah "garam" dan "terang" bagi dunia. Pernyataan ini kerap
mendorong agar orang berusaha sekuat tenaga menggarami dunia serta
meneranginya. Dunia ini seakan-akan tempat yang hambar dan gelap belaka dan
karena itu perlu diselamatkan. Itukah yang hendak diajarkan kepada para
murid? Injil sebenarnya mengajarkan hal lain, yakni agar para murid tidak
membiarkan diri luntur identitasnya dan bakal didiamkan orang. Bagaimana
penjelasannya? Marilah kita ikuti pembicaraan mengenai garam dan terang
sebelum memasuki teks Injil.

CHRIS: Kita ini sering berpanjang-panjang bicara tentang garam dan terang,
bagaimana sih menerapkannya bagi orang sekarang, lebih-lebih bagi umat
paroki sini.

MATT: Romo, di paroki sini atau di Vatikan garam sama-sama mengurangi rasa
hambar. Omong-omong, ini nih Paulus bilang kepada umat Kolose (Kol 4:5-6):
"Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu
yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar,
sehingga kamu tahu bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang."
Latinnya ay. 6 terasa gurih: "Sermo vester semper in gratia sale sit
conditus...."

CHRIS: Jadi bagi Paulus kata-kata yang bijak penuh kasih itu seperti makanan
yang gurih diresapi garam!

MATT Nah, tidak berputar-putar kan? Paulus menolong kita mengerti bahwa
garam itu membuat orang bisa membawakan diri. Maklum orang perlu bergaul
dengan "orang-orang luar", bukan hanya kalangan sendiri. Kolose itu pusat
perdagangan dan industri wol zaman itu, kayak daerah industri Tangerang dan
Bekasi yang menyerap tenaga kerja dari mana-mana. Para manajer di Kolose
banyak yang sudah jadi umat; mereka itulah yang disurati Paulus.

CHRIS: Apa hidup sebagai terang dunia juga bisa dipandang dengan cara itu?

MATT: Terang menyingkirkan gelap, membuat pikiran bisa memilah-milah,
membuat orang ber-discernment, tahu jalan yang benar, menjauhi cara-cara
yang asal saja.

CHRIS: Jadinya ingat Kol 1:12. Paulus bersyukur dengan penuh sukacita kepada
Bapa yang telah membuat kaum beriman di Kolose layak mendapat bagian di
dalam kehidupan "orang-orang kudus dalam terang". Jadi hidup dalam kekudusan
walau masih berpijak di bumi.

MATT: Pikirannya begini. Para murid sudah dilepaskan dari kuasa kegelapan -
seperti dimaksud Paulus dalam ayat berikutnya. Mereka hidup dalam alam yang
sudah dibuka oleh Yesus.

CHRIS: Maksudnya merdeka dari kekuatan-kekuatan yang mengungkung, meski
masih di dunia ini? Dan kita musti kreatif, tidak hambar dan kabur?

MATT: Akur!

MENYIMAK  Mat 5:13-16

Murid-murid disebut "Kamulah garam dunia...!" (ay. 13a). Bukannya diserukan
agar mereka "menjadi" garam. Yang dimaksud ialah agar mereka tetap sebagai
garam. Perkaranya, bagaimana bila dayanya hilang dan jadi hambar (ay. 13b)?
Ini terjadi bila murid kehilangan identitasnya. Garam yang hambar tak
berguna, bakal dibuang, diinjak-injak (ay. 13c). Murid yang tak bisa ikut
membuat dunia ini makin awet dan enak didiami dengan sendirinya tidak
menyumbang banyak. Sayang!

Para murid juga dibaratkan sebagai "terang dunia" (ay. 14a). Menyusul dua
contoh. Pertama, kota di atas gunung tentu saja terlihat dari mana-mana (ay.
14b). Murid-murid tak bisa menutup-nutupi diri, tak bisa bersembunyi. Cara
hidup mereka pasti terlihat, tak peduli apakah orang akan mendatanginya
sebagai tempat berlindung atau malah sebagai sasaran kedengkian.
Bagaimanapun juga, yang melihatnya tidak bakal hanya mendiamkannya. Contoh
selanjutnya makin jelas. Lampu menerangi seluruh ruang karena memang
dipasang di atas, tidak ditutup dengan tempayan (ay. 15). Para murid memang
ada di tempat yang memungkinkan mereka menerangi seluruh ruang. Hidup
sebagai murid bukan urusan kesempurnaan pribadi, melainkan hidup menerangi
lingkungan. Lebih tajam lagi ay. 16. Mereka hendaknya bersinar bagi semua
orang sehingga perbuatan baik mereka dilihat dan orang-orang akan
"memuliakan Bapamu yang ada di surga".

PENGAJARAN YESUS DI BUKIT

Bacaan dari Mat 5:13-17 diangkat dari kumpulan ajaran Yesus yang pertama
dalam Injil Matius, yaitu Mat 5-7. (Ada empat kumpulan lain, yakni Mat 10;
13; 18; 24-25.) Pada awal kumpulan pertama disebutkan, ketika melihat orang
banyak, Yesus naik ke sebuah bukit dan mulai mengajar para murid yang datang
kepadanya (Mat 5:1-2; lihat juga ulasan bagi hari Minggu IV yang lalu). Di
situ ia mengucapkan delapan Sabda Bahagia (ay. 3-10) yang bersangkutan
dengan kehidupan pada umumnya, ("Berbahagialah orang yang...!"). Sabda
Bahagia yang ke delapan (ay. 10) menyebut berbahagia orang yang mengalami
perlakuan buruk, dianiaya, karena mau melakukan kehendak Allah. Isi Sabda
Bahagia ke sembilan, ay. 11, sama dengan yang ada dalam ay. 10 tadi, tetapi
ditujukan langsung kepada para murid ("Berbahagialah kamu...!) yang
mengikutinya ke bukit tadi. Mulai saat itu Yesus mulai berbicara mengenai
kehidupan para murid sendiri.

Ada tiga hal yang boleh dicatat. Pertama, pembicaraan mengenai garam dan
terang dunia itu menyangkut diri para murid sendiri. Kedua, konteksnya ialah
pengalaman orang yang merasa dimusuhi karena melakukan kehendak Allah (ay.
10), dicela dan diperlakukan buruk karena Yesus (ay. 11). Ketiga, walaupun
demikian, mereka diharapkan tetap bersuka cita dan bergembira (ay. 12),
dalam bahasa sekarang, tidak kehilangan harga diri. Dalam konteks inilah
pengajaran mengenai garam dan terang tampil sebagai pengajaran mengenai
hidup para murid. Mereka diminta agar tetap berlaku sebagai garam dan terang
kendati mereka dimusuhi. Mereka diharapkan berteguh dalam kesulitan. Inilah
yang bakal membuat mereka ikut disebut "berbahagia".

Di dalam masyarakat modern pelbagai macam nilai bermunculan silih berganti,
segudang gagasan dipasarkan, pelbagai keyakinan diperjualbelikan. Di hadapan
semua itu orang bisa ikut arus dan akhirnya tenggelam. Acap kali ada yang
memilih jalan mudah dengan menentang semua yang beredar di dunia. Itukah
pengajaran bagi para murid? Garam dan terang tidak mesti berkonfrontasi
dengan dunia. Peran utamanya justru membuat dunia tak gampang membusuk dan
malah semarak indah dilihat, bukan mencurigai dan memusuhinya.

DI MASYARAKAT YANG BERLAPIS-LAPIS

Dalam konteks pengajaran di Bukit, menjadi murid jelas bukan ditujukan bagi
keselamatan sendiri atau demi keluhuran sang guru, melainkan agar orang
banyak bisa melihat betapa Yang Mahakuasa yang di surga itu bisa dialami
sebagai yang sebagai Bapa yang Maharahim. Perbuatan baik para murid menjadi
jalan bagi Yang Mahakuasa agar terlihat oleh orang banyak sebagai Bapa!

Bisakah orang tetap menjadi garam dan terang di dalam masyarakat majemuk dan
yang rumit susunannya seperti masyarakat zaman ini? Orang tak bisa tinggal
hanya di dalam kelompok sendiri. Mau tak mau akan ikut berperan di dalam
macam-macam tataran lain. Bisakah orang tetap punya identitas? Ya. Sekali
ditaburkan, garam memberi rasa pada sayur. Begitu pula terang menyinari
seluruh ruangan, tidak terbatas di satu sudut saja. Bila ada tempat yang
tidak kena terang atau tidak tergarami, itu karena ada penghalangnya. Dalam
masyarakat yang berlapis-lapis, para murid tidak hanya menggarami kelompok
sendiri atau menerangi lingkungan terbatas. Yang terjadi pada satu tataran
akan ada kelanjutannya di lapis lain pula. Katakan saja "garam dan terang
dunia" itu membola dunia. Bila hanya setempat-setempat saja, maka hidup
sebagai garam dan terang "bagi dunia" itu hanya tetap wacana belaka. Di era
yang makin mengalami globalisasi ini, makin besar pula peran garam dan
terang tadi. Yang tidak menjalankannya akan menjauhi kenyataan dan menjadi
hambar, ambles, padam, tak masuk hitungan.

Hidup sebagai garam bukan berarti terjun mengasinkan orang-orang lain dengan
menonjolkan ibadat serta rumus-rumus kepercayaan sendiri. Itu justru arah
yang semakin ke diri sendiri, makin sungsang. Garam itu meluas, tidak
menciut. Hidup sebagai terang berpusar ke luar, tidak berputar ke dalam.
Maka usaha mendapat pengikut sebanyak-banyaknya ala kegiatan proselitisme
bukan tafsiran garam dan terang dunia yang bisa dipertanggungjawabkan. Lalu
apa?

Sekali lagi Mat 5:16 dapat dipakai sebagai pegangan. Para murid diminta agar
melakukan perbuatan yang bakal membuat orang-orang bisa memuliakan Bapa yang
ada di surga. Maksudnya ialah agar perbuatan dan tingkah laku para murid itu
menjadi bentuk kehadiran Bapa di dunia ini. Kehadiran seperti ini tidak
dapat dipaksa-paksakan kepada orang banyak. Hanya bisa dipersaksikan. Dan
itu tidak selalu mudah dimengerti. Kerap kali sikap kurang menerima dan
memusuhi berawal dari kurang mengenali apa yang sedang terjadi. Maka
tindakan yang paling bijak ialah membuat agar didengar dan dikenal terlebih
dulu secara apa adanya. Makin berlapis-lapis sebuah masyarakat, makin perlu
identitas masing-masing kelompok tampil dengan jujur. Tanpa integritas,
dengan mudah terjadi saling kecurigaan mengenai itikad baik masing-masing
dan kesetujuan-kesetujuan bersama susah tercapai. Memang keragaman dapat
mengakibatkan sikap apatis, luntur, ngikut aje, pindah-pindah. Tetapi justru
garam dan terang bagi dunia itu akan menghilangkan rasa hambar dan
mengendalikan kesimpangsiuran.

Salam hangat,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment