Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa XV A - 10 Juli 11

Minggu Biasa XV/A 10 Juli 11 (Mat 13:1-23 Yes 55:10-11)

TANAH SUBUR - TANAH KERSANG

Rekan-rekan sekalian!
Dalam petikan Injil Minggu Biasa XV tahun A ini, Yesus menerangkan kepada
murid-muridnya arti perumpamaan mengenai seorang penabur yang pernah
disampaikannya kepada orang banyak dalam Mat 13:1-9. Menurut ay. 18-23
perumpamaan ini dimaksud menjelaskan bahwa sabda Tuhan datang kepada siapa
saja. Tetapi belum tentu pada semua orang sabda itu akan tumbuh dan membawa
hasil berlimpah. Benih sabda yang tertabur di pinggir jalan tak sempat
tumbuh karena dimakan burung. Ada yang sempat tumbuh tapi tidak berakar
seperti yang jatuh ke tanah berbatu-batu atau segera mati terhimpit semak
duri. Hanya yang jatuh ke tanah subur bisa bertumbuh dan berbuah berlipat
ganda. Apa warta perumpamaan itu? Dan apa maksud penjelasan yang khusus
ditujukan kepada para murid?

DARI KEHIDUPAN BERCOCOK TANAM

Cara bercocok tanam pada zaman itu tidak selalu sama dengan yang dikenal
sekarang. Dulu biasanya biji disemai sebelum tanah digarap. Bukan
sebaliknya. Jadi tanahnya memang belum dibajak atau dicangkul atau dialiri
air. Baru kemudian tanah yang sudah ada bijinya itu akan digemburkan.
Praktek ini berkebalikan dengan yang biasa dibayangkan orang sekarang. Apa
relevansinya bagi tafsir?

Biji yang disebut jatuh di pinggir jalanan itu bukan karena penaburnya
menyemai secara acak atau tanpa rencana. Rekannya atau dia sendiri nanti
akan menggemburkan tanah di pinggir jalanan yang baru saja ditaburinya tadi.
Tetapi apa lacur, seperti diceritakan dalam perumpamaan itu, sebelum tanah
sempat digarap, benih yang ditabur di situ keburu dimakan burung.

Yang jatuh ke tanah yang berbatu-batu? Yang dimaksud ialah tanah yang keras,
berkapur dan kersang, seperti yang ada di wilayah Gunung Kidul. Penabur
tidaklah kebetulan menabur di tanah berbatu-batu. Di situ sengaja ditaburkan
benih. Lahan itu nanti akan dibajak, dicangkul, digemburkan sebisanya.
Pendengar pada zaman dulu tentu tersenyum mendengar cerita ini. Mereka tahu
bahwa tanah berbatu-batu seperti itu akan tetap kurang baik bagi pertumbuhan
biji tak peduli usaha perbaikan macam apapun. Juga bila diairi, dengan cepat
akan kering karena airnya terserap ke kedalaman dan kecambah tidak akan
mendapat air tanah. Mengapa si penabur tetap menyemai di situ? Karena
termasuk ladangnya? Karena ia masih berharap ada yang luar biasa? Pendengar
akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan ini dan akan belajar satu dua hal
mengenai tekad sang penabur.

Begitu pula dengan biji yang jatuh di antara semak duri. Semak seperti itu
bisa tumbuh di tanah kersang dan berbatu-batu sekalipun. Meski tanah yang
akan digarap itu dibersihkan dari onak duri, sebentar lagi tentu akan tumbuh
kembali. Dan benih yang disemai di tanah yang beronak itu tidak bakal tumbuh
baik. Akan terhimpit. Kok dibiarkan saja? Kenapa penabur tetap menabur di
situ? Sekali lagi pendengar diajak ikut memikirkan dan membaca kehidupan
yang sering seperti hidup di tengah onak duri. Apa yang bisa terjadi?

Lalu apa itu tanah yang baik? Dari semula tentu tanah ini sudah baik. Benih
yang ditabur di situ nanti akan tumbuh baik, tentunya setelah tanah
digemburkan. Bagaimanapun juga perlu penggarapan agar benih bertumbuh baik
dan berbuah melimpah. Tetapi apa bedanya dengan tanah di pinggir jalan? Biji
yang jatuh ke tanah baik sebetulnya juga menghadapi risiko dimakan burung.
Tetapi tidak begitu kejadiannya. Mengapa? Mungkin karena biji ditaburkan
pada waktu tak ada burung mengincar. Boleh jadi juga tanahnya segera digarap
sehingga benihnya tertutup tanah dan mulai tumbuh dan burung-burung tak
sempat memakannya. Siapakah yang menggarap tanah ini? Begitulah perumpamaan
ini mengajak berpikir.

PERUMPAMAAN DAN KONTEKSNYA

Sampai di sini kita boleh bertanya, apakah yang hendak diajarkan Yesus?
Pokok yang hendak disampaikan kiranya bukan terutama menyangkut perihal
menabur, bukan pula terpusat pada sang penabur, baik dengan huruf p kecil
maupun dengan huruf P besar, melainkan perihal tanah yang bakal digarap dan
sudah ditaburi itu. Perumpamaan ini diceritakan untuk menggugah
kebijaksanaan batin. Bila melihat benih yang jatuh di tanah yang begini atau
yang begitu, bagaimana reaksi kita?

Pendengar diajak melihat bahwa pada dasarnya ada dua macam tanah. Ada tanah
yang dapat memberi hasil dan ada tanah yang akan tetap mandul. Penyebab
tanah mandul macam-macam: kehilangan benih, memang kersang, atau ditumbuhi
semak berduri. Dalam konteks Injil Matius, tanah yang mandul ini ialah
orang-orang yang tidak bersedia menerima Yesus dan pewartaannya. Mereka itu
disebut kaum Farisi. Bersama kaum Saduki, mereka sebenarnya pernah dihimbau
Yohanes Pembaptis agar menghasilkan buah sesuai dengan perubahan sikap
("pertobatan") yang mereka niatkan ketika minta dibaptis olehnya (Mat 3:8).
Yang diwartakan Yohanes Pembaptis kan kedatangan Yesus. Namun mereka menolak
Yesus. Mereka itu tanah yang sudah disemai benih tetapi tidak bisa menikmati
pertumbuhannya karena sudah kehilangan benih itu sendiri. Mereka itu juga
tanah kersang, bahkan tanah yang hanya bisa ditumbuhi onak. Lalu siapa tanah
yang subur? Dalam Mat 12:50 Yesus berkata, "Siapa saja yang melakukan
kehendak Bapaku di surga, dialah saudaraku laki-laki, saudaraku perempuan
dan ibuku." Mereka yang menjalankan kehendak Bapanya menjadi tanah yang
memberi hasil. Arti "menjalankan kehendak" itu ialah menuruti, mendengarkan.
Jelas mendengarkan Bapa berarti menerima yang disampaikan olehNya kepada
manusia, yakni Yesus sendiri. Orang Farisi menolaknya, karena itu mereka
jadi tanah mandul. Para murid menerimanya dan mereka menjadi tanah subur
bagi benih sabda.

PENERAPAN PERUMPAMAAN

Perumpamaan itu berakhir dengan seruan "Siapa yang bertelinga, hendaklah ia
mendengar!" (ay. 9). Dalam alam pikiran orang Semit, telinga itu jalan untuk
memperoleh pengertian dan kebijaksanaan. Karena itu, mendengar pertama-tama
berarti mengerti dan bertindak sesuai dengan kesadaran ini. Ayat itu
mengajak orang menyadari bahwa memang ada tanah yang subur dan ada tanah
yang tak menghasilkan apapun. Lahan buruk tidak bisa diperbaiki? Tentu saja
kesimpulan ini mengusik batin. Usaha perbaikan sia-sia? Lalu apa yang bisa
diperbuat? Kalau begitu, tentunya tindakan yang paling cocok bila melihat
ada benih jatuh ke tanah yang tak bakal menguntungkan ya memindah benih itu
ke tanah yang subur supaya bisa tumbuh dan berbuah. Kita juga dihimbau agar
mengenali tanah yang baik supaya bisa menolong dengan sungguh. Itulah warta
perumpamaan tadi.

Dalam ay. 18-23 perumpamaan tadi diterapkan pada kehidupan iman para
pengikut Yesus:

-      Orang dihimbau agar menjadi tanah yang subur yang memungkinkan benih
tumbuh dan berbuah berlipat ganda. Juga diajarkan bagaimana menjaga agar
sabda yang telah ditaburkan tidak hilang atau terhimpit.

-      Bila disadari bahwa benih sabda terancam si jahat (ay. 19), maka
orang perlu berjaga-jaga agar benih itu tidak gampang terampas. Secara tak
langsung diajarkan agar siapa saja yang mau menjadi murid berani
mengusahakan agar semakin banyak benih menemukan tanah yang baik dan tidak
membiarkannya tinggal di tanah kersang atau lahan yang beronak duri dan
berkeras kepala mengharapkan tanah seperti itu akan bisa membaiki.

-      Tanah kersang dijelaskan sebagai penganiayaan dan intimidasi yang
sering dialami kaum beriman. Apa yang bisa diperbuat? Pendengar diminta
berpikir. Bisa jadi sikap paling bijaksana ialah secara proaktif mencegah
terjadinya keadaan itu. Bila toh terjadi, keadaan sulit tak selalu perlu
dihadapi secara frontal. Ada kalanya lebih baik menghindarinya. Beriman
tidak identik dengan jadi pahlawan atau martir. Kita dihimbau agar menemukan
kebijaksanaan dalam beriman. Dengan demikian kita akan pandai-pandai
menghadapi "kekhawatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan" yang menghimpit
benih sabda (ay. 22).

Penjelasan Yesus berakhir dengan pernyataan bahwa tanah yang baik itu ialah
orang yang "mendengar sabda dan mengerti" dan karena itu dapat berbuah
berlipat ganda (ay. 23). Bagi mereka yang mengusahakan diri menjadi murid
dan pengikutnya, ikhtiar yang sesuai kiranya terletak dalam usaha membuat
tanah yang telah ditaburi benih betul-betul menjadi lahan subur. Bila perlu
mencari tanah yang lebih baik. Mengerti juga berarti mengusahakan agar tokoh
yang mereka ikuti, yakni benih yang tersemai dalam diri mereka, semakin
menjadi bagian dalam kehidupan.

AGAR DIMENGERTI BANYAK ORANG

Perumpamaan dalam Injil kali ini disampaikan kepada banyak orang. Mereka
diajak mendengarkan dan menarik kebijaksanaan daripadanya. Tetapi hanya
kepada murid-murid Yesus sajalah arti perumpamaan yang khusus dijelaskan.
Mereka ini, seperti dikatakan ay. 11, mendapat karunia mengetahui rahasia
Kerajaan Surga. Ayat yang sama juga menegaskan, pada orang banyak karunia
itu tidak diberikan. Apa maksudnya? Tentunya untuk membuat para murid
semakin merasa bertanggung jawab mengusahakan agar orang banyak menjadi
"tanah yang subur" bagi Kerajaan Surga. Mereka diajak agar ikut menjadikan
Sabda Ilahi benar-benar terlaksana dan benar-benar menampilkan kekuatannya.

Dalam bacaan pertama (Yes 55:10-11) Sabda Ilahi digambarkan sebagai air yang
turun dari langit tidak kembali ke atas, melainkan mengairi bumi,
menyuburkannya, menumbuhkan tetumbuhan sampai memberi benih kepada penabur
dan akhirnya bahan makanan (ay. 10). Sabda membawakan kehidupan dan tidak
tinggal sebagai perkataan suci belaka  - inilah yang dimaksud dengan
"sabdaKu...tidak akan kembali kepadaku dengan sia-sia, melainkan akan
melaksanakan apa yang Kukehendaki dan berhasil..." (ay. 11).  Petikan dari
Kitab Yesaya ini mengajak orang melihat daya Sabda Ilahi yang sesungguhnya:
Sabda yang terlaksana, yang menjadi kenyataan. Rekan-rekan pewarta Sabda
dapat banyak menarik manfaat dari penegasan ini dengan membantu orang banyak
dapat melihat dan merasakan kenyataan itu.


Salam hangat,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment