Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa XV/C - 11 Jul 10

Injil Minggu Biasa XV/C - 11 Jul 10 (Luk 10:25-37)

PERUMPAMAAN ORANG SAMARIA YANG BAIK HATI

Meskipun tidak jelas-jelas disebutkan, kisah orang Samaria yang baik hati
dalam Luk 10:25-37 (Injil Minggu Biasa XV tahun C) adalah sebuah
perumpamaan. Yesus menampilkannya dalam pembicaraannya dengan seorang ahli
Taurat.

MENGARAH KE HIDUP KEKAL = DASAR DIALOG IMAN?

Apa yang mesti dilakukan untuk memperoleh kehidupan kekal? Masalah yang
diungkapkan ahli Taurat kepada Yesus ini menyuarakan pertanyaan dalam diri
banyak orang. Dirasakan adanya kaitan antara kehidupan sekarang dan nanti.
Bila orang dapat membiasakan diri menerima kehadiran Yang Mahakuasa,
tentunya nanti dalam kehidupan selanjutnya ia akan diingat olehNya. Bila
pernah berbuat baik kepada orang lain, rasa-rasanya juga tidak akan
terlantar bila sudah pindah ke dunia sana nanti. Meski tidak ada jaminan
yang pasti, keyakinan seperti ini menjadi dasar hidup beriman dalam arti
yang paling umum yang diajarkan tiap agama. Bila begitu, mengapa dialog
antar iman yang kerap dilakukan di banyak tempat di negeri kita ini jarang
menyentuh dasar yang paling umum dari iman sendiri? Sedemikian lumrah
sehingga terabaikan? Pokok ini bisa juga menjadi dasar pembicaraan tanpa
segera mengarah pada perbedaan agama seperti bacaan hari ini.

Baik Yesus maupun ahli Taurat mempunyai jawaban yang sama bagi pertanyaan
bagaimana memperoleh kehidupan kekal tadi. Memang disebutkan bahwa sang ahli
Taurat bermaksud "mencobai" Yesus. Maksudnya untuk menguji apa guru dari
kalangan bukan resmi ini juga paham apa masalahnya. Yesus menggulirkan
pertanyaannya kembali kepadanya. Tentu ahli Taurat itu senang mendapat
kesempatan mengutarakan tesis baru mengenai soal iman tadi. Begitulah dalam
ayat 27 ("Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati, dengan segenap
jiwamu, dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu"), ia
merumuskan kembali Ul 6:5 ("Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu,
dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu") dan menggabungkannya
dengan Im 19:8 ("Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."). Kedua
perintah itu diketahui dan dipercaya orang, tetapi gabungan antara keduanya
sebagai jalan emas untuk mencapai kehidupan kekal belum biasa terdengar di
antara orang Yahudi. Lagi pula apa hubungan antara keduanya, yang satu
mewujudkan yang lain, atau dua hal terpisah dijalankan bersama?

DARI PERSPEKTIF PERJANJIAN LAMA

Perintah mengasihi Tuhan itu bagian dari ungkapan "Syema' Israel"
("Dengarkanlah hai Israel!") yakni ungkapan kepercayaan atau syahadat
mereka, "Dengarkanlah hai Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!" (Ul
6:4) dan dalam ayat selanjutnya (Ul 6:5) dilanjutkan dengan kata-kata yang
dikutip ahli Taurat tadi, yakni "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap
hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu." Teks ini
menyebut tiga unsur yang dijelaskan dengan kata "segenap". Ahli Taurat tadi
menambahkan hal keempat, yakni "segenap akal budi" (Luk 10:27; Yesus juga
menyebutkannya dalam Mrk 12:30 juga dalam Mat 22:37, walaupun Matius tidak
menyebutkan "dan dengan segenap kekuatanmu"). Masalah teks ini tidak sukar
dijelaskan. Dalam alam pikiran Ibrani, "hati" aslinya ialah tempat bernalar,
jadi sama dengan akal budi. Namun kemudian "hati" juga dimengerti sebagai
tempat afeksi, termasuk iba hati, yang dulu-dulunya dibayangkan bertempat di
perut. Beriba hati diungkapkan dengan "rahimnya tergetar", "isi perutnya
terpilin-pilin", tergerak hatinya, seperti orang Samaria dalam Luk 10:33.
Karena perkembangan itu maka dalam penerusan ayat tadi sering ditambahkan
penjelasan mengenai yang sesungguhnya dimaksud dengan "segenap hati" tadi,
yakni "seluruh akal budi". Penjelasan ini ditaruh pada akhir ayat sehingga
tidak memecah rumusan asli.

Mengasihi Tuhan dengan segenap hati maksudnya ialah memikirkannya dengan
sungguh, mencari tahu sampai ke dasar-dasarnya, mempelajari siapa Dia itu,
mencoba mengerti kebesaranNya, juga dengan filsafat. Dengan "segenap jiwa"
artinya tidak berpura-pura, di luar tampaknya penuh perhatian tapi di
dalamnya tak peduli, atau ada udang di balik batu, ada agenda tersembunyi.
Orang sekarang akan merumuskannya dengan gagasan "integritas". Akhirnya,
"segenap kekuatan" berarti kekayaan, harta, kedudukan, kepandaian,
ketrampilan, apa saja yang dimiliki yang dapat membuat orang jadi
terpandang. Semua hal yang ada pada manusia itu, hati/budi, integritas,
kemampuan dapat diamalkan sehingga ungkapan "mengasihi Tuhan" makin berarti.
Jadi mengasihi Tuhan itu sama dengan menjadi manusia yang makin utuh.

TASIR MENGASIHI SESAMA

Bagian kedua dari kutipan ahli Taurat tadi merujuk kepada Im 19:18, yakni
mengasihi sesama "seperti dirimu sendiri". Apa artinya? Mengasihi orang lain
dengan cara seperti layaknya kita memperhatikan diri kita sendiri, seperti
yang ada dalam petuah emas "lakukan kepada orang lain seperti apa yang
kauinginkan terjadi padamu"? Memang sering ditafsirkan demikian. Namun
kalimat itu sebenarnya lebih sederhana: kasihilah sesamamu mengingat sesama
itu ya seperti kamu-kamu juga. Sama-sama butuh keselamatan, sama-sama mau
mendapat kebahagiaan dalam hidup kekal nanti. Jadi di sini ada ajakan
menumbuhkan solidaritas di antara orang-orang yang berkemauan baik.

MENENGOK INJIL MARKUS

Apa arti penggabungan perintah mengasihi sesama dalam Im 19:18 dengan
perintah mengasihi Tuhan dalam Ul 6:5 tadi? Inilah pokok masalah yang
sebenarnya ingin diajukan ahli Taurat tadi. Ia ingin tahu apa Yesus paham
perkaranya. Apa bagi Yesus perintah yang pertama belum cukup dan harus
digabung dengan yang kedua? Atau yang pertama itu mengharuskan yang kedua?
Atau yang pertama itu bisa dilaksanakan dengan yang kedua, jadi yang kedua
itu bentuk nyata dari yang pertama? Ahli Taurat itu mau tahu apa Yesus
memiliki kemampuan berteologi atau hanya tahu abece katekismus saja.

Hal ini sudah pernah muncul dalam Mrk 12:28-34 (lihat juga Mat 22:34-40).
Seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus manakah perintah yang utama. Jawab
Yesus dalam Mrk 12:29-31 sama dengan kata-kata ahli Taurat dalam Luk 10:27
tadi. Dalam Mrk 12:32-33 sang ahli Taurat membenarkan Yesus dengan mengulang
kedua perintah itu sambil menambahkan "[mengasihi Tuhan] dan mengasihi
sesama manusia seperti diri sendiri jauh lebih utama daripada semua kurban
bakaran dan kurban lainnya." Pernyataan "lebih utama" itu jelas terlihat
dalam teks aslinya dimaksud sebagai predikat "mengasihi sesama..." Ini
pernyataan yang amat berani. Ahli Taurat dalam Mrk 12:33 tadi menandaskan
bahwa beragama itu intinya mengasihi sesama manusia - ini lebih utama dari
pada semua praktek yang langsung meluhurkan dan mengasihi Tuhan, yakni
segala macam kurban, segala macam upacara. Markus mencatat bahwa Yesus
melihat ahli Taurat itu menjawab dengan bijaksana dan menyatakan bahwa ia
tidak jauh dari Kerajaan Allah (Mrk 12:34).

Di kalangan orang Yahudi menjelang zaman Yesus ada pelbagai aliran kebatinan
yang menekankan kesatuan antara kedua perintah tadi sambil menegaskan bahwa
mengasihi sesama adalah jalan yang paling membuat orang sungguh mengasihi
Tuhan. Pengajaran Yesus sendiri juga ada dalam arah itu. Nanti dalam ajaran
mistik Yahudi dalam Abad Pertengahan, manusia kerap digambarkan sebagai
percikan api yang asalnya dari Tuhan. Artinya dalam diri manusia ada
secercah terang yang membawanya kembali kepadaNya, tanpa susah-susah, asal
diterima. Jadi terimalah sesama karena ia juga mempunyai recikan keilahian
yang sama, karena ia itu sesama itu gambar dan rupa ilahi. Sering ada
ketegangan dengan mereka yang lebih melihat kedua perintah itu sebagai dua
hal, bukan satu hal. Yesus mengatakan dalam Mrk 12:34 bahwa ahli Taurat yang
bijaksana itu tidak jauh dari Kerajaan Allah, maksudnya, pemikiran ahli
Taurat tadi amat dekat dengan warta Yesus sendiri. Pembicaraan dalam Luk
10:25-28 yang mendahului perumpamaan orang Samaria yang baik hati itu
cerminan Mrk 12:28-34. Lukas mengolahnya dengan kisah orang Samaria yang
baik hati.

ORANG SAMARIA

Ahli Taurat dalam Luk 10:25-37 itu mau tahu apakah Yesus paham di sini ada
perkara teologis yang hanya bisa dipecahkan dengan kebijaksanaan seperti
dalam Markus tadi. Apa Yesus itu orang yang hanya asal percaya huruf atau
bisa dianggap kolega yang pintar berusaha mengerti ayat-ayat? Jawaban Yesus
yang mengiakan itu memberi kesan seakan-akan ia tidak melihat apa yang
diarah ahli Taurat tadi. Aha! Makin jelas perkaranya nih, begitu pikir sang
ahli Taurat girang. Makin empuk mendekat ke pemecahan. Lalu kata Lukas yang
sebenarnya memoderatori seminar antar pakar agama itu, ahli Taurat tadi
bertanya lagi "untuk membenarkan dirinya" (ayat 28), dan mengungkapkan pokok
masalah kedua: "Siapakah sesamaku manusia itu?"

Dengan bercerita mengenai orang Samaria yang baik hati itu Yesus menuntun
ahli Taurat tadi sampai pada kebenaran. Tapi caranya khas. Ia dibawa ke arah
yang berlawanan dan baru pada akhir orang dihadapkan pada jawaban
sesungguhnya. Ahli Taurat itu mau tahu siapa sesama manusia dan perumpamaan
itu pasti membuatnya mengira bahwa Yesus mau mengatakan bahwa sesama manusia
ialah orang yang malang yang tak ditolong oleh kaumnya sendiri itu.
Seolah-olah mau diajarkan bahwa pemuka Yahudi mestinya sadar bahwa mengasihi
sesama itu mengasihi orang yang kena malang. Namun mereka sudah tahu. Pada
akhir cerita itu (ayat 36) Yesus bertanya dan membuat orang sadar akan arah
yang semestinya dipikirkan. Siapakah dari antara ketiga orang itu adalah
sesama bagi orang malang itu? Tak bisa lagi dielakkan, sesama manusia bagi
orang malang itu ialah orang Samaria tadi.

Pemerhati perumpamaan orang Samaria ini dituntun beralih dari bertanya
"Siapakah sesamaku?" menuju ke "Aku ini sesama bagi siapa?" Kejujuran,
kebaikan hati, kemauan menolong tidak lagi menjadi pusat perhatian. Semua
ini diandaikan ada. Yang mesti ditanyakan, semua ini kupunyai untuk siapa?
Dengan semua ini aku bisa menjadi sesama bagi siapa? Lebih maju lagi, dengan
menjadi "sesama" ini, bisakah aku makin menjadi jalan bagi sesama itu untuk
tahu apa itu "mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap
kekuatan dan segenap akal budi"? Bila orang sampai ke situ, boleh
dibayangkan Yesus juga akan menyapanya dengan penuh pengertian, "Sana,
jalankanlah!

Salam hangat,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment