Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa XVIII C - 1 Agt10

Injil Minggu Biasa XVIII/C 1 Agt 10 (Luk 12:13-21)

KEKAYAAN DAN KEBAHAGIAAN

Injil yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XVIII tahun C ini (Luk 12:13-21)
beranjak dari pembicaraan antara Yesus dan orang yang datang meminta
pertolongannya untuk menyelesaikan perkara warisan (ayat 13-15). Orang itu
merasa bahwa haknya dalam pembagian warisan tidak dihormati ooleh saudaranya
dan meminta Yesus berbicara kepada saudaranya. Memang ada kebiasaan orang
pergi menghadap seorang yang dituakan, guru, penghulu adat, atau tokoh yang
wibawanya diterima umum. Tetapi Yesus tidak bersedia menjadi hakim bagi
perkara itu. Alih-alih, ia mengajak orang berpikir mengenai sikap terhadap
harta kekayaan dengan sebuah perumpamaan mengenai orang kaya yang bodoh
(ayat 16-21).

LATAR BELAKANG

Dalam masa pemerintahan Romawi, pada prinsipnya semua perkara diatur oleh
hukum Romawi. Bahkan digariskan pula sampai mana dan bagaimana hukum adat
dan agama bisa diberlakukan. Keputusan dalam hukum adat bertambah kuat bila
diberi pengesahanan menurut hukum Romawi. Cukup sering perkara jual beli
atau pembagian milik menurut adat dibawa ke lembaga resmi Romawi untuk
dicatat dan diresmikan. Maklum perundang-undangan hukum positif di seluruh
wilayah Romawi mengharuskan pengesahan semua keputusan adat. Tentu saja
dalam pelaksanaannya tidak semuanya terjadi demikian. Pihak penguasa Romawi
juga tidak selalu ikut campur dan mengontrol kecuali dalam perkara-perkara
penting seperti pencatatan penduduk atau hukuman mati yang ditetapkan oleh
mahkamah agama. Jelas campur tanggan penguasa asing tidak disenangi di
kalangan Yahudi walaupun mereka tak bisa mengelakkan dualitas hukum. Masalah
apakah orang Yahudi boleh membayar pajak kepada kaisar atau tidak ialah satu
perkara yang mencerminkan keadaan ini (Mrk 12:13-17; Mat 22:15-22; Luk
20:24-25). Dalam episode itu dualitas hukum dipakai lawan-lawan Yesus untuk
menjeratnya. Tetapi ia mengembalikan permasalahannya kepada yang menanyainya
dan tidak terperosok perangkap mereka

Mengapa orang tadi tidak mendapat hak warisannya? Boleh jadi saudara orang
itu memang mengakangi seluruh warisan. Suatu keadaan yang tidak jarang
terjadi di dalam keluarga yang baik-baik sekalipun. Ketamakan sang saudara?
Boleh jadi. Tapi peristiwa ini sebaiknya tak perlu dijadikan bahan menuduh
pihak-pihak tertentu. Perkara warisan di sini memang tidak dimaksud untuk
menjerat Yesus. Malah jelas orang-orang menghormati wibawanya. Namun apa
tanggapan Yesus? Ia menolak ikut serta dalam sengketa mengenai warisan.
Mengapa? Boleh jadi latar belakang di atas membantu memahami. Soal sengketa
itu bisa diurus dengan pihak yang lebih berwenang, khususnya dalam urusan
hukum. Dengan demikian penyelesaiannya akan lebih terjamin.

NASEHAT BERJAGA-JAGA

Sudah menjadi kebiasaan bahwa orang yang datang ke pada orang yang
dihormati, seorang guru, tidak akan pulang dengan tangan hampa meskipun
permintaannya tak dikabulkan atau permasalahannya tidak mendapat
penyelesaian. Begitu pula Yesus yang dalam ayat 13 disapa sebagai "Guru" itu
tidak menyuruh orang pergi tanpa bekal. Dan yang diberikannya ialah ajaran
sikap hidup yang jauh lebih berharga daripada penyelesaian urusan warisan.
Diberikannya nasehat agar berhati-hati dalam berurusan dengan harta, agar
jangan kemaruk (ayat 15). Nasehat ini kemudian dijelaskan dengan perumpamaan
orang kaya yang bodoh (ayat 16-21). Ada banyak kemiripan dengan cara yang
dipakai Yesus dalam menjawab masalah yang diajukan seorang ahli Taurat
mengenai cara terbaik memperoleh hidup kekal yang menjadi dasar bagi
perumpaan orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37). Dalam kesempatan itu
Yesus tidak mengupas hukum Taurat yang sudah dikenal baik sang ahli Taurat,
tetapi ia mengajarkan hal yang baru dengan perumpamaan orang Samaria yang
baik hati: apa artinya menjadi "sesama bagi orang lain" dan bukan terpaku
pada gagasan siapa "sesama-ku" itu. Dalam peristiwa hari ini, suatu masalah
dalam pembagian kekayaan beralih menjadi pengajaran hidup agar menjadi kaya
di hadapan Allah.

Kepada siapa ditujukan nasehat agar berhati-hati terhadap sikap tamak akan
harta (ayat 15)? Dapat diperiksa dari perubahan kata ganti. Dalam ayat
sebelumnya, pembicaraan hanya terjadi antara Yesus dan orang yang datang
membawa perkara warisan. Dalam ayat 15 Yesus berbicara kepada "mereka",
yaitu kepada orang-orang yang ikut mendengarkan bagaimana sang Guru
memecahan perkara tadi. Para pendengar kasus sengketa warisan itu kini
menjadi murid ilmu kehidupan. Nasehatnya bukan celaan kepada orang yang
datang kepadanya minta bantuan masalah warisan Bukan pula anjuran tersirat
kepada lawan orang tadi agar tidak tamak. Tetapi ia membantu semua orang
melihat akar permasalahan yang dibawa kepadanya dengan memakai sebuah
perumpamaan.

PERUMPAMAAN ORANG KAYA YANG BODOH

Bila dibaca dari awal hingga akhir, akan terasa betapa kosongnya kehidupan
orang kaya dalam perumpamaan ini. Ia tidak mempunyai teman bicara. Ia hanya
berbicara dengan diri sendiri. Ia bahkan tidak minta keringanan Allah yang
berfirman kepadanya bahwa malam itu jiwanya akan diambil. Mungkin orang itu
tak lagi dapat mendengar peringatan itu. Bahkan harta miliknya yang menjadi
berkah dari atas itu tidak bisa menjadi barang hidup baginya. Tanah,
penenan, lumbung, barang-barang yang dipunyai itu hanyalah obyek belaka.
Semuanya itu dibawahkan kepada gagasan "dipunyai dan ditata" belaka, tidak
pernah diupayakan berkembang agar makin "terasa ada dan berguna". Orang itu
tidak tahu bagaimana mengisi kesepian hidupnya. Ia justru makin mengisolasi
dirinya dengan membangun lumbung yang makin luas dan yang akhirnya malah
menguburkannya hidup-hidup. Ia bahkan tak sempat menjadi kawan bagi dirinya
sendiri. Ia memperbudak diri dengan tidak mendengarkan yang sayup-sayup
masih ada dalam nalarnya, yaitu untuk mengamalkan pada orang lain. Kita
dapat tahu ini karena ini nanti dikatakan Allah dalam ayat 20 "...untuk
siapakah itu nanti?" Suara hatinya sedemikian tertimbun kekayaannya sendiri.
Orang kaya itu sebetulnya ingin rujuk dengan dirinya sendiri dulu, ia ingin
menikmati istirahat, makan-minum, dan bersenang-senang (ayat 19) Bukan hal
buruk. Tak perlu hal ini dilihat dari sudut pandang askese penyangkalan diri
dari zaman kemudian. Dalam kesadaran religius umum waktu itu harta ialah
berkat ilahi yang mesti dikembangkan seperti talenta dan tidak dipendam atau
dijauhi. Yang mempunyai bisa makin menikmatinya dengan mengajak orang
banyak. Ini penalaran yang pintar. Kebodohan mulai pada kemalasan untuk
mengamalkan. Di situlah mulai ketamakan - "pleonexia" - yang disebut dalam
ayat 15. Sikap penuh dengan diri sendiri dan tak butuh berbuat apa-apa lagi
kecuali memiliki, memiliki, memiliki. Entah harta, entah pangkat, entah
keahlian.... Tapi gaya hidup itu nanti akan membuat orang yang bersangkutan
tak berarti apa-apa. Perumpamaan itu ditutup dengan pernyataan "Demikianlah
jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau
ia tidak kaya di hadapan Allah". Ajaran yang mau disampaikan: jadilah kaya
di hadapan Allah!

Dengan perumpamaan itu Yesus menuntun setapak demi setapak orang yang "salah
alamat" pergi kepada Yesus sang Guru minta dibela dalam perkara warisan. Ia
tidak disuruh pergi begitu saja. Ia dibekali ajaran hidup. Bukan hanya orang
itu sendiri, melainkan semua orang yang ikut datang mendengarkan ajaran ilmu
untuk menjadi kaya di hadapan Allah.

Ajaran tadi disampaikan dalam ujud perumpamaan, dengan sebuah cerita yang
membuat orang berpikir dan menemukan sendiri mana yang paling cocok bagi
dirinya. Penekanan terletak pada ajakan agar orang tidak mengubur diri
dengan harta milik atau apa saja yang diperlakukan sebagai harta milik.
Orang-orang yang mengitari orang seperti ini sering dianggap sebagai milik
belaka. Meskipun mereka menemani pesta dan mengawani bercanda, tetapi mereka
jarang berperan sebagai pribadi-pribadi. Hanya sebagai milik yang bisa
disimpan di lumbung. Awal mula perpecahan persahabatan dan kerontokan hidup
keluarga sering mulai dari sana. Sebaliknya bila orang pandai-pandai membuat
harta sebagai bagian kehidupan, dapat mengembangkan kemanusiaan dengannya,
maka harta membuat orang lepas dari kecenderungan kemaruk. Malah bisa
menjadi jalan menjadi kaya di hadapan Allah. Memperlakukan saudara, anak,
istri, suami, orang lain bukan sebagai "barang milik" juga akan memecahkan
isolasi diri, tentu dengan segala konskuensinya, termasuk ikut berbagi
penderitaan. Ikut menanggung kesusahan, juga dengan diam-diam ini harta
semacam itu.

PRIBADI PENGINJIL

Siapa yang sudah benar-benar tampil sungguh kaya di hadapan Allah? Di mata
penulis Injil orang itu ialah Yesus. Keilahian ia pasrahkan kepada
kemanusiaan sehingga kemanusiaan sedikit-sedikit menemukan kembali yang
sudah hilang daripadanya. Bukan tanpa penderitaan, bahkan penderitaan itu
namanya mati di salib. Bukan kebetulan bila Lukas menaruh episode hari ini
dalam untaian kisah perjalanan ke Yerusalem, ke salib, tapi sekaligus ke
tempat kemuliaannya. Di sana ia terlihat kaya di hadapan Allah dan
kekayaannya itu dibagikan kepada orang-orang dalam ujud kegembiraan paskah
para murid pertama dan semua orang lain harta yang paling besar yang
dibagikannya itu adalah Rohnya. Inilah kekuatan yang membangun hidup bersama
para pengikut Yesus di sepanjang zaman.

Makin dibaca, cerita orang kaya itu makin menjadi cerita yang menimbulkan
rasa iba. Maka boleh diharapkan homili hari ini tidak bernada sindiran atau
kecaman. Cerita itu tidak menyarankan umpatan "tahu rasa lu!" kepada orang
kaya yang bodoh tadi. Pembaca dan pendengar malah dapat merasakan rasa
kasihan penulisnya tertuang di sana. Lukas menjumpai dan hidup bersama
orang-orang seperti itu. Dan dia yang makin kita kenal sebagai Luc sahabat
kita itu sebenarnya juga orang yang terpandang dan kaya tetapi bisa bergaul
dengan siapa saja. Ia mengajak orang menjadari agar milik dan kekayaan
jangan sampai mencelakan diri. Ia membantu orang menemukan yang tak bakal
bisa lenyap: harta di hadapan Allah. Terngiang kata-kata Yesus kepada Marta
mengenai Maria bahwa Maria telah memilih bagian yang terbaik yang tidak
bakal hilang - yang tak bakal diambil daripadanya. Ini juga ajakan bagi kita
semua untuk membuat makin banyak orang menemukan kekayaan seperti itu.

Salam,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment