Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa XXIV C - 06 September 2010

Injil Minggu Biasa XXIV C (Luk 15:1-32)
TIGA PERUMPAMAAN
06 September 2010 15:31

TIGA PERUMPAMAAN: DOMBA TERSESAT, DIRHAM  TERSELIP, ANAK HILANG.

Kali ini bacaan dari Injil Lukas memuat tiga perumpamaan, yakni domba yang
tersesat (Luk 15:1-7), disusul dengan perumpamaan mata uang yang terselip
(ayat 8-10) dan perumpamaan anak yang hilang (ayat 11-32). Ketiga
perumpamaan di atas ditampilkan sebagai tanggapan terhadap kaum Farisi dan
ahli Taurat yang kurang senang melihat Yesus membiarkan para pemungut cukai
serta para pendosa datang ikut "mendengarkan dia" seperti disebutkan dalam
ayat 1-3. Maksudnya, membiarkan mereka mengikuti uraiannya mengenai ajaran
Kitab Suci dan mulai menjadi muridnya. Memang, mendengarkan uraian Taurat
bagi orang Yahudi bukanlah kegiatan yang bisa sembarangan diikuti. Mereka
yang dianggap bukan termasuk orang baik-baik tidak diizinkan. Pemungut cukai
dianggap tak pantas duduk mendengarkan ajaran Taurat. Pemungut cukai dicap
sebagai orang yang menjual bangsa sendiri dengan bekerja memungut pajak dari
sesama orang Yahudi bagi penguasa Romawi. Dosa mereka jauh lebih besar dari
pada pelanggaran lain karena mereka terang-terangan ikut menindas umat Tuhan
sendiri. Mereka dianggap berlaku seperti para penindas di Mesir dulu. Mereka
tak layak mendapat pengampunan, apalagi mendengarkan uraian Taurat. Itulah
sebabnya dalam ayat 1 "para pemungut cukai" disebut secara khusus sebelum
"orang-orang berdosa". Tetapi Yesus membiarkan mereka datang mendengarkan
pengajarannya! Orang-orang yang merasa diri saleh tak habis mengerti, bahkan
tersinggung dan menggerutu - "bersungut-sungut" - melihat kelakuan Yesus.
Kelonggarannya mengotori kegiatan suci ini, menyalahi adat kebiasaan. Para
tokoh agama nanti akan bersetuju untuk menyingkirkan Yesus yang menjadi duri
dalam daging bagi mereka. Kita tahu cerita selanjutnya. Namun, bagaimana
ingatan murid-murid generasi pertama mengenai cara Yesus menanggapi
penilaian orang Farisi dan para ahli Taurat tadi? Apa yang disampaikan dalam
ketiga perumpamaan itu?

BERSUNGUT-SUNGUT ATAU BERGEMBIRA?

Tanggapan Yesus membuat orang berpikir. Ia mengajak orang yang tersinggung
perasaannya tadi agar tidak terlalu bersikap kaku dan hanya melihat yang
buruk-buruk saja. Mari kita pakai akal sehat.... begini lho duduk
perkaranya! Mari kita lihat sisi lain. Untuk itu ia mengajukan pertanyaan
retorik pada awal kedua perumpamaan yang pertama, yakni, "Siapa di antara
kamu yang [kehilangan milik yang berharga] dan tidak [berusaha menemukannya
kembali] dan [setelah menemukan] bersukaria dan mengajak orang lain
bergembira?" Tentu saja tak ada yang tidak akan bertindak demikian. Kedua
perumpamaan itu jelas-jelas ditujukan kepada orang-orang yang menggerutu
tadi. Mereka dihimbau agar memakai akal sehat dan tidak membiarkan diri
dikuasai perasaan kesalehan belaka. Perumpamaan yang ketiga lebih dalam
lagi. Semua orang yang mempunyai anak dan saudara yang malang tapi mau
berusaha kembali didorong agar bersedia meninjau kembali penilaian yang
mereka pegang.

Ketiga perumpamaan tadi menampilkan satu unsur yang sama, yakni kegembiraan
mendapatkan kembali yang hilang, entah itu domba, mata uang, atau anak yang
hilang. Kegembiraan ini kemudian dikabarkan kepada banyak orang. Pemilik
domba memanggil para sahabat dan tetangganya dan mengajak mereka ikut
bersukacita. Begitu juga perempuan yang menemukan kembali mata uangnya yang
hilang. Secara tak langsung hendak dikatakan, mereka yang diajak ikut
bergembira ialah kaum Farisi dan para ahli Taurat yang "bersungut-sungut"
melihat Yesus membiarkan pemungut cukai dan pendosa mendengarkannya. Ayah
anak yang kembali itu mengajak seisi rumah tangganya berpesta. Secara khusus
ia mengajak anak sulung untuk ikut bergembira. Kita tidak tahu apa anak
sulung dalam perumpamaan ketiga akan mau masuk rumah dan ikut berpesta. Kita
tidak tahu persis apa orang-orang Farisi dan ahli Taurat mau mendengarkan
Yesus. Tidak diceritakan lebih jauh. Hanya disodorkan sebagai bahan
pertimbangan agar orang berkaca. Boleh jadi mereka malah makin mendongkol
tapi tidak bisa menjawab karena mereka juga paham kekuatan warta ketiga
perumpamaan tadi. Mereka yang dicap buruk, pendosa dan tak pantas itu bisa
berubah dan sudah mulai berada pada jalan yang benar. Di lain pihak,
orang-orang yang menganggap mereka tak patut diajak bergaul itu malah
semakin mengeraskan hati sendiri. Orang-orang itu seperti si anak sulung
yang tidak dapat melihat alasan kegembiraan ayahnya. Ia menutup diri.
Menjauhi kegembiraan. Terus-terusan murung. Menyedihkan!

DARI ZAMAN GEREJA AWAL

Ketiga perumpamaan dalam Luk 15:1-32 mencerminkan dinamika dalam gereja
awal. Para pengikut Yesus sering dipandang oleh orang Yahudi sebagai sebagai
orang yang kurang taat pada ajaran agama turun-temurun. Maklum generasi
pertama dan kedua umat kristen belum amat membedakan diri dengan umat
Yahudi. Banyak orang dari kalangan ini merasa dijauhi orang-orang yang
tadinya tidak memusuhi mereka. Sanak saudara, teman sekerja, lingkungan kini
agak mengasingkan mereka. Keadaan ini mulai dirasakan di kalangan orang
Yahudi yang kemudian menjadi pengikut para murid Yesus. Mereka tentu saja
merasa terintimidasi dan bertanya-tanya apa sepadan menanggungnya. Mereka
bertanya apa mereka itu sungguh "sesat" seperti anggapan sanak saudara dan
kawan-kawan mereka. Injil Matius menjawab persoalan ini dengan perumpamaan
domba yang hilang dalam Mat 18:12-14. Di situ ditegaskan bahwa Bapa tetap
menyayangi mereka. Taruh kata mereka tersesat, mereka akan dicari sampai
ketemu. Dalam Injil Matius perumpamaan itu ditujukan bagi orang Yahudi yang
menjadi pengikut Yesus.

Perumpamaan yang sama diolah Lukas bagi kelompok yang berbeda. Komunitas
Lukas terdiri dari orang asal Yahudi dan bukan Yahudi. Golongan kedua ini
makin bertambah besar dan melebihi yang pertama. Namun, kebiasaan-kebiasaan
kerap kali masih digariskan oleh orang dari kalangan Yahudi. Bahkan mereka
acapkali memandang orang lain dengan sikap curiga dan merendahkan. Mereka
menganggap orang baru seperti murid yang tidak utuh komitmennya. Orang-orang
baru ini dianggap "pemungut cukai" dan pendosa yang sebenarnya tak patut
mendekat ke ajaran yang benar. Ditolerir, tapi tidak sungguh diterima. Tentu
murid-murid asal luar itu merasa dianggap orang kelas dua, dicap tidak
sepenuhnya mau menjadi murid dan masih tetap "kapir". Ketiga perumpamaan
dalam Luk 15 itu disampaikan untuk menghibur mereka. Tuhan tidak menutup
mata pada kenyataan bahwa mereka terpojok dan dipojokkan oleh
saudara-saudara mereka sendiri. Penilaian seperti itu bahkan sudah dikenakan
kepada Yesus sendiri. Ia dianggap mengotori diri bergaul dengan pendosa dan
dengan para pemungut cukai sekalipun. Dalam konteks seperti inilah
orang-orang yang memandang rendah saudara-saudara seiman itu digambarkan
sebagai "kaum Farisi dan para ahli Taurat" dalam Luk 15:1-3. Sekalipun
demikian mereka tidak dikecam, melainkan diajak agar melihat persoalannya,
diajak bernalar.

SERATUS EKOR DOMBA, SEPULUH DIRHAM MINUS SATU?

Apa tak berlebihan dikatakan dalam perumpamaan ini pemilik domba
meninggalkan kesembilan puluh sembilan ekor domba untuk mencari seekor saja
yang tersesat? Untuk memahami gaya bicara ini baik diingat bahwa perumpamaan
ini mulai dengan menyebutkan pemilik domba yang memiliki "seratus" ekor
domba. Seratus itu kelipatan sepuluh, angka yang melambangkan keutuhan.
Keutuhan dalam arti ukuran yang penuh, tak mungkin bertambah lagi. Memiliki
"seratus" ekor domba berarti mempunyai kekayaan yang serba melimpah dan tak
perlu ditambah lagi. Juga dalam perumpamaan kedua, "sepuluh" dirham berarti
juga jumlah yang utuh, milik yang sebesar-besarnya yang dapat dipunyai.
Tetapi kalau kurang satu saja maka tidak utuh lagi. Juga kehilangan satu
dari seratus domba berati kekayaannya menjadi tak utuh lagi. Ada kekurangan
yang mengusik. Maka jelas mengapa pemilik domba dan perempuan yang
kehilangan satu saja dari miliknya itu berusaha keras untuk menemukan yang
bakal membuat milik mereka utuh. Dan bila terjadi, pemilik domba atau
perempuan itu bisa bergembira dan mengajak orang lain ikut bersukacita. Mana
unsur yang menonjol?

Bila dipandang secara menyeluruh, yang paling menonjol bukan perihal
kehilangan, bukan pula kegembiraannya, melainkan usaha mencari yang bakal
membuat milik utuh kembali. Baru bila berhasil, kegembiraan dapat dinikmati.
Jadi usaha menemukan itulah yang hendak disampaikan dalam perumpamaan
tentang domba yang hilang dan dirham yang terselip itu. Hendak digambarkan
betapa besar perhatian Tuhan. Ia belum puas bila masih ada sebagian kecil
umat manusia yang belum mengenalNya, serasa masih ada satu ekor domba yang
sesat, masih ada dirham yang terselip, dan dalam perumpamaan ketiga, sang
anak bungsu masih menderita hidup serba kekurangan di luar.

Tidak mengherankan bila dikatakan pemilik domba itu "meninggalkan yang
sembilan puluh sembilan" untuk mencari seekor yang hilang. Tak perlu
ditafsirkan sebagai melalaikan jumlah yang besar tadi atau kurang
beperhatian kepada anak sulung. Justru maksudnya untuk membuat jumlah yang
besar tadi menjadi utuh, membuat anak sulung ikut menikmati keutuhan milik
ayahnya. Baru bila berhasil, kegembiraan bisa diperoleh.

DIMENSI ROHANI KERASULAN?

Bila ketiga perumpamaan itu menggambarkan perhatian terhadap kemanusiaan,
bisakah dikatakan bahwa Dia yang Yang Mahakuasa belum merasa lega dan dapat
bersukacita sebelum miliknya utuh? Belum bisa betul-betul masuk dalam hari
ketujuh dan memberkati seluruh ciptaan (bdk. Kej 2:1-2)? Bagaimana ikut
memungkinkan Dia memperoleh ketenanganNya? Tentu saja jawaban bisa
bermacam-macam. Kita yang terlibat dalam pewartaan di bidang pastoral akan
merasa terdorong berusaha makin memperkenalkan kerahiman Tuhan. Bagi yang
bergerak di bidang pendidikan tentu akan melihat dalam perspektif kerasulan
mereka. Yang bergiat dalam kerasulan sosial, perumpamaan-perumpamaan ini
akan memberi dorongan lebih lanjut bagi pemihakan pada kaum miskin. Bagi
siapa saja dalam kerasulan apa saja, ketiga perumpamaan itu akan membantu
menjernihkan motivasi dan tujuan kerasulan sendiri. Bagaimana penalarannya?
Singkat saja. Bila dilacak lewat perumpamaan ini, tujuan kegiatan pastoral,
kerasulan pendidikan, kerasulan sosial bukanlah terutama domba yang hilang,
bukan dirham yang terselip, bukan anak yang hilang, melainkan kebahagiaan
Tuhan sendiri. Dia-lah yang menjadi motivasi utama. Jadi bukan sekian banyak
pertobatan yang bisa dipersembahkan kepadanya, bukan sekian dana yang bisa
ditambahkan, bukan pula jumlah orang yang bisa dientas dari kemiskinan dan
dibela hak-haknya, melainkan apakah Dia makin dimuliakan. Apa Dia itu kini
betul-betul bisa dikatakan sebagai Tuhan yang bisa melihat ciptaanNya dengan
lega karena merasa telah menyelesaikan - mengutuhkan karya ciptaanNya? Atau
Ia masih gundah kendati kita bawa ke hadapannya barang-barang persembahan
yang besar-besar tapi tidak membuatNya betul-betul merasa milikNya makin
utuh?

TENTANG  "SI ANAK HILANG

Ada seorang ayah yang mempunyai dua orang anak lelaki. Yang bungsu meminta
bagian miliknya untuk mulai hidup di perantauan. Ia hanya berfoya-foya dan
ketika ada kelaparan ia jatuh melarat dan terpaksa hidup tak pantas sebagai
budak. Akhirnya ia memutuskan kembali. Ketika melihat anaknya dari kejauhan,
sang ayah lari menjemputnya. Ia menyuruh orang-orang untuk memberinya jubah
yang terbaik, cincin, dan sepatu - tanda ia diakui kembali sebagai anak,
bukan diterima sebagai budak yang tak mengenakan hal-hal itu. Kedatangannya
kembali juga dipestakan. Sementara itu anaknya yang sulung pulang dari
ladang dan mendengar hal ihwal pesta itu. Ia tidak puas dan tak mau masuk ke
rumah ikut pesta. Tetapi ayahnya keluar membujuknya. Anak sulung itu
mengutarakan alasannya mengapa ia marah. Bertahun-tahun ia bekerja tanpa
melanggar perintah tapi tak satu kali pun mendapat kesempatan bersuka ria
dengan teman-temannya. Dan kini bagi anak pemboros dan tak berbakti itu ada
pesta besar! Ayahnya membujuknya, anak sulung itu toh selalu ada bersamanya
dan semua miliknya juga kepunyaannya.

Perumpamaan ini diceritakan bukan untuk membuat orang bertobat seperti si
anak hilang, atau agar kita tidak bersikap iri seperti si anak sulung.
Perumpamaan biasanya diceritakan untuk mengajak berpikir mengenai hal-hal
yang lebih dalam, bukan mengenai hal-hal yang bisa dikenakan begitu saja ke
dunia sekitar, bukan pula untuk dituduhkan diam-diam dalam hati sekalipun

Kisah saudara tua yang dengki akan kemujuran adiknya bukan hal yang baru
bagi pendengar Kitab Suci pada zaman itu. Ada kisah Kain dan Abel, kisah
Esau anak sulung Israel dan Yakub adiknya, ada kisah Yusuf dan
saudara-saudara tuanya. Saudara tua umumnya ditampilkan sebagai tokoh konyol
sedangkan yang muda tokoh yang beruntung. Perumpamaan anak hilang ini memang
memakai motif kisah yang sudah dikenal itu. Tetapi arah kisahnya berbeda
dengan yang biasa dikenal. Walaupun akhirnya anak yang bungsu mujur, anak
yang sulung tidak kehilangan haknya seperti halnya Kain, Esau atau
saudara-saudara tua Yusuf. Kehadiran kembali yang bungsu tidak menggeser
yang sulung. Mengapa begitu? Karena sang ayah tidak membeda-bedakan kedua
anaknya itu kendati perasaan anaknya yang sulung lain. Juga si bungsu yang
kembali itu sebenarnya merasa sudah tak pantas menjadi anak lagi dan malah
minta diperlakukan sebagai budak saja. Tapi persepsi masing-masing mereka
ini akan diluruskan. Marilah kita dekati

TEOLOGI "HUKUMAN" DAN "PAHALA"

Bila orang melakukan kesalahan, maka layak ia terkena hukuman. Atas dasar
prinsip itu, kebaikan mestinya mendatangkan pahala. Tanpa kita sadari
gagasan ini sering mendasari cara memandang kejadian-kejadian dan melandasi
penilaian terhadap orang lain. Perumpamaan ini disampaikan untuk
menyorotinya.

Apa kesalahan atau dosa si anak bungsu di mata abangnya dan di mata si
bungsu itu sendiri? Ia dianggap bersalah karena tidak berlaku sebagai anak
yang baik yang tinggal di dusun untuk meneruskan pekerjaan ayahnya membantu
mengerjakan ladang. Ia pergi menuruti keinginannya sendiri. Ia jadi anak
yang tak berbakti, lain daripada anak yang sulung. Lalu apa yang terjadi
terhadap anak yang tak berbakti? Terhukum? Anak bungsu tadi memang mengalami
nasib malang. Ini akibat kesalahannya? Pendengar atau pembaca akan tergoda
melihat kelakuannya berfoya-foya di luar negeri sebagai penyebab
kemelaratannya. Juga kelakuan tak berbakti kepada ayahnya membuatnya
terhukum. Tetapi sebenarnya kemalangan si anak bungsu ditampilkan bukan
sebagai hukuman dari atas, bukan pula konsekuensi keteledoran sendiri,
melainkan akibat keadaan yang tak bisa dikontrol, yakni bencana kelaparan
(ayat 14). Pencerita ulung seperti Lukas sengaja menampilkan hal penting
seolah-olah sebagai unsur tambahan. Pembaca dibiarkan terkecoh
pikiran-pikirannya sendiri, tapi nanti akan dituntunnya kembali. Bagaimana
dengan abangnya? Ia tipe anak yang baik, yang bekerja terus, setia tinggal
di tempat. Orang seperti ini dalam gagasan orang banyak tentu mendapat
pahala. Sekali lagi orang tergoda menganggap keberuntungannya sebagai pahala
dan si anak sulung itu sendiri memang berpikir dalam ukuran-ukuran itu. Ia
mengeluh bahwa tak pernah mendapat kesempatan bersenang-senang walaupun
bertahun-tahun melayani dan tak pernah melanggar perintah (ayat 29). Dan
ketika si bungsu yang kembali itu dipestakan dan diberi sepatu, cincin, dan
jubah kebesaran segala, wah, ini pahala atas dasar perbuatan apa? Kan anak
itu pemboros dan bejat moralnya. Mestinya ia kena hukuman! Perumpamaan ini
mengusik benak orang yang berpikir dalam perspektif teologi "hukuman dan
pahala" seperti itu.

SI BUNGSU DAN KEGEMBIRAAN SANG AYAH

Ketika memutuskan untuk pulang, anak bungsu yang terlunta-lunta itu
sebenarnya sudah siap bila nanti diperlakukan sebagai budak. Ia memang sudah
kehilangan hak sebagai anak (ayat 19). Namun apa yang terjadi? Ketika
melihat dari jauh anaknya ini datang kembali, sang ayah lari tergopoh-gopoh
menyongsongnya. Bahkan sebelum anak itu sempat mengucap minta ampun, sang
ayah sudah memeluk dan menciumnya (ayat 20). Dua hal ini tidak biasa.
Masakan seorang tua yang terhormat seperti ayah itu berlari-lari? Mestinya
paling banter ia hanya akan mengirim orang suruhan untuk menjemput. Masakan
ia juga tidak membiarkan dulu anak itu mengutarakan rasa sesalnya terlebih
dahulu (ayat 21)? Pembaca atau pendengar perumpamaan ini akan terhenyak dan
berpikir. Dan di sinilah terletak warta perumpamaan itu. Kita diajak
menyadari bahwa Tuhan yang diperkenalkan Yesus itu bertindak seperti sang
ayah yang pengampun dan pemurah itu. Teologi "pendosa mesti dihukum" dan
"orang baik mesti diberi pahala" tidak mencukupi sama sekali untuk
memperkenalkan Tuhan yang seperti itu. Walau besar daya tariknya, teologi
seperti itu tidak klop. Hanya akan membuat orang merasa terus-terusan
menyesal seperti si bungsu, atau kesal melulu seperti si sulung.

Perasaan tersinggung orang-orang Farisi dan Ahli Kitab (ayat 1-3) didasarkan
pada etos teologi yang disorot tajam tadi. Yesus sang utusan Tuhan bergaul
dengan orang-orang yang tersisih dan dicap pendosa karena ia mau
menghadirkan Tuhan sebagai ayah yang baik, bukan Tuhan yang baru mau
mengampuni setelah menghukum sampai orang kapok. Tapi gambaran ini membuat
orang baik-baik tidak tenteram lagi. Mereka tersengat melihat Yesus guru
terhormat itu bergaul dengan para pemungut pajak. Kaum baik-baik itu memang
menjadi bahan pembicaraan orang. Lho nyatanya ada seorang guru terkenal yang
tak menjauhi pendosa yang akrab dengan kami-kami ini, tidak seperti
orang-orang yang mencibirkan kami itu.

SANG AYAH DAN ANAK SULUNGNYA

Anak sulung itu marah dan tidak bersedia masuk ke dalam rumah ikut berpesta.
Lalu apa yang terjadi? Ayahnya keluar menemuinya dan membujuknya (ayat 28).
Ia bersikap sama seperti terhadap anak yang kembali tadi. Ayah itu pergi
menemui yang membutuhkannya dan tidak diam menunggu di dalam rumah. Namun
demikian si anak sulung tetap kurang senang dan mengutarakan kekesalannya.
Ia merujuk adiknya bukan dengan kata "adikku itu", melainkan dengan "anakmu
itu" (ayat 30 "ho huios sou" - nadanya sinis, dan mungkin ketus, lebih
daripada terjemahan idiomatik Indonesia "anak bapak"). Menarik, dalam
perumpaman ini si anak sulung ini hanya tampil di luar rumah. Tidak pernah
ia disebut ada di dalam rumah. Anak bungsu yang kembali tadilah yang
bergerak dari luar ke dalam. Dan ayah mereka keluar masuk rumah untuk
membawa masuk mereka! Lalu siapa yang sebenarnya menjadi anak yang sungguh?
Bukankah ia yang ada di dalam rumah? Tetapi ayahnya tidak menegur anak
sulungnya. Ia membujuknya dengan sabar "Nak!" (ayat 31) dan kemudian
meyakinkannya bahwa anak sulung itu selalu bersama dengannya dan seluruh
hartanya itu juga miliknya. Dengan demikian keberatan anak sulung itu tak
lagi beralasan. Tapi ada satu hal lagi yang ingin ditambahkan. Ayah itu
barusan ketambahan harta baru yang khusus, yakni "adikmu" (ayat 32 "ho
adelphos sou") yang tadi mati - putus haknya sebagai anak - kini hidup
kembali dan mau menjadi anak lagi, yang hilang dahulu kini kembali. Dengan
memakai kata "adikmu" itu sang ayah sebenarnya ingin mengajak anak sulung
itu berbagi harta baru, yakni kegembiraan menemukan kekayaan baru ini! Sang
ayah ini tokoh yang secara lahir batin merdeka sepenuhnya. Ia tidak marah,
ia tidak tersinggung, ia tidak menuntut. Tetapi ia memberi, mengajak dan
bisa berbagi kegembiraan.

Kisah anak sulung ini sebenarnya bukan untuk menunjukkan betapa sempitnya
pandangan hidupnya. Maka tak perlu dipakai menuduh-nuduh diri kita sendiri
atau orang di sekitar kita. Yesus juga tidak memakainya untuk membuat
karikatur orang Farisi dan Ahli Kitab. Ia mau mengajak mereka bernalar.
Gambaran itu dipakai untuk menonjolkan perhatian sang ayah. Mengenal tokoh
ini membuat orang bisa makin memikirkan kebesaran hati Tuhan.

Riwayat anak bungsu dan anak sulung tadi juga membantu mengerti kebesaran
Tuhan. Ia mencintai si bungsu yang "pendosa" dan mengasihi si sulung yang
"orang yang kaku hati" itu. Dia tidak duduk mengadili atau menghukum. Ia itu
Tuhan yang tergopoh-gopoh mendatangi orang yang remuk hatinya. Tidak tahan
Ia mendengar orang seperti itu menuturkan penyesalannya. Dipahaminya juga
kenapa orang marah melihat Ia memperlakukan pendosa seperti anak. Ia tidak
balik mencela. Ia berusaha bernalar dengan orang yang kurang puas itu.
Lihat, kita mestinya gembira, kan mendapat harta tambahan, dan tambahan ini
pemberianku bagimu - pahala yang kauinginkan sejak lama itu.

Salam hangat,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment