Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa XXIX C - 17 Oktober 2010

Injil Minggu Biasa XXVIX C - 17 Oktober 2010 (Luk 18:1-8)

Di dalam Luk 18:1-8 disampaikan sebuah perumpamaan sebagai bahan pemikiran
bagi para murid mengapa dan dalam arti apa perlu "selalu" dan "tanpa
jemu-jemu"-nya berdoa. Perumpamaan ini berbicara mengenai seorang hakim yang
"tak takut akan Allah dan tak menghormati siapapun" tetapi yang akhirnya
bersedia memenuhi permohonan seorang janda agar perkara janda itu dibela
olehnya. Hal itu dilakukannya agar tidak lagi terganggu oleh permintaan yang
terus-menerus dari pihak janda tadi (ayat 1-5). Murid-murid diminta
memikirkan yang dikatakan hakim yang tak adil itu (ayat 6
"Perhatikanlah...!" merujuk ke ayat 5). Kemudian ditegaskan, bila hakim
seperti itu saja akhirnya mau mendengarkan permohonan yang terus-menerus
disampaikan, apalagi Allah. Dia yang Mahamurah itu tentunya akan membela
orang-orang yang mendekat kepadaNya - dalam bahasa Kitab Suci, orang-orang
pilihanNya. Lagipula Ia tidak akan seperti membiarkan orang menunggu-nunggu,
melainkan akan segera bertindak (ayat 7-8a). Jelas kiranya perumpamaan itu
juga dimaksud menggambarkan kemurahan ilahi.

PERMINTAAN DALAM IMAN

Pada akhir petikan ini (ayat 8b) Yesus menambahkan, "Akan tetapi, jika Anak
Manusia itu datang, apakah ia akan mendapati iman di bumi?" Apakah maksud
perkataan ini sehubungan dengan perumpamaan di atas?

Pertanyaan Yesus itu juga erat kaitannya dengan peristiwa kedatangan
Kerajaan Allah yang dibicarakan dalam Luk 17:20-37 yang mendahului petikan
ini. Ditandaskan di situ bahwa Kerajaan Allah datang "tanpa tanda-tanda
lahiriah", maksudnya tanpa tanda-tanda yang menggetarkan. Kerajaan Allah
sudah ada di tengah-tengah manusia (Luk 17:21) dan terjadi dalam kehadiran
Yesus yang membawakan warta datangnya Kerajaan Allah di tengah-tengah umat
manusia. Menerima warta ini berarti percaya, mengimani bahwa Kerajaan Allah
menjadi ruang hidup yang baru. Ruang hidup inilah yang membuat orang-orang
yang berlindung kepada Allah boleh merasa aman. Mereka itu menjadi
orang-orang pilihanNya. Allah tidak mengulur-ulur waktu bila mereka berseru
minta pertolongan. Mustahil Ia mendiamkan mereka yang siang-malam berseru
kepadaNya. Sikap memohon dengan tak kenal putus asa itu ditampilkan sebagai
sikap yang tumbuh dalam diri orang yang beriman. Bila dipadukan dengan
keinginan untuk ikut serta dalam warta dibawakan Yesus sang Anak Manusia
yang diutus Allah itu, maka doa ini amat besar kekuatannya. Seperti dalam
Perjanjian Lama, Allah melihat penderitaan umatNya yang berseru kepadaNya
dan Ia turun untuk memimpin mereka keluar dari penderitaan mereka (bdk. Kel
3:7-10; 6:5-7).

AJARAN AGAR TETAP MEMOHON?

Mengapa Yesus menegaskan perlunya berdoa tanpa jemu-jemu? Bukankah para
murid sudah tahu? Bukankah mereka juga sudah cukup yakin bahwa Allah tidak
akan melalaikan orang yang berseru kepadaNya? Perumpamaan ini sebaiknya juga
didalami dengan cara yang mirip dengan yang dipakai dalam memahami kata-kata
Yesus dalam Luk 17:6 yang menanggapi permintaan para murid agar iman mereka
ditambah. Para murid sudah tahu bahwa iman itu memiliki kekuatan, justru
karena itulah mereka minta tambahan iman. Dalam ulasan mengenai petikan itu
dijelaskan bahwa Yesus sebenarnya bermaksud mengajak para murid menyadari
bahwa iman bukan semata-mata kekuatan batin yang menakjubkan melainkan
kesediaan menjalankan kehendak Bapa dengan penuh pengabdian seperti
dilakukannya sendiri. Gagasan ini jelas dari pengajaran mengenai sikap
seorang hamba dalam Luk 17:7-10. Begitu pula perumpamaan dalam Luk 18:1-8
sebaiknya dilihat bukan sebagai ajaran mengenai perlunya berdoa tanpa
jemu-jemunya melainkan sebagai ajakan bagi para murid agar melandaskan doa
mereka pada iman yang sesungguhnya, yakni kesiagaan serta pengabdian kepada
kehendak Bapa.

Kisah kesembuhan sepuluh orang kusta Luk 17:11-19 juga dapat membantu. Dari
sepuluh orang yang sembuh itu hanya orang Samaria sajalah yang kembali
kepada Yesus sambil meluhurkan Allah. Ia mengenali Yesus yang sedang
berjalan memenuhi kehendak Bapanya menjadikan Kerajaan Allah sebuah
kenyataan di bumi ini. Orang Samaria tadi sebenarnya berbagi iman dengan
Yesus sendiri. Baginya Anak Manusia yang disebut dalam Luk 18:8b telah
datang dan mendapatinya penuh iman.

Bagaimana dengan kata-kata Yesus setelah mengajarkan doa Bapa Kami mengenai
orang yang malam hari datang membangunkan sahabatnya dan tanpa malu-malu
minta dipinjami tiga potong roti bagi tamunya (Luk 11:5-8, bdk. Mat 7:7-11)?
Orang itu akhirnya dibukai pintu juga. Di situ diajarkan agar orang tanpa
sungkan-sungkan memohon kepada Bapa yang ada di surga. Sikap demikian itu
juga menjadi ungkapan iman.

MENARIK HIKMAT DARI KEHIDUPAN

Perumpamaan mengenai hakim yang tak adil ini mengingatkan pada perumpamaan
mengenai bendahara yang tak jujur dalam Luk 16:1-9. Kedua tokoh itu
ditampilkan sebagai orang yang wataknya tak lurus tapi dalam keadaan
tertentu dapat menjalankan hal yang pada dirinya sendiri patut dipuji.
Bendahara yang tak jujur itu dapat berlaku cerdik dan dengan demikian dapat
menyelamatkan diri. Begitulah bendahara itu berhasil mengatasi keadaannya
yang gawat. Anak-anak terang dapat belajar dari kesigapannya. Hakim yang
akhirnya mau membela si janda dapat menjadi batu loncatan untuk mengerti
kemurahan Allah. Demikianlah Yesus sang Guru itu berani memakai bahan dari
kehidupan yang penuh liku-liku dan yang sering kelabu itu untuk menarik
garis yang lurus dan terang. Tokoh-tokoh kompleks itu ada dalam kehidupan
nyata. Kebijaksanaan seorang Guru seperti Yesus itu terletak dalam
kemampuannya melihat sisi yang membawa orang dapat maju ke depan, bukan yang
membuat orang menyerah dan putus harapan. Tersirat di dalam
perumpamaan-perumpamaan itu ajakan untuk belajar menarik hikmat dari
kenyataan hidup sehari-hari. Sekaligus diajarkan agar murid-murid tidak
membiasakan diri berpikir dalam arah-arah yang sudah mapan belaka. Kebiasaan
seperti itu sebenarnya hanya memberi rasa aman yang semu, bukan iman yang
hidup.

MENUJU KE MASA DEPAN - DENGAN IMAN

MAR: Iman yang diharapkan ada di muka bumi bila Anak Manusia datang (Luk
18:8b) ialah iman yang dalam cara bicara orang zaman ini proaktif sifatnya,
bukan reaktif atau bahkan pasif melulu.

WID: Benar. Iman bukan semata-mata keteguhan yang muncul untuk membenarkan
atau menyalahkannya keadaan?

MAR: Warta Injil dapat juga diperdengarkan bagi keadaan sekarang. Bagaimana
sikap orang yang mengimani hadirnya Kerajaan Allah yang diumumkan oleh
Yesus?

WID: Tentunya ia akan berusaha melihat arah-arah yang membawa ke
perkembangan.

MAR: Saya rasa, ini dapat terjadi dengan secara proaktif berbuat menurut
arah-arah tadi tanpa membiarkan diri dikeruhkan kecemasan atau impian ini
atau itu belaka.

WID: Nah begitu kan! Usaha ini bisa membuahkan perbaikan, lagipula tak
bergantung pada keadaan sesaat-sesaat. Ini namanya mengaktualkan warta
Injil.

MAR: Jadi apa benar bila dikatakan keberanian iman itu perlu dibarengi
perhitungan.

WID: Itu justru yang mematangkan iman.

MAR: Dan nanti pihak-pihak yang tadinya tidak banyak memikirkan pun akan
ikut memperhitungkan?

WID: Itu baru terjadi bila appealnya ke penalaran!

MAR: ???

WID: Ingat apa yang dikatakan "dalam hati" oleh hakim tak adil tadi (Luk
18:4) - dan juga oleh bendahara yang tak jujur (Luk 16:3-4)? Bila memakai
perhitungan nalar - "dalam hati" - mereka yang tidak termasuk kaum lurus itu
pun dapat mengatasi keterbatasan mereka sendiri.

MAR: Kok tafsirnya sedemikian realistik.

WID: Tafsir kan tak usah mengawang-awang. Masa depan juga tidak terbangun di
awang-awang sana. Perlu dititi dengan yang nyata-nyata dijalani.

Salam hangat,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment