Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa XXVIII C - 10 Oktober 2010

Injil Minggu Biasa XXVIII C - 10 Oktober 2010(Luk 17:11-19)

Penyembuhan sepuluh orang kusta dalam Luk 17:11-19 terjadi ketika Yesus
sedang dalam perjalanan menuju ke Yerusalem - ke tempat ia akan ditolak,
menderita dan wafat disalibkan, tapi juga tempat ia bangkit. Ringkasnya,
kisah ini terjadi dalam perjalanan memperkenalkan Yang Mahakuasa sebagai
Bapa yang berbelaskasihan kepada manusia. Tidak semua orang memahaminya.
Juga mereka yang mendapatkan kebaikan darinya.

Bila dieja sebagai Ierousaleem, kota tujuan perjalanannya itu tampil sebagai
tempat yang menolak kehadiran utusan Yang Mahakuasa ini, bahkan
memperlakukannya dengan buruk. Kota seperti ini tampil sebagai kota
kezaliman - Yeru-"zalim" yang akan runtuh dan diganti dengan Hierosolyma,
tempat Yesus akan dimuliakan, kota kedamaian, Yeru-"syaloom". (Sebagai
tujuan perjalanan Yesus, nama kota itu ditulis sebagai Ierousaleem dalam
9:51; Hierosolyma dalam 13:22, di Ierousaleem 17:11, dan kemudian
Hierosolyma 19:28). Sepuluh orang kusta yang berseru kepadanya "Yesus, Guru,
kasihanilah kami!" menemuinya dalam perjalanannya ke Yeru-"zalim". Sepuluh
orang kusta tadi sebenarnya tidak lagi berada di dekat tempat yang bakal
runtuh itu, melainkan menuju ke Yesus yang akan mengubah kota kezaliman itu
menjadi kota damai. Kesepuluh penderita kusta itu sebenarnya malah lebih
dekat ke pembawa keselamatan daripada Yeru-"zalim" sendiri! Tapi apa
semuanya beres?

DILEMMA PRAKTEK AGAMA

Yesus tidak segera menyembuhkan kesepuluh orang berkusta tadi melainkan
menyuruh mereka memperlihatkan diri kepada imam-imam (ayat 14). Hukum adat
dan agama di Israel dulu menggariskan, orang kusta yang sembuh baru akan
diterima kembali ke dalam masyarakat setelah dinyatakan sembuh dalam upacara
yang hanya boleh dilakukan para imam. Hukum ini masih dapat dilihat dalam Im
14:1-32. Di situ diberikan pegangan untuk memeriksa apakah orang sungguh
berpenyakit kusta atau tidak, apakah telah sembuh dari kusta atau belum.

Hanya imam-lah yang berhak menyatakan "najis" (kotor karena kusta) atau
"tahir" (bersih, sembuh dari kusta). Tujuan utamanya ialah menjamin agar
kurban dan upacara kurban hanya dilakukan dan diikuti oleh mereka yang tak
najis, yang bersih. Mereka yang tak bersih, termasuk mereka yang menderita
kusta, tersingkir dari kehidupan yang ketika itu memang berporos pada
praktek dan upacara agama. Tentunya semua ini pada awalnya berkaitan dengan
upaya pencegahan penularan.

Dapatkah mereka kembali? Jelas mungkin dan ada pengaturannya. Namun
menjelang zaman Yesus, penegasan sudah tahir atau masih kotor hanya
dilakukan imam di Bait Allah di Yerusalem walaupun tidak dikenal larangan
melakukannya di tempat lain. Dalam prakteknya para imam tidak lagi
menjalankannya di luar Bait Allah karena semua upacara makin dipusatkan di
situ. Tapi untuk memasuki Bait Allah orang harus bersih. Padahal bersih
tidaknya mereka itu perlu ditegaskan terlebih dahulu oleh imam-imam yang
kini melakukan upacara yang diterakan dalam Im 14 tadi hanya di dalam Bait
Allah. Jadi orang kusta atau yang disangka menderita kusta benar-benar
terkucil dan tidak memiliki tempat mengadu lagi. Dengan latar belakang
seperti ini Yesus itu memang menjadi harapan satu-satunya. Mereka ingin
mendapatkan belas kasihan, bukan kesembuhan saja. Ini seruan orang yang
sudah bakal puas bila dapat sekadar mencicipi benarnya hal yang selalu
diajarkan, yakni bahwa Tuhan itu berbelaskasihan.

APA YANG TERJADI?

Dengan menyuruh kesepuluh orang kusta tadi menghadap imam Yesus menghormati
hukum agama yang dikeramatkan dalam Im 14 tadi. Tentu saja ia sadar praktek
pada zaman itu tidak memudahkan orang kusta tadi menghadap imam-imam. Yesus
sebetulnya menghimbau imam-imam agar berani keluar dari rambu-rambu tambahan
yang menyesakkan (yaitu hanya melakukan ritual Im 14 di Bait Allah) dan tak
memungkinkan tujuan hukum yang sebenarnya tercapai.

Juga para penderita kusta itu tahu bahwa sulit atau bahkan tak ada
kemungkinan menghadap imam. Justru karena itulah mereka berseru kepada tokoh
yang menjadi harapan banyak orang ini! Namun apa yang dikatakannya? Ah,
mengecewakan. Sama saja! Ia hanya membuat kami-kami kaum tersingkir makin
merasakan getirnya diemohi. Guru yang katanya tumpuan hidup ini melempar
kami kembali kepada imam-imam yang sudah jelas tak dapat membuat nasib kami
berubah. Seandainya toh ada di antara imam di Yerusalem yang mau memahami,
takkan mudah baginya menembus kekakuan rekan-rekannya. Pembaca kisah ini
boleh ingat kembali perumpamaan orang Samaria yang baik hati yang
mengisahkan orang Yahudi yang malang yang tidak dipedulikan oleh kaumnya
sendiri. Imam dan orang Lewi yang lewat dan "melihat" orang itu malah
menyingkir (Luk 10:31-32), tentunya karena mereka mau menghindar agar tidak
menjadi "kotor" dengan menyentuh darah orang yang luka itu dalam perjalanan
mereka ke tempat upacara. Satu-satunya orang yang menjadi tumpuan harapan
sepuluh orang kusta tadi juga "melihat" mereka (ayat 14) tapi kemudian ia
hanya menyuruh mereka mencari jalan yang sudah tertutup. Maka mereka pergi
dengan perasaan hampa.

WARTA GEMBIRA

Tetapi justru ketika mereka menjauh dari Yesus dalam keadaan tadi mereka
mendapati diri mereka dibersihkan. Mereka sembuh dari penyakit kusta. Tak
diceritakan bagaimana perasaan mereka. Apa mereka berusaha mendapat
pengakuan resmi dari imam-imam bahwa mereka telah sembuh dst. tidak lagi
menjadi pusat warta Injil. Lukas hanya mengisahkan bahwa salah satu dari
kesepuluh orang yang sembuh tadi kembali menghadap Yesus "sambil memuliakan
Allah dengan suara nyaring, lalu sujud di depan kaki Yesus dan mengucap
syukur kepadanya" (Luk 17:15-16). Ditambahkannya, "Orang itu orang Samaria".

Ia yang nanti dalam ayat 19 disebut Yesus "orang asing", bukan orang Yahudi,
bukan dari kaum sendiri itulah satu-satunya dari kesepuluh orang yang telah
sembuh yang tidak kehilangan harapan yang sesungguhnya. Ia juga satu-satunya
orang yang berhasil menembus keputusasaan. Ia tetap memuliakan Allah.

Di mana sembilan orang lain yang juga sembuh? Mereka mendapati diri bersih,
tapi untuk mendapat pengakuan betul bersih dari imam-imam? Forget it! Di
mata orang mereka masih "kotor" dan tak bisa mendapatkan pentahiran resmi.

Mereka tetap pahit. Sudah terima nasib saja. Orang Samaria tadi lain. Memang
baginya juga tak mungkin mendatangi imam di Bait Allah. Pertama-tama karena
ia masih dipandang kotor. Kedua, ia orang Samaria, orang asing, bukan orang
Yahudi dan diharamkan mendekat ke Bait Allah. Tapi dia menemukan ganti
semuanya dalam diri Yesus yang membawakan belas kasihan ilahi. Karena itu ia
kembali dan  mengucap terima kasih sambil memuliakan Allah dengan suara
nyaring. Semua orang mendengar. Kelakuannya menjadi kesaksian akan unggulnya
belas kasihan Tuhan terhadap pembatasan-pembatasan yang dilakukan dan
terjadi dalam..praktek agama!

"IMANMU TELAH MENYELAMATKANMU!"

GUS: Lalu apa maknanya orang Samaria tadi dikatakan telah diselamatkan
berkat imannya. Ia sembuh dari kustanya karena ia meng-iman-i Yesus yang
sedang lewat?

LUC: Tentu saja itulah arahnya. Tapi bagi orang Samaria itu kesembuhan bukan
lagi yang paling penting.

GUS: Wait, apa maksudmu? Kan ini peristiwa penyembuhan? Kau sendiri yang
cerita kan?

LUC: Ia sembuh dari penyakit yang sebenarnya. Ia tidak seperti sembilan
orang yang lain yang jadi apatis terhadap Tuhan, terhadap lembaga agama,
terhadap orang lain, terhadap tokoh-tokoh. Orang Samaria itu kini berani dan
mau menjadi manusia wajar.

GUS: Jadi itu iman yang menyelamatkannya. Sepolos itu?

LUC: Dan juga sedalam itu. Orang Samaria itu menyangkal batas-batas yang
mengungkung kehidupan. Eh, kayak kalian menyangkal setan dan segala
perbuatannya ketika kalian dibaptis.

GUS: Ini terjadi dalam kontak dengan Yesus yang sedang berjalan ke
Yeru-"zalim" - ke tempat bakal kena susah, tapi terus. Bisakah dikatakan,
orang Samaria itu berbagi iman dengan Yesus yang berani menghadapi prospek
seram di Yeru-"zalim" dan oleh karenanya diselamatkan?

LUC: Ehm! [Dehem puas karena Injilnya dimengerti setapak lebih jauh.]

Luc tenggelam dalam anganannya mengenai Yesus, mengenai orang Samaria,
mengenai ilmu penyakit dan praktek ketabiban. Sore itu kami lewatkan dengan
omong-omong di seputar khasiat kisah dan pengisahan sambil menghabiskan
sepoci teh hibiscus hangat. Diagnosisnya menarik. Lemak-lemak rohani yang
tebal mengental itu telah membuat batin para imam di Yeru-"zalim" mengalami
sklerosis sehingga tidak lagi mampu mengikuti irama belaskasihan Tuhan
kepada manusia yang menderita.

Salam hangat,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment