Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa XXX C - 14 Oktober 2010

Injil Minggu Biasa XXX/C - 14 Oktober 2010 (Luk 18:9-14)

DOANYA...KOK MANDUL, BAGAIMANA BISA KABUL YA?

Rekan-rekan yang baik!
Apa maksud perumpamaan mengenai orang Farisi dan pemungut cukai dalam Luk
18:9-14 ini? Disebutkan pada awal bahwa Yesus menyampaikan perumpamaan itu
kepada beberapa orang yang "menganggap diri benar" serta "memandang rendah
semua orang lain". Terasa adanya imbauan agar orang berani meninjau kembali
gambaran tentang diri sendiri dan tentang sesama yang mewarnai hubungan
dengan Tuhan dan , khususnya di sini, menentukan cara berdoa.

ORANG FARISI DAN PEMUNGUT CUKAI

Kedua tokoh dalam perumpamaan itu diceritakan sama-sama naik menuju ke Bait
Allah "untuk berdoa", untuk menghadap Yang Mahakuasa dan membuka diri
kepadaNya, bercerita kepadaNya, menyampaikan beban batin kepadaNya. Satu hal
sudah dapat kita peroleh dari kisah perumpamaan ini. Dia yang diam di tempat
tinggi itu dapat didatangi. Dia ada di sana dan siap mendengarkan. Giliran
bagi yang datang: apa yang dibawakan kepadaNya itu sepadan dengan
perhatianNya?

Marilah kita amati gerak-gerik orang Farisi itu. Ia memasuki Bait Allah
dengan kepercayaan diri yang tebal dan penuh perhitungan. Dikatakan dalam
ayat 11, ia "berdiri dan berdoa dalam hatinya". Dalam bahasa aslinya,
maksudnya, ia "berhenti" di jalan masuk ke Bait Allah sambil merencanakan
apa yang akan dikatakannya dalam doanya nanti. (Dalam teks Yunaninya
"proseukheto" adalah imperfekt konatif, yakni bentuk untuk mengatakan
perbuatan yang baru dirancang, belum sungguh dilakukan.) Disusunnya
pokok-pokok yang nanti didoakannya. Kata-kata yang disebut dalam ayat 11-12
sebetulnya belum sungguh diucapkannya sebagai doa. Baru "sketsa"-nya dalam
pikirannya walau sudah jelas ke mana arahnya. Ia bermaksud mengucap terima
kasih kepada Yang Mahakuasa karena ia tidak bernasib sama dengan kaum
pendosa. Ia merasa mendapat perlakuan istimewa dariNya sehingga tidak perlu
menjadi perampok, penjahat, orang yang tak punya loyalitas, apalagi - boleh
jadi sambil mengingat orang yang tadi dilihatnya - tidak seperti pemungut
cukai yang mengkhianati bangsa sendiri dengan memeras bagi penguasa asing.
Dalam doanya nanti ia juga bermaksud mengingatkan Tuhan bahwa ia berpuasa
dua kali seminggu dan mengamalkan bagiNya sepersepuluh dari semua
penghasilannya. Ia merasa telah memenuhi semua kewajibannya. Semua beres.
Dan doa yang akan disampaikan nanti pasti akan menjadi doa yang meyakinkan
Tuhan pula! Begitu pikirnya.

Bagaimana dengan si pemungut cukai? Ia "berdiri jauh-jauh". Ia juga
berhenti, tapi berjauhan dari tempat orang Farisi tadi. Ia merasa tak pantas
berada dekat dengan orang saleh itu. Apalagi mendekat ke Tuhan sendiri.
Apakah ia juga mau merencanakan sebuah doa? Sulit, ia bahkan tidak berani
memandang ke atas. Gagasan menghadap Yang Mahakuasa membuatnya gentar. Tidak
seperti orang Farisi yang penuh kepercayaan diri itu. Meskipun merasa butuh
menghadap ke Bait Allah, pemungut cukai itu tidak menemukan apa yang bisa
disampaikannya nanti di sana. Ia tak punya apa-apa kecuali perasaan sebagai
pendosa. Ia berulang kali menepuk dada dan minta dikasihani - ia yang
pendosa itu.

Menurut sang Guru, pemungut cukai tadi pulang ke rumahnya sebagai orang yang
dibenarkan Tuhan tetapi orang Farisi itu tidak. Mengapa? Kiranya pemungut
cukai tadi telah benar-benar berseru kepada Tuhan dan Ia menjawab. Dalam
seruannya ia menyediakan dirinya sebagai penerima belaskasihNya. Tidak
demikian dengan orang Farisi tadi. Kemasan doa yang disiapkannya itu sarat
dengan "aku..., aku..., aku....". Dirinya sendirilah yang menjadi pokok
doanya. Tuhan semakin tidak mendapat tempat. Doanya mandul karena terlalu
penuh dengan dirinya sendiri. Doa pemungut cukai itu kabul karena membiarkan
diri dipenuhi belaskasih dari atas. Pokok doanya ialah Tuhan sendiri.
Pembaca boleh ingat akan doa yang diajarkan Yesus sendiri. Doa Bapa Kami
dalam bahasa mana saja berpokok pada Bapa. Orang yang berdoa tidak pernah
menjadi pokok kalimat di mana pun dalam doa itu.

CATATAN LUKAS

Lukas memberi catatan ringkas yang besar artinya pada awal petikan ini.
Dikatakannya bahwa Yesus menyampaikan perumpamaan ini "kepada beberapa orang
yang menganggap diri benar dan merendahkan semua orang lain". Kiranya di
kalangan umat pengarang Injil itu ada sekelompok orang yang yakin bahwa
dengan menjalani serangkai tindakan kesalehan, mereka boleh merasa aman dan
dekat kepada Tuhan. Tentu saja mereka ini bukan sekadar berpura-pura. Namun
lambat laut timbul anggapan di antara mereka bahwa orang-orang lain jauh
dari perkenan Tuhan. Orang-orang itu dianggap patut dijauhi. Mereka semakin
tidak diterima sebagai sesama. Pendapat ini menjadi cara mengadili orang
lain, menjadi cara memojokkan orang yang tidak disukai. Menjadi cara
menjatuhkan hukuman sosial. Sulitnya kerap kali yang dicap demikian juga
sudah pasrah menerimanya. Mereka merasa diri patut disingkiri. Syukurlah di
dalam umat itu masih ada orang-orang yang mampu dan berani memikirkan apa
hal ini boleh dibiarkan terus. Apa kehidupan itu ya harus seperti itu? Apa
Yang Mahakuasa juga memperlakukan orang demikian? Mereka mencoba menerapkan
bagaimana sikap Yesus Guru mereka dulu dalam menghadapi keadaan ini. Di situ
terlihat ingatan akan Yesus dan ajarannya bukan hanya kenangan belaka
melainkan Roh yang hidup dan mendewasakan batin. Inilah suara hati yang
makin bersatu dengan Roh Kristus yang hidup dalam batin orang, juga pada
zaman ini.

Pada akhir perumpamaan itu Lukas juga masih menyertakan perkataan Yesus,
"...siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja
yang merendahkan diri akan ditinggikan" (ayat 14). Kata-kata ini sudah
pernah muncul dalam Luk 14:11. Di sana diterapkan kepada keinginan orang
untuk mendapatkan kehormatan di mata orang. Sekarang dalam perumpamaan orang
Farisi dan pemungut cukai ini, kata-kata tadi diterapkan kepada orang yang
mau meninggikan diri di hadapan Tuhan. Orang yang mencari kebesaran diri di
mata orang banyak dan di hadirat Tuhan akan mengalami kekecewaan karena
kenyataannya nanti jauh berbeda. Penghargaan yang mereka rasakan itu semu,
tak bertahan lama karena mereka akan digeser kalau ada orang lebih penting
datang, atau keliru sama sekali karena Tuhan tidak terkesan oleh omongan
mengenai persembahan persepuluhan, mengenai puasa dua kali seminggu, apalagi
oleh kecongkakan batin yang merendahkan orang lain.

MEMBAWAKAN KABAR GEMBIRA

Disarankan dalam ulasan mengenai orang yang berebut tempat terhormat di mata
orang banyak (Luk 14:1.7-14) bahwa para murid diminta ikut mengusahakan
tempat terhormat bagi sebanyak mungkin orang sehingga tidak hanya satu orang
saja yang bakal mendapatkannya. Perumpamaan itu tidak dimaksud untuk mencela
keinginan mendapatkan tempat yang terhormat. Yang mau diajarkan ialah agar
para murid tak tinggal diam melihat orang berebut tempat paling terpandang.
Semestinyalah mereka mencarikan tempat terhormat bagi tiap orang karena bagi
tiap orang ada tempat yang terhormat. Bagaimana dengan perumpamaan orang
Farisi yang mau mendapatkan kehormatan di mata Tuhan dengan merendahkan
orang lain? Orang Farisi ini hanya melihat satu jalan saja mendapatkan
perkenan dari atas. Ia sebetulnya membatasi kemerdekaan Tuhan. Para murid
dan orang banyak sudah tahu sikap itu bukan sikap yang terpuji. Walaupun
demikian perumpamaan ini bukanlah perumpamaan untuk mencela belaka, atau
perumpamaan untuk mengukur doa mana yang betul doa mana yang kurang baik.
Lalu? Yesus hendak mengajak berpikir bagaimana orang dapat sungguh mendapat
perkenan Tuhan dan menjadi tinggi di dalam pandanganNya, bukan besar di mata
sendiri atau di muka manusia.

Digambarkan dalam perumpamaan ini doa yang kabul dan doa yang mandul, doa
yang tidak bisa didoakan dengan sungguh. Apa yang mesti dilakukan murid?
Tentunya mereka diharapkan membantu orang-orang agar doa bisa sungguh
didoakan. Inventarisasi kebaikan diri sendiri bukan bahan doa yang pantas
disampaikan ke hadapan Tuhan. Masakan doa penuh dengan aku begini, aku
begitu, aku bersih, tak seperti kaum penjahat itu! Jadi, doa pemungut cukai
itu doa yang lebih baik? Marilah kita cermat membaca dan menafsirkannya.
Tidak disebutkan demikian. Yang dikatakan, orang seperti pemungut cukai itu
tadi pulang ke rumah dibenarkan. Rasa-rasanya pemungut cukai itu pun masih
butuh belajar berdoa. Mengakui diri pendosa satu hal, menjalankan hal yang
mengatasi keterbatasan ini masih bisa dikembangkan. Dan para murid diminta
juga membantu orang-orang yang seperti itu. Murid-murid diutus memberi tahu
mereka bahwa sikap mereka meminta belaskasih Tuhan itulah yang membuat hidup
mereka berharga. Ini Kabar Gembira buat mereka. Bila orang-orang ini dapat
mengalami Kabar Gembira lebih jauh, mereka pasti akan lebih berani mendekat
kepada Dia yang Maharahim itu. Banyak orang di masa kini dapat merasa apa
itu hidup dalam kedosaan, apa itu takut pada Tuhan, tetapi kurang melihat
bahwa Ia juga Tuhan yang penuh kerahiman. Dan murid-murid boleh merasa ikut
bahagia diajak mengajarkan kerahimanNya seperti Yesus sendiri pernah
mengajarkannya kepada orang banyak.

Salam hangat
A. Gianto

No comments:

Post a Comment