Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Prapaskah II A - 20 Maret 2011

Injil dan bacaan pertama Minggu Prapaskah II/A - 20 Maret 2011 (Mat
17:1-9; Kej 12:1-4a)


WAJAHNYA SETERANG MATAHARI!

Kawan-kawan yang baik!
Di kotak surat saya temukan secarik pesan ini, "Matt, terima kasih buat
Minggu lalu.. Apa masih bisa tolong jelaskan Injil hari Minggu Prapaskah II
tentang Transfigurasi Yesus di sebuah gunung yang kaukisahkan dalam Mat
17:1-9. Sekalian deh singgung kaitannya, kalau ada, dengan warta kisah
panggilan Abraham dalam Kej 12:1-4a yang dijadikan bacaan pertama. Cheers,
Gus." Ia hanya meninggalkan serangkai alamat email peminat yang bisa
dihubungi lewat accountnya. Kebetulan memang saya masih ada satu dua catatan
mengenai episode itu.

Selang enam hari setelah menjelaskan syarat-syarat mengikutinya, Yesus
mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di
situ ia berubah rupa. Tampak pula Musa dan Elia sedang berbicara dengannya.
Petrus bergairah dan mau mendirikan tiga kemah bagi ketiga tokoh itu. Saat
itu juga datang awan yang bercahaya datang menaungi mereka dan terdengar
suara menyatakan bahwa Yesus itu anak terkasih yang mendapat perkenan
dariNya dan hendaklah ia didengarkan. Ketiga murid itu telungkup gentar.
Tetapi Yesus menyentuh mereka dan menyuruh mereka berdiri dan tak usah
takut. Semuanya pulih kembali seperti biasa. Dan hanya kelihatan Yesus
seorang diri. Dalam perjalanan turun Yesus pun melarang para murid itu
menceritakan penglihatan tadi kepada siapa pun sebelum kebangkitan terjadi.
Sebenarnya ini kubuat sebagai olahan kembali catatan Mark (Mrk 9:2-8) sambil
menyesuaikannya dengan kebutuhan di sini. Hal ini juga dilakukan Luc. Tahun
lalu kalian dengar Luk 9:28-36 yang bermaksud menonjolkan siapakah Yesus
yang sudah jadi buah bibir orang banyak itu. Di situ Luc lebih banyak
menambah teks Mark daripada saya. Menurut Gus, peristiwa itu bahkan
ditampilkan Luc sebagai dasar kisah perjalanan Yesus ke Yerusalem. Memang
dalam versi Luc, kedua tokoh besar Musa dan Elia disebutkan sedang berbicara
dengan Yesus mengenai "tujuan perjalanan"-nya, yakni ke Yerusalem. Luc dan
Gus sudah kerap mengupas perkara itu. Minat saya lebih berminat menyoroti
keadaan para murid.

Mata batin orang yang semakin mengenal Yesus tentu menangkap yang tak kasat
mata. Lama saya kaji perkara ini. Sering saya berkonsultasi dengan beberapa
pakar spiritualitas karena saya ingin mengerti pertumbuhan hidup rohani.
Oleh karena itu saya ambil alih keterangan Mark "enam hari kemudian" pada
awal kisahnya. Catatan ini merangkaikan peristiwa di gunung itu dengan yang
dikisahkan sebelumnya, yakni pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus
dan syarat-syarat mengikutinya (Mat 16:21-28). Mengenai peristiwa itu Luc
bilang "kira-kira delapan hari sesudah [Yesus] menyampaikan semua pengajaran
itu" (Luk 9:28). Jangan bingung dengan perbedaan dua hari ini. Mark dan saya
menunjuk pada tenggang waktunya, sedangkan Luc menghitung juga awal dan
akhirnya. Contohnya, jarak waktu antara dua hari Minggu bisa dikatakan
sepekan atau enam hari bila dihitung mulai dari Senin sampai Sabtu. Tapi
kalau hari-hari Minggunya ikut dihitung, ya ada delapan hari.

Penampakan kemuliaan Yesus terjadi sehabis selang waktu yang cukup bagi
ketiga murid tadi untuk memikirkan dua hal berikut, yaitu (i) pemberitahuan
sengsara, kematian dan kebangkitan Yesus (Mat 16:21) dan (ii) kata-kata
Yesus mengenai pengorbanan di dalam mengikutinya (Mat 16:24-28, yakni
menyangkal diri, memikul salib, berani berkorban demi dia, dst.). Tentu para
murid selama itu bertanya-tanya dalam hati, sepadankah pengorbanan dalam
mengikuti guru yang toh sudah tahu bakal menderita dan meninggal seperti
diungkapkan sendiri itu? Lagi pula apa untungnya lebih besar daripada
ruginya?

Memang kami juga memakai perhitungan dalam urusan seperti ini, bukan
nekat-nekatan saja. Dalam hal ini saya tidak akan begitu saja mengiakan
gagasan bahwa iman bagaikan "melompat ke dalam kegelapan". Memang ungkapan
itu menunjuk pada komitmen orang yang beriman, namun iman tidak mulai di
situ. Iman tidak mulai sebagai bonek - bocah nekat. Kepasrahan iman itu
buah, bukan titik tolak. Iman tumbuh dari kesadaran dan pengertian mengenai
siapa dia yang patut menerima komitmen yang makin besar dan demi maksud apa.
Kalau iman hanya dihangat-hangatkan dengan hati saja maka ya tak akan tahan.
Atau jadi fanatik.

Coba simak bacaan mengenai Abraham yang kalian dengar hari ini juga (Kej
12:1-4a). Perintah Tuhan untuk pindah dari negerinya itu jadi masuk akal
bagi Abraham: ia akan menjadi bapak bangsa besar dan menjadi jalan berkat
bagi semua orang. Kurang pas bila dikotbahkan Abraham terjun pasrah.
Begitulah, komitmen mengikuti Yesus juga butuh dipertanggungjawabkan.
Peristiwa penampakan kemuliaan Yesus di gunung itu bisa menolong para
muridnya.
Murid-murid melihat wajah Yesus berubah jadi "bercahaya sebagai matahari".
Ungkapan ini maksudnya untuk memperjelas rumusan Mark yang hanya menyebut
bahwa Yesus "berubah rupa" (Mrk 9:2). Mark memang suka membiarkan pembacanya
membayangkan sendiri. Bercahaya seperti matahari berarti tidak bisa ditatap
begitu saja, menyilaukan. Di kaki gunung Sinai dulu umat Perjanjian Lama
melihat kulit wajah Musa bercahaya dan karenanya takut mendekat. Waktu itu
Musa, yang baru saja berbicara dengan Tuhan, turun membawa loh perintah
Tuhan (Kel 34:29 dst.). Perjumpaan dengan sabda Tuhan membuat wajah Musa
bercahaya. Kali ini Yesus tampil sebagai Musa yang baru, yang membawakan
sabda Tuhan di dalam dirinya, di dalam kehidupannya.

Yesus yang kalian ikuti itu amat dekat dengan keilahian sendiri sehingga
menjadi berpendar-pendar menyilaukan. Kalian boleh jadi belum pernah
mengalaminya. Dan syukur demikian. Tak usah terpaku pada hal-hal spektakuler
seperti itu. Hidup yang dengan apa adanya kalian usahakan sebagai jalan
mengikuti Yesus itu akan cukup membuat kalian makin melihat wajahnya yang
sesungguhnya tanpa merasa silau. Dengan demikian cara hidup kalian juga
tidak akan menyilaukan orang sekitar kalian. Menerangi memang jati diri
kalian - ingat Mat 5:13-16 - tapi tak usah bikin silau! Tetapi kalian boleh
pegang di hati bahwa yang kalian ikuti itu memang "menyilaukan", tetapi
jangan kalian pantulkan dia begitu saja. Justru tugas yang luhur bagi murid
ialah membawakan Yang Ilahi dalam ujud yang amat manusiawi dan sehari-hari.
Ini kerohanian yang dulu saya usahakan bertumbuh di dalam komunitas saya
yang hidup di masyarakat yang memiliki keyakinan hidup berbeda-beda. Nilai
kemanusiaanlah yang bisa kami pakai sebagai dasar saling mengerti. Bagaimana
dengan keadaan kalian?

Yesus sendiri sebetulnya juga begitu. Ia tidak setiap saat memantulkan
cahaya keilahian. Kita tak akan tahan. Ia menghadirkan keilahian dengan cara
yang bisa dimengerti, dengan melayani kebutuhan orang-orang yang datang
kepadanya, mencerahkan budi mereka, menyembuhkan, dengan bersimpati dengan
orang lemah yang menanggung beban hidup. Ia yang sebetulnya menyilaukan itu
bisa didekati tanpa membuat orang langsung merasa terancam. Dan dia itulah
yang kalian ikuti. Kalian boleh memperkenalkan dia dengan cara seperti dia
sendiri membawakan keilahian. Dan tak usah takut karena Yang Ilahi sendiri
akan bertindak. Dia sendiri sudah berfirman agar orang mendengarkan Yesus
("Dengarkanlah dia!"), karena ia amat dekat denganNya ("anakKu yang
terkasih") dan diberi kuasa bertindak atas namanya ("kepadanya Aku
berkenan").

Gus tentu akan mengingatkan kalian bahwa ungkapan "kepadanya Aku berkenan"
dalam ay. 5 itu tidak ada pada teks Mark. Oleh karenanya Luc juga tidak
menyebutnya. Rumusan itu kutambahkan untuk membuat pembaca tertolong melihat
kesamaan dengan peristiwa pembaptisan dan turunnya Roh ke atas diri Yesus.
Di situ ungkapan tadi dipakai dalam ketiga Injil (Mat 3:17; Mrk 1:11; Luk
3:22). Kita boleh yakin bahwa para murid juga menangkap hubungan antara
kedua peristiwa itu. Dan kalian akan banyak belajar tentang siapa Yesus itu
bila melihat kedua peristiwa itu bersama-sama. Kuncinya ada pada Roh! Rohlah
yang membuat Yesus dapat bertindak atas nama Yang Ilahi. Kalian ingat, di
padang gurun Roh itu tetap mendampinginya. Dan kemudian ia mengirim Roh yang
sama itu kepada semua muridnya, termasuk kita-kita ini.

Ketika berjalan turun, ketiga murid itu dipesan Yesus agar tidak bercerita
kepada siapa saja sebelum kebangkitan terjadi. Pesan seperti ini maksudnya
agar murid sempat memperoleh pengalaman batin mengenai kebangkitan, mengenai
keilahian Yesus yang mengatasi kematian itu. Bila pengalaman batin ini belum
ada maka cerita mereka yang hebat-hebat nanti mudah gembos tanpa arti. Tapi
bukan maksud saya mengatakan kalian musti punya pengalaman batin sebelum
bisa berbicara mengenai kebesaran Yesus. Ini tidak diharapkan dari kalian.
Bagi generasi saya saja keadaannya sudah lain. Kami kan hidup sesudah Yesus
bangkit dan kebangkitan itu justru dasar kehidupan rohani kami. Begitu juga
bagi kalian. Maka kita sepatutnya berterima kasih kepada Petrus, Yakobus,
dan Yohanes yang menyimpan pengalaman hebat itu dalam hati bagi kita semua!
Dan masa menyongsong paskah ini masa yang tepat untuk mengingat-ingat
kejadian itu dan menarik hikmatnya.

Teriring salam,
Matt

No comments:

Post a Comment