Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Injil Minggu Biasa XXII B

Injil Minggu Biasa XXII B 2 Sep 2012 (Mrk 7:1-8.14-15.21-23).

Rekan-rekan yang budiman!
Dalam tiap agama ditumbuhkan dan dikembangkan hidup rohani lewat lembaga
hukum, aturan, tatacara, upacara, dan pemahaman kisah-kisah sakral (Kitab
Suci). Jadi ada tujuan, yakni kerohanian, dan ada pula sarananya, yaitu
kelembagaan tadi. Dalam kenyataan kerap tujuan dan sarana saling bertukar.
Misalnya, tata upacara atau hukum-hukum agama menjadi makin dipentingkan
dan menyingkirkan semua yang dirasa tidak sejalan. Akibatnya, kelembagaan
lambat laun menjadi tujuan beragama, bukan lagi sarana. Orang bisa mulai
merasa sesak, kurang leluasa. Sering dalam keadaan ini ada pembaruan untuk
menjernihkan tujuan semula. Hidup beragama biasanya berada di antara dua
kutub itu. Bisa lebih dekat dengan yang satu, bisa menjauh dari yang lain.
Ada kecenderungan untuk hanya melihat tujuan sehingga sarana kelembagaan
disepelekan. Tapi ada juga tarikan untuk mementingkan sarana dengan akibat
tujuan menjadi kabur.
Permasalahan ini tercermin pula dalam petikan Injil Minggu Biasa XXII B ini
(Mrk 7:1-8.14-15.21-23). Yesus ditanyai orang Farisi dan ahli Taurat, mengapa
murid-muridnya tidak menaati adat turun temurun membasuh tangan sebelum
makan. Orang-orang itu curiga Yesus dan murid-muridnya ini kaum yang tidak
peduli lagi akan lembaga agama. Dari jawaban yang diberikannya, dapat
disimpulkan bahwa Yesus bukannya hendak mengurangi wibawa kelembagaan
agama. Ia malah ingin memurnikannya sehingga dapat membawa ke tujuan
yang sesungguhnya. Ia memakai bahasa yang amat nyata seperti pernyataan
bahwa yang perlu dibasuh bukannya tangan atau piring mangkuk, melainkan
batin manusia. Maklum, tindakan-tindakan buruk timbul dari itikad buruk yang
ada dalam batin, bukan karena tindakannya sendiri.

APA LATARNYA?
Di kalangan orang Yahudi pada zaman Yesus, pembasuhan tangan sebelum
makan termasuk kesalehan yang dijalankan oleh para imam dan mereka yang
berurusan dengan ibadat. Adat seperti itu dirincikan di dalam Talmud, yakni
kumpulan penjelasan aturan dan hukum agama yang terangkum dalam Misyna.
Misyna sendiri merupakan penjabaran dari hukum-hukum Taurat.
Bagaimanapun juga,tidak ada kewajiban seperti itu bagi yang bukan imam.
Orang Farisi dan para ahli Taurat tidak termasuk golongan imam. Memang ada
kewajiban membasuh diri sebelum masuk dalam Bait sebelum beribadat, tetapi
yang dibicarakan dalam Injil hari ini ialah pembasuhan tangan secara ritual
sebelum makan. Sebenarnya Yesus tidak akan terlalu ditanya-tanya mengenai
hal serupa karena permasalahannya hanya menyangkut para imam Yahudi. Yesus
dan para muridnya bukan imam dan tidak bertugas sebagai imam dalam
masyarakat Yahudi ketika itu.
Masalah yang terungkap dalam petikan hari ini mencerminkan keadaan pada
zaman generasi kedua pengikut Yesus. Pada masa itu, praktek membasuh tangan
juga dijalankan oleh orang Yahudi yang bukan imam sebelum makan sebagai
ungkapan kesalehan. Para pengikut Yesus generasi kedua dari kalangan Yahudi
banyak yang tidak menjalankannya. Mereka sebenarnya mengikuti adat yang
lebih tua dan tidak menambah-nambah dengan pelbagai praktek kesalehan.
Mengapa? Mereka belajar dari generasi pertama yang mengikuti sikap Yesus
terhadap hukum agama, yakni menghayati semangatnya, bukan huruf atau
bentuk luarnya. Patut diingat, para pengikut Yesus waktu itu belum
menganggap diri dan belum dianggap memeluk "agama" baru. Mereka tidak mengikuti
ritualisme dan legalisme yang semakin terasa di beberapa kalangan Yahudi
pada zaman setelah Yesus. Baru kemudian mereka makin menjadi agama baru karena
makin berbeda dengan tatacara dalam agama Yahudi. Markus menyusun Injilnya
dengan latar belakang seperti ini.
Kaum Farisi itu orang-orang yang sebetulnya dengan sungguh-sungguh mau
hidup menjalankan perintah agama secara radikal. Bahkan harfiah. Mereka mau
menunjukkan begini inilah hidup mengikuti ajaran agama turun-temurun.
Mereka berpengaruh besar dalam Sanhedrin, yakni lembaga peradilan agama
dan pemerintahan di kalangan orang Yahudi. Mereka punya keyakinan, hidup
seperti yang mereka jalani itu nanti akan berlangsung juga di akhirat. Jadi
mereka mau menyucikan hidup duniawi sehingga menjadi semacam antisipasi hidup
nanti. Di kalangan seperti inilah mulai tumbuh upaya-upaya kesalehan yang
lebih besar dari yang biasa diatur dalam adat dan hukum agama.
Kisah pembicaraan antara Yesus dan orang Farisi serta ahli Taurat di sini
tersusun atas dasar keyakinan para pengikut Yesus mengenai pemikiran dan sikap sang
Guru sendiri. Bukan berarti pembicaraan dalam petikan ini tak pernah
terjadi.
Bisa saja pada zaman Yesus sudah ada beberapa kelompok orang saleh yang
mempraktekkan pembasuhan ritual meski bukan imam. Orang yang menanyai
Yesus itu mengira kelompok Yesus ini bisa jadi berasal kaum saleh baru tadi,
seperti mereka sendiri.

PETUNJUK YESUS
Dalam menanggapi kecenderungan ritualisme dan upaya menjamin keselamatan
lewat sarana kesalehan itu para pengikut Yesus dari generasi kedua dan
selanjutnya mencoba mengingat-ingat apa yang kiranya bakal diajarkan Yesus
sendiri. Ada dua garis yang mereka temukan, dan kedua-duanya termaktub
dalam Injil hari ini.
Pertama, mereka yakin bahwa sang Guru mengajarkan ibadat yang tulus, bukan
sekadar puji-pujian dangkal yang tidak disertai keyakinan rohani. Ini
termaktub dalam Mrk 7:6-7. Di situ ditampilkan kembali Yes 29:13 yang berisi amatan
tajam terhadap kurangnya integritas dalam kehidupan agama orang-orang di
Yerusalem, pusat keyahudian waktu itu. Agama dijadikan dalih kepentingan
manusiawi, kepentingan pihak yang berkuasa waktu itu. Akibatnya macam-
macam ketidakadilan terjadi dan dibenarkan oleh cara beragama. Ibadat di
Bait memang dikelola baik, tetapi korupsi, kemelaratan didiamkan saja. Dengan
demikian hidup rohani makin terpisah dari kehidupan yang nyata. Inilah yang
dikecam oleh orang seperti Nabi Yesaya. Gemanya terdengar dalam petikan hari
ini.
Kedua, para murid dari generasi kedua itu juga tahu bahwa hidup rohani yang
tulus, jadi hidup beragama yang sejati, bertujuan memurnikan batin manusia.
Bila sungguh-sungguh, maka tak perlu lagi khawatir apa ada yang mengotori
atau yang perlu disucikan dulu. Orang sudah hidup dalam kesucian batin yang
mengangkat yang ada di luar. Bahkan mereka yakin Guru mereka menganggap
yang ada dalam hidup sehari-hari itu bersih, tidak mengotori. Yang bisa
mengotori itu tentunya batin yang tak bersih. Inilah yang digemakan dalam
Mrk 7:14-15. Dengan kata lain, bila orang beranggapan yang di luar itu hanya
mengotori belaka, maka dapat disimpulkan bahwa kehidupan batin yang
bersangkutan sendirilah yang tidak beres.
Dua pokok jawaban itu tetap berarti bagi zaman kita. Sekarang ada
kecenderungan menjalankan sikap agamaist secara berlebihan. Yang ada di luar
lingkup keagamaan dianggap kotor dan busuk. Tetapi perlu diingat, manakah
tujuan hidup beragama yang sebenarnya: melawan dunia dengan asal melawan
atau mengembangkan hidup rohani yang mantap sehingga dapat berdialog
dengan pihak lain. Mungkin kita akan merasa kita sudah jauh lebih maju dari
pelbagai kelompok "lain". Kita merasa toleran, terbuka, berpijak pada
kenyataan di masyarakat. Sungguh sudah bersihkah yang ada di dalam batin? Apakah kita
memiliki cara pandang yang memadai mengenai keadaan di sekitar. Atau asal
giat belaka, asal mengubah, asal memasyarakat? Arah jawaban kedua di atas
tadi masih banyak artinya. Hanya bila kita juga bersih dari dalam maka yang
keluar akan bersih, bila tidak maka kita hanya mengeruhkan suasana.

DAFTAR PERILAKU BUSUK?
Pada akhir bacaan Injil hari ini (Mrk 7:21-22) terdapat daftar panjang
pelbagai macam kebobrokan moral. Jumlahnya 13. Baiklah dibaca kembali satu persatu
dengan perhatian pada artinya: 1. pikiran jahat (=itikad busuk), 2.
percabulan (=kelakuan birahi yang tak bisa dibenarkan), 3 pencurian, 4. pembunuhan, 5.
perzinahan (=ketaksetiaan di antara suami istri), 6. keserakahan (=bibit
korupsi dan kolusi), 7. kejahatan (=tindak kekerasan), 8. kelicikan (=tipu daya
untuk mencelakan), 9. perbuatan tak senonoh (=tak menghargai perasaan orang lain),
10. iri hati (dulu terutama tenung dan santet karena iri akan keberhasilan
orang lain), 11. hujat (=fitnah menjatuhkan nama orang), 12. kesombongan (sikap
takabur, termasuk sikap kurang menghormati yang keramat), 13. kebebalan (tak
bisa membeda-bedakan apa yang boleh dan tak boleh dikerjakan).
Yang pertama dan yang terakhir sebetulnya erat berhubungan. Bila orang tak
punya sikap batin bijak (kebusukan no. 13), maka yang ada dalam pikirannya
ialah rencana yang akhirnya buruk belaka (kebusukan no. 1). Tiadanya
kebijaksanaan batin tadi akan menelurkan 11 kebusukan yang didaftar di
antaranya. Bagi pembaca zaman itu, cukup jelas bahwa Yesus tidaklah
mendaftar kebusukan begitu saja, melainkan mengajar mereka di mana benih kebusukan
sendiri merajalela, yakni dalam batin manusia yang tak peduli lagi akan
sisi-sisi rohani. Batin yang demikian itu memupuk kebusukan. Bagaimana keluar dari
sana? Tumbuhkan kepekaan

No comments:

Post a Comment