Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Hari Raya Tritunggal Mahakudus - B

Hari Raya Tritunggal 3 Juni 2012 (Mat 28:16-20)

Rekan-rekan yang budiman!

Seperti diperintahkan sang Guru, para murid kini berkumpul di Galilea. Yesus sendiri telah mendahului mereka. Begitulah, seperti disampaikan Matius pada akhir Injil bagi Hari Raya Tritunggal Mahakudus tahun ini (Mat 28:16-20), di Galilea, di sebuah bukit yang ditunjukkan sang Guru, mereka melihat Yesus dan mengenali kebesarannya, dan mereka sujud kepadanya. Kepada mereka ia menegaskan bahwa semua kuasa di surga dan di bumi telah diberikan kepadanya (ay. 18); sehingga tak perlu lagi ada keraguan (terungkap pada akhir ay. 17). Para murid diminta memperlakukan semua bangsa sebagai muridnya dan membaptis mereka dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus (ay. 19-20a). Ia juga berjanji menyertai mereka hingga akhir zaman (ay. 20b).

Injil Matius menampilkan Yesus sebagai tokoh Musa yang membawakan hukum-hukum dari Allah sendiri kepada umat. Tetapi berbeda dengan Musa, Yesus mengajar di sebuah bukit yang dapat didekati orang banyak, tidak dari puncak gunung yang tak terjangkau, yang diliputi awan-awan tebal. Bukit tempat Yesus mengajar menampilkan suasana lega, tidak mencekam. Para murid dapat memandanginya, tidak seperti Musa dulu yang wajahnya sedemikian menyilaukan. Tempat pemberian hukum sudah bukan lagi di wilayah yang terpisah dari masyarakat luas dan kehidupan sehari-hari. Bukan lagi di padang gurun, bukan lagi di puncak Sinai, tak lagi terpusatkan di Yerusalem dan Bait Allah. Hukum baru ini tersedia bagi siapa saja. Injil mengutarakannya dengan "Galilea", yakni wilayah persimpangan tempat macam-macam orang bisa bertemu. Yang disampaikan bukan lagi seperangkat aturan dan hukum, melainkan ajaran kehidupan, kesahajaan, serta keluguan batin, karena Kerajaan Allah berdiam dalam kesahajaan dan keluguan seperti itu. Kini pada akhir Injil Matius, para murid diminta agar membuat ajaran tadi lebih dikenal lebih banyak orang lagi. Akan kita dalami hal ini lebih lanjut nanti.

KUASA DI MUKA BUMI DAN DI SURGA

Gambaran ini bukan barang baru. Sudah dikenal dari kitab Daniel 7:14. Dalam penglihatan Daniel, tampillah sosok yang seperti manusia datang menghadap Yang Lanjut Usia untuk memperoleh kuasa daripada-Nya. Dan kekuasaan ini tak akan ada selesainya. Bagaimana menafsirkan gambaran ini? Sering sosok itu diterapkan kepada seorang Mesias yang akan datang. Pendapat ini tidak banyak berguna. Hanya membuai harapan. Juga sering dipandang sebagai kejayaan kaum beriman. Tetapi pemahaman ini juga tidak banyak membantu. Malah kurang cocok dengan kehidupan beragama yang sejati yang tidak mencari kejayaan, melainkan terarah pada sikap bersujud. Penglihatan Daniel tadi sebetulnya menggambarkan kemanusiaan yang baru. Yakni kemanusiaan yang selalu mengarah kepada Yang Ilahi. Kemanusiaan yang berkembang dalam hubungan dengan dia yang memberi kuasa atas jagat ini. Itulah yang telah diperoleh kembali oleh Yesus dengan salib dan kebangkitannya. Dan itulah yang kini dibagikan kepada umat manusia.

Yesus membuat kemanusiaan baru dalam penglihatan Daniel tadi menjadi kenyataan. Di dalam dirinya Yang Ilahi dapat tampil dengan leluasa, bukan hanya di surga, tapi juga di bumi. Juga tidak ada lagi tempat di surga atau di bumi yang menjadi terlarang bagi kemanusiaan karena semuanya diciptakan bagi kemanusiaan baru ini. Bukan berarti ruang leluasa itu dapat dipakai begitu saja. Keleluasaan membawa serta tanggung jawab menjaga kelestarian. Justru kemanusiaan yang terbuka ini ialah yang ikut mengembangkan jagat sehingga menjadi tempat Yang Ilahi dimuliakan.

MENERIMA SEMUA SEBAGAI SESAMA

Kata-kata Yesus dalam ay. 19 itu tidak perlu ditafsirkan sebagai perintah untuk "mempertobatkan" semua bangsa menjadi muridnya. Dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, perintah itu dapat dirumuskan demikian: "Kalian akan pergi ke mana-mana dan menjumpai macam-macam orang; perlakukanlah mereka itu sebagai muridku!" Jadi tekanan bukan pada membuat bangsa-bangsa menjadi murid Yesus dengan menurunkan ilmu atau pengetahuan. Yang diminta Yesus ialah agar para murid tadi menganggap siapa saja yang akan mereka jumpai nanti sebagai sesama murid. Pernyataan ini amat berani. Di situ terungkap kepercayaan besar. Bagaimana penjelasannya? Wafat dan kebangkitan Yesus telah mengubah jagat ini secara menyeluruh sehingga siapa saja, pernah ketemu atau tidak dengannya, pernah mendengar atau belum tentangnya, pada dasarnya sudah menjadi ciptaan baru, menjadi kemanusiaan baru. Dalam bahasa Injil - mereka sudah menjadi murid Yesus sendiri. Dan murid-murid yang mengikutinya dari tempat ke tempat dulu diminta menganggap semua orang yang mereka jumpai nanti sebagai sesama murid. Tak ada ruang lagi bagi mereka untuk berbangga-bangga. Mereka tidak lebih dekat, tidak lebih baik, tidak lebih memiliki ajaran benar. Semua orang ialah muridnya dan para murid pertama justru diminta memperlakukan mereka seperti diri mereka sendiri. Dan yang memang merasa dekat hendaknya memperlakukan orang lain yang belum pernah mendengar tentang Yesus sebagai yang sama-sama telah mendapat pengajaran batin dari Yesus sendiri! Tentu saja janganlah kita mengerti hal ini sebagai gagasan sama rata sama rasa yang akan membuat pengajaran ini sebuah karikatur belaka.

Apakah tafsiran ini tidak berseberangan dengan ciri misioner Gereja? Samasekali tidak. Pemahaman ini justru menunjukkan betapa luhurnya pengutusan para murid. Mereka diminta memperlakukan semua orang sebagai sesama, bahkan sesama murid. Mereka dapat saling belajar tentang kekayaan masing-masing. Baru demikian komunitas para pengikut Yesus akan memenuhi keinginannya. Inilah yang membuat iman tidak berlawanan dengan kebudayaan. Bahkan iman berkembang dengan kebudayaan. Bila begitu kemanusiaan dapat menjadi juga kemanusiaan yang dapat didiami keilahian seperti dalam kehidupan Yesus sendiri.

Pengutusan tidak perlu diartikan sebagai penugasan membagi-bagikan kebenaran kepada mereka yang dianggap berada dalam ketidaktahuan. Sebaliknyalah, para murid itu baru boleh disebut menjadi utusan yang sungguh bila membiarkan diri diperkaya oleh "para bangsa" - oleh orang-orang yang mereka datangi. Para murid diutus ke mana-mana dan di semua tempat itulah mereka akan menemukan orang-orang lain yang memiliki pelbagai pengalaman mengenai Yang Ilahi.

Dalam Injil hari ini hal itu dikatakan dengan "Baptislah mereka dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus!" Artinya, mengajak orang mengenal adanya pengasal hidup (Bapa), dan yang menjalankannya sebaik-baiknya (Putra), serta yang melangsungkan dan menjaganya (Roh Kudus). Menginisiasikan orang ke dalam hidup komunitas Gereja - membaptis - ialah sebuah cara untuk menandai niat untuk mendalami serta menghayati perintah tadi. Ada pelbagai cara lain dalam hidup bersama sebagai murid Yesus. Kehidupan Gereja pada abad-abad pertama justru menunjukkan kenyataan ini. Orang dari kalangan Yahudi diajak terbuka menerima orang dari kalangan Yunani. Inilah kekayaan pengutusan para murid.

Sekadar catatan mengenai paham Tritunggal. Dalam menjelaskan pokok iman ini, akan membantu bila diperlihatkan juga pendapat mana yang tidak cocok dengan penghayatan iman yang nyata dalam Gereja. Yang bukan ajaran iman ialah gagasan "tri-teisme", adanya tiga sesembahan. Ada dua pendapat lain yang tidak amat kentara ketidaksesuaiannya dengan penghayatan iman. Yang pertama mengatakan bahwa Putra dan Roh Kudus itu diciptakan oleh Bapa, atau semacam perpanjangan dari Allah yang satu - pendapat ini biasanya disebut "subordinasionisme" karena membawahkan kedua pribadi pada salah satu. Ada pula penjelasan yang mengatakan bahwa Tritunggal hanyalah sekadar tiga bentuk atau cara Allah tampil bagi manusia dan bukan sungguh pribadi ilahi. Pendapat ini sering disebut "modalisme". Termasuk di sini pendapat bahwa ketiganya hanya kiasan mengenai sifat-sifat ilahi belaka. Iman yang nyata tidak berdasarkan gagasan-gagasan tadi, melainkan menerima keilahian sebagai yang esa dan mengalaminya sebagai yang merahimi kehidupan, melaksanakannya, dan menjaganya. Inilah iman akan Tritunggal yang menghidupi Gereja sepanjang zaman.

RAGU-RAGU?

Dalam ay. 17b disebutkan ada beberapa orang yang ragu-ragu. Maksudnya, tidak begitu yakin bahwa yang mereka dapati dan mereka lihat di gunung di Galilea itu ialah Yesus yang sudah bangkit. Dalam hati kecil mereka bertanya, betulkah demikian? Kok sesederhana ini, kok tidak menggetarkan, kok tidak membuat orang takluk langsung. Dan juga, kok tidak memberi kemuliaan besar kepada mereka yang telah setia mengikutinya dari tempat ke tempat? Terhadap keraguan ini Yesus hanyalah memberi penegasan iman: yang dibawakannya ke dunia ini ialah kemanusiaan yang tertebus, kemanusiaan baru, yang terbuka bagi keilahian. Dan itulah kuasa atas surga dan bumi. Menjadi muridnya berarti ambil bagian dalam kemanusiaan yang tertebus ini. Bila demikian para murid boleh yakin akan tetap disertai guru mereka hingga akhir zaman, hingga saat kemanusiaan yang tertebus itu menjadi kenyataan di bumi dan di surga seutuhnya. Kata-kata ini menjadi bekal hidup bagi siapa saja yang mau mengikuti Yesus. Juga bagi orang zaman kini.

Salam hangat,
A. Gianto


Injil Minggu Pentakosta B 2012

Hari Raya Pentakosta 27 Mei 2012 (Yoh 15:26-27)

Rekan-rekan yang baik!

Pada hari Pentakosta tahun B ini dibacakan kata-kata Yesus dalam Yoh 15:26-27. Bagaimana memetik warta Pentakosta khususnya bagi kita yang mengalami langsung atau tak langsung bencana alam di Yogyakarta 27 Mei 2006 yang lalu? Memang teks bacaan itu tidak berbicara mengenai gempa bumi atau malapetaka. Namun demikian, teks itu jelas-jelas menyebut kedatangan Penolong yang diutus Yesus dari Bapa. Adakah relevansinya bagi keadaan seperti ini?

Sabda Tuhan dapat dan semestinyalah menjadi bagian dalam kehidupan, khususnya pada saat-saat orang merasa tak berdaya, di waktu kesusahan dan penderitaan. Kita biarkan Sabda Tuhan ikut memikul beban penderitaan kita. Kita boleh berharap, upaya kita ikut menangani akibat bencana juga akan disertai kekuatan dari atas. Marilah kita pahami gerak gerik kehadiran Penolong yang diutus Yesus bagi murid-muridnya dan bagi kita juga, sekarang ini, dalam keadaan ini.

Pesan Paus pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-46

Pesan Bapa Suci Benediktus XVI untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-46

Keheningan dan Kata: Jalan Evangelisasi

20 Mei 2012

Saudara dan Saudariku yang terkasih,

Menjelang hari Komunikasi Sedunia tahun 2012, saya ingin berbagi dengan anda
beberapa permenungan tentang salah satu aspek dari proses komunikasi manusia
yang meskipun penting, sering diabaikan, dan kini tampaknya sangat perlu
untuk diingat. Ini menyangkut hubungan antara keheningan dan kata: dua aspek
komunikasi yang perlu dipertahankan agar tetap berimbang, untuk diterapkan
secara bergantian dan diintegrasikan satu sama lain jika ingin mencapai
dialog yang otentik dan hubungan kedekatan yang mendalam di antara manusia.
Ketika kata dan keheningan terpisah satu dengan yang lain, komunikasi
menjadi putus entah karena keterpisahan itu menimbulkan kebingungan atau
karena, sebaliknya, menciptakan suasana dingin. Namun apabila mereka saling
melengkapi, komunikasi memperoleh nilai dan makna.

Keheningan adalah unsur utuh dari komunikasi;  tanpa keheningan, kata yang
kaya pesan tak akan ada. Dalam keheningan, kita lebih mampu mendengar dan
memahami diri kita sendiri, gagasan-gagasan dapat lahir dan mencapai
kedalaman makna. Dalam keheningan, kita memahami dengan lebih jelas apa yang
ingin kita katakan, apa yang kita harapkan dari orang lain dan bagaimana
mengungkapkan diri. Dengan  keheningan, kita membiarkan  orang berbicara
dan mengungkapkan dirinya; dan  kita mencegah diri kita terpatok pada
kata-kata dan gagasan kita sendiri tanpa ditelaah secara memadai. Dengan
demikian, ruang yang diciptakan untuk saling mendengar dan membangun
hubungan manusiawi menjadi lebih mungkin.

Seringkali dalam keheningan, misalnya, kita melihat adanya komunikasi paling
otentik antara orang yang sedang jatuh cinta: gerak-gerik, ekspresi wajah
dan bahasa tubuh adalah tanda-tanda  mereka mengungkapkan dirinya bagi yang
lain. Kegembiraan, kecemasan dan penderitaannya dapat dikomunikasikan
semuanya dalam keheningan. Sesungguhnya bagi mereka, keheningan merupakan
cara mengungkapkan diri yang sangat kuat. Maka keheningan membuka jalan bagi
komunikasi yang lebih aktif,  yang bila disertai kepekaan dan kemampuan
untuk mendengar, ia mampu mewujudkan takaran dan kodrat hubungan yang benar
oleh mereka yang terlibat dalamnya. Ketika pesan dan informasi melimpah
ruah, keheningan menjadi hakiki untuk membedakan mana yang  penting dan mana
yang tidak berguna atau sekuder. Permenungan yang lebih mendalam membantu
kita menemukan  jalinan antara peristiwa-peristiwa yang tampaknya tidak
berkaitan, mengevalusasi, menganalisis pesan dan hal ini memungkinkan kita
berbagi pendapat yang bijaksana dan relevan, sehingga melahirkan suatu
stuktur  otentik mengenai pengetahuan yang kita miliki bersama. Agar hal ini
terjadi, perlu dikembangkan lingkungan yang sesuai, sejenis 'ekosistem' yang
mempertahankan keseimbangan antara keheningan, kata-kata, gambar dan suara.

Proses komunikasi pada saat ini sebagian besar  dipicu oleh  pertanyaan
pencarian jawaban. Mesin pencari dalam jejaringan sosial telah menjadi titik
awal komunikasi bagi banyak orang yang mencari saran, gagasan, informasi dan
jawaban. Di zaman kita, internet lebih menjadi sebuah forum untuk pertanyaan
dan jawaban. Memang, manusia zaman kini sering diterpa dengan
jawaban-jawaban untuk pertanyaan yang tidak pernah mereka ajukan dan
kebutuhan yang tidak pernah mereka sadari. Bila kita mengenal dan berfokus
pada pertanyaaan-pertanyaan yang sungguh-sungguh penting, maka keheningan
adalah suatu modal berharga yang memampukan kita untuk  memiliki ketrampilan
membedakan secara tepat  berhadapan dengan meningkatnya stimulus dan data
yang kita terima. Bagaimanapun juga, di tengah kerumitan dan keragaman dunia
komunikasi, banyak orang dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan utama
tentang keberadaan manusia:  siapakah saya? Apa yang dapat saya tahu? Apa
yang harus saya lakukan? Apa yang boleh saya harapkan? Hal ini penting untuk
memberikan jawaban kepada mereka yang seringkali melontarkan
pertanyaan-pertanyaan serupa dan membuka kemungkinan untuk sebuah dialog
yang mendalam- melalui sarana kata-kata dan tukar pikiran- tetapi juga
melalui panggilan untuk permenungan yang hening; sesuatu yang seringkali
lebih berharga ketimbang jawaban yang tergesa-gesa, sekaligus memberikan
kemungkinan kepada para pencari jawaban menjangkau kedalaman diri dan
membuka diri bagi jalan menuju pengetahuan yang telah diukir Allah dalam
sanubari manusia.

Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan  yang senantiasa dilontarkan ini
menunjukkan kegelisahan manusia yang tiada hentinya mencari kebenaran- dari
yang terpenting hingga yang kurang penting- yang dapat memberikan makna dan
harapan bagi kehidupan mereka. Kaum laki-laki dan perempuan tidak boleh
merasa puas dengan tukar pikiran dan pengalaman hidup yang dangkal dan
meragukan tanpa mempertanyakannya. Kita semua sedang  mencari kebenaran dan
memendam kerinduan yang sama lebih dari masa yang pernah ada: "ketika
manusia berbagi informasi, mereka telah berbagi diri mereka, pandangan
mereka tentang dunia, harapan dan gagasan mereka" (Pesan Hari Komunikasi
Sedunia tahun 2011).

Kita perlu menaruh perhatian terhadap berbagai jenis website (laman),
aplikasi dan jejaring sosial yang dapat membantu manusia zaman ini menemukan
waktu untuk permenungan dan pertanyaan sejati sekaligus  menciptakan ruang
untuk keheningan  dan kesempatan untuk berdoa, meditasi, atau syering Sabda
Allah. Melalui kalimat-kalimat yang singkat namun padat, seringkali tidak
lebih panjang dari sebuah ayat dalam Kitab Suci, sebuah pemikiran yang
mendalam dapat dikomunikasikan, asalkan mereka yang terlibat dalam
percakapan itu tidak mengabaikan perlunya pertumbuhan hidup batin mereka
sendiri. Tidak mengherankan bahwa  berbagai tradisi agama yang berbeda
menganggap kesendirian dan keheningan sebagai suatu keadaan  yang membantu
manusia menemukan kembali diri mereka dan kebenaran yang memberikan makna
bagi segala hal. Allah dalam wahyu Kitab Suci berbicara juga tanpa
kata-kata: 'seperti yang terungkap oleh Salib Kristus, Allah juga berbicara
melalui keheningan. Keheningan Allah, pengalaman berjarak dari Allah yang
mahakuasa adalah tahapan yang menentukan dalam perjalanan duniawi Putra
Allah, Sabda yang menjelma . . . .keheningan Allah memperkaya kata-kata-Nya
yang disampaikan sebelumnya. Dalam masa-masa kegelapan seperti inilah, Dia
berbicara melalui rahasia keheningan-Nya" (Verbum Domini,21). Dalam
keheningan Salib, kasih Allah dihidupi sedemikian sehingga menjadi sebuah
pemberian yang paling utama. Setelah kematian Kristus, ada keheningan besar
di atas bumi dan pada hari Sabtu Suci, ketika sang Raja meninggal ... Allah
wafat dalam daging  dan membangkitkan mereka yang telah wafat sejak
berabad-abad yang lalu" ( bacaan pada Hari Sabtu Suci); suara Allah bergema
kembali, dipenuhi kasih bagi umat manusia.

Jika Allah berbicara kepada kita, bahkan dalam keheningan, kita pada
gilirannya menemukan dalam keheningan kemungkinan berbicara dengan Allah dan
tentang Allah. "kita membutuhkan keheningan untuk kontemplasi yang mengantar
kita kepada titik dimana  sang Sabda, yaitu Sabda penebusan, lahir. (Homili,
Perayaan Ekaristi bersamapara anggota Komisi Teologi Internasional, 6
Oktober 2006). Apabila kita berbicara tentang kebesaran Allah, bahasa yang
kita pergunakan tidak selalu memadai, dan dengan demikian, kita perlu
membuka ruang untuk kontemplasi dalam keheningan. Dari kontemplasi itu,
lahirlah dengan segala kekuatan batin, kerinduan yang mendesak akan
perutusan, suatu kebutuhan  'mengkomunikasikan apa yang telah kita lihat dan
dengar" sehingga semua orang memperoleh persekutuan dengan Allah. (1 Yoh
1:3). Kontemplasi  hening menyelimuti kita di dalam sumber cinta kasih yang
menuntun kita bertemu dengan sesama sehingga kita dapat merasakan
penderitaan mereka dan  menyampaikan kepada mereka terang Kristus, amanat
kehidupan dan karunia penyelamatan-Nya yang penuh kasih.

Maka, dalan kontemplasi yang hening,  sang Sabda kekal, yang oleh-Nya dunia
diciptakan, sungguh-sungguh hadir dan kita  menjadi sadar akan rencana
penyelamatan Allah yang terpenuhi melalui sejarah kita oleh perkataan dan
perbuatan. Seperti yang ditandaskan oleh Konsili Vatikan II kepada kita,
wahyu Ilahi digenapi oleh 'perbuatan dan perkataan' yang  mengandung
kesatuan di dalamnya: sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan Allah
dalam sejarah keselamatan, mewujud  dan menggenapi pengajaran dan kenyataan
yang ditandai dengan  perkataan; sementara kata-kata itu  pada gilirannya
menyatakan perbuatan dan mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di
dalamnya"(Dei Verbum, 2). Rencana penyelamatan ini mencapai puncaknya dalam
diri Yesus dari Nazareth, pengantara dan pemenuhan semua wahyu.  Ia
memperkenalkan diri kepada kita  wajah yang benar dari Allah Bapa dan oleh
salib-Nya dan kebangkitan-Nya Ia  membebaskan kita dari perbudakan dosa dan
kematian kepada pembebasan anak-anak Allah. Pertanyaan medasar tentang makna
keberadaan manusia  menemukan jawabannya dalam misteri Kristus yang mampu
membawa damai bagi hati manusia yang gelisah. Pertusan Gereja berasal dari
misteri ini dan itulah misteri yang mendorong orang-orang Kristiani menjadi
pembawa harapan dan keselamatan, saksi-saksi akan kasihAllah yang
menjunjung martabat manusia serta membangun keadilan dan damai.

Kata dan keheningan: belajar berkomunikasi adalah belajar untuk mendengar
dan merenung sebagaimana berbicara. Hal ini terutama penting bagi mereka
yang  terlibat dalam karya evangelisasi: baik keheningan maupun kata adalah
unsur hakiki, bagian utuh karya komunikasi Gereja demi pembaruan karya
pewartaan Kristus zaman ini.  Kepada  Bunda Maria,  yang dalam keheningannya
"mendengarkan Sabda dan menjadikannya mekar" (Doa pribadi di Loreto, 1
September 2007),  saya mempercayakan semua karya evangelisasi yang Gereja
laksanakan melalui sarana komunikasi sosial.



Vatikan, 24 Januari 2012, Pesta Santo Fransiskus dari Sales

Paus Benediktus XVI.

Injil Minggu Paskah VII B - Hari Komunikasi sedunia ke 46

Minggu Paskah VII/B 20 Mei 2012 (Yoh 17:11b-19).


Rekan-rekan yang baik!

Pada hari Minggu Paskah VII tahun B dibacakan bagian doa Yesus pada perjamuan terakhir bagi para muridnya (Yoh 17:11b-19). Yesus meminta agar Bapa memelihara para murid dalam nama-Nya agar mereka menjadi satu seperti dia satu dengan Bapa. Diungkapkannya pula bahwa para murid diutus ke dunia, sebagaimana ia sendiri. Marilah kita dalami unsur-unsur itu dan lacak ke mana arahnya bagi zaman kita sekarang.

Injil Minggu Paskah VI B

Minggu Paskah VI/ B 13 Mei 2012 (Yoh 15:9-17)


Rekan-rekan yang budiman!

Bacaan Injil Yohanes bagi Minggu Paskah VI tahun B ini (Yoh 15:9-17) sarat
dengan kosakata yang berhubungan dengan gagasan "kasih": saling mengasihi",
"tinggal dalam kasih" "memberikan nyawa demi sahabat-sahabatnya". Baik
diingat, petikan ini diangkat dari bagian Injil Yohanes yang menyampaikan
pengajaran Yesus kepada para murid selama perjamuan malam terakhir (Yoh
13:31-17:26). Para murid perlu belajar hidup terus tanpa kesertaan Yesus
seperti biasa. Mereka diajarnya membangun kebersamaan dalam ujud lain.
Dengan tujuan itulah kiranya diberikan pesan-pesan mengenai saling mengasihi
dan sepenanggungan.

PENGAJARAN KHUSUS

Kata-kata Yesus yang disampaikan Yohanes dalam Injil hari ini adalah bagian
pesan-pesan yang diucapkannya pada sebuah kesempatan khusus, yakni perjamuan
malam terakhir bersama murid-muridnya. Pada awal perjamuan Yesus
menyebutkan, salah seorang dari mereka akan menyerahkannya (Yoh 13:21-30).
Hubungan guru-murid yang hingga saat itu baik mulai terganggu oleh kekuatan
gelap. Kelompok ini tidak lepas dari kelemahan manusiawi juga. Saat itu
murid-murid tak mengerti ke mana arah kata-kata itu. Petrus meminta Yohanes
("murid yang dikasihi") bertanya siapa yang dimaksud. Yesus menjawab bahwa
orang yang dimaksud ialah dia yang akan diberinya roti yang siap disantap.
Kemudian ia memberikan roti itu kepada Yudas Iskariot. Demikian jelas bagi
pembaca siapa yang dimaksud. Disebutkan juga dalam Injil Yohanes bahwa
sesudah itu Yudas kerasukan Iblis (Yoh 13:27). Yesus sadar betul akan hal
ini. Yesus berkata kepada Yudas agar ia segera pergi melakukan apa yang
hendak diperbuatnya. Dan Yudas pun keluar. Murid-murid tidak menangkap arti
kejadian itu. Mereka mengira Yesus menyuruh Yudas, pemegang kas mereka,
untuk pergi membeli sesuatu.

Yudas kerasukan Iblis justru pada saat Yesus memberinya roti yang sudah
dicelupkan - artinya makanan yang siap untuk disantap yang diberikan oleh
tuan rumah kepada orang yang diundangnya. Sampai saat itu Yesus masih
menganggap Yudas orang sendiri, termasuk keluarga, diajak makan bersama.
Tapi justru pada saat itulah kekuatan gelap yang melawan Yesus membadan
dalam diri seorang manusia. Dan bukan sebarang orang, melainkan orang yang
amat dekat dengannya. Yohanes menceritakan semua ini lama setelah peristiwa
itu terjadi. Namun baginya jelas, itulah saatnya Iblis memakai cara-cara
manusiawi juga untuk masih berusaha menggagalkan kehadiran ilahi di
tengah-tengah manusia. Menarik diperhatikan perkembangan pergulatan antara
dua kekuatan ini. Allah memakai ujud manusia untuk menjalankan karya
penebusan - yakni Yesus yang lahir dan berada di tengah-tengah manusia.
Kekuatan-kekuatan yang melawan karya Allah itu kini juga memakai ujud
manusia pula. Dan bukannya keduanya tidak saling mengenal. Justru mereka
amat dekat satu sama lain.

Pengajaran Yesus kepada para murid selama Perjamuan terakhir itu menurut
Yohanes disampaikan "setelah Yudas pergi" (Yoh 13:31). Keterangan ini amat
penting. Yudas yang sudah kerasukan Iblis itu tidak lagi ada di situ ketika
Yesus mengajar mengapa para murid hendaknya saling mengasihi. Dengan
perginya Yudas dari kelompok itu hendak dikatakan bahwa waktu itu kekuatan
jahat tidak hadir mengancam kelompok tadi. Kata-kata Yesus mulai saat itu
boleh diterima para murid tanpa khawatir dikelirukan oleh kekuatan-kekuatan
yang bisa mengalihkan maksudnya. Semua yang dikatakannya dari saat itu
hingga nanti ditangkap di sebuah taman di seberang sungai Kidron (Yoh 18)
bebas dari kehadiran yang jahat.

KEBERSAMAAN

Yohanes hendak menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan gelap itu bisa juga
memakai cara-cara yang dipakai Allah sendiri. Satu-satunya cara untuk
bertahan ialah saling menopang dengan saling berbagi ingatan mengenai Kabar
Gembira yang dibawakan sang Guru mereka. Jangan ada yang satu merasa lebih
besar dari yang lain, apalagi saling merahasiakan pengetahuan dan ingatan.
Inilah saling mengasihi dalam arti yang paling dasar. Dalam keadaan itu juga
mulai terhimpun pula tulisan-tulisan yang akhirnya kita kenal sebagai
Injil-Injil dalam Alkitab. Dari situ juga tumbuh komunitas para murid. Tak
mengherankan bila ibadat dan kesempatan saling berbagi ingatan di antara
para murid itu kemudian dikenal sebagai "agape", yang arti harfiahnya ialah
"kasih". Bagaimana penjelasannya?

Awal dan akhir petikan ini berbicara mengenai kasih antara Yesus dan Bapanya
yang menumbuhkan kasih antara Yesus dengan para murid (Yoh 15: 9). Di akhir
petikan ini kita dengar Yesus berkata, "Kuperintahkan kepadamu: hendaknya
kalian mengasihi satu sama lain!" (ay. 17). Begitulah terjemahan harfiahnya.
Terasa ditekankan bagian yang mengharapkan agar para murid saling mengasihi.
Tujuan saling mengasihi di situ ialah membangun komunitas para murid
sehingga tiap orang mendapat ruang hidup yang layak.

Petikan hari ini sebetulnya berperan sebagai "pembacaan kembali" dalam
rangka mendalami kata-kata Yesus yang sudah disampaikan dalam Yoh 13:34-35.
Ay. 34 mengatakan, "Aku memberi kalian sebuah perintah baru, yaitu hendaknya
kalian saling mengasihi". Kemudian dijelaskan mengapa sewajarnyalah begitu,
yakni "Sama seperti aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu hendaknya
kalian saling mengasihi." Sikap saling mengasihi itu tumbuh dari perhatian
besar dari Yesus bagi para murid. Inilah yang disebut sebagai "perintah
baru" di situ. Mengapa disebut "baru"? Jelas bukan karena semua perintah
lain tak berfaedah lagi. Bukan juga karena orang belum tahu, melainkan dalam
arti yang mesti dihidupi dengan cara yang segar, yang tidak kaku, bukan
secara rutin belaka, secara wajib belaka. Dan bila mereka berhasil, seperti
disebut dalam ay. 34, maka kehidupan mereka itu orang banyak akan tahu bahwa
mereka tetap menjadi murid-muridnya. Orang banyak akan melihat bahwa
perilaku serta tindakan-tindakan para murid Yesus menghadirkan kembali Yesus
sendiri. Hidup mereka seakan-akan menyuratkan perintah dari atas yang dapat
dibaca orang banyak. Hidup mereka menjadi kesaksian. Dalam arti inilah dapat
lebih dipahami yang dimaksud saling mengasihi dalam petikan yang dibacakan
hari ini. Bahkan bisa dikatakan, yang dimaksud ialah kekuatan-kekuatan yang
tumbuh dari hubungan batin dengan sang Guru sendiri. Demikianlah tindakan
para murid tidak bersumber dari diri dan kemauan mereka sendiri. Tindakan
mereka dijiwai oleh kehadiran guru mereka dalam diri mereka.

KESATUAN BATIN

Maju selangkah lebih dalam. Yesus sendiri menjelaskan dari mana
kekuatan-kekuatan tadi berasal. Pada awal petikan ini disebutkan "seperti
Bapa telah mengasihi aku, demikianlah juga aku telah mengasihi kamu;
tinggallah di dalam kasihku itu. Kekuatan mengasihi itu bersumber pada Yang
Maha Kuasa sendiri dan yang menjadi nyata dalam kehidupan Yesus dan
dihayatinya bersama para muridnya.

Bagaimana saling mengasihi itu dapat dibahasakan bagi orang sekarang? Boleh
jadi gagasan sepenanggungan, atau solidaritas bisa membantu. Bila ada
solidaritas orang mulai mudah saling percaya. Dan bila orang mulai makin
saling percaya hubungan-hubungan selanjutnya bisa terbangun. Juga kesulitan
pun menjadi perkara yang tidak lagi membuat putus asa. Inilah bagian
"pengetahuan" terakhir yang diturunkan Yesus sang Guru kepada
murid-muridnya. Yang diwariskan Yesus itu ialah keyakinan untuk bersama-sama
memperbaiki kemanusiaan, mulai dengan cara kecil-kecilan, dengan saling
memberi perhatian. Kita diminta menemukan jalan-jalan baru yang belum
terpikirkan sebelumnya. Ini kemanusiaan baru. Inilah yang menunjukkan Tuhan
tetap mengasihi manusia. Dan pengajaran yang diturunkan kepada murid-murid
tadi itu juga bisa menjadi warisan bagi kita juga. Setiap orang dapat
menghidupkan apa itu kasih kepada sesama dengan pelbagai cara. Ini
spiritualitas yang kreatif. Itulah Injil yang bersumber pada Yesus sendiri.
Dapat dipelajari walau tidak dapat begitu saja diterapkan seperti sebuah
pola yang sudah jadi. Memang orang dapat merasakan bila kehadirannya
samar-samar belaka. Namun bila hadir, kreativitas saling mengasihi itu akan
membuka wilayah-wilayah kehidupan baru.

Salam hangat
A. Gianto

Injil Minggu Paskah V B 2012

Minggu Paskah V/B 6 Mei 2112 (Yoh 15:1-8)


Rekan-rekan,
Dalam Yoh 15:1-8 Yesus mengumpamakan diri sebagai pokok pohon anggur yang benar. Para murid ialah ranting-ranting yang tumbuh dari pokok itu. Juga Bapanya yangada di surga digambarkannya sebagai yang mengusahakan agar ranting-ranting semakin berbuah. Apa maksud petikan ini?

Hingga Minggu Paskah ke IV bacaan-bacaan Injil masa Paskah memperlihatkan pelbagai segi dari misteri wafat dan kebangkitan Yesus serta pengalaman orang-orang yang paling dekat dengannya. Dalam Minggu ke-IV itu sendiri Yesus membicarakan diri sebagai "gembala yang baik" yang berani menyerahkan hidupnya dan berhasil memperolehnya kembali (Yoh 10:11-18). Dalam semua tahun liturgi, Injil bagi Minggu Paskah IV dipetik dari Yoh 10 yang menampilkan Yesus sebagai "gembala yang baik" tadi (tahun A Yoh 10:1-10, tahun B Yoh 10:11-18 dan tahun C Yoh 10:27-30). Setelah itu, juga dalam semua tahun, Injil pada hari Minggu Paskah V dan VI diambil dari pesan-pesan Yesus selama Perjamuan Terakhir yang termaktub dalam Yoh 13-15, dan pada hari Minggu Paskah VII, dari doa Yesus bagi murid-muridnya yang disampaikan dalam Yoh 17. Selama empat minggu menjelang Pentakosta ini kita mendengarkan Injil Yohanes agar semakin menyadari kedekatan Yesus dengan para murid-muridnya, mengikuti pesan-pesan serta doanya bagi mereka yang selanjutnya akan disertai sang Penolong, yakni Roh yang dikirim Bapanya
sendiri.