Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Injil Minggu Biasa XXII B

Injil Minggu Biasa XXII B 2 Sep 2012 (Mrk 7:1-8.14-15.21-23).

Rekan-rekan yang budiman!
Dalam tiap agama ditumbuhkan dan dikembangkan hidup rohani lewat lembaga
hukum, aturan, tatacara, upacara, dan pemahaman kisah-kisah sakral (Kitab
Suci). Jadi ada tujuan, yakni kerohanian, dan ada pula sarananya, yaitu
kelembagaan tadi. Dalam kenyataan kerap tujuan dan sarana saling bertukar.
Misalnya, tata upacara atau hukum-hukum agama menjadi makin dipentingkan
dan menyingkirkan semua yang dirasa tidak sejalan. Akibatnya, kelembagaan
lambat laun menjadi tujuan beragama, bukan lagi sarana. Orang bisa mulai
merasa sesak, kurang leluasa. Sering dalam keadaan ini ada pembaruan untuk
menjernihkan tujuan semula. Hidup beragama biasanya berada di antara dua
kutub itu. Bisa lebih dekat dengan yang satu, bisa menjauh dari yang lain.
Ada kecenderungan untuk hanya melihat tujuan sehingga sarana kelembagaan
disepelekan. Tapi ada juga tarikan untuk mementingkan sarana dengan akibat
tujuan menjadi kabur.
Permasalahan ini tercermin pula dalam petikan Injil Minggu Biasa XXII B ini
(Mrk 7:1-8.14-15.21-23). Yesus ditanyai orang Farisi dan ahli Taurat, mengapa
murid-muridnya tidak menaati adat turun temurun membasuh tangan sebelum
makan. Orang-orang itu curiga Yesus dan murid-muridnya ini kaum yang tidak
peduli lagi akan lembaga agama. Dari jawaban yang diberikannya, dapat
disimpulkan bahwa Yesus bukannya hendak mengurangi wibawa kelembagaan
agama. Ia malah ingin memurnikannya sehingga dapat membawa ke tujuan
yang sesungguhnya. Ia memakai bahasa yang amat nyata seperti pernyataan
bahwa yang perlu dibasuh bukannya tangan atau piring mangkuk, melainkan
batin manusia. Maklum, tindakan-tindakan buruk timbul dari itikad buruk yang
ada dalam batin, bukan karena tindakannya sendiri.

APA LATARNYA?
Di kalangan orang Yahudi pada zaman Yesus, pembasuhan tangan sebelum
makan termasuk kesalehan yang dijalankan oleh para imam dan mereka yang
berurusan dengan ibadat. Adat seperti itu dirincikan di dalam Talmud, yakni
kumpulan penjelasan aturan dan hukum agama yang terangkum dalam Misyna.
Misyna sendiri merupakan penjabaran dari hukum-hukum Taurat.
Bagaimanapun juga,tidak ada kewajiban seperti itu bagi yang bukan imam.
Orang Farisi dan para ahli Taurat tidak termasuk golongan imam. Memang ada
kewajiban membasuh diri sebelum masuk dalam Bait sebelum beribadat, tetapi
yang dibicarakan dalam Injil hari ini ialah pembasuhan tangan secara ritual
sebelum makan. Sebenarnya Yesus tidak akan terlalu ditanya-tanya mengenai
hal serupa karena permasalahannya hanya menyangkut para imam Yahudi. Yesus
dan para muridnya bukan imam dan tidak bertugas sebagai imam dalam
masyarakat Yahudi ketika itu.
Masalah yang terungkap dalam petikan hari ini mencerminkan keadaan pada
zaman generasi kedua pengikut Yesus. Pada masa itu, praktek membasuh tangan
juga dijalankan oleh orang Yahudi yang bukan imam sebelum makan sebagai
ungkapan kesalehan. Para pengikut Yesus generasi kedua dari kalangan Yahudi
banyak yang tidak menjalankannya. Mereka sebenarnya mengikuti adat yang
lebih tua dan tidak menambah-nambah dengan pelbagai praktek kesalehan.
Mengapa? Mereka belajar dari generasi pertama yang mengikuti sikap Yesus
terhadap hukum agama, yakni menghayati semangatnya, bukan huruf atau
bentuk luarnya. Patut diingat, para pengikut Yesus waktu itu belum
menganggap diri dan belum dianggap memeluk "agama" baru. Mereka tidak mengikuti
ritualisme dan legalisme yang semakin terasa di beberapa kalangan Yahudi
pada zaman setelah Yesus. Baru kemudian mereka makin menjadi agama baru karena
makin berbeda dengan tatacara dalam agama Yahudi. Markus menyusun Injilnya
dengan latar belakang seperti ini.
Kaum Farisi itu orang-orang yang sebetulnya dengan sungguh-sungguh mau
hidup menjalankan perintah agama secara radikal. Bahkan harfiah. Mereka mau
menunjukkan begini inilah hidup mengikuti ajaran agama turun-temurun.
Mereka berpengaruh besar dalam Sanhedrin, yakni lembaga peradilan agama
dan pemerintahan di kalangan orang Yahudi. Mereka punya keyakinan, hidup
seperti yang mereka jalani itu nanti akan berlangsung juga di akhirat. Jadi
mereka mau menyucikan hidup duniawi sehingga menjadi semacam antisipasi hidup
nanti. Di kalangan seperti inilah mulai tumbuh upaya-upaya kesalehan yang
lebih besar dari yang biasa diatur dalam adat dan hukum agama.
Kisah pembicaraan antara Yesus dan orang Farisi serta ahli Taurat di sini
tersusun atas dasar keyakinan para pengikut Yesus mengenai pemikiran dan sikap sang
Guru sendiri. Bukan berarti pembicaraan dalam petikan ini tak pernah
terjadi.
Bisa saja pada zaman Yesus sudah ada beberapa kelompok orang saleh yang
mempraktekkan pembasuhan ritual meski bukan imam. Orang yang menanyai
Yesus itu mengira kelompok Yesus ini bisa jadi berasal kaum saleh baru tadi,
seperti mereka sendiri.

PETUNJUK YESUS
Dalam menanggapi kecenderungan ritualisme dan upaya menjamin keselamatan
lewat sarana kesalehan itu para pengikut Yesus dari generasi kedua dan
selanjutnya mencoba mengingat-ingat apa yang kiranya bakal diajarkan Yesus
sendiri. Ada dua garis yang mereka temukan, dan kedua-duanya termaktub
dalam Injil hari ini.
Pertama, mereka yakin bahwa sang Guru mengajarkan ibadat yang tulus, bukan
sekadar puji-pujian dangkal yang tidak disertai keyakinan rohani. Ini
termaktub dalam Mrk 7:6-7. Di situ ditampilkan kembali Yes 29:13 yang berisi amatan
tajam terhadap kurangnya integritas dalam kehidupan agama orang-orang di
Yerusalem, pusat keyahudian waktu itu. Agama dijadikan dalih kepentingan
manusiawi, kepentingan pihak yang berkuasa waktu itu. Akibatnya macam-
macam ketidakadilan terjadi dan dibenarkan oleh cara beragama. Ibadat di
Bait memang dikelola baik, tetapi korupsi, kemelaratan didiamkan saja. Dengan
demikian hidup rohani makin terpisah dari kehidupan yang nyata. Inilah yang
dikecam oleh orang seperti Nabi Yesaya. Gemanya terdengar dalam petikan hari
ini.
Kedua, para murid dari generasi kedua itu juga tahu bahwa hidup rohani yang
tulus, jadi hidup beragama yang sejati, bertujuan memurnikan batin manusia.
Bila sungguh-sungguh, maka tak perlu lagi khawatir apa ada yang mengotori
atau yang perlu disucikan dulu. Orang sudah hidup dalam kesucian batin yang
mengangkat yang ada di luar. Bahkan mereka yakin Guru mereka menganggap
yang ada dalam hidup sehari-hari itu bersih, tidak mengotori. Yang bisa
mengotori itu tentunya batin yang tak bersih. Inilah yang digemakan dalam
Mrk 7:14-15. Dengan kata lain, bila orang beranggapan yang di luar itu hanya
mengotori belaka, maka dapat disimpulkan bahwa kehidupan batin yang
bersangkutan sendirilah yang tidak beres.
Dua pokok jawaban itu tetap berarti bagi zaman kita. Sekarang ada
kecenderungan menjalankan sikap agamaist secara berlebihan. Yang ada di luar
lingkup keagamaan dianggap kotor dan busuk. Tetapi perlu diingat, manakah
tujuan hidup beragama yang sebenarnya: melawan dunia dengan asal melawan
atau mengembangkan hidup rohani yang mantap sehingga dapat berdialog
dengan pihak lain. Mungkin kita akan merasa kita sudah jauh lebih maju dari
pelbagai kelompok "lain". Kita merasa toleran, terbuka, berpijak pada
kenyataan di masyarakat. Sungguh sudah bersihkah yang ada di dalam batin? Apakah kita
memiliki cara pandang yang memadai mengenai keadaan di sekitar. Atau asal
giat belaka, asal mengubah, asal memasyarakat? Arah jawaban kedua di atas
tadi masih banyak artinya. Hanya bila kita juga bersih dari dalam maka yang
keluar akan bersih, bila tidak maka kita hanya mengeruhkan suasana.

DAFTAR PERILAKU BUSUK?
Pada akhir bacaan Injil hari ini (Mrk 7:21-22) terdapat daftar panjang
pelbagai macam kebobrokan moral. Jumlahnya 13. Baiklah dibaca kembali satu persatu
dengan perhatian pada artinya: 1. pikiran jahat (=itikad busuk), 2.
percabulan (=kelakuan birahi yang tak bisa dibenarkan), 3 pencurian, 4. pembunuhan, 5.
perzinahan (=ketaksetiaan di antara suami istri), 6. keserakahan (=bibit
korupsi dan kolusi), 7. kejahatan (=tindak kekerasan), 8. kelicikan (=tipu daya
untuk mencelakan), 9. perbuatan tak senonoh (=tak menghargai perasaan orang lain),
10. iri hati (dulu terutama tenung dan santet karena iri akan keberhasilan
orang lain), 11. hujat (=fitnah menjatuhkan nama orang), 12. kesombongan (sikap
takabur, termasuk sikap kurang menghormati yang keramat), 13. kebebalan (tak
bisa membeda-bedakan apa yang boleh dan tak boleh dikerjakan).
Yang pertama dan yang terakhir sebetulnya erat berhubungan. Bila orang tak
punya sikap batin bijak (kebusukan no. 13), maka yang ada dalam pikirannya
ialah rencana yang akhirnya buruk belaka (kebusukan no. 1). Tiadanya
kebijaksanaan batin tadi akan menelurkan 11 kebusukan yang didaftar di
antaranya. Bagi pembaca zaman itu, cukup jelas bahwa Yesus tidaklah
mendaftar kebusukan begitu saja, melainkan mengajar mereka di mana benih kebusukan
sendiri merajalela, yakni dalam batin manusia yang tak peduli lagi akan
sisi-sisi rohani. Batin yang demikian itu memupuk kebusukan. Bagaimana keluar dari
sana? Tumbuhkan kepekaan

Injil Minggu XXI-B Agustus 2012

Injil Minggu XXI-B 26 Agt 2012 (Yoh 6:60-69)

Rekan-rekan!

Yoh 6:60-69 menunjukkan bagaimana para murid yang paling dekat pun merasakan kesulitan memahami perkataan Yesus mengenai dirinya sebagai roti kehidupan yang turun dari surga. Lebih sukar lagi mengerti penjelasan Yesus dalam Yoh 6:65 bahwa tak ada seorang pun dapat datang kepadanya bila Bapa tidak mengaruniakannya. Untuk menemukan jalan sampai ke Bapa katanya perlu lewat Yesus. Tapi sekarang ditandaskan, untuk datang ke Yesus perlu karunia dari Bapa. Mau ke mana pembicaraan yang melingkar-lingkar ini? Tak engherankan, banyak yang meninggalkannya dan tak jadi pengikutnya lagi. Agama kan mesti dijalani, tidak diomongkan melulu! Kita ini cuma ingin menjalankan yang dimaui Yang Kuasa, kok pakai putar-putar begitu. Begitulah pikir para murid. Marilah kita dalami Injil yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XXI tahun B ini.

Injil Minggu XX-B 19 Agt 2012 (Yoh6:51-58)

Injil Minggu XX-B 19 Agt 2012 (Yoh6:51-58)



Rekan-rekan yang baik!

Umat Perjanjian Lama meninggalkan tanah Mesir untuk memperoleh kemerdekaan
di negeri yang dijanjikan kepada mereka (Kel 3:7-10; 6:5-7; Ul 26:5-9). Ada
kalanya di tengah perjalanan mereka menyesali telah melepaskan tempat mereka
biasa hidup sehari-hari demi sebuah negeri yang baru berujud janji itu (Kel
16:3). Dapatkah mereka sampai ke sana dengan selamat? Bagaimana melewati
gurun gersang yang mengerikan ini? Syukur semuanya telah terjadi. Dan
pokok-pokok terpenting pengalaman di gurun tadi dikenang turun temurun dalam
ibadat. Dipercaya pula bagaimana hari demi hari umat mendapat makanan
langsung dari langit (Kel 16:12-35; bdk. Bil 11:7-8) sehingga mereka dapat
berjalan terus.

Perjalanan di gurun tadi kemudian dipakai untuk membaca kembali pengalaman
mengarungi kehidupan ini. Manakah tujuan hidup yang sesungguhnya? Bagaimana
mencapainya? Masihkah Yang Maha Kuasa memberi makanan seperti dulu? Dalam
cara apa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa dianggap sepi, bisa
dibesar-besarkan, tetapi dapat pula ditekuni dalam dialog batin. Bagaimana
mengarungi gurun kehidupan ini dengan selamat sampai ke tujuan? Dalam
hubungan inilah Yesus menampilkan diri kepada orang-orang sezamannya sebagai
makanan bagi kehidupan yang turun dari surga. Begitulah, bila orang mau
menerimanya dan menyatu dengannya, kehidupannya akan dirasuki surga. Inilah
yang ditampilkan dalam Yoh 6:51-58 yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XX
tahun B.



"DAGING" dan "DARAH"?

Yesus memakai cara bicara yang agak khusus, yaitu menyebut diri sebagai
"anak manusia". Ia juga merujuk pada semua tindakan, amal, kata-kata dan
pelayanannya dalam hidupnya sebagai "daging" dan "darah"-nya. Ungkapan ini
menunjukkan betapa semuanya itu terpadu dalam kehidupannya. Jadi "daging
anak manusia" sama dengan semua yang dijalankan Yesus dan diajarkannya.
Dalam hubungan ini "makan" dan "minum" mengungkapkan kesatuan baik dengan
yang disantap maupun dengan sesama penyantap. Gagasan-gagasan ini
diungkapkan dengan "makan dagingku" dan "minum darahku".

Orang-orang Yahudi yang memperbincangkan pernyataan Yesus menyangkut "makan
dagingnya" (Yoh 6:52) bukannya tidak menangkap maksudnya. Mereka tahu betul
yang dimaksud ialah diri Yesus, hidupnya, pengabdiannya, ajarannya, apa saja
yang dilakukan. Yesus mengajak mereka menerima semua itu sebagai bekal
perjalanan manusia menuju hidup abadi. Tetapi sulit bagi mereka untuk
mengiakannya. Mereka juga memiliki tradisi panjang dalam agama mereka. Dan
ia sekarang mau memancang kebijaksanaan turun-temurun tadi pada hal-hal yang
diajarkannya sendiri? Memang ia pintar, ia mempesona, ia banyak pengikutnya,
tetapi apakah semua yang dilakukannya dan diajarkannya itu sungguh dapat
menjadi penopang perjalanan hidup ini? Klaim segede itu apa tidak
keterlaluan? Jangan-jangan spiritualitas baru ini cuma mau memonopoli Yang
Keramat! Itulah kesangsian mereka. Itulah yang mereka perdebatkan. Bukan
hanya perkara di dalam kepala saja. Jika kita ikut ajaran Yesus ini,
risikonya besar. Kalau ternyata keliru, maka kita akan kehilangan yang telah
kita punyai dari dulu. Mereka seperti leluhur mereka yang gundah ketika
mulai menempuh perjalanan meninggalkan Mesir ke sebuah negeri yang baru
berupa janji.

Dalam membaca petikan ini tak perlu kita bertolak pada anggapan bahwa
orang-orang Yahudi dari awal bersikap memusuhi. Mereka sebetulnya ingin tahu
apa dasar klaim sebesar itu. Yesus pun menegaskan, "Sesungguhnya aku berkata
kepadamu, jikalau kamu tidak makan daging anak manusia (dagingku dalam arti
seperti dijelaskan di atas) dan minum darahnya, kamu tidak mempunyai hidup
di dalam dirimu..." Meskipun nada ay. 54 itu seperti mengulang-ulang yang
pernah dikatakannya sendiri, di sini ditegaskan bahwa "daging dan darah anak
manusia" dapat ikut dihidupkan dan dihidupi tiap orang yang bersedia
menerimanya. Yang dimaksud tentunya semua yang dilakukan dan diajarkan
Yesus, pengusiran roh jahat, penyembuhan, ungkapan belas kasihnya kepada
orang banyak. Inilah yang menjadi awal dari "hidup kekal" yang nanti bakal
diperoleh dengan utuh pada akhir zaman, seperti ditandaskan dalam ay. 55.



DI RUMAH IBADAT

Disebutkan dalam ay. 59, yang tidak ikut dibacakan hari ini, bahwa perkataan
Yesus tadi diucapkannya sewaktu mengajar di sinagoga, yakni rumah ibadat
orang Yahudi di Kapernaum. Jadi ia menyampaikan pengajaran kepada
orang-orang yang datang beribadat dan mendengarkan sabda Allah menurut
kepercayaan Yahudi dan kebiasaan turun temurun mereka. Salah satu tema yang
selalu muncul dalam doa dan penjelasan sabda di rumah ibadat ialah kehidupan
umat dalam perjalanan ke Tanah Terjanji dan pemberian hukum Taurat di Sinai.
Diingat kembali kisah pemberian makanan dari surga tiap hari, yakni manna
(Kel 16:12-35), yang membuat umat dapat bertahan dalam perjalanan mencapai
tujuannya. Selain itu juga ada kurban sembelihan di Sinai dengan recikan
darah untuk meresmikan janji setia umat (Kel 24:5-8). Dalam ibadat seperti
itu seorang pembicara dapat mengolah pokok-pokok ini dengan menghubungkan
dengan keadaan nyata. Semacam homili dengan aktualisasi. Itulah yang
dilakukan Yesus pada waktu itu. Bisa ditengok pengajarannya di rumah ibadat
di Nazaret yang menerapkan nubuat Yes 61:1-2 pada warta yang dibawakannya
hari itu (Luk 4:21). Juga di lain kesempatan di rumah ibadat ia mengajar
mengenai Kerajaan Allah (Mat 4:23 9:35).

Sebelum petikan bagi hari ini, dikisahkan bagaimana reaksi orang-orang
Yahudi mendengar perkataan Yesus mengenai "roti kehidupan" (Yoh 6:25-50).
Pada kesempatan itu ia menegaskan bahwa dirinya ialah makanan yang diberikan
dari surga untuk menyambung hidup umat agar mencapai tujuan perjalanannya
(ay. 51 yang dibacakan pada awal petikan). Karena itulah orang-orang Yahudi
memperdebatkan, apa maksud Yesus sebenarnya dengan pernyataan itu. (ay. 52).
Dari konteks ini jelas perbincangan tadi sudah jadi bahan pembicaraan umum.
Dalam hubungan inilah patut dipahami uraian Yesus di sinagoga di Kapernaum
ini. Di situ ia menerapkan pada dirinya gagasan bahwa Allah memperhatikan
dan memelihara umat-Nya yang ada dalam perjalanan menuju ke Tanah Terjanji.
Tidak semua pendengarnya setuju, tetapi mereka tertarik membicarakannya
karena bahannya menyangkut masalah yang mereka kenal.



KOMUNITAS AWAL

Keadaan para pendengar di sinagoga waktu itu tidak sama dengan umat yang
datang ke gereja kini. Bagi mereka dulu, "makan daging dan darahnya", yakni
bersatu dengan kehidupan Yesus demi keselamatan, menimbulkan persoalan
besar. Bagi pendengar di gereja, kehidupan Yesus yang dikurbankan bagi
penebusan dan keselamatan orang banyak sudah menjadi pokok kepercayaan. Bagi
orang dulu perspektifnya ialah berusaha mengerti dan percaya Bagi kita,
masalahnya bukan lagi agar kita mau menerima iman itu, melainkan bagaimana
kita dapat memahami hal-hal dalam terang iman.

Injil yang diperdengarkan hari ini sebenarnya tumbuh dari upaya komunitas
awal, komunitas Yohanes, untuk menjelaskan makna perjamuan ekaristi yang
sudah biasa mereka rayakan. Pengajaran Yesus mengenai dirinya sebagai
makanan yang diberikan dari surga yang dapat membawa mereka sampai ke hidup
abadi dalam Yoh 6:25-50 diterapkan pada perayaan ekaristi. Pertanyaan dasar
ialah apa arti ekaristi ini dan bagaimana "kita", yakni orang-orang dalam
komunitas Yohanes tadi boleh merasa lebih beruntung dari nenek moyang
mereka. Maklum, komunitas ini berasal dari kalangan orang Yahudi yang saleh
yang sadar akan nilai tradisi keagamaan leluhur mereka. Tetapi kini mereka
juga berusaha menghayati ajaran Yesus yang membuat mereka makin dekat dengan
Yang Maha Kuasa yang tak terjangkau itu.

Ibadat ekaristi menjadi tindakan sakramental bersatu dengan Yesus. Tindakan
ini mengungkapkan tekad mereka untuk saling menunjang. Mereka merasa
berpikir sejalan, sepengharapan. Ada komunitas. Bagi mereka, kehidupan yang
dipelihara dengan ingatan bersama akan Yesus tadi ialah kehidupan yang nanti
akan berlanjut tanpa akhir. Mereka sudah mulai menemukan kehadiran ilahi
yang tak hanya dibataskan pada perjalanan ke Tanah Terjanji seperti nenek
moyang mereka dulu.

Juga bagi kita orang zaman ini, Yang Maha Kuasa masih memberi makanan dan
minuman agar kita dapat menempuh perjalanan hidup. Perjalanan ini penuh
unsur yang tak terduga-duga, perjalanan ini penuh harapan tapi yang juga
yang sering harus dititi dengan rasa sakit. Di beberapa tempat di negeri
kita sedang mengalami kesusahan akibat bencana alam dan malapetaka sosial.
Kepercayaan akan kebesaran Yang Maha Kuasa akan membuat orang makin tabah.
Juga dalam keadaan sulit kita masih "diberi makan dan minum dari langit".
Akan diperoleh makanan yang sama, minuman yang sama, kehidupan yang sama
yang telah diperoleh Yesus dari atas sana. Bukan hanya bagi kepentingan
perorangan saja, melainkan dalam ikhtiar bersama untuk memperbaiki keadaan,
dalam mengatasi kesulitan, dalam saling menguatkan. Dan solidaritas
sakramental ini dapat menjadi kekuatan untuk berjalan terus sampai ke sana,
ke tempat yang telah dicapai Yesus sendiri!

Salam hangat,
A. Gianto

Injil Minggu Biasa XVIII B


Rekan-rekan yang budiman!

Pada awal Injil Minggu Biasa XVIII tahun B (Yoh 6:24-35) ini diceritakan bagaimana orang banyak yang telah mendapatkan makan dari Yesus (lihat Injil Minggu sebelum ini, Yoh 6:1-15) mencarinya di Kapernaum. Mereke menemukan dia di pantai seberang. Seperti dikisahkan pada akhir Injil Minggu lalu, mereka adalah orang-orang yang ingin menjadikannya raja, tetapi Yesus menyingkir dari mereka.

Terjadilah percakapan antara mereka dengan Yesus. Di sini menjadi jelas apa yang sebetulnya diinginkan orang-orang itu, sekaligus juga dijernihkan apa yang sebaiknya mereka jangkau. Dan mengapa demikian. Ketika orang banyak mendapati Yesus di seberang danau (disebut "laut"), mereka bertanya kepadanya kapan ia tiba di sini. Orang-orang itu begitu tertarik dan bahkan ingin mengangkatnya sebagai pemimpin. Maka mereka tak habis mengerti mengapa justru Yesus pergi menghindar. Oleh karena itu mereka terus mencarinya. Kini mereka menemukannya di tempat lain. Yesus menjawab keheranan mereka dengan mengatakan bahwa yang mereka cari ialah orang yang memberi makan mereka, bukan dia yang membawakan "tanda-tanda".

Dalam Injil Yohanes, tindakan-tindakan Yesus yang membuat orang terkesan, disampakan sebagai "tanda". Begitulah pemberian makan bagi orang banyak yang dikisahkan dalam Yoh 6:1-5 kini dibicarakan sebagai tanda, bukan sebagai mukjizat atau sebagai kegiatan amal belaka.

Tanda menghadirkan kenyataan atau pesan yang bukan tanda itu sendiri. Dalam hal Yesus memberi makan orang banyak, yang hendak disampaikan bukanlah terutama kebesaran hati atau kedermawanan atau kekuasaannya, melainkan pengalaman nenek moyang mereka yang diberi makan oleh Allah Tuhan mereka selama mereka berjalan di padang gurun menuju ke Tanah Terjanji. Dalam ungkapan iman umat Perjanjian Lama, pemberian makanan dalam ujud manna dari langit ini ditampilkan sebagai cara Tuhan tetap menyertai umat yang telah dibawaNya keluar dari tempat perbudakan di Mesir dan dipimpinnya berjalan ke tempat yang disediakanNya bagi mereka. Pemberian makan orang banyak oleh Yesus hendak menampilkan kembali pengalaman umat Perjanjian Lama ini. Namun mereka belum dapat melihat dia sebagai utusan dari Allah yang hendak menyertai mereka, juga kali ini.

Dalam peristiwa memberi makan orang banyak,  Yesus juga ditampilkan bukan saja pembawa manna surgawi, melainkan kenyataan Tuhan menyertai mereka. Dialah makanan yang menopang orang dalam perjalanan menuju tempat yang dijanjikan. Inilah yang dimaksud dengan "tanda" dalam petikan Injil kali ini.

Orang banyak yang menemui Yesus kali itu diajak menimba kekayaan pengalaman iman leluhur mereka dan mempercayai tindakan ilahi yang kini sedang mereka alami. Kini Bapa yang ada di surga memberi kehidupan kepada umat dalam ujud kedatangan Yesus di tengah-tengah mereka. Namun mereka belum menyadarinya. Mereka baru melihat Yesus sebagai tokoh masyarakat, sebagai yang membela kepentingan mereka, sebagai orang yang diharapkan bisa berbicara demi kebutuhan mereka. Semua ini bagus dan terpuji. Namun bukan ke arah itulah Yesus tampil di tengah-tengah umat. Ia tampil sebagai kenyataan hadirnya Yang Ilahi di tengah umat untuk membawa mereka ke akhir perjalanan. Inilah kehidupan yang dibawakannya kepada orang banyak.

Memang umat Perjanjian Lama tahu bahwa dahulu kala Tuhan menghidupi umat dengan makanan dari langit, dengan manna. Tapi tidak mudah bagi mereka melihat serta menyadari bahwa peristiwa manna itu bukan semata-mata tindakan ilahi dahulu kala yang diceritakan kembali turun temurun dan dikeramatkan, melainkan masih berlangsung sekarang ini juga. Masalah iman bagi umat ketika itu ialah ketidakmampuan menyadari bahwa iman itu hidup, bukan sekadar ingatan yang dikeramatkan.

Bagi orang zaman sekarang, juga bagi orang yang tidak turun temurun menghayati kisah pemberian manna, petikan Injil kali ini tetap bisa bermanfaat. Diajarkan agar orang membiarkan iman menjadi bagian kehidupan, bahkan menjadi cara untuk menjalankan hal-hal yang dikehendaki Yang Maha Kuasa.

Salam hangat
A. Gianto