Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Injil Minggu Biasa XXXI B

Injil Minggu Biasa 31/B - 4 November 2012 ( Mrk 12:28b-34)

BERNALAR TENTANG AGAMA

Pada hari Minggu Biasa XXXI tahun B ini dibacakan Mrk 12:28b-34. Dalam
petikan ini Yesus menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat yang bermaksud
menjajaki pengetahuan keagamaannya. Ia ditanyai, manakah perintah yang
paling utama dalam Taurat. Maklum, ada 613 hukum, 365 di antaranya ialah
larangan dan yang 248 perintah. Yesus menjawab dengan mengutip Ul 6:4-5
bahwa perintah yang terutama dan yang pertama ialah "Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu!". Kemudian, dengan merujuk pada
Im 19:18, ditegaskannya bahwa perintah yang kedua ialah "Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri!" Ditandaskannya pula, tak ada perintah lain
yang lebih utama dari pada kedua perintah itu.

TENTANG TAURAT

Pertanyaan kepada Yesus "Guru, perintah manakah yang terutama dalam hukum
Taurat?" tentu membuat orang ikut berpikir, dari sekian banyak hukum dalam
Taurat, manakah yang paling pokok. Dalam rumusan aslinya, pertanyaan tadi
sebenarnya berbunyi: "Guru, perintah macam apa bisa disebut besar di dalam
Taurat?" Jadi yang dipertanyakan bukanlah yang mana, melainkan macamnya,
jenisnya, kategorinya. Pertanyaan ini mengarah pada ciri-ciri yang membuat
perintah tertentu dapat dikatakan perintah utama. Memang diandaikan
perintah-perintah dalam Taurat tidak sama bobotnya. Ahli Taurat itu mau tahu
apa Yesus memiliki kemampuan menimbang bobot perintah-perintah itu dan bukan
hanya asal kutip sana sini.

Kaum terpelajar Yahudi menyadari bahwa tidak semua aturan sama bobotnya.
Yesus sendiri di lain kesempatan juga mengungkapkan kepekaan ini, misalnya
mengenai hukum hari Sabat (Mat 12:1-14). Di situ kewajiban menguduskan Sabat
dibawahkan kepada kewajiban berkurban dan melaksanakan belas kasihan. Mana
prinsip memahami perintah yang satu lebih pokok dari yang lain? Soal ini
dijawab Yesus dengan mengutarakan dua perintah yang disebutkannya sebagai
perintah yang paling utama. Kedua perintah itu dikutip dari Kitab Ulangan
dan Kitab Imamat, dua kitab dalam Taurat. Dalam hal yang pertama,
perintahnya terdapat setelah penegasan mengenai keesaan Tuhan Allah orang
Israel (Ul 6:4, yang juga dikutip dalam Mrk 12:29). Penegasan ini dihayati
sebagai mengasihi-Nya dengan komitmen penuh - itulah yang dimaksud dengan
segenap hati, jiwa, dan kekuatan (Ul 6: 5 - tentang sisipan "segenap
akalbudimu" dalam Mrk 12:30 lihat uraian di bawah). Perintah mengasihi Tuhan
Allah dengan sepenuh-penuhnya itu termasuk ayat-ayat suci yang wajib
didoakan dua kali sehari (pagi dan petang) oleh orang Yahudi yang saleh.
Perintah mengenai mengasihi sesama dikutip dari Im 18:8 dan ditandaskan
sebagai perintah utama yang kedua.

PERINTAH UTAMA

Semalam ada ngobrol bersama dengan Mark, Matt, dan Luc. Berikut ini beberapa
potong pembicaraan kami di sela-sela hangatnya jahe wangi.

GUS: Kalian ini menyampaikan peristiwa yang sama tapi menaruh dalam konteks
yang berbeda-beda. Bikin bingung pembaca. Mark kau bilang kayak di atas
tadi. Tapi, dalam Kitab Ulangan kan tak ada "segenap akalbudimu" seperti
dalam tulisanmu? Apa Yesus menambahkan?

MARK [mulai tak tenang]: Versi Ul 6:5 yang sampai padaku memuat empat unsur
"segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatanmu". Sebenarnya, "segenap
akalbudi" itu untuk menjelaskan arti "segenap hati". Bagi orang Yahudi, hati
itu tempat bernalar, bukan tempat perasaan.

GUS: "Segenap kekuatan" yang ada dalam teks Perjanjian Lama itu tidak ada
dalam versinya Matt.

MATT: Ehm, sudah jelas jadi tak perlu kusertakan.

LUC: Menyela sebentar, kalau aku, kusampaikan seperti Mark. He, Matt, kalau
pakai sumber Perjanjian Lama mestinya cermatan dikit, gitu kan?

MATT: Nyang bener aje! Tentang Perjanjian Lama kau tahu apa sih! Dalam
versimu (Luk 10:25-28) kedua perintah itu kautaruh dalam mulut ahli Taurat
yang menanyai Yesus, bukan dalam kata-kata Yesus seperti kami laporkan. Sapa
yang bikin-bikin begitu?

MARK [buru-buru menyela sebelum Luc sempat menukas Matt]: Sudah, sudah, yang
itu asalnya juga dari tulisanku. Memang Yesus mengutip kedua perintah tadi
(Mrk 12:29-31). Tapi seperti kuceritakan, ahli Taurat tadi kemudian
mengulang yang dikatakan Yesus (Mrk 12:32-33). Ini yang diolah Luc, ya kan?
Jadi kalian berdua benar.

LUC [[nyruput lalu mendesis]: Peristiwa tanya jawab itu kupakai mengantar
kisah orang Samaria. Dia yang biasanya dianggap tak masuk hitungan itu toh
bisa betul-betul menjadi sesama bagi orang Yahudi yang sedang mengalami
musibah di perjalanan.

MARK: Bagiku, dan tentunya bagi Matt juga, tanya jawab itu menunjukkan bahwa
Yesus tak kalah piawainya dengan ahli Taurat dalam menafsirkan Perjanjian
Lama. [Matt manggut-manggut.] GUS : Gimana?

MARK: Yesus menegaskan bahwa tak ada perintah yang lebih utama dari keduanya
tadi.

MATT: Sebentar, yang itu kutajamkan begini: "Pada kedua perintah inilah
bergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para Nabi" (Matt 22:40) GUS
[meletakkan cangkir]: Jadi, kalian berdua, Mark dan Matt, bermaksud
menonjolkan pandangan Yesus bahwa kedua perintah memang menjadi dasar dan
menjiwai semua hukum Taurat dan kitab para Nabi.

MARK [tampak puas, juga Matt]: Benar. Yesus tidak mengabaikan hukum-hukum
lain.

MATT [meraih poci jahe]: Justru Yesus menunjukkan makna kumpulan hukum itu.
Ini kurang ditekankan Mark, apalagi Luc.

LUC: Tapi kalian kan tidak memberi contoh bagaimana mengasihi Tuhan
sepenuh-penuhnya dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Orang sekarang
lebih mudah menangkap bila diberi cerita. Pendekatan naratif. Itulah
sebabnya kutampilkan perumpamaan orang Samaria itu.

MARK: Manis, eh wedang jahenya, tapi ceritanya juga! Kisah orang Samaria itu
tentang perintah kedua. Lalu perintah pertama?

LUC: Seluruh kisah Yesus menuju tujuan perjalanannya di Yerusalem (Luk
9:51-19:28) itu penjelasan naratif tentang mengasihi Tuhan dengan
sepenuh-penuhnya. Kan nanti di kayu salib Yesus menyerahkan nyawanya kepada
Bapanya yang dikasihinya sepenuh-penuhnya.

MARK: Sudahlah, jangan kita bikin eksegese tentang tulisan kita sendiri,
serahkan saja kepada para ahli tafsir.

GUS: Ah! Tentang "kasihilah sesama seperti dirimu sendiri" kiranya ada yang
masih perlu diulas. Kalian kan bermaksud mengatakan, kasihilah sesama yang
punya pengalaman sama seperti dirimu sendiri, betul begitu? Kita ini pada
dasarnya mengalami pahit getirnya kehidupan seperti orang lain. Maka nanti
kalau sudah merasa lebih beruntung, jangan lupa orang yang sedang ada dalam
kesusahan, gitu kan? Jadi tafsirnya bukan mengasihi sesama seperti halnya
kita mengasihi diri kita sendiri.

MATT: Betul! Itu juga yang kumaksud dalam Mat 19:19 dan 22:39. Paul juga,
lihat Rom 13:9, Gal 5:14, juga Opa Jim dalam Yak 2:8.

LUC [setelah mengisi cangkir lagi]: Kalau mau bilang mengasihi sesama
seperti mengasihi diri sendiri, mestinya kata "mengasihi" diulang. Aku ingat
kalimat seperti itu dalam tulisan Oom Hans (Yoh 15:12), "Inilah perintahku,
yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti aku (=Yesus) mengasihi kamu."

GUS: Kalau bisa kurumuskan kembali, mengasihi Tuhan hendaknya dijalankan
dengan kesadaran penuh (= segenap "hati"/"akalbudi") yang keluar dari
keyakinan (= segenap "jiwa") dan tekad utuh (= segenap "kekuatan"). Jadi
bukan hanya setengah-setengah, mendua, atau ikut-ikutan, tapi dengan
pengertian. Lalu mengasihi sesama itu kan karena sesama itu seperti
kita-kita ini juga dalam suka duka kehidupan ini. Kalian tentunya tidak
keberatan kan?

BERAGAMA?

Dalam versi Mark, masih ditambahkan bahwa sang ahli Taurat membenarkan
pendapat Yesus dan malah menegaskan bahwa kedua perintah itu mengatasi semua
kurban bakaran dan kurban lainnya (Mrk 12:32-33). Kesadaran seperti ini
membuat Yesus mengatakan bahwa orang itu tak jauh lagi dari Kerajaan Allah.
Ia sudah melihat ufuk yang lebih luas dalam hidup beragama. Bukan sekedar
menjalankan kurban, tapi juga upaya memahami sesama sebagai yang sama-sama
diperhatikan Allah. Inilah yang membuatnya dapat mengasihi Allah dengan
utuh. Inilah yang membuatnya dekat dengan kehadiran ilahi.

Pembicaraan malam itu kemudian semakin berpusat pada kemampuan Yesus
memperlihatkan apa itu inti ajaran agama. Saya tanyakan bagaimana
penjelasannya kok Yesus bisa melihat sedalam itu dan menyampaikan
pemahamannya kepada orang banyak. Jawab tiga kawan tadi: Yesus sendiri
memenuhi kedua perintah utama tadi. Seluruh hidupnya diserahkan untuk
mengasihi Yang Maha Kuasa dengan kesadaran penuh dan dengan keyakinan dan
tekad yang matang. Dan semuanya ini terungkap dalam kesediaannya ikut
merasakan yang dialami orang lain. Ia percaya orang lain itu juga seperti
dia sendiri, yakni dikasihi Allah dan oleh karenanya dapat mengasihi-Nya.
Inilah dasar dan inti hidup beragama.

Salam hangat,

A. Gianto

Injil Minggu Biasa XXX B

Minggu Biasa XXX-B 28 Okt 2012 (Mrk 10:46-52)

MELIHAT KEMBALI - KE ATAS!

Dalam petikan Injil bagi Minggu Biasa XXX tahun B (Mrk 10:46-52) diceritakan bagaimana seorang pengemis buta, yang dikenal bernama Bartimeus, ikut berdesak-desakan mengerumuni Yesus yang sedang berjalan lewat Yerikho. Ia berseru minta dikasihani oleh Yesus yang dipanggilnya sebagai "anak Daud", gelar Mesias yang dinanti-nantikan banyak orang itu. Kendati orang banyak menyuruhnya diam, ia tetap memanggil-manggil dan makin keras. Mendengar itu Yesus menyuruh agar Bartimeus dibiarkan mendekat dan di­tanyai ingin apa darinya. Ketika ia minta agar bisa melihat kembali, Yesus mengatakan bahwa imannya telah menyelamatkannya. Saat itu juga Bartimeus dapat melihat kembali dan mulai mengikuti Yesus dalam perjalanannya. Marilah kita tengok terlebih dahulu perihal orang buta dalam Alkitab sebelum mengamati beberapa peristiwa Yesus menyembuhkan orang buta dan menafsirkan kisah Bartimeus ini.

ORANG BUTA DALAM ALKITAB

Orang bisa buta sejak lahir (Yoh 9:1), atau berkurang penglihatannya karena usia lanjut (Ishak dalam Kej 27:1; Eli dalam 1Sam 3:2; Ahia dalam 1Raj 14:4). Di luar itu, kebutaan umumnya akibat penyakit mata yang kasep. Hukum agama dan hukum adat melindungi orang-orang buta (seperti halnya juga janda, musafir, orang sakit, orang miskin, dst.). Ada ancaman keras jangan sekali-sekali menyesatkan atau membiarkan orang buta tersandung (Im 19:14 dan Ul 27:18). Hukum-hukum ini keramat. Tipe orang saleh seperti Ayub bisa berkata sudah menjalankan kebaikan terhadap orang buta (Ayb 29:15).

Kebutaan Saulus (Kis 9) dipakai untuk menyadarkannya bahwa hingga saat itu ia "buta" akan kehadiran Yesus. Selain itu, kebutaan fisik membuatnya kini makin menghargai kebesaran Allah yang mengasihani orang buta seperti dia lewat orang yang mengantarkannya mencari kesembuhan di Damsyik - di sana ia juga menerima baptisan, yang dimengerti secara teologis olehnya nanti dalam Rm 6:5 sebagai ikut mati, dikubur, dan dibangkitkan kembali bersama dengan Kristus.

Kebutaan bisa didatangkan sebagai hajaran kekuatan gaib, misalnya Saulus/Paulus dengan kekuatan matanya menyihir buta seorang nabi palsu bernama Baryesus alias Elimas yang menjalankan praktek santet di Pafos di Pulau Siprus (Kis 13:11). Sambil berdoa Elisa menenung buta sepasukan orang Aram (2Raj 6:8 dst.). Malaikat Allah membutakan mata orang-orang Sodom yang berniat berbuat keji terhadap mereka yang menyamar sebagai tetamu Lot (Kej 19:1). Praktek merusak mata lawan juga dikenal, misalnya orang Filistin mencungkil mata Simson (Hak 16:22), Nebukadnezar membutakan Zedekia (2 RW 25:7).

Kebutaan dapat menggambarkan tipisnya kepekaan rohani, misalnya umat yang tak lagi mengindahkan Allah (Yes 42:18-19), malah pemimpin umat juga buta (Yes 56:10); juga orang yang duniawi belaka pikirannya (2Kor 4:4) atau yang tak berbuat baik kepada sesama (2 Ptr 1:9) dan yang membenci sesama (1Yoh 2:11). Gereja Laodikea dikatakan buta karena tidak menyadari kemerosotan rohani sendiri (Why 3:17). Orang Farisi diibaratkan orang buta menuntun orang buta (Mat 15:14; Luk 6:3).

YESUS DAN ORANG BUTA

Seperti diutarakan dalam Mat 11:5 dan Luk 7:(21-)22, dalam menjawab pertanyaan Yohanes Pembaptis, Yesus menyebut penyembuhan orang buta sebagai salah satu tanda bahwa dirinya itu tokoh yang telah lama dinanti-nantikan orang banyak. Hal ini berhubungan erat dengan gagasan Alkitab bahwa keselamatan datang bagaikan terang bagi orang buta (lihat Mzm 146:8; Yes 29:18; 35:5; 42:16.18; 43:8; Yer 31:8). Tiga kejadian penyembuhan orang buta diceritakan secara khusus dalam Injil-Injil:

Di Betsaida (Mrk 8:22-25; Mat 9:29): Markus melaporkan bahwa orang buta yang diludahi matanya dan ditumpangi tangan oleh Yesus mulai bisa samar-samar melihat kembali dan baru pulih sepenuhnya ketika matanya ditumpangi tangan sekali lagi. Matius mengandaikan pembaca mampu membayangkan tiap tindakan Yesus itu dan hanya melaporkan Yesus "menjamah mata" si buta. Akan tetapi, Matius menekankan orang buta itu ditanya dulu apa sungguh percaya Yesus bisa menolong mereka.

Mengenai peristiwa di Yerikho (Mrk 10:46 dst.; Luk 18:35 dst.; Mat 20:30 dst.) Markus dan Lukas berbicara tentang Bartimeus si buta yang menjadi peminta-minta, tapi entah bagaimana Matius menambahkan orang buta yang lain sehingga penyembuhannya terjadi pada dua orang buta tanpa nama. Boleh jadi ingatan Matius agak rancu dengan peristiwa yang pernah diceritakannya sendiri dalam Mat 9:27-29. Bagaimanapun juga si buta itu, satu atau dua orang, berteriak minta tolong, "Anak Daud, kasihanilah...!" Dan Yesus langsung berbuat sesuatu. Tak perlu heran, menurut adat dan hukum orang buta wajib ditolong (lihat catatan di atas), apalagi kalau yang bersangkutan mengimbau kewajiban keramat Mesias untuk menunjukkan belas kasihan ilahi.

Di Yerusalem (Yoh 9:1-41, orang buta sejak lahir), Yesus meludah ke tanah dan membuat lumpur yang dipoleskannya pada mata orang buta sejak lahir itu lalu menyuruhnya pergi mandi di Siloam dan kembali ke Yesus dan penglihatannya kini beres. Penyembuhan ini terjadi dengan maksud menunjukkan betapa karya Allah nyata-nyata terjadi dalam diri orang buta sejak lahir itu (ay. 3).

Yesus bertindak seperti penyembuh paranormal zaman itu, lengkap dengan gerak-gerik magis-ritual dan penyebutan syarat-syaratnya segala. Injil kadang-kadang merekamnya, kadang-kadang hanya mengandaikan pembaca sudah tahu dan bisa membayangkannya sendiri.

DIALOG DENGAN BARTIMEUS

TANYA: Pak Bartimeus, kenapa kok Anda bersikeras minta tolong kepada Yesus? Apa Anda tidak takut orang banyak yang mengomeli Anda?

BARTIMEUS: Itu hakku, bukan? Yesus itu kan Mesias keturunan Daud, betul kagak? Ia tidak bakal mengingkari kewajibannya kepada orang kayak gue-gue ini. Dan ngapain takut sama orang banyak? Mereka kan tidak bakal berani menjegalku, situ kan ahli Kitab Suci, apa kata Im 19:14 dan Ul 27:18?

TANYA: Okay, Pak. Lain hal, apa yang Anda rasakan waktu Yesus tanya ingin apa darinya?

BARTIMEUS: Wah, dag-dig-dug! Sampai saat itu aku pikir aku ini kena hukuman Allah kayak orang Aram atau orang kota Sodom, atau dukun belang yang kalian kenal dari Kitab Suci. Kebetulan Yesus lewat Yerikho. Dengar-dengar ia mengajarkan Allah itu Bapa yang baik. Ini perkara baru. Tapi kurang jelas apa juga berlaku bagi orang seperti aku ini. Maka mau tanya langsung kepadanya. Tahu-tahunya ia malah nyuruh aku datang mendekat dan bertanya aku mau dia lakukan apa bagiku. Lha, tentu saja gue bilang pe­ngin bisa ngeliat kembali. Saat itu juga rasanya byaar!

TANYA: Omong-omong, persisnya Injil-Injil melaporkan "byaar" Anda itu tadi itu sebagai "saat itu juga ia bisa melihat kembali". Apanya yang "kembali"? Soalnya begini, sabar ya Pak, teks Injil mengatakan Anda itu "ana-eblepse". Lha, "eblepse", aorist orang ke-3 tunggal, artinya "mulai melihat" itu memiliki awalan "ana-" yang mengandung makna "kembali". Jadi, dengan "byaar" tadi Anda mulai bisa melihat hal-hal seperti dulu lagi. Tetapi awalan "ana-" itu juga berarti "ke atas", jadi "ana-eblepse" itu juga "mulai bisa memandang ke atas". Yesus sendiri misalnya ketika hendak memberi makan lima ribu orang dikatakan dalam Mat 14:19 "... menengadah (= ana-eblepsas) ke langit lalu mengucap syukur..." Apa Anda setuju dikisahkan dalam Injil-Injil dengan kata "ana-eblepse" yang sarat dengan dua nuansa itu?

BARTIMEUS: Waduh, waduh, terima kasih diajari Yunani! Memang cerita Injil-Injil itu jitu. Dalam "byaar" tadi rasa-rasanya mulai tampak juga apa yang dilihat Yesus ketika ia menengadah.

TANYA: Lha apa itu?

BARTIMEUS: Situ belum tahu? Kursus kilat Yunani saya balas dengan kursus kilat iman. Yesus bilang sama gue, "Imanmu sudah menyelamatkanmu." Ia tahu saat itu saya "byaar" dan mulai bisa juga melihat yang dilihatnya seperti ketika ia menengadah tadi. Inilah yang dia maksudkan. Aku mulai makin tertarik ikut melihat yang betul-betul dilihatnya, bukan hanya langit saja tapi siapa yang di sana. Karena itu, aku ikuti dia. Tiap hari aku mendengarkan ia bercerita mengenai Bapanya yang ada di surga, yang di atas sana. Maka Mrk 10:52 bilang tentang aku yang mantan pengemis buta ini "lalu ia mulai mengikutinya dalam perjalanannya". Maksudnya, jalan menuju Bapanya - tafsir ini ndak bisa Anda raih dengan eksegese tok lho, karena hanya terjangkau dalam iman yang disebut Yesus tadi. Luk 18:43 mengatakan yang sama ketika bilang tentang diriku "lalu ia mulai mengikuti dia sambil memuliakan Allah". Allah yang makin kupandangi dalam mengikut Yesus.

Pada akhir tanya jawab itu, terbayang Bartimeus berjalan mengikuti Yesus - ia yang tadi buta itu kini menuntun kita semua mulai memahami apa makna mengikuti Yesus dalam perjalanannya. Ia juga bukan peminta-minta lagi, ia bisa memberi banyak. Apa rekan-rekan berkeberatan bila dikatakan perjumpaan Bartimeus dengan Yesus itu justru karena si buta ingin lebih tahu cerita Yesus tentang Bapa­nya yang di atas sana, di surga, dan dalam hubungan ini ia memperoleh kembali penglihatannya?


Salam hangat,


A. Gianto

Post scriptum: Dalam membaca kisah mengenai orang buta (dan cacat lain), amat berfaedah bila diperiksa apa yang kiranya tak bisa terjadi akibat kebutaan (ketulian, kebisuan, kelumpuhan, dst.), yakni memandangi hal-hal dalam "terang". Dalam Alkitab gagasan "terang" amat menonjol. Lihat misalnya pembukaan Injil Yohanes dan awal Kitab Kejadian. Begitu juga mengenai cacad yang lain: ketulian membuat orang tidak bisa mendengar(kan) perkataan. Baik awal Kitab Kejadian maupun Injil Yohanes mengemukakan peran "sabda": awal mulanya ialah Sang Sabda, ini secara literer mengacu pada sabda ilahi pada awal Kejadian: "Jadilah terang!". Maka kebutaan dan ketulian dipakai dalam Alkitab untuk menggambarkan orang yang tinggal dalam kegelapan, dalam kesepian, jauh dari kehadiran ilahi sendiri. Kebisuan membuat orang tidak dapat "memuji" kebesaran ilahi. [Di  Refter CC satu ketika dilancangkan visi bahwa nanti hukuman terbesar di akhirat bagi orang usil ialah tidak dibiarkan bermulut; maka tak bisa ikut mengucap puji-pujian bersama para malaikat...] Juga mengenai kelumpuhan. Orang yang demikian tak bisa berjalan - mendekat, mengikut, mencapai tujuan dan akan merasa "tertinggal". Tentu saja gambaran ini tidak bisa dikenakan pada kebutaan, ketulian, kebisuan, kelumpuhan yang sifatnya fisik belaka.

Injil Minggu Biasa XXIX B

Minggu Biasa XXIX/Minggu berKabar Gembira 21 Okt 2012 (Mrk 10:35-45)

INGIN DUDUK DI KANAN KIRINYA?

Berikut ini sekadar catatan mengenai Mrk 10:35-45 yang dibacakan pada hari
Minggu Biasa XXIX tahun B. Petikan Injil kali ini mengungkapkan keinginan
Yakobus dan Yohanes untuk memperoleh kedudukan di kanan dan kiri Yesus dalam
kemuliaannya nanti. Tetapi Yesus malah menanyai mereka, sanggupkah minum
dari cawan yang diminumnya dan menerima baptisan yang diterimanya.
Ditambahkannya, ia tak dapat menjanjikan kedudukan itu karena hanya Allah
sendirilah yang menentukan siapa yang pantas ke sana. Kemudian Yesus
mengatakan, barangsiapa ingin jadi orang besar hendaknya menjadi orang yang
melayani orang lain. Bagi Anak Manusia, melayani dan mengamalkan diri
menjadi jalan penebusan bagi umat manusia.

KEDUDUKAN KHUSUS?

Yakobus dan Yohanes, seperti Petrus, adalah murid-murid pertama yang dipilih
Yesus (Mrk 1:19). Mereka nanti dibawa serta guru mereka ke atas gunung untuk
menyaksikan kemuliaannya (Mrk 9:2-8). Mereka juga diajak mengawani Yesus di
Getsemani (Mrk 14:34). Jelas, mereka itu amat dekat dengan Yesus. Apa
salahnya mengharapkan pahala duduk di kanan kirinya nanti dalam
kemuliaannya, juga kemuliaan rohani? Konteks terdekat petikan ini ialah
pemberitahuan yang ketiga kalinya mengenai diserahkannya Anak Manusia kepada
orang bukan Yahudi, ia akan dicerca dan disiksa sampai mati tapi akan
bangkit pada hari ketiga (Mrk 10:32-34). Kalimat-kalimat pemberitahuan ini
tentu saja dimengerti para murid walaupun kebenarannya tak tecerna. Anak
Manusia ini makin sulit dimengerti. Tak masuk akal!

MASALAH TAFSIR

Ketidakpahaman para murid akan penderitaan, kematian, dan kebangkitannya itu
bukanlah ketidaktahuan atau ignorantia belaka, melainkan frustrasi dalam
menghadapi perkara yang tak masuk akal seperti itu. Ada yang menjelaskan
bahwa permintaan Yakobus dan Yohanes ini muncul dari anggapan bahwa Yesus
sebentar lagi akan membangun kembali kejayaan politik dan duniawi Israel.
Gagasan mengenai Mesias seperti itu memang ada dan sementara pengikut dan
lawan Yesus berpendapat demikian. Akan tetapi, tidak bisa murid-murid yang
terdekat begitu saja dianggap sama sekali keliru mengenai guru mereka.
Penjelasan seperti ini kurang cocok dengan nada seluruh petikan. Lebih tepat
bila kita anggap mereka sebenarnya juga mengetahui apa yang sesungguhnya
dimaksud Yesus. Yang tak bisa mereka pahami adalah mengapa ia perlu
menderita dan mati agar mencapai kemuliaan rohaninya itu. Soal mereka ialah
bagaimana mengerti mengapa Allah membiarkan penderitaan seperti itu dan
bukan bahwa mereka terbuai pandangan mesianisme politik. Murid-murid itu
amat dekat dengan Yesus dan sebebal-bebalnya mereka, kiranya tidak akan
terlalu meleset memahami siapa dia.

CAWAN DAN BAPTISAN

Yesus tidak langsung mencela mereka seperti kesepuluh murid lain yang marah
kepada mereka. Ia hanya bertanya apakah mereka sanggup "minum dari cawan"
yang harus diminumnya dan "dibaptis dengan baptisan" yang bakal dijalaninya.
Minum dari cawan itu idiom bagi mengalami penderitaan, merasai cemooh dan
murka dan hal seperti itu. Di Getsemani Yesus mohon agar Allah meluputkannya
dari cawan (= penderitaan), bila ini memang kehendak-Nya.

Dalam alam pikiran orang zaman KS dulu, cawan kerap dipandang berisi minuman
yang datang dari dunia ilahi. Minumannya bisa berkat (Mzm 23:5; 116:13),
hukuman (Yeh 23:31-33), atau amarah (Mzm 11:6; 75:9; Yes 51:17:22; Yer
25:15; 49:12; Hab 2:15-16). Menjelang periode akhir Perjanjian Lama, gagasan
cawan berisikan amarah lebih dikenal. Gemanya terdengar dalam Kitab Wahyu
(Why 14:10; 16:8.19; 17:4; 18:6). Karena cawan amarah sedemikian lazim,
orang bilang cawan begitu saja. Bila diminum, amarah dalam cawan itu
menyebabkan penderitaan. Inilah idiom dalam yang dijumpai kali ini dan nanti
di Getsemani. Dengan minum cawan yang berisi murka Allah itu sampai tuntas,
Yesus sang Anak Manusia menghapus amarah Allah dan dengan demikian hubungan
antara manusia dengan Allah baik kembali. Kalau ia tidak meminumnya, amarah
tadi akan tertumpah ke seluruh muka bumi. Menjalani baptisan juga idiom,
maksudnya mengalami maut. Gabungan cawan dan baptisan berarti penderitaan
yang membawa maut, seperti yang akan dialaminya dan sudah diumumkannya
sendiri sampai tiga kali tapi tak tecerna oleh para murid. Yakobus dan
Yohanes mengerti gaya bicara ini dan jawaban mereka betul-betul
mengungkapkan tekad mereka untuk nekat ikut serta dalam penderitaan dan maut
yang bakal dialami Yesus walaupun tak habis mengerti mengapa perlu sejauh
itu. Mereka memang loyal. Akan tetapi, mereka lebih terdorong harapan bakal
mendapat pahala khusus mengingat kedudukan khusus mereka. Hal terakhir
inilah yang tidak dilewatkan begitu saja oleh Yesus. Ia menegaskan dirinya
tak berhak memberikan kedudukan mulia karena Allah sendirilah yang bisa
menentukan siapa-siapa yang bakal ada di sana.

SIAPA BAKAL DUDUK DI KANAN DAN KIRINYA?

Siapa yang ditentukan Allah bakal mendapat kedudukan itu? Tak akan meleset
bila kita berpikir mengenai mereka yang dalam Injil-Injil disebut bakal
masuk Kerajaan Allah atau empunya Kerajaan Allah: anak-anak yang diberkati
Yesus, orang-orang yang disebut bahagia dalam khotbah di bukit, mereka yang
nanti dalam ungkapan Matius tentang akhir zaman terbukti sudah
sungguh-sungguh memperhatikan orang lain. Dalam Mrk 10:43-44 Yesus mengajak
murid-murid agar menjadi pelayan dan hamba. Kata-kata Yesus dalam ay. 43 dan
44 itu bermaksud mengatakan agar para murid saling menjadi pelayan dan
saling mengutamakan. Ajakan ini merombak wacana kekuasaan yang biasa, sama
halnya dengan khotbah di bukit merombak pandangan umum. Dalam wacana
kekuasaan yang lazim, arahnya dari atas ke bawah, seperti ditegaskan dalam
ay. 42. Kebengisan, ketidakadilan, perlakuan buruk amat mudah muncul dalam
wacana itu. Namun demikian, dalam ay. 43-44, wacana "atas-bawah" itu
diratakan, di-horisontal-kan, begitulah istilahnya. Murid-murid diimbau agar
menjadi pelayan bagi satu sama lain dan agar saling menganggap penting.

PANDANGAN LAIN
Ajakan dan ajaran tadi diberi penjelasan "karena Anak Manusia datang bukan
untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya
menjadi tebusan bagi orang banyak". "Memberikan nyawanya" dalam gaya bicara
Semit berarti memberikan diri sepenuhnya, punya komitmen total, dan bila
perlu sampai berkurban jiwa walaupun ini bukan hal yang pokok. "Orang
banyak" juga merupakan cara berungkap khas untuk menyebut semua orang, bukan
hanya "banyak". Gagasan "tebusan" datang dari dunia utang piutang dan
pergadaian. Tebusan ialah ganti rugi, silih, yang diberikan untuk
mengembalikan hutang yang tak terbayar dengan cara biasa. Umat manusia,
semuanya, "orang banyak", telah merosot dan bukan lagi citra Allah yang
utuh. Nah, ini rugi besar bagi Allah. Untuk membereskan perlu ada tebusan,
ciptaan baru, sebagai ganti rugi Tak usah kita pakai gagasan "tumbal" di
sini karena konotasi dan alam pikiran "tumbal" ialah kurban peredam amarah,
bukan ganti yang setimpal. Allah akan menuntut ganti rugi yang tak gempil
sana sini. Wacana teologi seperti ini dirombak dalam Mrk 10:45. Allah yang
biasa dimengerti sebagai yang menuntut tebusan sampai sen terakhir itu kini
tampil sebagai Allah yang ikhlas menyerahkan seluruh urusan kepada Anak
Manusia. Dia ini ciptaan baru yang menampakkan wajah Allah yang sejati.
Allah kini tampil bukan sebagai yang murka dan suka membuat perhitungan,
melainkan yang menganggap manusia berharga, Allah yang menganggap kita ini
patut ditelateni, bagaikan seorang pelayan dan hamba menghadapi tuannya.
Bolehkah kita percaya bahwa Allah yang Maha Tinggi itu bertindak demikian
kepada kita? Bisakah kita menerima ajaran Yesus agar orang saling menghargai
sebagai jalan emas penebusan? Beranikah kita menerima itu semua sebagai
Kabar Gembira? Begitulah maka hari Minggu ini juga dirayakan sebagai Minggu
berKabar Lega, kalau mau, Kabar Plong! Istilah resminya seperti dalam
penanggalan liturgi Indonesia ialah "Minggu Evangelisasi".

Salam hangat,
A. Gianto

PS: Di Refter CC kata "evangelisasi" boleh jadi bunyinya terasa rada keras,
mudah disamasamakan oleh yang tak suka dengan hal-hal yang peka bagi
masyarakat majemuk agama. Dua kemungkinan: pakai istilah resmi dengan upaya
menerangkan bahwa tidak begitu konotasinya, tapi begini begitu. Entah
bermanfaat atau tidak; tetapi rasanya istilah itu akan terus terasa asing
dalam bahasa Indonesia. Ini masalah bahasa, bukan iman kepercayaan. Tapi
iman tak bisa tidak memperhatikan serta mencermati pemakaian bahasa. Dipakai
ungkapan yang lebih luwes? Ada banyak: Tiap pewarta bisa menemukan dalam
bahasa sendiri, a.l., Minggu berKabar Gembira, Minggu bagi Kabar Lega,....
Plong! Ngetrend dan gampang masuk BBM kan? Aslinya, "eu-aggelion" (eu=baik,
bikin lega; aggelion = kabar) ialah kabar berita yang dengan gembira
disampaikan bahwa bahaya yang mengancam sudah lewat, sudah diatasi, sehingga
orang boleh merasa lega, plong. Tidak gundah. Penting dicamkan juga:
pengabarannya sendiri dilakukan dengan gembira. Dalam KS dipakai untuk
menggambarkan bahwa Yang Maha Kuasa kini tidak berniat mendera dengan siksa
dan amarah tapi suka menerima manusia dalam rupa apapun. Cawan amarahNya
sudah diminum lunas oleh dia yang diutusNya! Memang orang mesti berjalan
kepadaNya, juga dengan jatuh bangun, tapi Dia ada di sana, menunggu dan
menggapai, dan bila gawat datang menolong. Maka sikut-sikutan mau ada duduk
di kiri kananNya tidak dianjurkan dalam bacaan Minggu ini.

Injil Minggu Biasa XXVII B

Minggu Biasa XXVIII-B 14 Okt 2012:

Agama atau kerohanian? (Mrk 10:17-30)

AGAMA ATAU KEROHANIAN SEJATI?

Bacaan Injil Minggu Biasa XXVIII tahun B ini (Mrk 10:17-30) memuat pernyataan Yesus bahwa lebih mudah bagi seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah (ay. 25; lihat pula Mat 19:23-24 Luk 18:25). Murid-murid bereaksi, bila begitu, siapa yang bakal selamat?Menanggapi persoalan ini, Yesus mengemukakan memang tak mungkin bagi manusia, namun bukan demikian bagi Allah; bagi-Nya semuanya bisa terjadi. Apa artinya pembicaraan itu dan apa wartanya bagi kita sekarang?

AGAMA ATAU KEROHANIAN SEJATI?
Ada orang yang datang dan bertanya kepada Yesus, apa yang mesti diperbuat supaya mendapatkan hidup kekal (Mrk 10:17). Yesus merujuk kepada perintah-perintah agama (ay. 19). Tetapi setelah orang itu berkata bahwa semua sudah dijalankannya (Mrk ay. 20), Yesus mengajaknya melangkah lebih jauh. Disarankannya kepada orang itu untuk mengamalkan kekayaannya bagi kaum papa lalu mengikutinya (ay. 21).

Keinginan orang itu untuk memperoleh hidup kekal dihadapkan Yesus dengan cita-cita untuk mencapai kesempurnaan. Hidup kekal belum bisa disebut kesempurnaan. Dalam bacaan ini juga menjadi jelas bahwa kesempurnaan mustahil dicapai oleh manusia dengan upaya sendiri. Kesempurnaan itu karya Allah bagi manusia. Murid-murid salah faham. Mereka mengira kesempurnaan itu dituntut agar orang selamat, maka mereka bertanya-tanya siapa bakal bisa diselamatkan. Dalam ay. 27 Yesus membantu mereka agar mengerti duduk perkaranya: kesempurnaan itu bukan urusan manusia, melainkan karya Allah di dalam diri manusia.

Dalam hubungan ini baik dipikirkan perbedaan antara "sikap beragama" dan "kerohanian". Meskipun berpautan, kedua-duanya tidak sama. Sikap beragama yang tulus dapat membawa ke hidup kekal dan membukakan dimensi keramat dalam kehidupan, tetapi belum membawa orang betul-betul merasakan nikmat dan hikmatnya Yang Keramat. Dia sendirilah yang bakal membawa orang kepadanya. Tak sedikit orang yang kini merasa jenuh dengan "sikap beragama" dan menginginkan masuk ke dalam "kerohanian". Injil Minggu ini mengutarakan perbedaan di antara keduanya. Paradigma "sikap beragama" bisa panjang, misalnya: menggereja, berkomunitas, membudayakan agama, agamaist. Lalu  apa paradigma "kerohanian"? Kita tahu ada, tapi apa ujudnya, Dia sendirilah yang lebih mengetahuinya! Kerohanian sejati luput dari perencanaan justru karena tidak bisa diagendakan. Dan sia-sialah upaya untuk itu.

KE MANA KITA?
Tanggapan Yesus dalam Mrk 10:27 sebenarnya tidak langsung diarahkan kepada para murid ("Siapa bakal selamat?"). Mereka sibuk dengan pemikiran mereka sendiri mengenai keselamatan yang kini justru digoyah Yesus. Mungkin mereka berpendapat bahwa keselamatan itu ialah mengalami "syalom" atau "kedamaian" seperti sering dikuliahkan dalam traktat teologi keselamatan. Teologi keselamatan seperti ini sebenarnya lebih termasuk paradigma "sikap beragama", dan tidak berada di kawasan "kerohanian". Akibatnya, cepat atau lambat orang merasa macet, jemu, tak mendapat inspirasi. Penawarnya ialah teologi keselamatan yang lebih memberi ruang gerak pada Allah yang bertindak menolong orang-orang yang butuh pertolongan-Nya. Itulah citra Allah dalam Perjanjian Lama. Itu juga citra Anak Manusia dalam Perjanjian Baru yang dinanti-nantikan orang banyak: menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, memberi makan orang banyak, menghidupkan orang.

Mungkin ada yang berkata, bahwa karya-Nya ini toh bisa kita namai dengan abstraksi "karya keselamatan", begitu kan? Nah, di sinilah cobaan terbesar: menamai pengalaman rohani "ditolong Tuhan" dengan abstraksi yang universal mengenai keadaan damai/syalom. Teologi keselamatan seperti ini memang jelas penalarannya, tetapi kurang menggarap kerohanian. Orang lapangan musti waspada dan tidak meninabobokkan umat dengan gagasan seperti ini.

Lalu manakah gagasan keselamatan yang lebih memberi ruang pada kerohanian? Boleh jadi Mazmur 15 dapat membantu. Mazmur itu mulai dengan pertanyaan siapa yang bakal diam di kemahMu ya Tuhan, siapa yang bakal tinggal di Gunung SuciMu? Bagi sang petapa dalam Mazmur itu, tinggal bersama Tuhan di kediaman-Nya ialah pengalaman rohani menikmati hikmatnya berada di dekat Allah. Pengalaman rohani ini tidak mudah diabstraksikan menjadi paham damai atau paham keselamatan begitu saja. Ayat-ayat selanjutnya menyebutkan macam-macam perilaku yang menjadi petunjuk jalan masuk ke kediaman Tuhan. Semuanya termasuk "sikap beragama" yang terarah menuju ke kesempurnaan rohani, yakni tinggal bersama Tuhan di kediaman-Nya. Demikianlah ditunjukkan kaitan antara sikap beragama dengan kerohanian sejati yang menjadi kesempurnaan hidup. Pertanyaan pada awal Mazmur 15 nadanya mirip dengan pertanyaan orang kaya yang datang kepada Yesus dalam Mrk 10:17 walaupun titik tolaknya amat berbeda. Petapa dalam Mazmur itu ingin tahu bagaimana caranya agar orang bisa berada bersama dengan Tuhan karena inilah kepuasannya. Tetapi orang yang menemui Yesus tadi mencari kepastian bagaimana bisa menikmati hidup kekal. Baginya berada dengan Tuhan, "mengikuti Yesus" Mrk 10:21, bukan sumber kepuasannya! Anehnya, jalan yang ditempuh sang petapa dalam Mazmur 15 dan orang dalam Mrk 10:17-27 praktis sama. Bandingkan katalog perbuatan baik dalam Mzm 15 dan Mrk 10:19, tetapi tujuan akhirnya berbeda. Semua perbuatan baik itu termasuk kesungguhan beragama. Namun sikap ini dapat membawa orang ke dua arah yang amat berbeda satu sama lain. Yang satu ke kepuasan rohani ada bersama Tuhan, sedangkan yang lain ke kemuraman, ke rasa pilu karena tidak mampu mengikuti Tuhan. Ini kendala hidup beragama yang mendua arah tujuannya. Maka tak heran bila murid-murid Yesus bingung. Jawaban Yesus tidak melanjut-lanjutkan kebingungan mereka, melainkan membawa mereka menyadari karya Tuhan sendiri.

UNTA MASUK LUBANG JARUM
Ada beberapa hal dalam Mrk 10:17-30 yang sulit dimengerti. Banyak pembicaraan mengenai ay. 25 yang menyebut-nyebut "unta" dan "lubang jarum". Tak sedikit ahli tafsir yang menjelaskan pernyataan itu secara rasional dengan mengatakan bahwa kata "unta", Yunaninya "kamelos", tertulis di situ sebagai akibat salah dengar kata "kamilos", yang artinya tali, kabel, seperti tali jemuran. Tentu saja bila dimengerti sebagai tali, ucapan Yesusakan terasa kurang aneh. Lebih mudah dimengerti bila perkaranya ialah memasukkan tali ke lubang pada tiang tambatan perahu., yang diibaratkan lubang jarum. Orang bisa juga ingat bahwa ada kata Arab "jumal" yang berarti tali penambat perahu, ada kesamaan dengan kata Arab lain, "jamal", yakni unta. Bisa diduga-duga Aramnya Yesus dulu berbunyi seperti kata-kata itu karena memang bahasa-bahasa itu serumpun. Tafsir seperti ini juga agak mengurangi keanehan Mat 23:24 yang mengecam kaum Farisi yang teliti menyaring uget-uget bila mau minum air, tetapi suka menelan unta mentah-mentah! Jadi apa tidak lebih baik diartikan saja sebagai menelan potongan-potongan tali yang entah bagaimana ada di dalam air minum. Memang lucu, tapi kurang aneh daripada menelan unta mentah-mentah. Tetapi naskah-naskah tua Perjanjian Baru yang tepercaya tidak menopang dugaan bahwa pernah ada salah dengar dan salah tulis "kamilos" (tali) menjadi "kamelos" (unta) tadi. Penjelasan filologis seperti ini sebetulnya termuan para orientalis dari abad-abad silam yang diikuti begitu saja oleh ekseget yang tidak melihat kelemahannya. Lalu bagaimana tafsiran yang mengena? Tak ada jeleknya menerima teks seperti adanya. Tak perlu kita berusaha menyulap unta menjadi tali perahu atau tali apa saja, lebih-lebih jangan biarkan diri hanyut oleh buaian argumen rasionalistis. Lebih baik pernyataan Yesus itu didengar sebagai kiasan untuk membuat orang makin menyadari duduk perkaranya. (Bandingkan Qur'an 7:40: "Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk lubang jarum..." Artinya, jelas tak mungkin mereka itu masuk surga.) Yesus mau mengatakan betapa susahnya orang kaya masuk Kerajaan Allah. Kiasan ini juga menekankan kontras pada akhir petikan. Memang bagi manusia tak mungkin, tapi semua mungkin bagi Allah! Maksudnya, manusia tidak bisa dengan upaya sendiri ("sikap beragama" belaka) mencapai kesempurnaan, tapi bila yang membawanya ke sana itu Allah sendiri (menyadari gerak "kerohanian sejati"), tentu saja bisa terjadi. Tak usah kita mulai menuduh-nuduh siapa yang seperti orang kaya itu, juga tak perlu mencari-cari siapa yang orang miskin yang sungguhan atau yang kurang sungguhan. Yang penting kita bisa mengajak orang agar ikut bertanya seperti murid-murid yang tak habis pikir tadi. Bila ini tercapai, kita akan ikut membuat orang jadi peka akan pesan Injil, yakni insyafilah perbedaan antara "hidup beragama" dan "kerohanian sejati", yang pertama itu upaya manusia mendekat kepada Allah, yang lain kehadiran Allah dalam diri manusia.

MELIHAT VERSI MATIUS
Kaidah-kaidah moral yang disebut Yesus dalam Mrk 10:19 yakni jangan membunuh, jangan berzinah, dst. hingga hormatilah ayah dan ibumu muncul dalam Mat 19:19 dengan tambahan "dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Tambahan ini tidak ada dalam Luk 18:20. Gagasan "mengasihi sesama seperti diri sendiri" memang sering dijumpai dalam Alkitab, lihat antara lain Im 19:18 Mat 22:39 Mrk 12:31.33 Luk 10:27 Gal 5:14. Rm 13:9 Yak 2:8. Lazimnya gagasan itu dimengerti sebagai ajakan mengasihi sesama dengan cara seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Terngiang petuah emas Mat 7:12 "Apa yang kamu inginkan bagi dirimu, perbuatlah bagi orang lain!" Begitukah? Memang tak ada yang bakal menyangkal betapa mulianya ajakan ini. Persoalannya, kata-kata "seperti kamu sendiri" itu sebaiknya difahami sebagai pelengkap "mengasihi" atau pelengkap "sesamamu". Bila dikenakan kepada "mengasihi", maka kita diajak untuk mengasihi orang lain dengan cara seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Tetapi bila dikenakan kepada "sesamamu", maka kita diharap mengasihi sesama yang nasibnya kayak kita-kita ini. Dengan kata lain, kita diminta agar solider dengan orang lain, agar peduli terhadap orang lain yang senasib.

Mana tafsir yang jitu? Menurut cara bicara Ibrani atau Aram (dan Yunani Perjanjian Baru), "kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" seyogianya dimengerti sebagai ajakan agar kita mengasihi sesama yang kayak kita-kita ini juga, dengan segala kendala hidup dan hasrat dan cita-cita yang ada, bukan agar kita memperlakukan orang lain dengan cara seperti kita memperlakukan diri kita sendiri. Dalam bahasa-bahasa itu, mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita akan diutarakan dengan mengulang kata "mengasihi". Cara berungkap seperti ditemui dalam Yoh 15:12 "Inilah perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti aku mengasihi kamu". Jika "kasihilah sesama seperti dirimu sendiri" mau diartikan sebagai "kasihi sesama seperti halnya kamu mengasihi dirimu sendiri", maka "mengasihi" akan diulang pula. Tambahan dalam Mat 19:19 itu justru dapat memberi ulasan lebih jauh mengenai serangkai hukum yang menjamin hidup kekal dalam Mrk 10:19. Serangkai hukum itu dipaparkan bukan sebagai kewajiban-kewajiban belaka, melainkan sebagai kepedulian yang mendalam terhadap orang lain yang senasib sepenanggungan, entah mereka itu ayah ibu, mitra bisnis, lawan beperkara, istri, atau pemilik barang-barang yang menggiurkan. Menumbuhkan kepedulian ini menjadi jalan ke hidup kekal.


Salam hangat,
A. Gianto

Injil Minggu Biasa XXVII B 2012

Injil Minggu Biasa XXVII/B Okt 2012(Mrk 10:2-16)

Rekan-rekan yang baik!
Masalah yang dibawa ke hadapan Yesus oleh orang-orang Farisi kali ini berkisar pada prinsip diperbolehkan atau tidaknya seorang suami menceraikan istrinya (Mrk 10:2-16, Injil Minggu Biasa XXVII tahun B). Memang dalam hukum Taurat, seperti mereka ketahui, tindakan itu diizinkan asal dilakukan dengan cara yang ditetapkan, yakni dengan surat cerai resmi yang dibuat oleh suami yang diserahkan - jadi resmi diterima - oleh istrinya. Istri yang diceraikan tadi bisa menikah lagi dengan sah, tetapi bila suaminya menceraikannya atau meninggal, maka bekas suami yang dulu tidak boleh menikahinya kembali.