Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Hari Raya Kristus Raja


Injil Minggu 25 November 2012: Hari Raya Kristus Raja (Yoh 18:33b-37)

BERKUASA ATAS SEMESTA ALAM?

Pada hari raya Kristus Raja Semesta Alam tahun B ini dibacakan Yoh 18:33b-37. Petikan ini memperdengarkan pembicaraan antara Pilatus dan Yesus. Pilatus menanyai Yesus apa betul ia itu raja orang Yahudi guna memeriksa kebenaran tuduhan orang terhadap Yesus. Yesus menjelaskan bahwa keraja­an­nya bukan dari dunia sini. Ia datang ke dunia untuk bersaksi akan kebenaran.

Injil mengajak kita mengenali Yesus yang sebenarnya, bukan seperti yang dituduhkan orang-orang, bukan pula seperti Pilatus yang sebenarnya tidak begitu peduli siapa Yesus itu. Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam ini juga merayakan kebesaran manusia di hadapan alam semesta. Itulah kebenaran yang dipersaksikan Yesus dan yang dipertanyakan Pilatus.

RAJA DALAM PERJANJIAN LAMA

Dalam alam pikiran Perjanjian Lama, raja berperan sebagai wakil Tuhan di dunia. Di Kerajaan Selatan, yakni Yudea, peran ini dipegang turun-temurun. Kepercayaan ini terpantul dalam silsilah Yesus dalam Injil Matius yang melacak leluhur Yesus, anak Daud, anak Abraham (Mat 1:1-17). Lukas menggarisbawahinya tapi melacaknya lebih lanjut hingga ke Adam, anak Allah, yakni "gambar dan rupa" sang Pencipta sendiri di dunia ini (Luk 4:23-27). Tetapi dalam menjalankan peran ini, raja sering diingatkan para nabi agar tetap menyadari bahwa Tuhan sendirilah yang menjadi penguasa umat.

Kehancuran politik yang berakibat dalam pembuangan di Babilonia (586-538 s.M.) mengubah sama sekali keadaan ini. Raja ditawan dan dipenjarakan, kota Yerusalem dan Bait Allah dijarah, negeri terlantar dan morat-marit hampir selama setengah abad. Pengaturan kembali baru mulai setelah pembuangan, pada zaman Persia. Bait Allah mulai dibangun kembali (baru selesai 515 s.M.), walau kemegahannya tidak seperti sebelumnya. Tidak ada lagi raja seperti dulu walau ada penguasa setempat yang berperan dengan cukup memiliki otonomi di dalam urusan keagamaan. Pada zaman Yesus, keadaan ini tidak banyak berubah. Memang ada harapan dari sementara kalangan orang-orang Yahudi bahwa kejayaan dulu akan terwujud kembali. Maka itu, ada harapan akan Mesias Raja. Harapan ini mendasari pelbagai gerakan untuk memerdekakan diri. Hal ini sering malah memperburuk keadaan. Penguasa asing menumpas gerakan itu dan memperkecil ruang gerak orang Yahudi sendiri. Maka itu, di kalangan pemimpin Yahudi ada kekhawatiran apakah Yesus ini sedang membuat gerakan yang akan mengakibatkan makin kerasnya pengaturan Romawi. Mereka mendahului menuduh Yesus di hadapan penguasa Romawi guna mencegah memburuknya suasana politik.

PATUTKAH IA MENJADI RAJA?

Menurut Yohanes, memang orang pernah bermaksud mengangkat dia sebagai raja (Yoh 6:15, sehabis memberi makan 5.000 orang). Akan tetapi, tak sedikit dari mereka itu nanti juga meneriakkan agar ia disalibkan. Bukannya mereka tak berpendirian. Mereka itu seperti kebanyakan orang ingin hidup tenteram. Mereka mendapatkan roti dan ingin terus, tetapi mereka juga berusaha menghindari kemungkinan mengetatnya pengawasan dari penguasa Romawi. Di dalam kisah sengsara memang tercermin anggapan yang beredar di kalangan umum bahwa Yesus itu bermaksud menjadi raja orang Yahudi: olok-olok para serdadu (Mat 27:29; Mrk 15:9.18; Luk 23:37; Yoh 19:3), papan di kayu salib menyebut Yesus raja orang Yahudi (Mat 27:37; Mrk 15:26; Luk 23:38; Yoh 19:19-21), olok-olok para pemimpin Yahudi di muka salib (Mat 27:42; Mrk 15:32), kata-kata Pilatus di depan orang Yahudi (Yoh 19:14-15).

Kisah kelahiran Yesus menurut Matius juga menceritakan kedatangan para orang bijak dari Timur mencari raja orang Yahudi yang baru lahir (Mat 2:2). Namun demikian, seluruh kisah itu justru menggambarkan kesederhanaannya. Gambaran yang sejalan muncul dalam kisah Yesus dielu-elukan di Yerusalem (Mat 21:1-11; Mrk 11:1-10; Luk 19:28-38; dan Yoh 12:12). Ia disambut sebagai tokoh yang amat diharap-harapkan dan diterima sebagai raja, terutama dalam Yohanes. Jelas juga bahwa tokoh ini ialah raja yang bisa merasakan kebutuhan orang banyak.

Menurut Markus, Matius, dan Lukas, di hadapan Pilatus Yesus tidak menyangkal tuduhan orang Yahudi bahwa ia menampilkan diri sebagai raja, tetapi tidak juga mengiakan (Mat 27:11; Mrk 15:2; Luk 23:2-3). Dalam Yoh 18:33-39, ia justru menegaskan bahwa ia bukan raja dalam ukuran-ukuran duniawi.

Injil mewartakan Yesus sebagai Mesias dari Tuhan. Dalam arti itu, ia memiliki martabat raja. Namun demikian, wujud martabat itu bukan kecemerlangan duniawi, melainkan kelemahlembutan, kemampuan ikut merasakan penderitaan orang, dan mengajarkan kepada orang banyak siapa Tuhan itu sesungguhnya.

RAJA SEMESTA ALAM

Guna mendalami Injil Yohanes mengenai Yesus, sang raja yang bukan dari dunia ini meski dalam dunia ini, marilah kita tengok madah penciptaan Kej 1:1-2:4a. Injil Yohanes, khususnya dalam bagian pembukaannya (Yoh 1:1-18), mengandaikan pembaca tahu bahwa ada rujukan ke madah penciptaan itu.

Ciptaan terjadi dalam enam hari pertama (Kej 1:1-31) dan manusia sendiri baru diciptakan pada hari keenam. Dalam enam hari itu, Tuhan mencipta dengan bersabda. Sabda-Nya menjadi kenyataan. Diciptakan berturut-turut: waktu siang dan malam (Kej 1:3-5), langit (ay. 6-8), bumi beserta tetumbuhan (ay. 9-12), matahari, bulan, dan bintang-bintang (ay. 14-19), ikan di laut dan burung di udara (ay. 20-23), hewan-hewan di bumi (ay. 24-25), dan akhirnya manusia.

Sesudah menciptakan hewan-hewan pada hari keenam itu, Tuhan bersabda, "Marilah kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa kita!" (Kej 1:26). Ungkapan "kita" memuat ajakan kepada seluruh alam ciptaan yang telah diciptakan-Nya itu untuk ikut serta dalam pen­cipta­an manusia. Seluruh alam semesta yang telah di­ciptakan kini "menantikan" puncaknya, yakni manusia. Dalam diri manusia terdapat peta kehadiran Tuhan Pencipta yang dapat dikenali oleh alam semesta. Oleh karena itu, manusia juga diserahi kuasa menjalankan pengaturan bumi dan isinya (Kej 1:29).

Manusia diciptakan "laki-laki dan perempuan" (Kej 1:27). Dalam cara bicara Ibrani, ungkapan dengan dua bagian ini merujuk kepada keseluruhan manusia, jadi seperti kata "kemanusiaan" atau "humankind" dalam bahasa Inggris. Bandingkan dengan ungkapan "benar-salahnya", maksudnya "kebenarannya"; "jauh-dekatnya" maksudnya "jaraknya".

Pada hari ketujuh (Kej 2:1-4a) sang Pencipta beristirahat dan memberkati hari itu. Pekerjaan yang telah diawali-Nya itu kini dilanjutkan oleh manusia karena manusia memetakan kehadiran-Nya. Hari ketujuh tak berakhir, inilah zaman alam semesta yang diberkati Tuhan Pencipta.

Gambaran di atas menjadi gambaran ideal manusia sebagai raja yang mewakili Tuhan di hadapan alam semesta. Kebesaran manusia sang "gambar dan rupa" Tuhan dan alam semesta itu diterapkan Yohanes kepada Yesus. Dalam hubungan ini Yohanes merujuk Yesus sebagai "Sabda", yakni kata-kata "Terjadilah...!" dst. yang diucapkan Tuhan dalam menciptakan alam semesta berikut isinya, termasuk manusia sendiri.

Dengan latar di atas, makin jelas apa yang dimaksud Yesus ketika berkata kepada Pilatus (Yoh 18:36) bahwa kerajaannya bukan dari dunia ini, bukan dari sini. Yesus itu memang raja dalam arti puncak ciptaan sendiri, kemanusiaan yang sejati seperti dulu dikehendaki sang Pencipta. Dalam ay. 37 Yesus menambahkan bahwa untuk itulah ia lahir, untuk itulah ia datang. Seluruh kehidupannya mempersaksikan kebenaran, yaitu manusia yang dikehendaki Pencipta sebagai puncak ciptaan yang membadankan unsur-unsur ilahi dan ciptaan dalam dirinya.

Dengan demikian, dalam perayaan Kristus Raja Semesta Alam, dirayakan juga kebesaran manusia, yakni manusia seperti dikehendaki Pencipta. Itulah kebesaran martabat manusia sejati. Sesudah perayaan ini, orang Kristen menyongsong Masa Adven untuk menantikan pesta kedatangan Yesus, Raja yang bakal lahir dalam kemanusiaan yang sederhana tapi yang juga mendapat perkenan Yang Maha Kuasa.

Kembali ke dialog antara Pilatus dan Yesus. Dalam Yoh 18:37 disebutkan Yesus datang ke dunia, ke tempat yang dalam alam pikiran Injil Yohanes dipenuhi kekuatan-kekuatan yang melawan Allah Pencipta, untuk mempersaksikan "kebenaran". Apa kebenaran itu? Pertanyaan ini juga diucapkan oleh Pilatus. Ini juga pertanyaan kita yang dalam banyak hal memeriksa Yesus. Menurut Injil Yohanes, "kebenaran" yang dipersaksikan Yesus itu ialah kehadiran ilahi di kawasan yang dipenuhi kekuatan gelap. Ia menerangi kawasan yang gelap. Inilah yang dibawakan Yesus kepada umat manusia. Inilah yang membuatnya pantas jadi Raja Semesta Alam. Orang yang mengikutinya akan menemukan jalan kembali ke martabat manusia yang asali, yakni sebagai "gambar dan rupa" Allah sendiri. Orang yang mendekat kepadanya dapat berpegang pada kebenaran ini. Masyarakat manusia kini, di negeri kita, butuh cahaya itu juga. Dan kita-kita yang percaya kepada terang itu diajak untuk ikut membawakannya kepada semua orang. Inilah makna perayaan Kristus Raja Semesta Alam yang kita rajakan bersama Injil Yohanes tahun ini.


Salam hangat,
A. Gianto

Injil Minggu Biasa XXXIII B

Injil Minggu XXXIII-B 18 Nov 2012 (Mrk 13:24-32)

Rekan-rekan yang baik!

Karangan ini membicarakan Mrk 13:24-32 yang dibacakan pada hari Minggu Biasa
XXXIII tahun B. Ada dua pokok yang disampaikan dalam petikan dari Injil
Markus ini. Yang pertama mengenai kedatangan Anak Manusia yang didahului
"zaman edan" (ay. 24-27). Yang kedua mengajak orang memperhatikan kapan saat
itu tiba (ay. 28-32).

KEDATANGANNYA KEMBALI

Murid-murid yang masih mengenal Yesus dari dekat mewartakan bahwa ia telah
bangkit dari kematian dan naik ke surga dan kini menyiapkan tempat bagi
mereka. Ia akan datang kembali dengan mulia dan orang-orang yang percaya
kepadanya akan ikut serta dalam kebesarannya. Saat itu seluruh alam semesta
akan menyaksikan peristiwa ini. Yang paling membuat generasi pertama
murid-murid ini bergairah ialah kebangkitannya. Karena itu, pewartaan Injil
yang paling awal ialah "Tuhan telah bangkit!" Semua hal lain, termasuk
kedatangannya kembali, ialah kelanjutan peristiwa itu. Namun demikian, bagi
murid-murid dari generasi yang tidak mengenal Yesus sendiri, kebangkitannya
sudah jadi hal yang diandaikan. Minat mereka lebih terarah pada
kedatangannya kembali. Di situlah letak daya tarik komunitas Kristen awal
ini. Seluruh Injil Markus ditulis bagi kalangan mereka. Kepada mereka
diperkenalkan siapa Yesus yang akan datang kembali itu lewat ingatan akan
hal-hal yang diajarkan dan dilakukannya semasa hidupnya. Kedatangannya
kembali nanti dikontraskan dengan suasana yang menggelisahkan - suasana
zaman edan dan bumi gonjang-ganjing.


KERAJAAN ALLAH SUDAH TIBA

TANYA: Markus, bila begitu latar belakangnya, apa warta Yesus yang paling
pokok yang Anda rekam?

MARKUS: Orang-orang di sana dulu terusik dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang akhir zaman. Kepada orang-orang ini Yesus mengajarkan bahwa akhir
zaman sudah tiba dalam wujud "Kerajaan Allah". Ini kutuliskan pada awal Mrk
1:15.

TANYA: Lha, apa yang terjadi bila Kerajaan Allah sudah datang?

MARKUS: Dalam Mrk 1:15a, kuceritakan Yesus berseru "Metanoeite!", yang
artinya lebih luas daripada "Bertobatlah!" Orang-orang diminta agar berubah
haluan dari hanya ngutak-utik perkara betul atau salah menurut Taurat
menjadi orang yang berpikir lapang, yang tidak membiarkan diri terganjal
huruf. Begitulah ada kemerdekaan batin. Ini perlu agar warta Injil bisa
diterima dengan mantap.

TANYA: Lalu?

MARKUS: Langkah berikutnya, ya mendengarkan, memandangi, mengikuti Yesus
yang mengajar, menyembuhkan orang sambil berjalan ke Yerusalem meskipun
sadar di sana bakal kena susah. Jadi, kayak Bartimeus si buta yang melihat
kembali.

TANYA: Maksudnya, satu ketika orang bakal menyadari Yesus sebagai Mesias
yang diutus Allah.

MARKUS: Benar. Tapi Yesus sendiri sebenarnya memakai ungkapan Anak Manusia
untuk menjelaskan ke-Mesias-annya. Ia mendekatkan kembali manusia dengan
Allah, ia bukan Mesias politik. Karena itu juga, seperti dalam Injilku (Mrk
13:26), ia memakai gambaran Anak Manusia dengan memanfaatkan Dan 7:13.


TAFSIR DANIEL 7:13 - KEMANUSIAAN YANG BARU Kedatangan kembali Yesus dalam
kemuliaannya digambarkan oleh Markus (juga oleh Matius dan Lukas) dengan
memakai gambaran dari Dan 7:13, yakni tokoh Anak Manusia yang datang
menghadap Allah untuk memperoleh anugerah kuasa atas seluruh alam semesta.
Dalam Kitab Daniel, kedatangan Anak Manusia ini terjadi segera sesudah Allah
memunahkan kekuatan-kekuatan jahat yang mengungkung alam semesta. Zaman yang
dikuasai kekuatan edan itu kini digantikan dengan zaman Anak Manusia.
Siapakah Anak Manusia dalam Daniel itu? Tafsiran bisa bermacam-macam. Namun
demikian, bila dicermati, Anak Manusia di situ dipakai melukiskan
kemanusiaan baru yang hidup merdeka di hadapan Allah. Di situlah
kebesarannya. Bila diterapkan kepada Yesus, kedatangannya kembali mewujudkan
kemanusiaan yang baru ini.

MARKUS: Setuju dengan catatan di atas. Kemanusiaan baru itulah wujud utuh
Kerajaan Allah. Manusia tidak lagi buta, tidak lagi lumpuh, tidak lagi
sakit, tidak kerasukan roh jahat, tapi yang merdeka di hadapan Allah,
seperti Yesus sendiri di hadapan Allah, Bapa yang maharahim itu. Seperti
dalam Kitab Daniel tadi, kehadiran manusia baru itu berkontras dengan zaman
edan yang mendahuluinya.

TANYA: Kok dipakai ibarat pohon ara bersemi segala. Pusing!

MARKUS: Aku sendiri juga belum seratus persen ngerti. Tapi pohon ara yang
bersemi itu kan tanda yang pasti mengenai musim panas sudah di ambang pintu.
Nah, kepastian seperti inilah yang boleh kalian pegang bila kalian mengalami
macam-macam kegelisahan di zaman edan.


Salam hangat,
A. Gianto

Injil Minggu Biasa XXXII B

Injil Minggu XXXII/B 11 November 2010 (Mrk 12:38-44 )

LURUS DI HADAPAN TUHAN DAN SESAMA?

Menurut isinya, Mrk 12:38-44 (Injil Minggu Biasa XXXII tahun B) terdiri dari
dua bagian. Yang pertama, ay. 38-40, memuat amatan keras Yesus terhadap
perilaku sementara ahli Taurat yang suka mempertontonkan kesalehan dan
menyalahgunakan penghormatan orang terhadap mereka, tapi lebih-lebih karena
mereka "menelan rumah janda-janda", serta mengelabui mata orang dengan doa
mereka yang berkepanjangan. Dalam bagian selanjutnya, ay. 41-44, didapati
pengajaran Yesus kepada para muridnya ketika mengamati orang-orang yang
memasukkan uang ke dalam peti persembahan di Bait Allah. Ada seorang janda
miskin yang memberikan uang receh paling kecil - itulah seluruh nafkahnya.
Kata Yesus, pemberiannya lebih dari orang-orang yang memberi dari kelimpahan
mereka. Apa ini pujian bagi sang janda dan sindiran terhadap orang yang
memberi dari kelimpahan? Mari kita temukan Kabar Gembira petikan kali ini
agar kita dapat pula ikut mewartakannya.

ARAH TAFSIR

Petikan ini bukan pertama-tama dimaksud untuk mengecam sikap sementara orang
maupun untuk memuji-muji orang miskin yang berani berkorban, melainkan untuk
mengajar para murid bernalar. Begitu juga Warta Gembira bagi kita jangan
kita jadikan kabar buruk bagi orang lain. Ini prinsip yang perlu dipegang
dalam menafsirkan Alkitab khususnya dalam memakainya dalam pewartaan. Bila
tidak, Injil akan menjadi alat pengecam dan sulit menjadi Kabar Gembira bagi
siapa saja.

Hendak diajarkan kepekaan mewaspadai kebiasaan kita sendiri. Dalam ay. 38,
dikatakan "Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang...!" Dinasihatkan
agar orang awas, artinya tidak menerima begitu saja apa yang di kalangan
umum diterima sebagai tindakan yang patut disetujui dan bahkan dijadikan
teladan. Apalagi bila menyangkut tokoh-tokoh yang berwibawa, seperti para
ahli Taurat. Mereka ini orang yang tahu menahu tentang agama. Mereka lazim
menjadi panutan orang banyak. Sebenarnya ada banyak ahli Taurat yang baik,
juga pada zaman itu. Tapi ada beberapa gelintir dari mereka yang
menyalahgunakan kedudukan serta penghormatan orang terhadap mereka. Mereka
inilah yang disoroti.

PEGANGAN

Tidak mudah menilai anggapan serta perbuatan para tokoh seperti kaum ahli
Taurat. Apa pegangannya? Tak lain dan tak bukan yakni mewaspadai apa
kelakuan tertentu itu sejalan atau kurang sejalan dengan dua perintah yang
paling terutama yang dijadikan pokok pembicaraan dalam Mrk 12:28-34 (Injil
Minggu lalu), yakni mengasihi Tuhan Allah dengan seutuh-utuhnya dan
mengasihi sesama seperti diri sendiri.

Mempertontonkan kesalehan dalam berdoa dan mengharapkan penghargaan dari
orang bukan cara yang cocok untuk menepati perintah mengasihi Tuhan Allah.
Mengapa? Karena Dia dijadikan dalih agar diri sendiri mendapat kemudahan,
memperoleh penghormatan, menikmati privilegi sebagai rohaniwan, sebagai
ulama. Apalagi dengan dalih seperti itu kasarnya apa-apa saja bisa
dipaksa-paksakan: bila begitu menghujat, kami membela Tuhan Allah, kalian
mesti tunduk! Jangan melecehkan orang yang menjalankan ibadat, karena "ia
sedang mengasihi Tuhan". Tapi Tuhan sendiri malah tidak mendapat tempat
dalam kehidupan orang seperti itu.

Menelan rumah janda-janda, membeli dengan paksa, atau mengambil alih tempat
berlindung mereka itu kelakuan yang kejam. Juga jadi tindakan yang paling
melanggar perintah mengasihi sesama seperti diri sendiri. Memang kebanyakan
orang biasa tidak memiliki rumah sendiri, mereka biasa menyewa dari pemilik
tanah. Tapi bila penyewa meninggal maka istrinya tidak langsung berhak
meneruskan memakai tanah atau rumahnya. Janda itu biasanya disuruh pergi,
dan nasibnya tergantung pada sanak dekat yang menurut aturan hukum adat
dapat diminta mengurusnya. Keadaan umat Perjanjian Lama dulu di Mesir
seperti itu. Karena itu dalam kepercayaan mereka, Tuhan menampilkan diri
sebagai sanak terdekat yang membela mereka dan menuntun mereka keluar dari
tempat penderitaan dan memberi mereka negeri baru! Oleh karena itu jauh di
kemudian hari setelah umat mengalami perbaikan hidup, diajarkan agar selalu
diingat bahwa leluhur mereka dulu menderita dan oleh karena itu kini jangan
sekali-kali memperlakukan orang yang tak ada pelindungnya dengan
semena-mena. Bila tak mau mengerti, nanti Tuhan sendiri akan menjadi pembela
orang yang tertindas tadi, seperti dulu juga. Dan orang yang berlaku keras
akan terhukum seperti raja Mesir dan penindas lain dulu! Tak ada hukuman
lain yang lebih berat daripada dimusuhi oleh Tuhan sendiri.

MANAJEMEN GEREJA

Di kalangan Gereja Awal tumbuh kepedulian besar akan keadaan para janda. Kis
6:1-6 mempermasalahkan kurangnya pelayanan yang semestinya diberikan kepada
para janda, bahkan dalam kebutuhan yang amat sehari-hari. Para pemimpin
sibuk mengurus pengajaran mengenai Sabda sehingga urusan sehari-hari kurang
dapat ikut mereka tangani. Ini masalah manajemen dalam komunitas tapi yang
berakibat pada terlantarnya orang-orang yang mesti diurus. Guna memperbaiki
keadaan, maka diangkatlah orang-orang yang ditugasi mengurus kebutuhan yang
kurang dapat diurus para pemimpin sendiri. Begitulah asal usul adanya para
diakon dalam Gereja Awal. Terlihat dalam komunitas pertama itu betapa
besarnya perhatian terhadap para janda. Juga dalam Kis 9:39 disebutkan bahwa
Dorkas (Tabita) dikenang karena jasanya mengurus keperluan sandang bagi para
janda. Dari 1 Tim 5:3-16 bahkan dapat disimpulkan bagaimana tertibnya
organisasi pelayanan bagi para janda. Ada daftar siapa yang betul-betul
membutuhkan pelayanan. Ada pengaturan, bila mungkin hendaknya saudara
dekatnya menolong, termasuk mendapatkan suami. Ini semua karena masyarakat
waktu itu memang sulit bagi perempuan yang hidup sendirian.

Bagaimana menafsirkan amatan mengenai sang janda yang memberikan seluruh
nafkahnya itu (Mrk 12:44)? Dikatakan bahwa ia memberi jauh lebih banyak dari
pada orang-orang yang memberi dari kelimpahannya. Pembaca mesti
pandai-pandai menyadari permasalahannya. Memang gampang menggarisbawahi
pemberian sang janda ini pemberian yang menyeluruh, tanpa menyisakan bagi
diri sendiri, dst. Sikap seperti ini tentunya mesti dipegang dalam memberi,
apalagi kepada Tuhan. Tapi tafsiran seperti itu sebenarnya kurang menggali
warta Injil degan cukup dalam. Juga bukan cara untuk berwarta. Tidak banyak
yang dapat berlaku seperti janda itu dalam hidup nyata. Maka tak usah ke
sana arahnya. Malah akan membuat Injil makin jauh dari kehidupan.

PEMBERIAN?

Pendengar zaman dulu tentunya paham akan keadaan para janda dalam komunitas
mereka. Dan mereka akan membandingkan kisah itu dengan kenyataan yang
sehari-hari. Dikatakan janda itu memberikan seluruh nafkahnya. Ini akan
dimengerti sebagai ungkapan bahwa sang janda masih butuh dan berhak mendapat
perhatian sungguh. Jadi bukan semata-mata kisah mengenai nilai pemberian
dari orang miskin? Bagaimana penjelasannya?

Iuran wajib bagi Bait Allah (seperti perpuluhan dst.) memang dipakai
sebagian untuk pemeliharaan tempat ibadat dan keperluan upacara, tetapi
sebagian besar dialokasikan sebagai bantuan bagi orang-orang miskin, yatim
piatu, dan janda. Semuanya diatur dalam anggaran Bait Allah. Orang yang tak
punya apa-apa akan mendapat bantuan, asal betul-betul tak punya. Nah janda
tadi memberikan seluruh "nafkahnya" yang tentunya diperoleh bukan dari
bantuan tadi. Dengan demikian ia akan berhak mendapat bantuan yang
diperuntukkan baginya. Tentunya bantuan Bait Allah ini akan lebih besar
daripada dua keping uang tembaga, yang tidak akan cukup untuk hidup sehari.
Tetapi bila sang janda memegang "nafkahnya" yang hari itu memang hanya dua
uang tembaga receh itu bisa jadi ia tidak dianggap butuh bantuan resmi tadi
- mungkin ia masih mendapat nafkah lain sampai cukup buat menyambung hidup.
Tetapi bila merelakan semua yang ada, maka ia akan dinyatakan tak punya
apa-apa lagi dan hidupnya hari itu akan ditanggung yang berwajib. Tak usah
kisah ini dimengerti sebagai ajakan memuji-muji sikap memberi sang janda
tadi atau menyindir orang yang berduit. Ia boleh dipuji dengan alasan lain
yang akan diutarakan di bawah. Kisah ini pertama-tama ditujukan kepada para
pengurus komunitas para murid agar siap memperhatikan orang-orang seperti
janda yang tak memiliki apa-apa lagi sehingga hidupnya menjadi tanggungan
jemaat. Kisah ini disampaikan untuk menajamkan kepekaan terhadap orang yang
berhak mendapatkan bantuan, bukan untuk meromantiskan mereka.

Namun demikian, keberanian sang janda dalam menyatakan diri tak punya
apa-apa lagi dengan cara tadi patut dilihat sebagai penyerahan diri kepada
kebaikan Tuhan. Mempercayakan diri sepenuhnya, inilah pengajaran Injil hari
ini. Bagaimana dengan orang yang memberi dari kelimpahan, yang tentunya
dapat masih dapat menyandarkan diri pada harta milik yang ada padanya.
Mereka, dan orang-orang seperti kita, diajak berani belajar semakin
menyandarkan diri kepada Tuhan. Tak perlu dengan cara pemberian, melainkan
dengan cara yang akan melibatkan diri. Apa itu? Yesus tidak menunjukkan
seluk beluknya. Dan Injil diam. Diserahkan kepada pemahaman dan kesuburan
moral masing-masing. Prakarsa serta kreativitas masing-masing masih mendapat
tempat. Dan ini termasuk Kabar Gembiranya.

Salam hangat,
A. Gianto