Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Injil Minggu Biasa XXVII B - 28 September 2009

Injil Minggu Biasa XXVII B (Mrk 10:2-16)
28 September 2009 08:22

MASALAH HUKUM ATAU SOAL IMAN?

Masalah yang dibawa ke hadapan Yesus oleh orang-orang Farisi kali ini
berkisar pada prinsip diperbolehkan atau tidaknya seorang suami menceraikan
istrinya (Mrk 10:2-16; Injil Minggu Biasa XXVII tahun B). Memang dalam hukum
Taurat, seperti mereka ketahui, tindakan itu diizinkan asal dilakukan dengan
cara yang ditetapkan, yakni dengan surat cerai resmi yang dibuat oleh suami
yang diserahkan - jadi resmi diterima - oleh istrinya. Istri yang diceraikan
tadi bisa menikah lagi dengan sah, tetapi bila suaminya menceraikannya atau
meninggal, maka bekas suami yang dulu tidak boleh menikahinya kembali.

Demi jelasnya, baiklah dikutip secara utuh hukum yang tertera dalam Ul
24:1-4 yang melatari pembicaraan di atas: (1) "Apabila seseorang mengambil
seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai
lagi perempuan itu sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia
dapat menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu,
sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, (2) dan jika perempuan itu
keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi istri orang lain, (3)
dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu
menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta
menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki itu yang kemudian
mengambil dia menjadi istrinya itu mati, (4) maka suaminya yang pertama -
yang telah menyuruh pergi itu - tidak boleh mengambil dia kembali menjadi
istrinya, setelah perempuan itu dicemari: sebab hal itu adalah kekejian di
hadapan Tuhan."

Ada gagasan dalam hukum tadi bahwa lembaga perkawinan itu keramat dan ada
ketetapan yang jelas dan wajib diikuti bila ikatan tadi dilepas. Gagasan ini
melandasi amatan tajam Yesus mengenai diperbolehkannya suami menceraikan
istrinya. Menurut Yesus, hukum itu diadakan karena "ketegaran hatimu",
maksudnya ketidakmampuan orang mengenali keramatnya perkawinan sendiri,
yakni menyatakan kesatuan yang sejak awal dikehendaki Yang Maha Kuasa antara
suami dan istri. Bagaimana kita bisa mengambil manfaat dari pembicaraan ini?

PRAKTEK HUKUM TAURAT

Sebenarnya pembicaraan tadi berkisar pada dua tataran, yakni tataran hukum
adat atau agama di satu sisi, dan di sisi lain tataran batin yang melebihi
sisi-sisi yuridis tadi. Orang Farisi bergerak dengan alam pikiran hukum
belaka, yakni soal diperbolehkan atau tidaknya menurut aturan hukum yang
berlalu. Dalam hal itu di masyarakat Yahudi dulu memang suami dapat
menceraikan istri, dengan persyaratan jelas tadi. Pada tataran batin, Yesus
mengajak orang untuk melihat lembaga perkawinan sebagai tanda menjalankan
kemauan ilahi. Gereja mengembangkan kesadaran ini dengan mengangkat
perkawinan sebagai sakramen kesatuan yang dikehendaki Pencipta sendiri.
Inilah yang mendasari hukum Gereja mengenai perkawinan.

Dalam hukum perkawinan adat Yahudi waktu itu, alasan terkuat untuk
menceraikan istri ialah bila si istri berbuat zinah. Zinah hanya
diperkatakan mengenai istri. Suami yang selingkuh dengan istri orang lain
tidak disebut zinah. Memang terjadi pelanggaran hak suami perempuan tadi.
Tetapi tindakan itu tidak dianggap pelanggaran terhadap hak istri yang
suaminya selingkuh dengan istri orang lain. Juga hukum tentang perzinahan
hanyalah berarti dalam hubungan dengan pasangan-pasangan yang telah nikah.
Mereka dulu membedakan percabulan yaitu perbuatan birahi yang tak bisa
dibenarkan dengan perzinahan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang istri
dengan lelaki yang bukan suaminya. Dengan latar seperti ini maka penegasan
Yesus bahwa seorang suami berzinah terhadap perempuan yang diceraikannya itu
pernyataan yang amat mengagetkan. Yesus memandang perempuan dan lelaki
setara dalam hak dan kewajiban. Maka ditegaskannya pula, bila seorang
perempuan menceraikan suaminya lalu menikah lagi, maka perempuan itu
bertindak zinah terhadap suaminya. Yang juga pasti membuat orang kaget ialah
pernyataan bahwa istri dapat menceraikan suami! Hukum agama Yahudi tidak
mengenal hal ini. Sebagai guru agama Yesus memberi tafsir yang berbeda.

Bagaimana Yesus sampai berpendapat demikian? Ada dua penjelasan yang saling
menopang. Pertama, Yesus melihat inti warta Alkitab tentang penciptaan
manusia lelaki dan perempuan. Mereka diciptakan setara satu sama lain,
menjadi penolong yang setara. Kedua, dalam hukum Romawi dimungkinkan adanya
kesetaraan tadi dalam hak menceraikan dari kedua pihak, baik suami maupun
istri. Orang Yahudi waktu itu dibawahkan pada hukum Romawi, meskipun mereka
bisa menentukan sendiri dalam perkara adat, termasuk ikatan perkawinan.
Dalam masyarakat Yahudi hukum agama ini dijalankan sebagai "pietas",
kesalehan, dan tidak memiliki sanksi hukum pidana. Hanya yang sesuai dengan
hukum Romawi dapat disahkan dengan sanksi yang diatur hukum Romawi. Pada
zaman generasi kedua nanti, pelaksanaan hukum Romawi semakin umum sedangkan
hukum Taurat menjadi hukum adat setempat.

TAFSIR

Bobot alasan menceraikan istri dapat bermacam-macam. Ada kelompok ahli hukum
zaman itu yang mengajarkan bahwa hanya perbuatan zinah dengan lelaki lain
atau ketidaknormalan birahi lain yang dapat menjadi alasan. Aliran lain
menghalalkan kesalahan kecil, misalnya tidak bisa menghidangkan makanan yang
mencocoki suami atau istri tidak selalu tunduk. Bagaimanapun juga, di
kalangan Yahudi waktu itu kedudukan perempuan sebagai istri tidak dianggap
setara dengan lelaki. Tetapi orang Yahudi yang menjadi pengikut Yesus
menjalankan kesetaraan tadi. Dengan demikian, mereka berseberangkan pendapat
dan penghayatan dengan orang Yahudi tradisional. Untuk mengambil manfaat
dari petikan ini perlu disepakati dulu beberapa hal.

Pertama, persoalan yang dibicarakan di sini ialah soal hukum agama Yahudi
pada zaman Yesus. Bukan perkara hukum Gereja. Jadi tidak bisa diterapkan
begitu saja pada peraturan perkawinan dalam Gereja maupun pemecahan masalah
kehidupan rumah tangga orang katolik di masa kini.

Kedua, di kalangan pengikut Yesus yang tercermin dalam Injil Markus ada
orang-orang yang bukan dari kalangan Yahudi sehingga adat kebiasaan serta
hukum Yahudi tidak bisa diberlakukan kepada mereka. Dalam masyarakat yang
lebih luas daripada masyarakat Yahudi, seperti pada masyarakat Romawi, istri
bisa pula memiliki hak menceraikan suaminya. Lagi pula, suami akan dianggap
menyalahi kontrak pernikahan bila berselingkuh. Jadi adat dan hukum di
kalangan lebih luas, katakan saja masyarakat Romawi waktu itu, juga
mendasari pembicaraan dalam petikan ini.

Ketiga, dan paling penting bagi tafsir petikan hari ini,  ialah prinsip
teologis yang mendasari pendapat Yesus. Prinsip ini ialah maksud Pencipta
dalam menjadikan lelaki dan perempuan, yakni agar mereka bersatu dan
janganlah hubungan yang dikehendaki Pencipta diabaikan.

Ada satu hal lagi. Yesus seorang tokoh agama yang dikenal dan dihormati juga
di masyarakat Yahudi waktu itu. Bukan oleh siapa saja. Perdebatan yang
sering dilaporkan dalam Injil ialah kejadian yang lazim di antara para guru
dan ahli agama. Kerap kali perbincangan bukan ditujukan untuk memecahkan
sebuah kasus kongkrit, tetapi dilakukan sebagai "seminar" untuk mempertajam
permasalahannya dan mencapai pemahaman lebih dalam mengenai satu masalah.
Perbincangan antara orang Farisi dan Yesus kali ini sebetulnya bukan
dimaksud untuk "mempertobatkan" pihak yang kalah berdebat. Pengajaran Yesus
kepada murid-muridnya bukan untuk membuat mereka terpancang pada huruf,
melainkan agar mereka lebih berpegang pada prinsip-prinsip hidup di hadapan
Allah..

BERKAT KEPADA ANAK KECIL

Dalam bagian kedua petikan kali ini diutarakan bagaimana Yesus memberkati
anak-anak yang dibawa kepadanya (Mrk 10:13-16) Kelihatannya peristiwa ini
tidak ada hubungannya bagian yang membicarakan kekeramatan hubungan suami
istri. Tapi penjajaran kedua pokok itu dalam Injil Markus (diikuti juga oleh
Matius) memiliki arti khusus yang akan menjadi jelas bila kita pertimbangkan
padanan dalam Lukas (Luk 18:15-17). Peristiwa pemberkatan kepada anak-anak
itu ditaruh Lukas sesudah perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai (Luk
18:9-14). Lukas memang tidak menampilkan kembali masalah perceraian yang
digarap Markus dan Matius tadi, boleh jadi hukum Musa mengenai perceraian
tidak amat relevan bagi komunitas Lukas yang kebanyakan orang bukan asli
Yahudi. Walaupun demikian, Lukas menekankan bahwa sikap sebagai anak-anak,
yakni keluguan mereka, menjadi cara jalan terbaik untuk mampu menyelami
serta menjalankan kehendak ilahi. Lukas memakainya untuk mengomentari
perumpamaan mengenai pemungut cukai yang pulang sebagai orang yang
dibenarkan Allah. Tidak sebarang pengakuan bahwa berdosa atau bersikap tidak
memuji diri dapat membenarkan orang. Hanya dengan ketulusan seperti
anak-anaklah orang dapat memasuki Kerajaan Allah. Pemungut cukai itu datang
menghadap Allah di Baitnya dengan sikap itu, tidak demikian orang Farisi
yang menonjol-nonjolkan kesalehan serta kelurusan dirinya. Begitu pula
hubungan suami istri dapat menunjukkan yang dikehendaki Pencipta bila
dijalani dengan sikap tulus dan lugu seperti anak-anak. Dalam hal inilah
kekeramatan ikatan suami istri akan tampil bukan sebagai ikatan hukum
semata-mata, melainkan sebagai cara hidup yang dapat membuat ikatan antar
manusia sebagai tanda kehadiran ilahi. Sekaligus hendak disampaikan bahwa
sikap lugu sebagai anak-anak tadi mendatangkan berkat. Dan berkat inilah
yang menjaga kelanggengan hubungan tadi, seperti yang terjadi pada pemungut
cukai tadi: dibenarkan.

Salam hangat,
A.Gianto

No comments:

Post a Comment