Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Injil Minggu Biasa XXVIII B - 11 Okt 09

Minggu Biasa XXVIIIB - 11 Okt09 (Mrk 10:17-30)


SIKAP BERAGAMA DAN KEROHANIAN SEJATI

Bacaan Injil Minggu Biasa XXVIII tahun B ini (Mrk 10:17-30) memuat
pernyataan Yesus bahwa lebih mudah bagi seekor unta melewati lubang jarum
daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah (ay. 25; lihat pula Mat
19:23-24 Luk 18:25). Murid-murid bereaksi, bila begitu, siapa yang bakal
selamat? Menanggapi persoalan ini, Yesus mengemukakan memang tak mungkin
bagi manusia, namun bukan demikian bagi Allah; bagiNya semuanya bisa
terjadi. Apa artinya pembicaraan itu dan apa wartanya bagi kita sekarang?

SIKAP BERAGAMA DAN KEROHANIAN SEJATI?

Ada orang yang datang dan bertanya kepada Yesus, apa yang mesti diperbuat
supaya mendapatkan hidup kekal (Mrk 10:17). Yesus merujuk kepada
perintah-perintah agama (ay. 19). Tetapi setelah orang itu berkata bahwa
semua sudah dijalankannya (Mrk ay. 20), Yesus mengajaknya melangkah lebih
jauh. Disarankannya kepada orang itu untuk mengamalkan kekayaannya bagi kaum
papa lalu mengikutinya (ay. 21).
Keinginan orang itu untuk memperoleh hidup kekal dihadapkan Yesus dengan
cita-cita untuk mencapai kesempurnaan. Hidup kekal belum bisa disebut
kesempurnaan. Dalam bacaan ini juga menjadi jelas bahwa kesempurnaan
mustahil dicapai oleh manusia dengan upaya sendiri. Kesempurnaan itu karya
Allah bagi manusia. Murid-murid salah paham. Mereka mengira kesempurnaan itu
dituntut agar orang selamat, maka mereka bertanya-tanya siapa bakal bisa
diselamatkan. Dalam ay. 27 Yesus membantu mereka agar mengerti duduk
perkaranya: kesempurnaan itu bukan urusan manusia, melainkan karya Allah di
dalam diri manusia.
Dalam hubungan ini baik dipikirkan perbedaan antara "sikap beragama" dan
"kerohanian". Meskipun berpautan, kedua-duanya tidak sama. Sikap beragama
yang tulus dapat membawa ke hidup kekal dan membukakan dimensi keramat dalam
kehidupan, tetapi belum membawa orang betul-betul merasakan nikmat dan
hikmatnya Yang Keramat. Dia sendirilah yang bakal membawa orang kepadanya.
Tak sedikit orang yang kini merasa jenuh dengan "sikap beragama" dan
menginginkan masuk ke dalam "kerohanian". Injil Minggu ini mengutarakan
perbedaan di antara keduanya. Paradigma "sikap beragama" bisa panjang,
misalnya: menggereja, berkomunitas, membudayakan agama, agamaist. Lalu  apa
paradigma "kerohanian"? Kita tahu ada, tapi apa ujudnya, Dia sendirilah yang
lebih mengetahuinya! Kerohanian sejati luput dari perencanaan justru karena
tidak bisa diagendakan. Dan sia-sialah upaya untuk itu.

JALAN SAMA TUJUAN BERBEDA?

Tanggapan Yesus dalam Mrk 10:27 sebenarnya tidak langsung diarahkan kepada
para murid ("Siapa bakal selamat?"). Mereka sibuk dengan pemikiran mereka
sendiri mengenai keselamatan yang kini justru digoyah Yesus. Mungkin mereka
berpendapat bahwa keselamatan itu ialah mengalami "syalom" atau "kedamaian"
seperti sering dikuliahkan dalam traktat teologi keselamatan. Teologi
keselamatan seperti ini sebenarnya lebih termasuk paradigma "sikap
beragama", dan tidak berada di kawasan "kerohanian". Akibatnya, cepat atau
lambat orang merasa macet, jemu, tak mendapat inspirasi. Penawarnya ialah
teologi keselamatan yang lebih memberi ruang gerak pada Allah yang bertindak
menolong orang-orang yang butuh pertolonganNya. Itulah citra Allah dalam
Perjanjian Lama. Itu juga citra Anak Manusia dalam Perjanjian Baru yang
dinanti-nantikan orang banyak: menyembuhkan orang sakit, mengusir setan,
memberi makan orang banyak, menghidupkan orang.
Mungkin ada yang berkata, karyaNya ini toh bisa kita namai dengan abstraksi
"karya keselamatan", begitu kan? Nah, di sinilah cobaan terbesar: menamai
pengalaman rohani "ditolong Tuhan" dengan abstraksi yang universal mengenai
keadaan damai/syalom. Teologi keselamatan seperti ini memang jelas
penalarannya, tetapi kurang menggarap kerohanian.
Lalu manakah gagasan keselamatan yang lebih memberi ruang pada kerohanian?
Boleh jadi Mazmur 15 dapat membantu. Mazmur itu mulai dengan pertanyaan
siapa yang bakal diam di kemahMu ya Tuhan, siapa yang bakal tinggal di
Gunung SuciMu? Bagi sang petapa dalam Mazmur itu, tinggal bersama Tuhan di
kediamanNya ialah pengalaman rohani menikmati hikmatnya berada di dekat
Allah. Pengalaman rohani ini tidak mudah diabstraksikan menjadi paham damai
atau paham keselamatan begitu saja. Ayat-ayat selanjutnya menyebutkan
macam-macam perilaku yang menjadi petunjuk jalan masuk ke kediaman Tuhan.
Semuanya termasuk "sikap beragama" yang terarah menuju ke kesempurnaan
rohani, yakni tinggal bersama Tuhan di kediamanNya. Demikianlah ditunjukkan
kaitan antara sikap beragama dengan kerohanian sejati yang menjadi
kesempurnaan hidup. Pertanyaan pada awal Mazmur 15 nadanya mirip dengan
pertanyaan orang kaya yang datang kepada Yesus dalam Mrk 10:17 walaupun
titik tolaknya amat berbeda. Petapa dalam Mazmur itu ingin tahu bagaimana
caranya agar orang bisa berada bersama dengan Tuhan karena inilah
kepuasannya. Tetapi orang yang menemui Yesus tadi mencari kepastian
bagaimana bisa menikmati hidup kekal. Baginya berada dengan Tuhan,
"mengikuti Yesus" Mrk 10:21, bukan sumber kepuasannya! Anehnya, jalan yang
ditempuh sang petapa dalam Mazmur 15 dan orang dalam Mrk 10:17-27 praktis
sama. Bandingkan katalog perbuatan baik dalam Mzm 15 dan Mrk 10:19, tetapi
tujuan akhirnya berbeda. Semua perbuatan baik itu termasuk kesungguhan
beragama. Namun sikap ini dapat membawa orang ke dua arah yang amat berbeda
satu sama lain. Yang satu ke kepuasan rohani ada bersama Tuhan, sedangkan
yang lain ke kemuraman, ke rasa pilu karena tidak mampu mengikuti Tuhan. Ini
kendala hidup beragama yang mendua arah tujuannya. Maka tak heran bila
murid-murid Yesus bingung. Jawaban Yesus tidak melanjut-lanjutkan
kebingungan mereka, melainkan membawa mereka menyadari karya Tuhan sendiri.

UNTA MASUK LUBANG JARUM?

Ada beberapa hal dalam Mrk 10:17-30 yang sulit dimengerti. Banyak
pembicaraan mengenai ay. 25 yang menyebut-nyebut "unta" dan "lubang jarum".
Tak sedikit ahli tafsir yang menjelaskan pernyataan itu secara rasional
dengan mengatakan bahwa kata "unta", Yunaninya "kamelos", tertulis di situ
sebagai akibat salah dengar kata "kamilos", yang artinya tali, kabel,
seperti tali jemuran. Tentu saja bila dimengerti sebagai tali, ucapan Yesus
akan terasa kurang aneh. Lebih mudah dimengerti bila perkaranya ialah
memasukkan tali ke lubang pada tiang tambatan perahu., yang diibaratkan
lubang jarum. Orang bisa juga ingat bahwa ada kata Arab "jumal" yang berarti
tali penambat perahu, ada kesamaan dengan kata Arab lain, "jamal", yakni
unta. Bisa diduga-duga Aramnya Yesus dulu berbunyi seperti kata-kata itu
karena memang bahasa-bahasa itu serumpun. Tafsir seperti ini juga agak
mengurangi keanehan Mat 23:24 yang mengecam kaum Farisi yang teliti
menyaring uget-uget bila mau minum air, tetapi suka menelan unta
mentah-mentah! Jadi apa tidak lebih baik diartikan saja sebagai menelan
potongan-potongan tali yang entah bagaimana ada di dalam air minum. Memang
lucu, tapi kurang aneh daripada menelan unta mentah-mentah. Tetapi
naskah-naskah tua Perjanjian Baru yang tepercaya tidak menopang dugaan bahwa
pernah ada salah dengar dan salah tulis "kamilos" (tali) menjadi "kamelos"
(unta) tadi. Penjelasan filologis seperti ini sebetulnya temuan para
orientalis dari abad-abad silam yang diikuti begitu saja oleh para penafsir.
Lalu bagaimana tafsiran yang mengena? Tak ada jeleknya menerima teks seperti
adanya. Tak perlu kita berusaha menyulap unta menjadi tali perahu atau tali
apa saja, lebih-lebih jangan biarkan diri hanyut oleh buaian argumen
rasionalistis. Lebih baik pernyataan Yesus itu didengar sebagai kiasan untuk
membuat orang makin menyadari duduk perkaranya. Artinya, jelas tak mungkin
mereka itu masuk surga.) Yesus mau mengatakan betapa susahnya orang kaya
masuk Kerajaan Allah. Kiasan ini juga menekankan kontras pada akhir petikan.
Memang bagi manusia tak mungkin, tapi semua mungkin bagi Allah! Maksudnya,
manusia tidak bisa dengan upaya sendiri ("sikap beragama" belaka) mencapai
kesempurnaan, tapi bila yang membawanya ke sana itu Allah sendiri (menyadari
gerak "kerohanian sejati"), tentu saja bisa terjadi. Tak usah kita mulai
menuduh-nuduh siapa yang seperti orang kaya itu, juga tak perlu mencari-cari
siapa yang orang miskin yang sungguhan atau yang kurang sungguhan. Yang
penting kita bisa mengajak orang agar ikut bertanya seperti murid-murid yang
tak habis pikir tadi. Bila ini tercapai, kita akan ikut membuat orang jadi
peka akan pesan Injil, yakni insyafilah perbedaan antara "hidup beragama"
dan "kerohanian sejati", yang pertama itu upaya manusia mendekat kepada
Allah, yang lain kehadiran Allah dalam diri manusia.

MELIHAT VERSI MATIUS

Kaidah-kaidah moral yang disebut Yesus dalam Mrk 10:19 yakni jangan
membunuh, jangan berzinah, dst. hingga hormatilah ayah dan ibumu muncul
dalam Mat 19:19 dengan tambahan "dan kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri". Tambahan ini tidak ada dalam Luk 18:20. Gagasan "mengasihi
sesama seperti diri sendiri" memang sering dijumpai dalam Alkitab, lihat
antara lain Im 19:18 Mat 22:39 Mrk 12:31.33 Luk 10:27 Gal 5:14. Rm 13:9 Yak
2:8. Lazimnya gagasan itu dimengerti sebagai ajakan mengasihi sesama dengan
cara seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Terngiang petuah emas Mat
7:12 "Apa yang kamu inginkan bagi dirimu, perbuatlah bagi orang lain!"
Begitukah? Memang tak ada yang bakal menyangkal betapa mulianya ajakan ini.
Persoalannya, kata-kata "seperti kamu sendiri" itu sebaiknya dipahami
sebagai pelengkap "mengasihi" atau pelengkap "sesamamu". Bila dikenakan
kepada "mengasihi", maka kita diajak untuk mengasihi orang lain dengan cara
seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Tetapi bila dikenakan kepada
"sesamamu", maka kita diharap mengasihi sesama yang nasibnya kayak kita-kita
ini. Dengan kata lain, kita diminta agar solider dengan orang lain, agar
peduli terhadap orang lain yang senasib.
Mana tafsir yang jitu? Menurut cara bicara Ibrani atau Aram (dan Yunani
Perjanjian Baru), "kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" seyogianya
dimengerti sebagai ajakan agar kita mengasihi sesama yang kayak kita-kita
ini juga, dengan segala kendala hidup dan hasrat dan cita-cita yang ada,
bukan agar kita memperlakukan orang lain dengan cara seperti kita
memperlakukan diri kita sendiri. Dalam bahasa-bahasa itu, mengasihi sesama
seperti kita mengasihi diri kita akan diutarakan dengan mengulang kata
"mengasihi". Cara berungkap seperti ditemui dalam Yoh 15:12 "Inilah
perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti aku mengasihi kamu".
Jika "kasihilah sesama seperti dirimu sendiri" mau diartikan sebagai "kasihi
sesama seperti halnya kamu mengasihi dirimu sendiri", maka "mengasihi" akan
diulang pula. Tambahan dalam Mat 19:19 itu justru dapat memberi ulasan lebih
jauh mengenai serangkai hukum yang menjamin hidup kekal dalam Mrk 10:19.
Serangkai hukum itu dipaparkan bukan sebagai kewajiban-kewajiban belaka,
melainkan sebagai kepedulian yang mendalam terhadap orang lain yang senasib
sepenanggungan, entah mereka itu ayah ibu, mitra bisnis, lawan beperkara,
istri, atau pemilik barang-barang yang menggiurkan. Menumbuhkan kepedulian
ini menjadi jalan ke hidup kekal.

Salam hangat,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment