Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Jumat Agung - 22 April 2011

JUMAT AGUNG 22 April 2011

JUMAT AGUNG: "SUDAH TERLAKSANA!"

Rekan-rekan yang budiman!
Barusan saya kembali membicarakan beberapa perkara tafsir dengan Oom Hans.
Ia tak keberatan surat-menyurat kami diteruskan kepada para peminat lain.
Ada pembicaraan tambahan sekitar kaitan antara Yoh 13:1 mengasihi "sampai
pada kesudahannya" (eis telos) dengan Yoh 19:30 "sudah selesai"
(tetelestai).  Juga ada uraian tambahan tentang Yes 52:13-53:12  yang juga
dibacakan pada liturgi Jumat Agung.

Salam,
A. Gianto
______________

Oom Hans yang baik!
Bagaimana kabarnya! Semoga Oom dan Oma Mir berbahagia di tempat. Ini nih,
saya sedang menyiapkan komentar sana sini mengenai perkara yang Oom tulis
dan yang kami bacakan pada hari Jumat Suci. Menurut Oom, Yesus berkata
"Sudah selesai!" (Yoh 19:30). Kata seorang rekan di bumi sini, ini ungkapan
rasa lega, penderitaan sudah lewat, rampunglah karya keselamatannya. Tapi
saya kok malah kagak sreg dengan uraian seperti itu. Rasanya kok kayak
tontonan, layar turun, tamat, selesai, kukut. Oom kan gunain ungkapan
Yunani, "tetelestai", yang saya ngerti dari kata "telos", yaitu akhir yang
merangkum perjalanan dari awal, yang memberi arti pada semua yang telah
dijalani. Rasa-rasanya Yesus kan mau mengatakan sudah terlaksana sampai
utuh. Kayak versi Latin yang cespleng "consummatum est" dua m itu.
Ingat-ingat dulu ketika kami masih suka omong Latin, consummatum itu kan
dari consummare, dus con + summa, "merangkum semua jadi utuh", dan bukan
dari consumere satu m, "menghabiskan" (makanan/waktu/duit), yang ada
hubungannya dengan konsumsi. Untuk consummare, cosummatum, yang bener orang
Jakarta bilang "udah kecapai", kalau di Jawa ya "wis klakon". Oom gimana?

Ada lagi soal lain. Kalau betul, Oom mau menggarisbawahi gagasan bahwa Yesus
itu kurban Paskah yang diterima Yang Di Atas sana sehingga benar-benar
menjadi silih bagi dosanya umat manusia. Karena itu Oom memakai urut-uruatan
kronologi peristiwa secara lain, yaitu penyaliban terjadi sebelum Paskah,
berbeda dengan Mark cs. yang menaruh Paskah pada perjamuan malam terakhir.
Iya kan? Saya sudah pernah katakan di sebuah milis bahwa perjamuan terakhir
di mana Yesus membasuh kaki murid-murid itu bukan perjamuan Paskah,
melainkan sebelumnya.

Pada awal perjamuan itu Oom sebutkan bahwa Yesus mengasihi orang-orangnya
yang di dunia ini dan betul mengasihi "eis telos", sampai pada kesudahannya
(Yoh 13:1). Ini sepertinya antisipasi atau padahan bagi kata-kata Yesus
"tetelestai", sudah terlaksana, yang diucapkannya pada saat terakhir di
salib? Jadi kedua ayat itu saling menjelaskan. Ia mengasihi orang-orangnya
sampai terlaksana sesuatu yang mengubah arah hidup mereka, dan hidupnya
sendiri, begitu kan? Tolong komentarin.
Salam hangat,
Gus
PS: Ada teman yang tanya mana nomer HP-nya Oom, mau nunut kirim SMS buat Oma
Miryam seperti ini 2UBOK4ever, ;-) + :-)). Kawan-kawan itu sih sekarang
genggamannya hp dan bukan lagi rosario.
______________

Dear Gus, Peace!
You're absolutely right. The truth is, when he uttered "tetelestai" (Yoh
19:30), Jesus was trying to say, "Here I am, I've done everything to the
end, now take it all, Father!" The Indonesian version "Sudah selesai" -
"It's over" - doesn't sound quite right, I agree. Why not try "Sudah
terlaksana / terpenuhi" or something to that effect?

As I said, the word "tetelestai" was spoken by Jesus to his Father. But we
overheard it. It teaches much about him, about God, about what love means,
the thing he dwelt on during that supper - at first I thought he was just
being odd. But then this "consummatum est" is the key to all that. The penny
drops!

Glad to hear you see the connection between sudah terlaksana/"tetelestai"
here and "eis telos" said about his act during the last supper (Yoh 13:1).
Yes, on that background, his death on the cross gives a fuller sense to what
"loving one's own who are in the world (=still under the threat of darkness,
evil power)" means. He accompanies them, and us, in our darkest moment. We
can be sure now that we won't be abandoned by the one sent by the Father to
bring us back to Him, the Source of Light.

As for your second question, quite, Jesus is the true Paschal lamb. Not that
the Almighty likes blood gushing out of this man, by no means! The point is,
his blood acts like the lamb's blood in Exodus 12:13. So when Jesus died on
the cross in that sense, the Almighty took him and cast out darkness for
good. That's the light of His Word. Did you get it? You're the exegete.

By the way, don't try to reconcile my chronology of the passion with Mark's
story and all that jazz. The washing of the feet, about which those three
young men know nothing, is the preface to the true Passover meal, the
sacrifice of the Lamb of God on the cross, not to the last supper. Jesus
shares his origin and destiny so that we can become sons and daughters of
the Almighty. I read your note on the washing of the feet; I sort of like
the idea of taking part in Jesus' "sangkan paran". See, I am no stranger to
your cultural heritage.

Ma Miryam is fine. She was amused by the SMS - a young seraph taught her to
read the emoticons. And she dictated her reply: Thanx >:), ;-*. But let's
not talk gibberish. I don't use a cell phone. She does. But she prefers to
keep her number unlisted.

Best,
Hans
______________

Oom Hans yang baik!

Terima kasih banyak. Mau tanya lagi. Ini kelanjutan dari yang di atas.
Ketika lembing ditusukkan, yang keluar dari lambung Yesus ialah darah dan
air (Yoh 19:34). Apa sih maksud Oom? Mark dkk. tidak tahu perkara itu.
Kemarin saya tanya Luc, dia bilang ah, Oom Hans aneh-aneh saja, paranormal
sih.
Tolong sampaikan salam buat Oma Miryam begini :-* 4U.
As ever,
Gus
______________

Dear Gus,
Like our ancestors, we imagine blood as the seat of life and water as the
force that sustains life. With Jesus' death on the cross, there came forth
life and life-sustaining force - that's what I was trying to say. I'm no
physician like Luc, but I saw more. Didn't I write somewhere in my chapter
19 that I witnessed all this. I still want to share this truth with all of
you.
Ugh, it's two am, :-o B4N
Hans
_____________

POSTSCIPTUM:

Masih ada beberapa soal yang kami bicarakan di beberapa kesempatan lain. Ini
ringkasannya. Saya beritahukan kepadanya bahwa dalam liturgi Jumat Agung
dibacakan juga Kidung Hamba Tuhan Yes 52:13-53:12. Ada satu hal yang
mengusik di situ. Sang hamba itu mengalami penderitaan, dihina, dianggap
sama kayak penjahat justru agar mereka yang memperlakukannya dengan
kekerasan ini selamat. Tuh disebut dalam 53:4-7 bahwa sang hamba menanggung
penyakit kemanusiaan, ia diremukkan karena kejahatan umat manusia, dan ia
diam seribu bahasa dan terus menjalaninya. Lebih aneh lagi dikatakan, coba
lihat sendiri, hamba itu "dipukul dan ditindas Allah" (53:4) dan "Tuhan
berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan" (53:10). Aneh kan? Saya
tanyakan apa boleh kita pahami bahwa sang hamba itu "tumbal" bagi kedosaan
manusia, kambing hitamnya kebobrokan manusia? Untuk membereskan kemanusiaan
Yang Maha Kuasa menimpakan hukuman yang semestinya jatuh kepada orang banyak
kepada satu orang ini, hamba Tuhan itu? Menarik, tapi apa beres penalaran
ini?

Jawaban Oom Hans menarik. Menurutnya boleh saja pakai teori kambing hitam,
malah ia tahu ada pelbagai teori yang mirip-mirip yang sudah pernah dipakai:
teori silih, denda, ganti rugi, melunasi hutang. Tetapi apa akan sampai ke
pokok yang mau disampaikan Kidung itu sendiri? Begitu tantang Oom Hans.
Menurut beliau, bila diamat-amati, yang hendak disampaikan dalam kidung tadi
ialah peran sang hamba mendamaikan kembali manusia dengan Yang Ilahi. Malah
bisa dikatakan lebih tajam lagi, sang hamba mengajak kemanusiaan mengenali
kembali jejak-jejak Yang Ilahi dalam diri sang hamba yang semakin sulit
dikenal karena manusia semakin kehilangan kepekaan ke sana. Yang dilakukan
hamba itu ialah menunjukkan bahwa keburukan serta kekerasan manusia itu
ialah kenyataan yang tidak bisa didiamkan. Oom Hans menyarankan agar teks
kidung tadi dibaca dengan empati, sampai bisa rada ikut berpikir dan merasa
seperti penyairnya yang lambat laun menyadari bahwa kebobrokan dalam diri
kemanusiaan - yakni penderitaan sang hamba - sebenarnya ialah penderitaan
masing-masing kita, hanya kita telah terlalu mengemohi dan melupakannya dan
ingin melimpahkan ke pihak lain, mengkambinghitamkannya. Lebih ironi lagi,
orang malah menganggap bahwa Yang Maha Kuasa juga berlaku begitu:
melimpahkan hukuman yang mestinya dijatuhkan ke umat manusia semuanya hanya
kepada hambanya yang setia ini. Ayat 4 dan 10 itu sebaiknya dibaca sebagai
pernyataan ironi sehingga orang bisa berpikir, bukan diambilalih sebagai
dasar penegasan teologis mengenai kelakuan Yang Ilahi menuntut tumbal. Oom
Hans menyarankan agar kidung itu dan tentunya kisah sengsara Yesus hendaknya
didalami sebagai penjernihan batin guna mengenali keadaan manusia yang tidak
menyadarinya penderitaan yang hakiki: sisi kemanusiaan yang gagal
menampilkan kehadiran ilahi, dan hanya kekerasan yang entah dari mana
muncul. Sang hamba dalam kidung itu menggugah orang untuk mulai sadar akan
ketimpangan ini. Juga penderitaan dan kematian Yesus di kayu salib hendaknya
membuat orang berpikir kembali mengenai kemanusiaan sendiri. Bila ini tafsir
ini diteruskan, kita memang tidak perlu memakai gagasan tumbal atau kambing
hitam dan teori-teori lain yang sifatnya statis, hanya potret kaku dua
dimensi. Yang disarankan Oom Hans ialah melatih kepekaan batin mengenali
jejak-jejak ilahi dalam kemanusiaan sendiri sejelek, sehina apapun. Dan
jejak-jejakNya akan makin terang dan membawa kedekatNya sendiri.

Salam dari Roma,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment