Pentakosta 23 Mei 2010
19 Mei 2010 08:34
Pentakosta - 23 Mei 2010
DATANGNYA ROH KUDUS
Di kalangan umat Perjanjian Lama, Pentakosta (artinya "hari ke-50")
dirayakan 7 minggu setelah panen gandum, seperti disebutkan dalam Im
23:15-21 dan Ul 16:9-12. Perayaan ini juga disebut dalam hubungan dengan
perayaan lain, lihat Kel 23:14-17; 34:22; Bil 28:26-31 dan 2Taw 8:13. Dalam
perkembangan selanjutnya, hari "ke-50" ini dihitung dari tanggal 14 Nisan,
yaitu Paskah Yahudi. Hari itu kemudian juga dipakai untuk memperingati
turunnya Taurat kepada Musa. Di kalangan umat Kristen, peringatan "hari
ke-50" ini terjadi 7 minggu setelah kebangkitan Yesus dan dirayakan sebagai
hari turunnya Roh Kudus kepada para murid seperti digambarkan dalam Kis
2:1-11. Jadi perayaan 7 minggu setelah panen dari dunia Perjanjian Lama itu
diterapkan dalam Perjanjian Baru pada panenan rohani yang kini mulai
melimpah.
Pembicaraan kali ini lebih berpusat pada bacaan pertama hari raya
Pentakosta, yakni Kis 2:1-11. Injilnya, Yoh 14:15-16.23b-26, sudah
dibicarakan sehubungan dengan Minggu Paskah VI tahun C tgl. 9 Mei 2010.
BERBICARA DALAM PELBAGAI BAHASA
GUS: Luc, kisah mengenai hari Pentakosta menarik, terdengar suara seperti
angin taufan dari langit masuk ke ruangan para murid berkumpul, muncul
lidah-lidah api menghinggapi mereka, dan mereka mulai berbicara dalam banyak
bahasa. Betulkah begitu kejadiannya?
LUC: Jauh lebih menarik kalau dicari maknanya dan tidak segera ditanyakan
apa dulu-dulunya memang ada kejadian menakjubkan itu. Aku sendiri tidak di
sana. Begini maksudku. Saat itu murid-murid mengalami adanya kekuatan yang
membuat hati mereka berkobar-kobar. Ini sudah sedikit kusinggung dalam
cerita mengenai dua murid ke Emaus. Suatu ketika mereka saling berkata,
"hati kita berkobar-kobar" (Luk 24:32), artinya pikiran (diungkapkan dengan
"hati") mereka tidak lagi ciut memudar, melainkan hidup menyala-nyala. Dan
sekarang kejadian ini dialami semua murid yang lain. Inilah pengalaman
memahami Kitab Suci dari dalam, tidak berhenti di luar-luarnya saja.
GUS: Jadi bisa dikatakan orang melihat peristiwa-peristiwa yang tak kasat
mata?
LUC: Ehm, bukan itu saja, tetapi memahaminya sampai bisa menyampaikannya
kembali dengan cara yang dimengerti banyak orang.
GUS: Itukah yang kau maksud dengan berbicara pelbagai bahasa.
LUC: Nangkap kan akhirnya! Memang murid-murid bukannya tiba-tiba menjadi
kaum poliglot yang lancar sekian bahasa sampai tak terhitung jari.
GUS: Tentunya kau tidak berpikir mengenai kejadian yang disebut Mark sebagai
"bicara dalam bahasa-bahasa baru" (Mrk 16:17) atau yang disebut Paulus
sebagai "bahasa lidah" (1Kor 14). Yang ini kan yang biasanya dilakukan orang
dulu dengan bergumam.
LUC: Itu bukan yang terjadi pada hari Pentakosta. Kata-kata para murid hari
itu memakai bahasa biasa yang mengungkapkan pemahaman batin. Dan ini terolah
matang sampai bisa disampaikan kepada banyak orang. Aku juga tahu apa itu
yang dinamai "bahasa lidah", lihat saja Kis 10:46 dan 19:6. Di situ orang
mulai bergumam bukan dengan kata-kata bahasa. Tapi hal tidak bisa sebarangan
ditiru atau dianggap cara menghayati Roh.
GUS: Paulus menjelaskan, gumaman bahasa lidah ini terarah kepada Tuhan,
bukan kepada orang lain (1Kor 14:2), dan bukan untuk berkomunikasi dengan
orang lain (1Kor 14:4), karenanya perlu ada orang yang mampu menjelaskan
(1Kor 14:5-19 dan 27). Bahasa lidah itu menjadi tanda kehadiran roh di
hadapan orang yang belum beriman (1Kor 14:22). Paulus membandingkannya
dengan anugerah bernubuat yang bisa langsung dimengerti orang lain dan yang
berperan menguatkan iman orang banyak.
LUC: Betul! Sampaikan kepada rekan-rekan agar mereka tidak
menghubung-hubungkan yang terjadi pada hari Pentakosta dengan hal berbicara
"bahasa lidah" tadi.
GUS: Baik, nanti pesanmu kukirim ke Internos. Tapi nanti kalau ada yang
ingin konsultasi langsung sama kamu gimana?
LUC: [Sedikit angkat bahu, seolah-olah mau bilang ndak perlu, tapi terserah
situ.] Semua kan sudah kuceritakan. Kalau butuh penjelasan lebih jauh, tanya
sama ekseget saja. Atau tanya ekseget yang tinggal di dalam batin kalian -
seperti para murid yang ke Emaus dan murid-murid lain pada hari Pentakosta!
Oma Miryam sudah lama menjalankannya, ia "menyimpan dalam hati" (Luk 2:19
dan 51). Kan pernah kaubicarakan juga hal ini sehubungan dengan Injil
Keluarga Kudus tahun lalu?
GUS: [Pura-pura heran.] Ikut baca juga? Ada hal lain nih. Pada hari
Pentakosta itu juga khotbah Petrus membuat tiga ribu orang lagi menjadi
percaya (Kis 2:41) dan mereka ini kemudian tumbuh menjadi umat yang pertama.
Bagaimana bisa diaktualkan bagi zaman ini? Bisakah dikatakan Gereja perlu
terus belajar menyampaikan kesaksiannya dengan cara berungkap yang bisa
diterima banyak orang?
LUC: [Sorot matanya mulai berbinar-binar.] Nah, itulah tafsir yang sehat!
Tidak membuat orang berpikir cupet ngutak-utik teks belaka tanpa membangun
kaitan dengan kehidupan.
GUS: Orang zaman kini lain.
LUC: Emangnya masih ada yang ambil serius wacana besar-besar dan serba
menyeluruh mengenai Gereja, umat, keselamatan, dst.? Mau lebih nyata.
Lagipula, kalau yang ditawarkan itu gagasan basi yang diulang-ulang ya tentu
tak tecerna, malah seret rasanya.
DUNIA GEREJA PERDANA
Kurang jelas apa Luc hendak mengutarakan pendapatnya mengenai pemahaman diri
Gereja sekarang atau mengajak melihat eklesiologi dalam Kisah Para Rasul.
Mungkin kedua-duanya. Tapi sore itu ia rada mengelak bila ditanya-tanya.
Sahabat yang satu ini orangnya gampang-gampang sukar. Maklum, seniman.
Salah satu hal yang kami singgung menyangkut kehidupan umat perdana di
tengah-tengah budaya waktu itu. Bukan terutama hal yang diutarakannya secara
ideal seperti dalam Kis 2:42-47 (terlalu ideal!), melainkan segi-segi
kehidupan nyata yang terselip di sana sini dalam Kisah Para Rasul. Misalnya
mengenai praktek "kebatinan" yang waktu itu dianggap lumrah. Konteksnya
begini. Di kalangan intelektual waktu itu ada keyakinan bahwa kehidupan ini
terus-terusan terancam kekuatan jahat yang siap menerkam. Maka banyak yang
berusaha menjinakkannya dengan pelbagai cara. Ilmu mengenali
kekuatan-kekuatan tak terlihat itu berkembang di kalangan kaum terpelajar,
semacam kebatinan tingkat tinggi. Mereka mendalaminya. Sekali lagi ini
terjadi di antara kaum terdidik, kalangan atas, bukan di kalangan orang
sederhana. Terlalu pelik dan mewah bagi kaum sederhana. Luc paham betul alam
pikiran itu. Dan memang umat Kristen pertama kebanyakan berasal dari
kalangan rada atas dengan warisan rohani seperti itu.
Alam pikiran kebatinan yang disebut-sebut di atas berbeda dengan dunia
"perdukunan" yang intinya upaya mengendalikan kekuatan-kekuatan yang bisa
diisikan ke badan atau dikeluarkan dari orang tertentu. Memang magi seperti
itu juga ada, tetapi tidak berkembang subur di kalangan masyarakat
terpelajar waktu itu. Jadi dunia dhemit, jimat, aji-aji, susuk, tenung, ilmu
"namengi" santet tidak amat diminati kebanyakan dari mereka.
Luc menulis dua bukunya untuk mulai berdialog dengan orang-orang yang
sebetulnya sudah enggan mempersoalkan lagi mengapa "yang jahat" selalu
menyertai manusia. Mereka beranggapan yang jahat tak bisa dihalau. Yang
mereka cari ialah kepintaran bagaimana bisa hidup terus dalam keadaan itu.
Kekuatan-kekuatan jahat itu pergi datang, yang penting ialah tahu gelagat
kapan mulai kuat, kapan sedang surut menghimpun tenaga dan tiba-tiba
menghunjam lagi. Dalam Injilnya Luc sebetulnya juga menyinggung hal ini
ketika mengatakan Iblis pergi dari Yesus menunggu saat yang baik untuk
kembali (Luk 4:13). Dengan menceritakan kelakuan Iblis ini, Luc sebetulnya
mau berbicara khusus kepada orang-orang yang hidup dalam alam pikiran tadi.
Maklum banyak di antara mereka kini tertarik oleh figur Yesus dan ingin
belajar bagaimana bisa menghadapi kekuatan gelap tadi. Orang-orang berminat
memahami gerakan-gerakan yang bila tidak dikenali akan mengacaukan hidup
mereka. Dan pribadi Yesus yang berwibawa atas kuasa yang jahat itu, terutama
dengan kebangkitan dan kenaikannya ke surga, membuat banyak orang makin
ingin mengenalnya.
Penjelasan Luc, khususnya dalam hubungan dengan peristiwa Pentakosta,
seperti berikut. Orang-orang yang percaya kepada Yesus dan dibaptis dalam
namanya itu kini hidup dalam lindungan kekuatan yang datang dari atas, dari
tempat Yesus kini berada. Itulah Roh Kudus. Kekuatan ini memberi
kebijaksanaan, membuat budi wening dan menuntun orang di jalan yang benar.
Juga memberi kepekaan untuk bergaul dengan dunia yang tak terlihat. Roh
Kudus ini jugalah yang memimpin para rasul ke seluruh penjuru dunia. Roh
yang sama itulah yang kini ada di tengah-tengah orang-orang yang percaya.
Orang tidak lagi perlu merasa terancam kekuatan-kekuatan gelap yang pergi
datang begitu saja. Ada kekuatan baru yang tak terpikirkan sebelumnya. Ini
membuat alam pikiran orang zaman itu berubah. Terbuka dunia baru. Dan ini
akan terus berkembang sampai Yesus datang kembali. Inilah gagasan pokok yang
disampaikan Luc dalam Kisah Para Rasul. Orang-orang yang demikian ini
kemudian juga diajaknya peduli kepada orang-orang di sekitar, dibuatnya
mengerti penderitaan orang, juga orang-orang dari kalangan lain, kalangan
sederhana. Dan mereka mau. Mereka sudah merasa bebas dan bisa berbuat
banyak. Gereja perdana itu jadi Gereja kaum yang peduli akan keadaan di
masyarakat luas. Tidak melulu sibuk dengan urusan-urusan sendiri.
Rangkuman di atas saya ceritakan kepada Luc. Ia mendengarkan. "Ada tambahan,
Luc?" Bibirnya berkerut menahan kata. Tiba-tiba ia menatap dengan sorot mata
yang mbeling, tersenyum, lalu melambaikan tangan dan jalan terus entah ke
mana. Bergegas saya pulang dan mencatat inti pembicaraan tadi.
Salam hangat,
A. Gianto
Pentakosta - 23 Mei 2010
DATANGNYA ROH KUDUS
Di kalangan umat Perjanjian Lama, Pentakosta (artinya "hari ke-50")
dirayakan 7 minggu setelah panen gandum, seperti disebutkan dalam Im
23:15-21 dan Ul 16:9-12. Perayaan ini juga disebut dalam hubungan dengan
perayaan lain, lihat Kel 23:14-17; 34:22; Bil 28:26-31 dan 2Taw 8:13. Dalam
perkembangan selanjutnya, hari "ke-50" ini dihitung dari tanggal 14 Nisan,
yaitu Paskah Yahudi. Hari itu kemudian juga dipakai untuk memperingati
turunnya Taurat kepada Musa. Di kalangan umat Kristen, peringatan "hari
ke-50" ini terjadi 7 minggu setelah kebangkitan Yesus dan dirayakan sebagai
hari turunnya Roh Kudus kepada para murid seperti digambarkan dalam Kis
2:1-11. Jadi perayaan 7 minggu setelah panen dari dunia Perjanjian Lama itu
diterapkan dalam Perjanjian Baru pada panenan rohani yang kini mulai
melimpah.
Pembicaraan kali ini lebih berpusat pada bacaan pertama hari raya
Pentakosta, yakni Kis 2:1-11. Injilnya, Yoh 14:15-16.23b-26, sudah
dibicarakan sehubungan dengan Minggu Paskah VI tahun C tgl. 9 Mei 2010.
BERBICARA DALAM PELBAGAI BAHASA
GUS: Luc, kisah mengenai hari Pentakosta menarik, terdengar suara seperti
angin taufan dari langit masuk ke ruangan para murid berkumpul, muncul
lidah-lidah api menghinggapi mereka, dan mereka mulai berbicara dalam banyak
bahasa. Betulkah begitu kejadiannya?
LUC: Jauh lebih menarik kalau dicari maknanya dan tidak segera ditanyakan
apa dulu-dulunya memang ada kejadian menakjubkan itu. Aku sendiri tidak di
sana. Begini maksudku. Saat itu murid-murid mengalami adanya kekuatan yang
membuat hati mereka berkobar-kobar. Ini sudah sedikit kusinggung dalam
cerita mengenai dua murid ke Emaus. Suatu ketika mereka saling berkata,
"hati kita berkobar-kobar" (Luk 24:32), artinya pikiran (diungkapkan dengan
"hati") mereka tidak lagi ciut memudar, melainkan hidup menyala-nyala. Dan
sekarang kejadian ini dialami semua murid yang lain. Inilah pengalaman
memahami Kitab Suci dari dalam, tidak berhenti di luar-luarnya saja.
GUS: Jadi bisa dikatakan orang melihat peristiwa-peristiwa yang tak kasat
mata?
LUC: Ehm, bukan itu saja, tetapi memahaminya sampai bisa menyampaikannya
kembali dengan cara yang dimengerti banyak orang.
GUS: Itukah yang kau maksud dengan berbicara pelbagai bahasa.
LUC: Nangkap kan akhirnya! Memang murid-murid bukannya tiba-tiba menjadi
kaum poliglot yang lancar sekian bahasa sampai tak terhitung jari.
GUS: Tentunya kau tidak berpikir mengenai kejadian yang disebut Mark sebagai
"bicara dalam bahasa-bahasa baru" (Mrk 16:17) atau yang disebut Paulus
sebagai "bahasa lidah" (1Kor 14). Yang ini kan yang biasanya dilakukan orang
dulu dengan bergumam.
LUC: Itu bukan yang terjadi pada hari Pentakosta. Kata-kata para murid hari
itu memakai bahasa biasa yang mengungkapkan pemahaman batin. Dan ini terolah
matang sampai bisa disampaikan kepada banyak orang. Aku juga tahu apa itu
yang dinamai "bahasa lidah", lihat saja Kis 10:46 dan 19:6. Di situ orang
mulai bergumam bukan dengan kata-kata bahasa. Tapi hal tidak bisa sebarangan
ditiru atau dianggap cara menghayati Roh.
GUS: Paulus menjelaskan, gumaman bahasa lidah ini terarah kepada Tuhan,
bukan kepada orang lain (1Kor 14:2), dan bukan untuk berkomunikasi dengan
orang lain (1Kor 14:4), karenanya perlu ada orang yang mampu menjelaskan
(1Kor 14:5-19 dan 27). Bahasa lidah itu menjadi tanda kehadiran roh di
hadapan orang yang belum beriman (1Kor 14:22). Paulus membandingkannya
dengan anugerah bernubuat yang bisa langsung dimengerti orang lain dan yang
berperan menguatkan iman orang banyak.
LUC: Betul! Sampaikan kepada rekan-rekan agar mereka tidak
menghubung-hubungkan yang terjadi pada hari Pentakosta dengan hal berbicara
"bahasa lidah" tadi.
GUS: Baik, nanti pesanmu kukirim ke Internos. Tapi nanti kalau ada yang
ingin konsultasi langsung sama kamu gimana?
LUC: [Sedikit angkat bahu, seolah-olah mau bilang ndak perlu, tapi terserah
situ.] Semua kan sudah kuceritakan. Kalau butuh penjelasan lebih jauh, tanya
sama ekseget saja. Atau tanya ekseget yang tinggal di dalam batin kalian -
seperti para murid yang ke Emaus dan murid-murid lain pada hari Pentakosta!
Oma Miryam sudah lama menjalankannya, ia "menyimpan dalam hati" (Luk 2:19
dan 51). Kan pernah kaubicarakan juga hal ini sehubungan dengan Injil
Keluarga Kudus tahun lalu?
GUS: [Pura-pura heran.] Ikut baca juga? Ada hal lain nih. Pada hari
Pentakosta itu juga khotbah Petrus membuat tiga ribu orang lagi menjadi
percaya (Kis 2:41) dan mereka ini kemudian tumbuh menjadi umat yang pertama.
Bagaimana bisa diaktualkan bagi zaman ini? Bisakah dikatakan Gereja perlu
terus belajar menyampaikan kesaksiannya dengan cara berungkap yang bisa
diterima banyak orang?
LUC: [Sorot matanya mulai berbinar-binar.] Nah, itulah tafsir yang sehat!
Tidak membuat orang berpikir cupet ngutak-utik teks belaka tanpa membangun
kaitan dengan kehidupan.
GUS: Orang zaman kini lain.
LUC: Emangnya masih ada yang ambil serius wacana besar-besar dan serba
menyeluruh mengenai Gereja, umat, keselamatan, dst.? Mau lebih nyata.
Lagipula, kalau yang ditawarkan itu gagasan basi yang diulang-ulang ya tentu
tak tecerna, malah seret rasanya.
DUNIA GEREJA PERDANA
Kurang jelas apa Luc hendak mengutarakan pendapatnya mengenai pemahaman diri
Gereja sekarang atau mengajak melihat eklesiologi dalam Kisah Para Rasul.
Mungkin kedua-duanya. Tapi sore itu ia rada mengelak bila ditanya-tanya.
Sahabat yang satu ini orangnya gampang-gampang sukar. Maklum, seniman.
Salah satu hal yang kami singgung menyangkut kehidupan umat perdana di
tengah-tengah budaya waktu itu. Bukan terutama hal yang diutarakannya secara
ideal seperti dalam Kis 2:42-47 (terlalu ideal!), melainkan segi-segi
kehidupan nyata yang terselip di sana sini dalam Kisah Para Rasul. Misalnya
mengenai praktek "kebatinan" yang waktu itu dianggap lumrah. Konteksnya
begini. Di kalangan intelektual waktu itu ada keyakinan bahwa kehidupan ini
terus-terusan terancam kekuatan jahat yang siap menerkam. Maka banyak yang
berusaha menjinakkannya dengan pelbagai cara. Ilmu mengenali
kekuatan-kekuatan tak terlihat itu berkembang di kalangan kaum terpelajar,
semacam kebatinan tingkat tinggi. Mereka mendalaminya. Sekali lagi ini
terjadi di antara kaum terdidik, kalangan atas, bukan di kalangan orang
sederhana. Terlalu pelik dan mewah bagi kaum sederhana. Luc paham betul alam
pikiran itu. Dan memang umat Kristen pertama kebanyakan berasal dari
kalangan rada atas dengan warisan rohani seperti itu.
Alam pikiran kebatinan yang disebut-sebut di atas berbeda dengan dunia
"perdukunan" yang intinya upaya mengendalikan kekuatan-kekuatan yang bisa
diisikan ke badan atau dikeluarkan dari orang tertentu. Memang magi seperti
itu juga ada, tetapi tidak berkembang subur di kalangan masyarakat
terpelajar waktu itu. Jadi dunia dhemit, jimat, aji-aji, susuk, tenung, ilmu
"namengi" santet tidak amat diminati kebanyakan dari mereka.
Luc menulis dua bukunya untuk mulai berdialog dengan orang-orang yang
sebetulnya sudah enggan mempersoalkan lagi mengapa "yang jahat" selalu
menyertai manusia. Mereka beranggapan yang jahat tak bisa dihalau. Yang
mereka cari ialah kepintaran bagaimana bisa hidup terus dalam keadaan itu.
Kekuatan-kekuatan jahat itu pergi datang, yang penting ialah tahu gelagat
kapan mulai kuat, kapan sedang surut menghimpun tenaga dan tiba-tiba
menghunjam lagi. Dalam Injilnya Luc sebetulnya juga menyinggung hal ini
ketika mengatakan Iblis pergi dari Yesus menunggu saat yang baik untuk
kembali (Luk 4:13). Dengan menceritakan kelakuan Iblis ini, Luc sebetulnya
mau berbicara khusus kepada orang-orang yang hidup dalam alam pikiran tadi.
Maklum banyak di antara mereka kini tertarik oleh figur Yesus dan ingin
belajar bagaimana bisa menghadapi kekuatan gelap tadi. Orang-orang berminat
memahami gerakan-gerakan yang bila tidak dikenali akan mengacaukan hidup
mereka. Dan pribadi Yesus yang berwibawa atas kuasa yang jahat itu, terutama
dengan kebangkitan dan kenaikannya ke surga, membuat banyak orang makin
ingin mengenalnya.
Penjelasan Luc, khususnya dalam hubungan dengan peristiwa Pentakosta,
seperti berikut. Orang-orang yang percaya kepada Yesus dan dibaptis dalam
namanya itu kini hidup dalam lindungan kekuatan yang datang dari atas, dari
tempat Yesus kini berada. Itulah Roh Kudus. Kekuatan ini memberi
kebijaksanaan, membuat budi wening dan menuntun orang di jalan yang benar.
Juga memberi kepekaan untuk bergaul dengan dunia yang tak terlihat. Roh
Kudus ini jugalah yang memimpin para rasul ke seluruh penjuru dunia. Roh
yang sama itulah yang kini ada di tengah-tengah orang-orang yang percaya.
Orang tidak lagi perlu merasa terancam kekuatan-kekuatan gelap yang pergi
datang begitu saja. Ada kekuatan baru yang tak terpikirkan sebelumnya. Ini
membuat alam pikiran orang zaman itu berubah. Terbuka dunia baru. Dan ini
akan terus berkembang sampai Yesus datang kembali. Inilah gagasan pokok yang
disampaikan Luc dalam Kisah Para Rasul. Orang-orang yang demikian ini
kemudian juga diajaknya peduli kepada orang-orang di sekitar, dibuatnya
mengerti penderitaan orang, juga orang-orang dari kalangan lain, kalangan
sederhana. Dan mereka mau. Mereka sudah merasa bebas dan bisa berbuat
banyak. Gereja perdana itu jadi Gereja kaum yang peduli akan keadaan di
masyarakat luas. Tidak melulu sibuk dengan urusan-urusan sendiri.
Rangkuman di atas saya ceritakan kepada Luc. Ia mendengarkan. "Ada tambahan,
Luc?" Bibirnya berkerut menahan kata. Tiba-tiba ia menatap dengan sorot mata
yang mbeling, tersenyum, lalu melambaikan tangan dan jalan terus entah ke
mana. Bergegas saya pulang dan mencatat inti pembicaraan tadi.
Salam hangat,
A. Gianto
No comments:
Post a Comment