Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

RAbu Abu - 9 Maret 2011

Rabu Abu 9 Maret 2011 (2Kor 5:20-6:2 dan Mat 6:1-6; 16-18)

Rekan-rekan!
Dalam 2Kor 5:20-6:2 yang dibacakan pada hari Rabu Abu tanggal 6 Februari
2008 ini Paulus mengimbau umat agar membiarkan diri "didamaikan" dengan Yang
Ilahi oleh pengorbanan Kristus. Orang Korintus diajak Paulus agar tidak lagi
menganggap kehadiran ilahi sebagai ganjalan dalam hidup mereka. Itulah yang
dimaksud dengan berdamai denganNya. Bagaimana penjelasannya?

TEOLOGI REKONSILIASI PAULUS

Bagi Paulus, berdamai dengan Allah bukan semata-mata mencari pengampunan
dari pelbagai perbuatan yang salah. Bila hanya itu, maka tidak akan tercapai
perdamaian atau rekonsiliasi yang utuh. Lebih-lebih, bukan bagi pengampunan
seperti itulah kurban Yesus Kristus terjadi. Paulus melihat permasalahannya
dalam ukuran yang jauh lebih besar. Ia bertolak pada pelbagai kenyataan yang
ada dalam kehidupan manusia dan alam yang menunjukkan bahwa ciptaan ini
bukanlah barang yang sempurna. Banyak cacatnya. Besar kekurangannya. Terasa
kerapuhannya. Ada macam-macam ketimpangannya. Dan semua ini memang menjadi
bagian dari kehidupan. Akan tetapi, bagi Paulus, keliru bila orang
membiarkan keadaan ini berlangsung terus. Hanya mereka yang tidak
mempercayai maksud baik Pencipta akan beranggapan demikian. Mereka itu
sebetulnya tidak mau menerima bahwa Ia tetap bekerja memperbaiki dan
menyempurnakan ciptaanNya. Allah belum beristirahat. Lebih tepat bila
dikatakan, Ia belum dapat beristirahat karena karyaNya belum selesai. Hari
ketujuh belum sepenuhnya tercapai. Hari ketujuh pada Kitab Kejadian itu
dipaparkan untuk menegaskan bahwa hari itu nanti sungguh akan tercapai.
Sementara itu yang kini sedang terlaksana ialah penciptaan dunia, isinya dan
manusia yang menjadi gambar dan rupa Pencipta di jagat ini

Dunia beserta isinya masih terus berkembang. Berarti juga ada kemungkinan
melawan maksud Pencipta. Ada kemungkinan menolak menjadi semakin sempurna.
Inilah keberdosaan. Inilah yang membuat ciptaan, khususnya manusia belum ada
dalam keadaan berdamai dengan Penciptanya. Bahkan menjadi pesaing. Atau
merasa diperlakukan tidak semestinya. Atau kurang membiarkan diri semakin
dijadikan gambar dan rupaNya.

Manusia tetap akan mengalami kematian. Dan bila direnggut maut, ia tidak
akan kembali lagi dan habislah kehidupannya. Inilah kendala terbesar dalam
kehidupan manusia. Juga alam semesta ini pada kenyataannya akan tidak
berlangsung tanpa akhir. Dalam pikiran Paulus, hanya keberanian Allah untuk
mengatasi kerapuhan ciptaanNya sendirilah yang akan membuat ciptaan dapat
menjadi sesuai dengan kehendakNya. Peristiwa kematian dan kebangkitan
Kristus itulah yang ada dalam pusat gagasan Paulus. Dengan membangkitkanNya
dari kematian, Allah "mempercepat" perjalanan seorang manusia menuju
kesempurnaan tadi. Ada satu dari yang tak sempurna yang kini telah utuh:
Yesus Kristus. Keberanian Allah tadi bukan tanpa risiko. Ia memberanikan
diri masuk dalam dunia untuk menjadikannya sempurna. Tetapi seketika masuk
ke situ, ia ikut menjadi terbatas. Hanya kesediaan orang yang dipilihNyalah
yang membuatNya dapat bertindak leluasa. Dan memang terjadi demikian. Yesus
menjadi Yang Terurapi  - menjadi Mesias -  ketika ia membiarkan diri
disempurnakan oleh Allah sendiri, membiarkan diri direnggut dari maut.
Dengan demikian ia menjadi bagian keilahian sendiri, dan tetap satu dari
ciptaan yang tadinya rapuh. Oleh karena itu ia menjadi yang pertama dari
ciptaan yang telah utuh dan menjadi jaminan akan utuhnya seluruh ciptaan.
Inilah yang diungkapkan dengan padat dalam 2Kor 5:21 "Dia yang tidak
mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita, supaya dalam dia
kita dibenarkan oleh Allah."

PENERAPANNYA?

Dengan uraian tadi kiranya tidak sulit dimengerti mengapa Paulus mengimbau
orang Korintus agar membiarkan diri didamaikan oleh Allah. Paulus mengajak
orang agar menjadi seperti Yesus, membiarkan diri menjadi tempat Allah
menyempurnakan ciptaanNya. Tidak banyak yang dituntut.  Cukup bila tidak
menghalang-halangiNya. Tentunya tak banyak yang sengaja begitu. Bila diam
saja dan membiarkan diri terbawa kerapuhan manusiawi maka sebenarnya orang
menghalangi karya ilahi sendiri.

Baru-baru ini orang mengalami dari dekat macam-macam bencana: tsunami,
gunung meletus, gempa bumi. Dan paling akhir, banjir. Semuanya itu gerakan
alam. Menjadi bencana karena ada manusia yang terkena. Memang manusia belum
seutuhnya selaras dengan gerakan alam. Ini bukan mistik alam, tetapi
kenyataan. Bencana yang disebut paling belakangan itu menunjukkan hal ini.
Yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya bukan hanya gerakan alam belaka,
tetapi gerakan yang dikacaukan oleh macam-macam tindakan manusia yang
membuat perputaran alam tidak lagi mengikuti irama dan keadaan yang lumrah.
Air hujan tak teresap oleh tanah tapi mengalir terus ke bawah. Sungai di
hilir makin sempit karena banyak himpitan-himpitan bangunan. Para ahli
lingkungan akan dapat menjelaskan keadaan ini dengan lebih runut. Tetapi apa
hubungan ini semua dengan "berdamai" dengan Allah tadi?

Bencana ialah kenyataan yang menunjukkan kerapuhan ciptaan, khususnya
manusia. Keadaan inilah yang menyebabkan manusia belum bisa dikatakan
berdamai dengan Pencipta. Lalu apa imbauan membiarkan diri didamaikan akan
membuat manusia sempurna? Akan tidak lagi kena bencana? Tentunya tidak ke
arah itu pemikirannya. Yang justru dapat menjadi pemikiran ialah bagaimana
"membiarkan diri didamaikan" itu bisa diterjemahkan dalam kenyataan hidup
sehari-hari di dalam masyarakat. Salah satunya ialah mengusahakan agar
lingkungan semakin serasi dengan pemukiman dan pemukiman semakin
melestarikan lingkungan. Artinya, orang sebaiknya paham tanda-tanda gerakan
alam. Perlu ada sistem peringatan dini akan gempa dan tsunami. Sebaiknya
dibuat perencanaan untuk menangani keadaan darurat. Tatakota hendaknya
diatur sehingga menjamin penyaluran air. Penggundulan hutan perlu
dikendalikan. Dan seterusnya. Hal-hal itu tidak bergantung  pada maksud baik
saja melainkan juga pada perencanaan serta pelaksanaannya. Banyak akan
ditentukan oleh strategi pemerintahan dan koordinasi badan-badan yang
mengurus masing-masing wilayah. Ini semua sebenarnyalah yang dalam bahasa
teologis terungkap sebagai "membiarkan diri didamaikan dengan Allah."

WARTA INJIL

Injil Rabu Abu (Mat 6:1-6; 16-18) termasuk salah satu dari rangkaian
pengajaran Yesus kepada murid-muridnya di sebuah bukit (Mat 5-7;  lihat juga
catatan tentang "Mengajar di sebuah bukit" dalam ulasan Injil Minggu IV/A 6
Feb 2011).  Dalam petikan bagi Rabu Abu ini terdapat ajakan untuk mengamati
cara bersedekah (ay. 1-4), berdoa (ay. 5-6), dan berpuasa (ay. 16-18). Para
murid dihimbau agar tidak seperti "orang munafik" yang bersedekah dengan
tujuan agar dipuji orang, yang berdoa dengan di tempat-tempat umum agar
dilihat, dan yang berpuasa dengan memasang wajah muram. Sebaliknya
dianjurkan memberi sedekah dengan diam-diam, berdoa kepada Bapa yang ada di
tempat yang tak segera kelihatan, dan menjalankan puasa dengan penampilan
biasa. Demikian ibadah tadi ditujukan kepada Dia Yang Tersembunyi dan bukan
untuk dipertontonkan kepada orang-orang lain. Bila begitu maka pahala akan
datang dari Dia, dan bukan sekedar "wah" yang diucapkan orang.

Kerohanian yang sejati? Bisa dikatakan begitu. Namun ada yang lebih mendalam
yang hendak diutarakan di dalam petikan itu. Orang diminta mencari Dia Yang
Tersembunyi, yang juga dapat disebut Bapa. KehadiranNya itu nyata walau
tidak selalu terasa jelas. Dan bersedekah, doa, puasa itu ialah ibadat untuk
mendekat kepadaNya dan menemukanNya.

Bacaan Injil ini dibacakan untuk mengantar orang memasuki Masa Prapaskah,
yaitu masa berpuasa menyongsong peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus yang
menjadi misteri paling besar dalam iman umat kristiani. Misteri tidak bakal
ditembus sepenuhnya, hanya dapat didekati dan diakrabi. Dan tindakan
berpuasa, berdoa, berbuat baik bukan demi dipuji dan dilihat orang melainkan
demi membangun hubungan rohani dengan keilahian ialah cara menghayati
misteri iman itu.

MASA PRAPASKAH

Rabu Abu mengawali Masa Prapaskah - masa puasa untuk menemukan kembali
kuatnya arus-arus yang membawa kita mendekat pada Allah dan menjauhi
ganasnya tarikan-tarikan menjauhiNya. Rabu Abu juga dijalani dengan menerima
tanda abu di dahi atau kepala. Kita diingatkan bahwa kita akan menjadi
hancuran seperti abu. Tapi kita tidak akan tetap di situ bila kita mau
membiarkan diri disempurnakan Allah sendiri...dengan percaya kepada Kabar
Gembira. Khususnya bahwa Allah berani memperbaiki ciptaanNya dengan upaya
khusus. Tinggal menerima. Tinggal ikut serta. Tinggal membiarkanNya semakin
leluasa bertindak. Tinggal mengajak orang lain rela demikian.

Satu wilayah dapat dikembangkan dalam ukuran kecil tapi akan luas dampaknya,
yakni menumbuhkan kesadaran lingkungan. Pendidikan kesadaran lingkungan,
baik alami maupun sosial. Juga di situ akan dapat terjadi apa itu
"membiarkan diri didamaikan dengan Allah."  Ini juga persiapan menyambut
Paskah - peristiwa utama yang mendamaikan manusia dengan Allah.

TENTANG PENERIMAAN ABU

Penerimaan abu pada Rabu Abu ini berasal dari kebiasaan yang ada pada abad
pertengahan dalam menjalani denda dosa muka umum (penitensi umum). Mereka
berpakaian bahan kasar, dan menaburkan abu di atas kepala mereka. Dalam
Perjanjian Lama ada kebiasaan menjalankan upacara menyesali dosa (juga
upacara berkabung) dengan duduk bersimpuh di atas debu dan menaburi diri
dengan abu itu, lihat Yes 58:5; 61:3; Yer 6:26 (menarik di baca, gulung
koming!) Rabu Abu yang mengawali Masa Prapaskah (=masa puasa) ini ditandai
dengan upacara pemberian abu di dahi (atau di bagian kepala yang dibotaki,
ditonsur, bagi kaum klerus) seperti yang sekarang. Abu-nya diperoleh dari
abu bakaran daun palem kering dari Minggu Palem tahun sebelumnya.

Kebiasaan ini sudah dikenal sejak abad ke-8. Pada zaman itu mulai dipakai
kata-kata yang dibisikkan imam ketika menandai dahi dengan abu "Ingatlah,
hai manusia, kamu dari debu dan akan kembali menjadi debu". (Rujukannya
ialah Kej 3:19; alih-alih kini sering lebih dibisikkan kutipan Mrk 1:15
"Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!") Abu atau debu? Barangnya memang
berbeda, tetapi dalam perkara upacara orang tidak pertama-tama memikirkan
barangnya, tapi lambang serta yang diperlambangkan. Pemikiran simboliknya
begini: baik abu maupun debu itu barang yang remeh, tak ada bobotnya, ditiup
saja terhambur ke mana-mana dan akhirnya diinjak-injak.  Dalam
perkembangannya, diingat dua hal. Manusia menurut Kej 2:7 dibentuk dari debu
tanah yang dihembusi nafas kehidupan Tuhan. Nah, kalau nafas kehidupan ini
kembali ke Tuhan, maka manusia ya kembali ke debunya tanah tadi. Lebih
lanjut, debu dan abu ini membuat orang menyadari betapa lemahnya manusia; ia
dekat pada dosa (Ayub 30:19, Kej 18:27). Itulah yang dapat diingat bila
menerima tanda abu pada hari Rabu Abu.

Salam,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment