Injil Minggu XX-B 19 Agt 2012 (Yoh6:51-58)
Rekan-rekan yang baik!
Umat Perjanjian Lama meninggalkan tanah Mesir untuk memperoleh kemerdekaan
di negeri yang dijanjikan kepada mereka (Kel 3:7-10; 6:5-7; Ul 26:5-9). Ada
kalanya di tengah perjalanan mereka menyesali telah melepaskan tempat mereka
biasa hidup sehari-hari demi sebuah negeri yang baru berujud janji itu (Kel
16:3). Dapatkah mereka sampai ke sana dengan selamat? Bagaimana melewati
gurun gersang yang mengerikan ini? Syukur semuanya telah terjadi. Dan
pokok-pokok terpenting pengalaman di gurun tadi dikenang turun temurun dalam
ibadat. Dipercaya pula bagaimana hari demi hari umat mendapat makanan
langsung dari langit (Kel 16:12-35; bdk. Bil 11:7-8) sehingga mereka dapat
berjalan terus.
Perjalanan di gurun tadi kemudian dipakai untuk membaca kembali pengalaman
mengarungi kehidupan ini. Manakah tujuan hidup yang sesungguhnya? Bagaimana
mencapainya? Masihkah Yang Maha Kuasa memberi makanan seperti dulu? Dalam
cara apa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa dianggap sepi, bisa
dibesar-besarkan, tetapi dapat pula ditekuni dalam dialog batin. Bagaimana
mengarungi gurun kehidupan ini dengan selamat sampai ke tujuan? Dalam
hubungan inilah Yesus menampilkan diri kepada orang-orang sezamannya sebagai
makanan bagi kehidupan yang turun dari surga. Begitulah, bila orang mau
menerimanya dan menyatu dengannya, kehidupannya akan dirasuki surga. Inilah
yang ditampilkan dalam Yoh 6:51-58 yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XX
tahun B.
"DAGING" dan "DARAH"?
Yesus memakai cara bicara yang agak khusus, yaitu menyebut diri sebagai
"anak manusia". Ia juga merujuk pada semua tindakan, amal, kata-kata dan
pelayanannya dalam hidupnya sebagai "daging" dan "darah"-nya. Ungkapan ini
menunjukkan betapa semuanya itu terpadu dalam kehidupannya. Jadi "daging
anak manusia" sama dengan semua yang dijalankan Yesus dan diajarkannya.
Dalam hubungan ini "makan" dan "minum" mengungkapkan kesatuan baik dengan
yang disantap maupun dengan sesama penyantap. Gagasan-gagasan ini
diungkapkan dengan "makan dagingku" dan "minum darahku".
Orang-orang Yahudi yang memperbincangkan pernyataan Yesus menyangkut "makan
dagingnya" (Yoh 6:52) bukannya tidak menangkap maksudnya. Mereka tahu betul
yang dimaksud ialah diri Yesus, hidupnya, pengabdiannya, ajarannya, apa saja
yang dilakukan. Yesus mengajak mereka menerima semua itu sebagai bekal
perjalanan manusia menuju hidup abadi. Tetapi sulit bagi mereka untuk
mengiakannya. Mereka juga memiliki tradisi panjang dalam agama mereka. Dan
ia sekarang mau memancang kebijaksanaan turun-temurun tadi pada hal-hal yang
diajarkannya sendiri? Memang ia pintar, ia mempesona, ia banyak pengikutnya,
tetapi apakah semua yang dilakukannya dan diajarkannya itu sungguh dapat
menjadi penopang perjalanan hidup ini? Klaim segede itu apa tidak
keterlaluan? Jangan-jangan spiritualitas baru ini cuma mau memonopoli Yang
Keramat! Itulah kesangsian mereka. Itulah yang mereka perdebatkan. Bukan
hanya perkara di dalam kepala saja. Jika kita ikut ajaran Yesus ini,
risikonya besar. Kalau ternyata keliru, maka kita akan kehilangan yang telah
kita punyai dari dulu. Mereka seperti leluhur mereka yang gundah ketika
mulai menempuh perjalanan meninggalkan Mesir ke sebuah negeri yang baru
berupa janji.
Dalam membaca petikan ini tak perlu kita bertolak pada anggapan bahwa
orang-orang Yahudi dari awal bersikap memusuhi. Mereka sebetulnya ingin tahu
apa dasar klaim sebesar itu. Yesus pun menegaskan, "Sesungguhnya aku berkata
kepadamu, jikalau kamu tidak makan daging anak manusia (dagingku dalam arti
seperti dijelaskan di atas) dan minum darahnya, kamu tidak mempunyai hidup
di dalam dirimu..." Meskipun nada ay. 54 itu seperti mengulang-ulang yang
pernah dikatakannya sendiri, di sini ditegaskan bahwa "daging dan darah anak
manusia" dapat ikut dihidupkan dan dihidupi tiap orang yang bersedia
menerimanya. Yang dimaksud tentunya semua yang dilakukan dan diajarkan
Yesus, pengusiran roh jahat, penyembuhan, ungkapan belas kasihnya kepada
orang banyak. Inilah yang menjadi awal dari "hidup kekal" yang nanti bakal
diperoleh dengan utuh pada akhir zaman, seperti ditandaskan dalam ay. 55.
DI RUMAH IBADAT
Disebutkan dalam ay. 59, yang tidak ikut dibacakan hari ini, bahwa perkataan
Yesus tadi diucapkannya sewaktu mengajar di sinagoga, yakni rumah ibadat
orang Yahudi di Kapernaum. Jadi ia menyampaikan pengajaran kepada
orang-orang yang datang beribadat dan mendengarkan sabda Allah menurut
kepercayaan Yahudi dan kebiasaan turun temurun mereka. Salah satu tema yang
selalu muncul dalam doa dan penjelasan sabda di rumah ibadat ialah kehidupan
umat dalam perjalanan ke Tanah Terjanji dan pemberian hukum Taurat di Sinai.
Diingat kembali kisah pemberian makanan dari surga tiap hari, yakni manna
(Kel 16:12-35), yang membuat umat dapat bertahan dalam perjalanan mencapai
tujuannya. Selain itu juga ada kurban sembelihan di Sinai dengan recikan
darah untuk meresmikan janji setia umat (Kel 24:5-8). Dalam ibadat seperti
itu seorang pembicara dapat mengolah pokok-pokok ini dengan menghubungkan
dengan keadaan nyata. Semacam homili dengan aktualisasi. Itulah yang
dilakukan Yesus pada waktu itu. Bisa ditengok pengajarannya di rumah ibadat
di Nazaret yang menerapkan nubuat Yes 61:1-2 pada warta yang dibawakannya
hari itu (Luk 4:21). Juga di lain kesempatan di rumah ibadat ia mengajar
mengenai Kerajaan Allah (Mat 4:23 9:35).
Sebelum petikan bagi hari ini, dikisahkan bagaimana reaksi orang-orang
Yahudi mendengar perkataan Yesus mengenai "roti kehidupan" (Yoh 6:25-50).
Pada kesempatan itu ia menegaskan bahwa dirinya ialah makanan yang diberikan
dari surga untuk menyambung hidup umat agar mencapai tujuan perjalanannya
(ay. 51 yang dibacakan pada awal petikan). Karena itulah orang-orang Yahudi
memperdebatkan, apa maksud Yesus sebenarnya dengan pernyataan itu. (ay. 52).
Dari konteks ini jelas perbincangan tadi sudah jadi bahan pembicaraan umum.
Dalam hubungan inilah patut dipahami uraian Yesus di sinagoga di Kapernaum
ini. Di situ ia menerapkan pada dirinya gagasan bahwa Allah memperhatikan
dan memelihara umat-Nya yang ada dalam perjalanan menuju ke Tanah Terjanji.
Tidak semua pendengarnya setuju, tetapi mereka tertarik membicarakannya
karena bahannya menyangkut masalah yang mereka kenal.
KOMUNITAS AWAL
Keadaan para pendengar di sinagoga waktu itu tidak sama dengan umat yang
datang ke gereja kini. Bagi mereka dulu, "makan daging dan darahnya", yakni
bersatu dengan kehidupan Yesus demi keselamatan, menimbulkan persoalan
besar. Bagi pendengar di gereja, kehidupan Yesus yang dikurbankan bagi
penebusan dan keselamatan orang banyak sudah menjadi pokok kepercayaan. Bagi
orang dulu perspektifnya ialah berusaha mengerti dan percaya Bagi kita,
masalahnya bukan lagi agar kita mau menerima iman itu, melainkan bagaimana
kita dapat memahami hal-hal dalam terang iman.
Injil yang diperdengarkan hari ini sebenarnya tumbuh dari upaya komunitas
awal, komunitas Yohanes, untuk menjelaskan makna perjamuan ekaristi yang
sudah biasa mereka rayakan. Pengajaran Yesus mengenai dirinya sebagai
makanan yang diberikan dari surga yang dapat membawa mereka sampai ke hidup
abadi dalam Yoh 6:25-50 diterapkan pada perayaan ekaristi. Pertanyaan dasar
ialah apa arti ekaristi ini dan bagaimana "kita", yakni orang-orang dalam
komunitas Yohanes tadi boleh merasa lebih beruntung dari nenek moyang
mereka. Maklum, komunitas ini berasal dari kalangan orang Yahudi yang saleh
yang sadar akan nilai tradisi keagamaan leluhur mereka. Tetapi kini mereka
juga berusaha menghayati ajaran Yesus yang membuat mereka makin dekat dengan
Yang Maha Kuasa yang tak terjangkau itu.
Ibadat ekaristi menjadi tindakan sakramental bersatu dengan Yesus. Tindakan
ini mengungkapkan tekad mereka untuk saling menunjang. Mereka merasa
berpikir sejalan, sepengharapan. Ada komunitas. Bagi mereka, kehidupan yang
dipelihara dengan ingatan bersama akan Yesus tadi ialah kehidupan yang nanti
akan berlanjut tanpa akhir. Mereka sudah mulai menemukan kehadiran ilahi
yang tak hanya dibataskan pada perjalanan ke Tanah Terjanji seperti nenek
moyang mereka dulu.
Juga bagi kita orang zaman ini, Yang Maha Kuasa masih memberi makanan dan
minuman agar kita dapat menempuh perjalanan hidup. Perjalanan ini penuh
unsur yang tak terduga-duga, perjalanan ini penuh harapan tapi yang juga
yang sering harus dititi dengan rasa sakit. Di beberapa tempat di negeri
kita sedang mengalami kesusahan akibat bencana alam dan malapetaka sosial.
Kepercayaan akan kebesaran Yang Maha Kuasa akan membuat orang makin tabah.
Juga dalam keadaan sulit kita masih "diberi makan dan minum dari langit".
Akan diperoleh makanan yang sama, minuman yang sama, kehidupan yang sama
yang telah diperoleh Yesus dari atas sana. Bukan hanya bagi kepentingan
perorangan saja, melainkan dalam ikhtiar bersama untuk memperbaiki keadaan,
dalam mengatasi kesulitan, dalam saling menguatkan. Dan solidaritas
sakramental ini dapat menjadi kekuatan untuk berjalan terus sampai ke sana,
ke tempat yang telah dicapai Yesus sendiri!
Salam hangat,
Rekan-rekan yang baik!
Umat Perjanjian Lama meninggalkan tanah Mesir untuk memperoleh kemerdekaan
di negeri yang dijanjikan kepada mereka (Kel 3:7-10; 6:5-7; Ul 26:5-9). Ada
kalanya di tengah perjalanan mereka menyesali telah melepaskan tempat mereka
biasa hidup sehari-hari demi sebuah negeri yang baru berujud janji itu (Kel
16:3). Dapatkah mereka sampai ke sana dengan selamat? Bagaimana melewati
gurun gersang yang mengerikan ini? Syukur semuanya telah terjadi. Dan
pokok-pokok terpenting pengalaman di gurun tadi dikenang turun temurun dalam
ibadat. Dipercaya pula bagaimana hari demi hari umat mendapat makanan
langsung dari langit (Kel 16:12-35; bdk. Bil 11:7-8) sehingga mereka dapat
berjalan terus.
Perjalanan di gurun tadi kemudian dipakai untuk membaca kembali pengalaman
mengarungi kehidupan ini. Manakah tujuan hidup yang sesungguhnya? Bagaimana
mencapainya? Masihkah Yang Maha Kuasa memberi makanan seperti dulu? Dalam
cara apa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa dianggap sepi, bisa
dibesar-besarkan, tetapi dapat pula ditekuni dalam dialog batin. Bagaimana
mengarungi gurun kehidupan ini dengan selamat sampai ke tujuan? Dalam
hubungan inilah Yesus menampilkan diri kepada orang-orang sezamannya sebagai
makanan bagi kehidupan yang turun dari surga. Begitulah, bila orang mau
menerimanya dan menyatu dengannya, kehidupannya akan dirasuki surga. Inilah
yang ditampilkan dalam Yoh 6:51-58 yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XX
tahun B.
"DAGING" dan "DARAH"?
Yesus memakai cara bicara yang agak khusus, yaitu menyebut diri sebagai
"anak manusia". Ia juga merujuk pada semua tindakan, amal, kata-kata dan
pelayanannya dalam hidupnya sebagai "daging" dan "darah"-nya. Ungkapan ini
menunjukkan betapa semuanya itu terpadu dalam kehidupannya. Jadi "daging
anak manusia" sama dengan semua yang dijalankan Yesus dan diajarkannya.
Dalam hubungan ini "makan" dan "minum" mengungkapkan kesatuan baik dengan
yang disantap maupun dengan sesama penyantap. Gagasan-gagasan ini
diungkapkan dengan "makan dagingku" dan "minum darahku".
Orang-orang Yahudi yang memperbincangkan pernyataan Yesus menyangkut "makan
dagingnya" (Yoh 6:52) bukannya tidak menangkap maksudnya. Mereka tahu betul
yang dimaksud ialah diri Yesus, hidupnya, pengabdiannya, ajarannya, apa saja
yang dilakukan. Yesus mengajak mereka menerima semua itu sebagai bekal
perjalanan manusia menuju hidup abadi. Tetapi sulit bagi mereka untuk
mengiakannya. Mereka juga memiliki tradisi panjang dalam agama mereka. Dan
ia sekarang mau memancang kebijaksanaan turun-temurun tadi pada hal-hal yang
diajarkannya sendiri? Memang ia pintar, ia mempesona, ia banyak pengikutnya,
tetapi apakah semua yang dilakukannya dan diajarkannya itu sungguh dapat
menjadi penopang perjalanan hidup ini? Klaim segede itu apa tidak
keterlaluan? Jangan-jangan spiritualitas baru ini cuma mau memonopoli Yang
Keramat! Itulah kesangsian mereka. Itulah yang mereka perdebatkan. Bukan
hanya perkara di dalam kepala saja. Jika kita ikut ajaran Yesus ini,
risikonya besar. Kalau ternyata keliru, maka kita akan kehilangan yang telah
kita punyai dari dulu. Mereka seperti leluhur mereka yang gundah ketika
mulai menempuh perjalanan meninggalkan Mesir ke sebuah negeri yang baru
berupa janji.
Dalam membaca petikan ini tak perlu kita bertolak pada anggapan bahwa
orang-orang Yahudi dari awal bersikap memusuhi. Mereka sebetulnya ingin tahu
apa dasar klaim sebesar itu. Yesus pun menegaskan, "Sesungguhnya aku berkata
kepadamu, jikalau kamu tidak makan daging anak manusia (dagingku dalam arti
seperti dijelaskan di atas) dan minum darahnya, kamu tidak mempunyai hidup
di dalam dirimu..." Meskipun nada ay. 54 itu seperti mengulang-ulang yang
pernah dikatakannya sendiri, di sini ditegaskan bahwa "daging dan darah anak
manusia" dapat ikut dihidupkan dan dihidupi tiap orang yang bersedia
menerimanya. Yang dimaksud tentunya semua yang dilakukan dan diajarkan
Yesus, pengusiran roh jahat, penyembuhan, ungkapan belas kasihnya kepada
orang banyak. Inilah yang menjadi awal dari "hidup kekal" yang nanti bakal
diperoleh dengan utuh pada akhir zaman, seperti ditandaskan dalam ay. 55.
DI RUMAH IBADAT
Disebutkan dalam ay. 59, yang tidak ikut dibacakan hari ini, bahwa perkataan
Yesus tadi diucapkannya sewaktu mengajar di sinagoga, yakni rumah ibadat
orang Yahudi di Kapernaum. Jadi ia menyampaikan pengajaran kepada
orang-orang yang datang beribadat dan mendengarkan sabda Allah menurut
kepercayaan Yahudi dan kebiasaan turun temurun mereka. Salah satu tema yang
selalu muncul dalam doa dan penjelasan sabda di rumah ibadat ialah kehidupan
umat dalam perjalanan ke Tanah Terjanji dan pemberian hukum Taurat di Sinai.
Diingat kembali kisah pemberian makanan dari surga tiap hari, yakni manna
(Kel 16:12-35), yang membuat umat dapat bertahan dalam perjalanan mencapai
tujuannya. Selain itu juga ada kurban sembelihan di Sinai dengan recikan
darah untuk meresmikan janji setia umat (Kel 24:5-8). Dalam ibadat seperti
itu seorang pembicara dapat mengolah pokok-pokok ini dengan menghubungkan
dengan keadaan nyata. Semacam homili dengan aktualisasi. Itulah yang
dilakukan Yesus pada waktu itu. Bisa ditengok pengajarannya di rumah ibadat
di Nazaret yang menerapkan nubuat Yes 61:1-2 pada warta yang dibawakannya
hari itu (Luk 4:21). Juga di lain kesempatan di rumah ibadat ia mengajar
mengenai Kerajaan Allah (Mat 4:23 9:35).
Sebelum petikan bagi hari ini, dikisahkan bagaimana reaksi orang-orang
Yahudi mendengar perkataan Yesus mengenai "roti kehidupan" (Yoh 6:25-50).
Pada kesempatan itu ia menegaskan bahwa dirinya ialah makanan yang diberikan
dari surga untuk menyambung hidup umat agar mencapai tujuan perjalanannya
(ay. 51 yang dibacakan pada awal petikan). Karena itulah orang-orang Yahudi
memperdebatkan, apa maksud Yesus sebenarnya dengan pernyataan itu. (ay. 52).
Dari konteks ini jelas perbincangan tadi sudah jadi bahan pembicaraan umum.
Dalam hubungan inilah patut dipahami uraian Yesus di sinagoga di Kapernaum
ini. Di situ ia menerapkan pada dirinya gagasan bahwa Allah memperhatikan
dan memelihara umat-Nya yang ada dalam perjalanan menuju ke Tanah Terjanji.
Tidak semua pendengarnya setuju, tetapi mereka tertarik membicarakannya
karena bahannya menyangkut masalah yang mereka kenal.
KOMUNITAS AWAL
Keadaan para pendengar di sinagoga waktu itu tidak sama dengan umat yang
datang ke gereja kini. Bagi mereka dulu, "makan daging dan darahnya", yakni
bersatu dengan kehidupan Yesus demi keselamatan, menimbulkan persoalan
besar. Bagi pendengar di gereja, kehidupan Yesus yang dikurbankan bagi
penebusan dan keselamatan orang banyak sudah menjadi pokok kepercayaan. Bagi
orang dulu perspektifnya ialah berusaha mengerti dan percaya Bagi kita,
masalahnya bukan lagi agar kita mau menerima iman itu, melainkan bagaimana
kita dapat memahami hal-hal dalam terang iman.
Injil yang diperdengarkan hari ini sebenarnya tumbuh dari upaya komunitas
awal, komunitas Yohanes, untuk menjelaskan makna perjamuan ekaristi yang
sudah biasa mereka rayakan. Pengajaran Yesus mengenai dirinya sebagai
makanan yang diberikan dari surga yang dapat membawa mereka sampai ke hidup
abadi dalam Yoh 6:25-50 diterapkan pada perayaan ekaristi. Pertanyaan dasar
ialah apa arti ekaristi ini dan bagaimana "kita", yakni orang-orang dalam
komunitas Yohanes tadi boleh merasa lebih beruntung dari nenek moyang
mereka. Maklum, komunitas ini berasal dari kalangan orang Yahudi yang saleh
yang sadar akan nilai tradisi keagamaan leluhur mereka. Tetapi kini mereka
juga berusaha menghayati ajaran Yesus yang membuat mereka makin dekat dengan
Yang Maha Kuasa yang tak terjangkau itu.
Ibadat ekaristi menjadi tindakan sakramental bersatu dengan Yesus. Tindakan
ini mengungkapkan tekad mereka untuk saling menunjang. Mereka merasa
berpikir sejalan, sepengharapan. Ada komunitas. Bagi mereka, kehidupan yang
dipelihara dengan ingatan bersama akan Yesus tadi ialah kehidupan yang nanti
akan berlanjut tanpa akhir. Mereka sudah mulai menemukan kehadiran ilahi
yang tak hanya dibataskan pada perjalanan ke Tanah Terjanji seperti nenek
moyang mereka dulu.
Juga bagi kita orang zaman ini, Yang Maha Kuasa masih memberi makanan dan
minuman agar kita dapat menempuh perjalanan hidup. Perjalanan ini penuh
unsur yang tak terduga-duga, perjalanan ini penuh harapan tapi yang juga
yang sering harus dititi dengan rasa sakit. Di beberapa tempat di negeri
kita sedang mengalami kesusahan akibat bencana alam dan malapetaka sosial.
Kepercayaan akan kebesaran Yang Maha Kuasa akan membuat orang makin tabah.
Juga dalam keadaan sulit kita masih "diberi makan dan minum dari langit".
Akan diperoleh makanan yang sama, minuman yang sama, kehidupan yang sama
yang telah diperoleh Yesus dari atas sana. Bukan hanya bagi kepentingan
perorangan saja, melainkan dalam ikhtiar bersama untuk memperbaiki keadaan,
dalam mengatasi kesulitan, dalam saling menguatkan. Dan solidaritas
sakramental ini dapat menjadi kekuatan untuk berjalan terus sampai ke sana,
ke tempat yang telah dicapai Yesus sendiri!
Salam hangat,
A. Gianto
No comments:
Post a Comment