Eksegese Injil Minggu Paskah IV/C 17 April 2016 (Yoh 10:27-30)
By A. Gianto on April, 2016 Jendela Alkitab, Mingguan
MEMPERCAYAKAN DIRI?
Orang serta-merta merasa aman bila mengenal siapa yang sedang dihadapi. Dan sebaliknya juga, gampang orang merasa terancam hal-hal yang tak dikenal. Injil Yohanes 10:27-30 yang dibacakan pada hari Minggu Paskah IV tahun C ini menggambarkan keakraban antara Yesus dan pengikut-pengikutnya dengan memakai kiasan domba dan gembala. Ditawarkan dalam petikan ini analisis teologi mengenai hidup rohani. Orang merasa tenang di hadapan dia yang dapat membawakan hidup kekal. Tak ada kekuatan jahat apapun yang mampu menjauhkan darinya. Kepercayaan akan Yang Mahakuasa sendiri menjadi jaminan.
GEMBALA YANG BAIK
TANYA: Yoh 10 berbicara mengenai gembala yang baik dan menerapkannya kepada Yesus. Rasa-rasanya Yohanes mendapat ilham dari Perjanjian Lama?
JAWAB: Benar! Perjanjian Lama acap kali menggambarkan Tuhan sebagai gembala yang menjaga domba-dombanya, Mzm 23 contoh klasik. Orang yang berada di dekatNya tak perlu merasa kekurangan apapun. Lihat juga Mzm 28:2; 77:21; 78:52; Yer 23:3; 50:19. Yehezkiel maju lebih jauh. Ia berbicara mengenai Tuhan sebagai gembala yang membela umat dari para gembala yang menyalahgunakan kuasa, yakni para pemimpin yang hanya memperkaya diri, tidak peduli akan penderitaan rakyat dan bahkan menghisap, berlaku kejam dan membiarkan mereka kehilangan rasa aman. Lihat saja Yeh 34:1-10. Dan selanjutnya dalam Yeh 34:11-22, Ia sendiri akan mengumpulkan mereka yang tercerai berai, membebat luka, memberi rasa aman. Di dalam seluruh bab itu nabi Yehezkiel mengutarakan prinsip-prinsip moral sosial dan pengaturan masyarakat zamannya.
TANYA: Bisakah dikatakan Yoh 10 menerapkan gagasan Yehezkiel tadi bagi para murid Yesus?
JAWAB: Ya, tetapi Yohanes juga memberi arah baru. Ia tidak memperlawankan Yesus dengan gembala yang jahat, melainkan dengan “pencuri dan perampok” (ayat 1), dengan “orang asing” (ayat 5) dan dengan “orang upahan” (ayat 12-13). Yohanes tidak menampilkan dua tipe gembala seperti pada Yehezkiel. Hanya ada satu gembala saja, yakni Yesus sendiri. Memang ada orang-orang yang diminta mengurusi domba-domba. Ada yang sungguh baik, tapi ada yang bertindak sebagai orang upahan.
TANYA: Tolong dijelaskan lebih jauh!
JAWAB: Nabi Yehezkiel mengamati kehidupan sosial politik di Israel pada zaman pembuangan. Ia mengecam para pemimpin yang tak banyak berbuat bagi umat yang sedang kehilangan pegangan. Masalah yang dihadapi Yohanes berbeda. Banyak pengikut Yesus generasi pertama merasa kurang aman hidup di tengah-tengah masyarakat Yahudi. Terintimidasi. Dan memang ada yang meninggalkan. Tapi ada pula yang bertekun. Yohanes memakai keadaan ini untuk menjelaskan apa itu “percaya” kepada Yesus dan bagaimana mereka bisa menghayatinya bila mereka memang memilih mau tetap bersamanya. Yohanes menekankan Yesus sebagai gembala yang baik untuk menunjukkan bahwa percaya kepada Yesus tidak sia-sia karena ia sendiri akan melindungi murid-muridnya dengan mempertaruhkan hidupnya. Semacam analisis teologi hidup rohani. Kelanjutan dari perkara ini ada dalam penugasan Petrus agar mengurusi domba-domba dalam Yoh 21:15-19 yang dibicarakan minggu lalu.
TANYA: Lalu apa arti penegasan bahwa tak ada yang dapat merenggut domba-domba dari Yesus?
JAWAB: Di situ ada pernyataan mengenai kebenaran mengikuti dia yang mau merujukkan kemanusian kembali dengan Yang Mahakuasa, yang disebut sebagai Bapa itu. Artinya, membuat orang makin menemukan diri merasa dimiliki oleh Yang Mahakuasa dan bukan dibawahkan kepada kuasa lain. Kiasannya, gembala yang baik berusaha membuat orang makin sadar akan hal itu. Orang upahan tidak. Pencuri dan perampok menjauhkan orang dari sana. Orang yang tak dikenal juga tidak menimbulkan rasa percaya.
TANYA: Dalam Yoh 10:27 dibicarakan “domba-dombaku mendengarkan suaraku dan aku mengenal mereka dan mengikut aku”. Pernyataan ini berbicara mengenai keadaan tertentu atau dimaksud untuk mengajak orang percaya dan mengikut Yesus.
JAWAB: Kedengarannya memang seperti pernyataan biasa. Namun di dalam kalimat itu terkandung nuansa “akan dapat mendengarkan suaraku, akan dapat mengikut aku”. Katakan saja, di samping berbicara mengenai apa adanya juga diutarakan apa yang bakal terjadi.
TANYA: Dan tentunya nuansa “harus mendengarkan…”?
JAWAB: Tidak! Gagasan keharusan tidak muncul dalam kalimat aslinya. Seandainya mau disampaikan makna seperti itu, akan dipakai ungkapan yang jelas-jelas menunjuk ke sana..
TANYA: Jadi perkara mengikuti Yesus tidak bersangkutan dengan wilayah “keharusan”?
JAWAB. Benar. Bila keharusan menjadi pokok pembicaraan, seluruh pembicaraan mengenai gembala yang baik akan tawar.
MEMPERCAYAKAN DIRI: MASALAH BESAR BAGI ZAMAN INI
Tidak sulit menyadari bahwa dalam tahun-tahun belakangan ini kita sedang mengalami krisis kepercayaan dalam pelbagai lapis kehidupan di masyarakat, juga dalam kehidupan agama. Memang kepercayaan belum hilang. Kebutuhan untuk itu makin dirasakan. Sering kepercayaan diterjemahkan ke dalam tatacara pertanggungjawaban serta birokrasi atau serangkai kesetujuan yang diandaikan bakal dihormati sebagian besar anggota masyarakat. Tetapi itu ini semua acap kali tidak sungguh menjamin. Orang malah merasa sering tertipu oleh ulah mereka yang mendapat kepercayaan mengurusi pertanggungjawaban. Ada kolusi di kalangan pemerintahan. Peradilan kotor. Tak sedikit aparat yang kejam. Malah sekarang tak jarang orang makin merasa sulit mempercayakan diri pada kelembagaan yang dibuat untuk menjamin kepercayaan publik seperti halnya lembaga perwakilan sendiri. Juga kelembagaan nonpolitik seperti perkawinan, adat, dan lembaga keagamaan. Belakangan ini juga makin terbuka skandal di kalangan para perlayan umat.
Banyak orang merasa tidak ada pegangan yang jelas. Ada yang kembali ke cara-cara dulu yang dirasa lebih menjamin, ada yang makin jauh dari kebiasaan dan mencoba apa saja. Lambannya pembenahan aparatur negara serta perbaikan hidup di negeri ini menjadi pertanda bagi kenyataan yang diutarakan di atas: krisis kepercayaan dalam pelbagai lapis kehidupan. Apatisme mulai melumpuhkan inisiatif. Krisis kepercayaan tidak dapat dikurangi dengan jalan bersikap pasrah membuta. Mempercayakan diri baru mungkin bila dijalankan dengan “good judgment” atau ikhtiar yang sungguh. Namun untuk itu orang butuh informasi yang sepadan. Terutama pada zaman kita yang sarat macam-macam informasi dan data yang tidak jelas juntrungnya.
Kaitan antara rasa percaya – “trust” – dan “iman” lebih termasuk bidang pastoral kehidupan beragama. Bagaimanapun juga tidak jarang kepercayaan terhadap kelembagaan (termasuk para pemimpin) disamakan dengan iman, atau di ujung lain, samasekali dipisahkan. Akan tetapi, mempercayai bertumpang tindih dengan mengimani. Iman tidak bisa berkembang sehat bila tidak disertai kepercayaan terhadap orang-orang serta kelembagaan yang bertanggung jawab mengusahakan hidup iman mendapat ungkapan yang cocok, baik secara doktrin maupun secara liturgi. Tetapi kepercayaan melulu malah akan membuat iman bersifat buta dan mengarah ke perpecahan dan akhirnya tidak ada yang betul-betul dipegang sebagai iman kecuali keyakinan-keyakinan pribadi yang diharapkan agar diikuti orang lain.
WARTA YOHANES BAGI ZAMAN SEKARANG
Tersirat dalam kata-kata “domba-dombaku mendengarkan suaraku….mengikut aku” (Yoh 10:27) suatu imbauan untuk ikut membantu agar orang dapat mengenali siapa yang diikuti itu. Istilahnya, menyediakan informasi yang dapat diterima nalar dan yang bisa membantu orang untuk percaya. Teringat Yohanes Pembaptis yang menunjukkan. memberi informasi kepada murid-muridnya, siapa Yesus itu, “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Dialah yang kumaksud….” (Yoh 1:29-30). Kemudian ketika orang bertanya kepada Yesus sendiri di mana ia tinggal, jawabnya, “Mari ikut dan lihatlah!” (Yoh 1:38-39). Orang-orang yang diminta mengurusi domba-domba – seperti halnya Petrus dalam Yoh 21:15-19 – menjawab kebutuhan seperti ini. Orang upahan tidak. Mereka malah menyampaikan informasi yang palsu. Membodohi. Menyesatkan. Membiarkan orang dalam ketidaktahuan. Domba-domba akan merasa berhadapan dengan pihak-pihak yang tidak lagi dapat dikenali (Yoh 10:5) dan tak tahu bisa berbuat apa lagi. Tiada pegangan lagi. Keadaan ini mudah memburuk. Mereka akan mencari apa saja dan menjadi mangsa para “pencuri” dan para “perampok” (Yoh 10:1). Di Indonesia wacana mengenai keagamaan makin mbludag dan makin santer. Adakah yang dapat membantu memilah-milah dan memilih agar orang tidak jadi bulan-bulanan para penjaja informasi simpang siur, juga dalam bidang keagamaan? Ajakan tersirat Yohanes hari ini masih terdengar.
Salam hangat,
A. Gianto
No comments:
Post a Comment