Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga

Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, 14 Agustus 2016 (Luk 1: 39-56)

By A. Gianto on August, 2016 Jendela Alkitab, Mingguan

MARIA DIANGKAT KE SURGA

MESKIPUN sudah dirayakan sejak abad ke-4, pengangkatan Maria ke surga jiwa dan badan baru ditegaskan secara resmi sebagai bagian ajaran kepercayaan iman pada tahun 1950. Sekitar awal abad ke-20 di beberapa kalangan para teolog berkembang aliran berpikir yang pada dasarnya menolak hal-hal yang tak bisa diterangkan dengan akal budi dan pengetahuan pada waktu itu. Pendapat seperti ini meluas pengaruhnya dalam Gereja, juga di kalangan para rohaniwan. Salah satu akibat dari cara berpikir ini ialah penolakan adanya sisi-sisi keramat dalam kehidupan, termasuk perkara-perkara yang biasa disebut mukjizat, dan tentu saja tradisi mengenai Maria diangkat ke surga langsung sesudah wafatnya. Namun pengalaman pahit dalam dua perang dunia mengajarkan betapa manusia sesungguhnya tidak berdaya menghadapi sisi-sisi gelap kemanusiaan sendiri. Berangsur-angsur ketergantungan manusia pada kekuatan ilahi makin disadari kembali. Dalam hubungan ini penegasan kepercayaan Maria diangkat ke surga jiwa dan badan itu menjadi pernyataan sikap resmi Gereja untuk tidak mengikuti cara berpikir yang tidak memperhitungkan tindakan ilahi di dunia. Penegasan ini juga mengakhiri periode pertentangan teologis di kalangan Gereja sendiri.

Maria Diangkat ke Surga

Bagaimana kita sekarang dapat mendalami makna perayaan Maria diangkat ke surga? Merayakan peristiwa itu dapat menjadi ungkapan kepercayaan akan masa depan kemanusiaan sendiri. Pada satu saat nanti umat manusia seluruhnya akan kembali berada bersama dengan Tuhan di surga. Hal ini sering digambarkan bakal terjadi lewat “pemurnian” dengan pelbagai cara seperti halnya tempat penantian, pengadilan terakhir yang memisahkan orang baik dari orang jahat, atau pembersihan jiwa kedosaan. Inti pemikirannya sama, yakni satu ketika nanti kita akan pulih menjadi warga firdaus kembali dan masuk ke sana. Dan kita percaya bahwa itu dapat terjadi karena salah satu dari kemanusiaan, yakni Maria, sudah ada di sana dan kini ia melantarkan doa-doa permohonan dari yang biasa hingga yang aneh-aneh kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Kita acapkali menyadari bahwa Tuhan lebih mendengarkan kita – berkat Maria – daripada kita mendengarkan-Nya. Maria tahu jalan-jalan menyampaikan doa kita kepada Yang Mahakuasa.

Menurut Kitab Kejadian, manusia dan istrinya diusir dari firdaus karena melanggar larangan memakan buah pengetahuan baik dan buruk. Ini dosa. Dosa membuat kemanusiaan merosot. Sebelumnya mereka akrab dengan dunia ilahi, dapat bercakap-cakap dengan Tuhan. Manusia merasa aman di hadapan-Nya. Tapi begitu mereka sadar telah melanggar larangannya mereka takut bertemu dengan-Nya dan menyembunyikan diri. Rasa saling percaya rusak dan tidak lagi mereka dapat berdiam di firdaus. Tuhan mengusir mereka dan bahkan menempatkan malaikat penjaga berpedang api agar mereka tak bisa mendekat ke pohon kehidupan. Manusia kini harus berjerih payah mencari makan agar hidup terus. Istrinya harus menderita tiap kali mau menjadi ibu. Dan penggoda mereka, ular, dikutuk jalan melata. Tapi juga dikatakan seorang keturunan perempuan yang diperdayanya itu nanti akan meremukkan kepalanya. Ini semuanya ada dalam Kitab Kejadian 3.

Mari kita bayangkan kelanjutannya. Setelah mengusir manusia dari firdaus, Tuhan pun menghela nafas…dan semua penghuni surga pun tertunduk diam. Seluruh firdaus seperti sedang berkabung. Dan memang suasana ini membuat Tuhan merasa kesepian. Suatu hari Ia mengambil keputusan untuk turun ke dunia mencari manusia yang sudah diusir-Nya. Ia mengubah diri menjadi suara batin yang ada dalam diri manusia. Dengan demikian manusia diam-diam dituntun-Nya melangkah, mungkin dengan jatuh bangun, pada jalan kembali ke firdaus, lewat jalan lain yang tidak dijaga malaikat berpedang api. Begitulah Ia berharap satu ketika nanti manusia akan bisa berada kembali di surga mengusir suasana murung untuk selama-lamanya.

Hari ini dirayakan kembalinya satu dari keturunan yang telah terusir dari firdaus tadi. Bukan itu saja. Dirayakan pulihnya suasana gembira di surga sana. Dirayakan kebesaran Tuhan yang dapat membawa kembali kemanusiaan ke surga. Dirayakan juga kemampuan manusia untuk bekerja sama dengan Tuhan. Dirayakan seorang yang hidup tulus mengikuti suara batin, yang membiarkan diri dituntun suara batin.. Dan lebih dari itu. Dan kandungan suara batinnya itu menjadi darah daging juga – menjadi manusia. Dan menjadi manusia pertama yang bangkit dari kematian dan naik ke surga. Yesus dan dia yang kini mengisi surga dengan kegembiraan. Dia itulah yang menuntun manusia kembali ke sana. Sebagai Guru. Sebagai Gembala yang baik. Sebagai Penyelamat. Tak mengherankan yang pernah membawanya masuk ke dunia ini dengan sendirinya ikut terbawa kembali ke surga. Dia itu Maria, ibu Yesus. Ia itu Oma Miryam-nya Luc, Ma Mir-nya Oom Hans. Bunda Maria-nya kita-kita ini.

Kidung Magnificat

Bacaan Injil pada perayaan ini, Luk 1:39-56, memuat dua bagian, yakni kisah Maria mengunjungi Elizabet (ayat 39-45) dan Kidung Pujian “Magnificat” (ayat 46-56) dan berakhir dengan ayat 56 sebagai penutup kisah. Bagian pertama sudah dibicarakan sebelum Natal. Dua perempuan yang merasa dipermainkan dalam jalan hidup mereka itu kini menemukan diri mereka beruntung. Elizabet yang termasuk kaum yang kena aib karena tak bisa mengandung sampai usia senja kini akan melahirkan Yohanes Pembaptis. Dan dia yang masih ada dalam rahim itu melonjak kegirangan mendengar salam yang diucapkan Maria yang datang berkunjung. Maria sendiri harus melewati hari-hari tak enak memikirkan bagaimana menjelaskan keadaan dirinya kepada Yusuf, tunangannya. Ia tanyakan kepada malaikat yang datang kepadanya, bagaimana mungkin semuanya terjadi. Jawab malaikat, Roh Kudus akan turun. Begitulah kisah yang disampaikan kepada kita oleh Lukas. Dan kelanjutannya kita ketahui. Maria membiarkan Roh Kudus bekerja dalam dirinya. Itu dia Tuhan yang mengubah diri menjadi suara hati manusia. Dan suara hatinya itu jugalah yang membuatnya berkata “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu!”

Roh yang sama itu juga yang membuat Maria mengidungkan pujian yang dibacakan hari ini. Kidung itu mulai pada ayat 46 dengan pujian Maria kepada Tuhan dengan gembira – Ia itu Allah yang menyelamatkan. Ia membuat hidup ini berarti. Ia membuat penderitaan bermakna. Kemudian dalam ayat 48 terungkap pengakuan bahwa Tuhan menyayangi orang-orang yang kecil sehingga mereka menjadi tinggi di mata orang. Tak perlu kita tafsirkan ini sebagai teologi pembalikan nasib orang miskin jadi kaya dan orang kaya jadi melarat. Ayat itu mewartakan kebesaran Tuhan yang tidak takut berdekatan dengan orang kecil, bukan karena orang kecil itu romantik, ideal, melainkan orang kecil itu dapat memberinya naungan dan mengurangi kesepiannya! Orang yang hina dina biasanya ingat Tuhan dan itu cukup membuatnya menemukan kembali secercah kegembiraan yang telah hilang dari surga dulu. Ini teologi sehari-hari.

Ayat-ayat selanjutnya, yakni 49-55, berupa pembacaan kembali sejarah terjadinya umat Israel. Ditekankan tindakan-tindakan hebat Tuhan yang membela orang-orang yang dikasihi-Nya di hadapan pihak-pihak yang mau menindas mereka. Puji-pujian yang terungkap dalam Magnificat ini senada dengan ungkapan kegembiraan dan kepercayaan akan perlindungan ilahi seperti terdapat dalam Kidung Hana dalam 1Sam 2:1-10.

Orang sering beranggapan bahwa penderitaan, kemelaratan, ketakberuntungan, aib ialah hukuman dari atas bagi kesalahan. Ada anggapan bahwa hukuman bisa juga dikenakan kepada keturunan orang yang bersalah. Dosa menurun, hukuman berkelanjutan. Dalam Kidung Magnificat pendapat seperti ini tidak diikuti. Malah ditegaskan bahwa Tuhan membela orang yang percaya kepadanya yang meminta pertolongan dari-Nya. Bagaimana dengan orang yang hidupnya beruntung, menikmati kelebihan, tidak kurang suatu apa? Apakah mereka itu akan dikenai malapetaka? Kiranya bukan itulah yang dimaksud. Orang-orang yang beruntung dihimbau agar mengambil sikap seperti Tuhan sendiri, yakni memperhatikan mereka yang kurang beruntung. Samasekali bertolak belakang bila orang membiarkan kekayaan, kedudukan, kepintaran membuat sesama yang kurang beruntung menjadi terpojok atau kurang mendapat kesempatan untuk maju. Inilah yang kiranya hendak disampaikan dalam ayat 52-53 yang mengatakan bahwa orang congkak hati akan diceraiberaikan, orang berkedudukan akan direndahkan, orang kaya akan disuruh pergi dengan tangan hampa. Kidung Magnificat mengajak orang-orang yang merasa beruntung diberkati oleh Tuhan dengan kelebihan bukan untuk menikmatinya melainkan untuk memungkinkan sesama ikut beruntung. Di sini tidak ditawarkan sebuah teologi penjungkirbalikan nasib, melainkan pelurusan hakikat kehidupan sendiri.

Kepercayaan akan kebesaran Tuhan tidak bisa dipakai begitu saja untuk memerangi ketimpangan sosial yang mengakibatkan adanya ketidakadilan yang melembaga. Namun demikian, kepercayaan ini dapat membuat manusia makin peka dan mencari jalan memperbaiki kemanusiaan sendiri. Keterbukaan kepada dimensi ilahi akan membuat orang makin lurus.

Memelihara Firman Allah

Bacaan Injil dalam misa vigilia perayaan Maria diangkat ke surga menyebutkan orang yang menyebut wanita yang melahirkannya berbahagia (Luk 11:27). Namun Yesus menambah dalam ayat selanjutnya, “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Alah dan yang memeliharanya.” Kata Indonesia “memelihara” ini dengan tepat mengutarakan kembali ungkapan aslinya yang memuat pengertian menjaga, menelateni, membesarkan. Agak disentuh teologi sabda seperti diutarakan dalam pembukaan Injil Yohanes. Yang menarik ialah penekanan kepada kegiatan pihak manusia. Dikatakan manusia memelihara sabda Allah yang didengarkan. Berarti sabda itu juga bisa berkembang dalam diri manusia dan bahkan menjadi bagian kehidupannya. Maria ialah salah satu yang menjalankannya. Seperti diutarakan dalam Luk 1:38 “Terjadilah padaku menurut perkataanmu itu”, sabda Allah yang dibawakan malaikat kepadanya menjadi kehidupan karena diterimanya dan dikandungnya. Dan Maria melahirkannya tadi dalam ujud manusia. Kata-kata Yesus yang diteruskan dalam Luk 11:28 tadi memperjelas apa artinya berbahagia karena bisa melahirkan dan membesarkannya. Maria berbahagia karena ia mendengarkan firman Alah serta memeliharanya.


Salam hangat,

No comments:

Post a Comment