Minggu Biasa XX/A - HARI RAYA MARIA DIANGKAT KE SURGA (Luk 1:39-56; Sabtu
petang Luk 11:27-28)
09 Agustus 2011 07:17
Meskipun sudah dirayakan sejak abad ke-4, baru pada tahun 1950-lah
pengangkatan Maria ke surga jiwa dan badan ditegaskan secara resmi sebagai
bagian ajaran kepercayaan iman. Sekitar awal abad ke-20 di beberapa kalangan
para teolog berkembang aliran berpikir yang pada dasarnya menolak hal-hal
yang tak bisa diterangkan dengan akal budi dan pengetahuan pada waktu itu.
Pendapat seperti ini meluas pengaruhnya dalam Gereja, juga di kalangan para
rohaniwan. Salah satu akibat dari cara berpikir tadi ialah penolakan adanya
sisi-sisi keramat dalam kehidupan, termasuk hal-hal yang biasa disebut
mukjizat, dan tentu saja tradisi mengenai Maria diangkat ke surga langsung
sesudah wafatnya. Tetapi pengalaman pahit dalam dua perang dunia mengajarkan
betapa orang sesungguhnya tidak berdaya menghadapi sisi-sisi gelap
kemanusiaan sendiri. Berangsur-angsur ketergantungan pada kekuatan ilahi
semakin disadari kembali. Dalam hubungan ini penegasan kepercayaan Maria
diangkat ke surga jiwa dan badan itu menjadi pernyataan resmi iman Gereja
dalam menerima kenyataan mukjizat yang terjadi pada Maria.
MARIA DIANGKAT KE SURGA
Merayakan peristiwa Maria diangkat ke surga dapat menjadi ungkapan
kepercayaan akan masa depan kemanusiaan sendiri. Pada satu saat nanti umat
manusia seluruhnya akan kembali berada bersama dengan Tuhan di surga. Hal
ini sering digambarkan bakal terjadi lewat "pemurnian" dengan pelbagai cara
seperti halnya tempat penantian, pengadilan terakhir yang memisahkan orang
baik dari orang jahat, atau pembersihan jiwa kedosaan. Inti pemikirannya
sama, yakni satu ketika nanti kita akan pulih menjadi warga Firdaus kembali
dan masuk ke sana. Dan kita percaya bahwa itu dapat terjadi karena salah
satu dari kemanusiaan, yakni Maria, sudah ada di sana dan kini ia
melantarkan doa-doa permohonan dari yang biasa hingga yang amat khusus
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Kita acap kali menyadari bahwa Tuhan lebih
mendengarkan kita - berkat Maria - daripada kita mendengarkanNya. Maria tahu
jalan-jalan menyampaikan doa kita kepada Yang Mahakuasa.
Diceritakan dalam Kitab Kejadian, manusia dan istrinya diusir dari Firdaus
karena melanggar larangan memakan buah pengetahuan baik dan buruk. Ini dosa.
Dosa membuat kemanusiaan merosot. Sebelumnya mereka akrab dengan dunia
ilahi, dapat bercakap-cakap dengan Tuhan. Manusia merasa aman di hadapanNya.
Tapi begitu mereka sadar telah melanggar larangannya mereka takut bertemu
denganNya dan menyembunyikan diri. Rasa saling percaya rusak dan tidak lagi
mereka dapat berdiam di Firdaus. Tuhan mengusir mereka dan bahkan
menempatkan malaikat penjaga berpedang api agar mereka tak bisa mendekat ke
pohon kehidupan. Manusia kini harus berjerih payah mencari makan agar hidup
terus. Istrinya harus menderita tiap kali mau menjadi ibu. Dan penggoda
mereka, ular, dikutuk jalan melata. Tapi juga dikatakan seorang keturunan
perempuan yang diperdayakannya itu nanti akan meremukkan kepalanya. Ini
semuanya ada dalam Kitab Kejadian 3.
Mari kita bayangkan kelanjutan yang tidak diceritakan dalam Alkitab, tapi
bisa kita rasa-rasakan. Setelah mengusir manusia dari Firdaus, Tuhan pun
menghela nafas. Dan semua penghuni surga pun tertunduk diam. Seluruh Firdaus
seperti berkabung. Dan memang suasana ini membuat Tuhan merasa kesepian.
Suatu hari Ia mengambil keputusan untuk turun ke dunia mencari manusia yang
sudah diusirNya. Ia mengubah diri menjadi suara batin yang ada dalam diri
manusia. Dengan demikian, manusia diam-diam dituntunNya melangkah, mungkin
dengan jatuh bangun, pada jalan kembali ke Firdaus, lewat jalan lain yang
tidak dijaga malaikat berpedang api. Begitulah Ia berharap satu ketika nanti
manusia akan bisa berada kembali di surga mengusir suasana murung untuk
selama-lamanya.
Hari ini dirayakan kembalinya satu dari keturunan yang telah terusir dari
Firdaus tadi. Bukan itu saja. Dirayakan pulihnya suasana gembira di surga.
Dirayakan kebesaran Tuhan yang dapat membawa kembali kemanusiaan ke sana.
Dirayakan pula kemampuan manusia untuk bekerja sama dengan Tuhan. Dirayakan
seorang yang hidup tulus mengikuti suara batin, yang membiarkan diri
dituntun suara batin. Dan lebih dari itu. Kandungan suara batinnya itu
menjadi darah daging juga - menjadi manusia. Manusia pertama yang bangkit
dari kematian dan naik ke surga. Yesus dan dia yang kini mengisi surga
dengan kegembiraan. Dia itulah yang menuntun manusia kembali ke sana.
Sebagai Guru. Sebagai Gembala yang baik. Sebagai Penyelamat. Tak
mengherankan yang pernah membawanya masuk ke dunia ini dengan sendirinya
ikut terbawa kembali ke surga. Dia itu Maria, ibu Yesus.
MAGNIFICAT!
Bacaan Injil pada perayaan ini (Luk 1:39-56) memuat dua bagian, yakni kisah
Maria mengunjungi Elisabet (ay. 39-45) dan Kidung Pujian "Magnificat" (ay.
46-55) yang berakhir dengan ay. 56 sebagai penutup kisah. Bagian pertama
mengisahkan dua orang perempuan yang mendapati diri beruntung. Elisabet yang
termasuk kaum yang kena aib karena tidak mengandung sampai usia senja kini
akan melahirkan Yohanes Pembaptis. Dan dia yang masih ada dalam rahim itu
melonjak kegirangan mendengar salam yang diucapkan Maria yang datang
berkunjung. Maria sendiri harus melewati hari-hari tak enak memikirkan
bagaimana menjelaskan keadaan dirinya kepada Yusuf, tunangannya. Ia bertanya
kepada malaikat yang datang kepadanya, bagaimana mungkin semuanya terjadi.
Jawab malaikat menunjuk pada peran Roh Kudus. Begitulah kisah yang
disampaikan kepada kita oleh Lukas. Dan kelanjutannya kita ketahui. Maria
membiarkan Roh Kudus bekerja dalam dirinya. Itu dia Tuhan yang mengubah diri
menjadi suara hati manusia. Dan suara hatinya itu jugalah yang membuatnya
berkata "Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu!"
Roh yang sama itu juga yang membuat Maria mengungkapkan pujian yang
dibacakan hari ini. Kidung itu mulai pada ay. 46 dengan pujian bagi Tuhan
yang turun untuk menyelamatkan. Ia membuat hidup ini berarti. Ia membuat
penderitaan bermakna. Kemudian dalam ay. 48 terungkap pengakuan bahwa Tuhan
menyayangi orang-orang yang kecil sehingga mereka menjadi besar di mata
orang. Tak perlu kita tafsirkan ini sebagai teologi pembalikan nasib orang
miskin jadi kaya dan orang kaya jadi melarat. Ayat itu mewartakan kebesaran
Tuhan yang tidak takut berdekatan dengan orang kecil, bukan karena tindakan
ini romantik, ideal, melainkan karena orang kecil itu dapat memberinya
naungan dan mengurangi kesepiannya! Orang sederhana biasanya ingat Tuhan dan
itu cukup membuatNya menemukan kembali secercah kegembiraan yang telah
hilang dari surga dulu. Ini teologi sehari-hari.
Ayat-ayat selanjutnya, yakni 49-55, berupa pembacaan kembali sejarah
terjadinya umat Israel. Ditekankan tindakan-tindakan hebat Tuhan yang
membela orang-orang yang dikasihiNya di hadapan pihak-pihak yang mau
menindas mereka. Puji-pujian yang terungkap dalam Magnificat ini senada
dengan ungkapan kegembiraan dan kepercayaan akan perlindungan ilahi seperti
terdapat dalam Kidung Hana dalam 1Sam 2:1-10.
Sering ada anggapan bahwa penderitaan, kemelaratan, ketidakberuntungan, aib,
semuanya ini dikenakan sebagai hukuman bagi kesalahan. Juga dianggap bahwa
hukuman bisa juga diturunkan kepada keturunan orang yang bersalah. Dosa
menurun, hukuman berkelanjutan. Dalam Kidung Magnificat pendapat seperti ini
tidak diikuti. Malah ditegaskan bahwa Tuhan membela orang yang percaya
kepadanya yang meminta pertolongan dariNya. Bagaimana dengan orang yang
hidupnya beruntung, menikmati kelebihan, tidak kurang suatu apa? Apakah
mereka itu akan dikenai malapetaka? Kiranya bukan itulah yang dimaksud.
Orang-orang yang beruntung dihimbau agar mengambil sikap seperti Tuhan
sendiri, yakni memperhatikan mereka yang kurang beruntung. Sama sekali
bertolak belakang bila orang membiarkan kekayaan, kedudukan, kepintaran
membuat sesama yang kurang beruntung menjadi terpojok atau kurang mendapat
kesempatan untuk maju. Inilah yang kiranya hendak disampaikan dalam ay.
52-53 yang mengatakan bahwa orang congkak hati akan diceraiberaikan, orang
berkedudukan akan direndahkan, orang kaya akan disuruh pergi dengan tangan
hampa. Kidung Magnificat mengajak orang-orang yang merasa beruntung
diberkati oleh Tuhan dengan kelebihan bukan untuk menikmatinya melainkan
untuk memungkinkan sesama ikut beruntung. Di sini tidak ditawarkan sebuah
teologi penjungkirbalikan nasib, melainkan pelurusan hakikat kehidupan
sendiri.
Kepercayaan akan kebesaran Tuhan tidak bisa diterapkan begitu saja untuk
memerangi ketimpangan sosial yang mengakibatkan adanya ketidakadilan yang
melembaga. Namun demikian, kepercayaan ini dapat membuat manusia makin peka
dan mencari jalan memperbaiki kemanusiaan sendiri. Keterbukaan kepada
dimensi ilahi akan membuat orang makin lurus.
MEMELIHARA FIRMAN ALLAH
Dalam bacaan Injil dalam Misa Vigilia (Luk 11:27-28) disebutkan ada seorang
perempuan yang menyebut bahagia ibu yang melahirkan Yesus (Luk 11:27). Yesus
menambahkan, "Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah
dan yang memeliharanya." Kata Indonesia "memelihara" ini dengan tepat
mengutarakan kembali ungkapan aslinya yang memuat pengertian menjaga,
menelateni, membesarkan. Agak disentuh teologi sabda seperti diutarakan
dalam pembukaan Injil Yohanes. Yang menarik ialah adanya penekanan pada
kegiatan pihak manusia. Dikatakan manusia memelihara sabda Allah. Berarti
sabda itu juga bisa berkembang dalam diri manusia dan bahkan menjadi bagian
kehidupannya. Maria ialah salah satu yang menjalankannya. Seperti diutarakan
dalam Luk 1:38 "Terjadilah padaku menurut perkataanmu itu", sabda Allah yang
dibawakan malaikat kepadanya menjadi kehidupan karena diterimanya dan
dikandungnya. Dan Maria melahirkannya tadi dalam ujud manusia. Kata-kata
Yesus yang diteruskan dalam Luk 11:28 tadi memperjelas apa artinya
berbahagia karena bisa melahirkan dan membesarkannya. Maria berbahagia
karena ia mendengarkan firman Allah serta memeliharanya.
Salam hangat,
A. Gianto
09 Agustus 2011 07:17
Meskipun sudah dirayakan sejak abad ke-4, baru pada tahun 1950-lah
pengangkatan Maria ke surga jiwa dan badan ditegaskan secara resmi sebagai
bagian ajaran kepercayaan iman. Sekitar awal abad ke-20 di beberapa kalangan
para teolog berkembang aliran berpikir yang pada dasarnya menolak hal-hal
yang tak bisa diterangkan dengan akal budi dan pengetahuan pada waktu itu.
Pendapat seperti ini meluas pengaruhnya dalam Gereja, juga di kalangan para
rohaniwan. Salah satu akibat dari cara berpikir tadi ialah penolakan adanya
sisi-sisi keramat dalam kehidupan, termasuk hal-hal yang biasa disebut
mukjizat, dan tentu saja tradisi mengenai Maria diangkat ke surga langsung
sesudah wafatnya. Tetapi pengalaman pahit dalam dua perang dunia mengajarkan
betapa orang sesungguhnya tidak berdaya menghadapi sisi-sisi gelap
kemanusiaan sendiri. Berangsur-angsur ketergantungan pada kekuatan ilahi
semakin disadari kembali. Dalam hubungan ini penegasan kepercayaan Maria
diangkat ke surga jiwa dan badan itu menjadi pernyataan resmi iman Gereja
dalam menerima kenyataan mukjizat yang terjadi pada Maria.
MARIA DIANGKAT KE SURGA
Merayakan peristiwa Maria diangkat ke surga dapat menjadi ungkapan
kepercayaan akan masa depan kemanusiaan sendiri. Pada satu saat nanti umat
manusia seluruhnya akan kembali berada bersama dengan Tuhan di surga. Hal
ini sering digambarkan bakal terjadi lewat "pemurnian" dengan pelbagai cara
seperti halnya tempat penantian, pengadilan terakhir yang memisahkan orang
baik dari orang jahat, atau pembersihan jiwa kedosaan. Inti pemikirannya
sama, yakni satu ketika nanti kita akan pulih menjadi warga Firdaus kembali
dan masuk ke sana. Dan kita percaya bahwa itu dapat terjadi karena salah
satu dari kemanusiaan, yakni Maria, sudah ada di sana dan kini ia
melantarkan doa-doa permohonan dari yang biasa hingga yang amat khusus
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Kita acap kali menyadari bahwa Tuhan lebih
mendengarkan kita - berkat Maria - daripada kita mendengarkanNya. Maria tahu
jalan-jalan menyampaikan doa kita kepada Yang Mahakuasa.
Diceritakan dalam Kitab Kejadian, manusia dan istrinya diusir dari Firdaus
karena melanggar larangan memakan buah pengetahuan baik dan buruk. Ini dosa.
Dosa membuat kemanusiaan merosot. Sebelumnya mereka akrab dengan dunia
ilahi, dapat bercakap-cakap dengan Tuhan. Manusia merasa aman di hadapanNya.
Tapi begitu mereka sadar telah melanggar larangannya mereka takut bertemu
denganNya dan menyembunyikan diri. Rasa saling percaya rusak dan tidak lagi
mereka dapat berdiam di Firdaus. Tuhan mengusir mereka dan bahkan
menempatkan malaikat penjaga berpedang api agar mereka tak bisa mendekat ke
pohon kehidupan. Manusia kini harus berjerih payah mencari makan agar hidup
terus. Istrinya harus menderita tiap kali mau menjadi ibu. Dan penggoda
mereka, ular, dikutuk jalan melata. Tapi juga dikatakan seorang keturunan
perempuan yang diperdayakannya itu nanti akan meremukkan kepalanya. Ini
semuanya ada dalam Kitab Kejadian 3.
Mari kita bayangkan kelanjutan yang tidak diceritakan dalam Alkitab, tapi
bisa kita rasa-rasakan. Setelah mengusir manusia dari Firdaus, Tuhan pun
menghela nafas. Dan semua penghuni surga pun tertunduk diam. Seluruh Firdaus
seperti berkabung. Dan memang suasana ini membuat Tuhan merasa kesepian.
Suatu hari Ia mengambil keputusan untuk turun ke dunia mencari manusia yang
sudah diusirNya. Ia mengubah diri menjadi suara batin yang ada dalam diri
manusia. Dengan demikian, manusia diam-diam dituntunNya melangkah, mungkin
dengan jatuh bangun, pada jalan kembali ke Firdaus, lewat jalan lain yang
tidak dijaga malaikat berpedang api. Begitulah Ia berharap satu ketika nanti
manusia akan bisa berada kembali di surga mengusir suasana murung untuk
selama-lamanya.
Hari ini dirayakan kembalinya satu dari keturunan yang telah terusir dari
Firdaus tadi. Bukan itu saja. Dirayakan pulihnya suasana gembira di surga.
Dirayakan kebesaran Tuhan yang dapat membawa kembali kemanusiaan ke sana.
Dirayakan pula kemampuan manusia untuk bekerja sama dengan Tuhan. Dirayakan
seorang yang hidup tulus mengikuti suara batin, yang membiarkan diri
dituntun suara batin. Dan lebih dari itu. Kandungan suara batinnya itu
menjadi darah daging juga - menjadi manusia. Manusia pertama yang bangkit
dari kematian dan naik ke surga. Yesus dan dia yang kini mengisi surga
dengan kegembiraan. Dia itulah yang menuntun manusia kembali ke sana.
Sebagai Guru. Sebagai Gembala yang baik. Sebagai Penyelamat. Tak
mengherankan yang pernah membawanya masuk ke dunia ini dengan sendirinya
ikut terbawa kembali ke surga. Dia itu Maria, ibu Yesus.
MAGNIFICAT!
Bacaan Injil pada perayaan ini (Luk 1:39-56) memuat dua bagian, yakni kisah
Maria mengunjungi Elisabet (ay. 39-45) dan Kidung Pujian "Magnificat" (ay.
46-55) yang berakhir dengan ay. 56 sebagai penutup kisah. Bagian pertama
mengisahkan dua orang perempuan yang mendapati diri beruntung. Elisabet yang
termasuk kaum yang kena aib karena tidak mengandung sampai usia senja kini
akan melahirkan Yohanes Pembaptis. Dan dia yang masih ada dalam rahim itu
melonjak kegirangan mendengar salam yang diucapkan Maria yang datang
berkunjung. Maria sendiri harus melewati hari-hari tak enak memikirkan
bagaimana menjelaskan keadaan dirinya kepada Yusuf, tunangannya. Ia bertanya
kepada malaikat yang datang kepadanya, bagaimana mungkin semuanya terjadi.
Jawab malaikat menunjuk pada peran Roh Kudus. Begitulah kisah yang
disampaikan kepada kita oleh Lukas. Dan kelanjutannya kita ketahui. Maria
membiarkan Roh Kudus bekerja dalam dirinya. Itu dia Tuhan yang mengubah diri
menjadi suara hati manusia. Dan suara hatinya itu jugalah yang membuatnya
berkata "Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu!"
Roh yang sama itu juga yang membuat Maria mengungkapkan pujian yang
dibacakan hari ini. Kidung itu mulai pada ay. 46 dengan pujian bagi Tuhan
yang turun untuk menyelamatkan. Ia membuat hidup ini berarti. Ia membuat
penderitaan bermakna. Kemudian dalam ay. 48 terungkap pengakuan bahwa Tuhan
menyayangi orang-orang yang kecil sehingga mereka menjadi besar di mata
orang. Tak perlu kita tafsirkan ini sebagai teologi pembalikan nasib orang
miskin jadi kaya dan orang kaya jadi melarat. Ayat itu mewartakan kebesaran
Tuhan yang tidak takut berdekatan dengan orang kecil, bukan karena tindakan
ini romantik, ideal, melainkan karena orang kecil itu dapat memberinya
naungan dan mengurangi kesepiannya! Orang sederhana biasanya ingat Tuhan dan
itu cukup membuatNya menemukan kembali secercah kegembiraan yang telah
hilang dari surga dulu. Ini teologi sehari-hari.
Ayat-ayat selanjutnya, yakni 49-55, berupa pembacaan kembali sejarah
terjadinya umat Israel. Ditekankan tindakan-tindakan hebat Tuhan yang
membela orang-orang yang dikasihiNya di hadapan pihak-pihak yang mau
menindas mereka. Puji-pujian yang terungkap dalam Magnificat ini senada
dengan ungkapan kegembiraan dan kepercayaan akan perlindungan ilahi seperti
terdapat dalam Kidung Hana dalam 1Sam 2:1-10.
Sering ada anggapan bahwa penderitaan, kemelaratan, ketidakberuntungan, aib,
semuanya ini dikenakan sebagai hukuman bagi kesalahan. Juga dianggap bahwa
hukuman bisa juga diturunkan kepada keturunan orang yang bersalah. Dosa
menurun, hukuman berkelanjutan. Dalam Kidung Magnificat pendapat seperti ini
tidak diikuti. Malah ditegaskan bahwa Tuhan membela orang yang percaya
kepadanya yang meminta pertolongan dariNya. Bagaimana dengan orang yang
hidupnya beruntung, menikmati kelebihan, tidak kurang suatu apa? Apakah
mereka itu akan dikenai malapetaka? Kiranya bukan itulah yang dimaksud.
Orang-orang yang beruntung dihimbau agar mengambil sikap seperti Tuhan
sendiri, yakni memperhatikan mereka yang kurang beruntung. Sama sekali
bertolak belakang bila orang membiarkan kekayaan, kedudukan, kepintaran
membuat sesama yang kurang beruntung menjadi terpojok atau kurang mendapat
kesempatan untuk maju. Inilah yang kiranya hendak disampaikan dalam ay.
52-53 yang mengatakan bahwa orang congkak hati akan diceraiberaikan, orang
berkedudukan akan direndahkan, orang kaya akan disuruh pergi dengan tangan
hampa. Kidung Magnificat mengajak orang-orang yang merasa beruntung
diberkati oleh Tuhan dengan kelebihan bukan untuk menikmatinya melainkan
untuk memungkinkan sesama ikut beruntung. Di sini tidak ditawarkan sebuah
teologi penjungkirbalikan nasib, melainkan pelurusan hakikat kehidupan
sendiri.
Kepercayaan akan kebesaran Tuhan tidak bisa diterapkan begitu saja untuk
memerangi ketimpangan sosial yang mengakibatkan adanya ketidakadilan yang
melembaga. Namun demikian, kepercayaan ini dapat membuat manusia makin peka
dan mencari jalan memperbaiki kemanusiaan sendiri. Keterbukaan kepada
dimensi ilahi akan membuat orang makin lurus.
MEMELIHARA FIRMAN ALLAH
Dalam bacaan Injil dalam Misa Vigilia (Luk 11:27-28) disebutkan ada seorang
perempuan yang menyebut bahagia ibu yang melahirkan Yesus (Luk 11:27). Yesus
menambahkan, "Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah
dan yang memeliharanya." Kata Indonesia "memelihara" ini dengan tepat
mengutarakan kembali ungkapan aslinya yang memuat pengertian menjaga,
menelateni, membesarkan. Agak disentuh teologi sabda seperti diutarakan
dalam pembukaan Injil Yohanes. Yang menarik ialah adanya penekanan pada
kegiatan pihak manusia. Dikatakan manusia memelihara sabda Allah. Berarti
sabda itu juga bisa berkembang dalam diri manusia dan bahkan menjadi bagian
kehidupannya. Maria ialah salah satu yang menjalankannya. Seperti diutarakan
dalam Luk 1:38 "Terjadilah padaku menurut perkataanmu itu", sabda Allah yang
dibawakan malaikat kepadanya menjadi kehidupan karena diterimanya dan
dikandungnya. Dan Maria melahirkannya tadi dalam ujud manusia. Kata-kata
Yesus yang diteruskan dalam Luk 11:28 tadi memperjelas apa artinya
berbahagia karena bisa melahirkan dan membesarkannya. Maria berbahagia
karena ia mendengarkan firman Allah serta memeliharanya.
Salam hangat,
A. Gianto
No comments:
Post a Comment