Injil Minggu Biasa XXIV/A 11 Sept 2011 (Mat 18: 18:21-35)
Rekan-rekan!
Injil Minggu Biasa XXIV tahun A (Mat 18:21-35) kembali berbicara mengenai
pengampunan. Kali ini Petrus bertanya sampai berapa kalikah pengampunan bisa
diberikan. Pada dasarnya jawaban Yesus hendak mengatakan, tak usah
menghitung-hitung, lakukan terus saja. Kemudian ia menceritakan perumpamaan
untuk menjelaskan mengapa sikap pengampun perlu ditumbuhkan (ay. 23-35).
Pembaca setapak demi setapak dituntun agar menyadari mengapa sikap
mengampuni dengan ikhlas itu wajar. Tapi juga yang wajar inilah yang akan
membuat Kerajaan Surga semakin nyata.
SAMPAI TUJUH PULUH KALI TUJUH KALI
GUS: Matt, apa sih maksud "7 kali" dan "70 kali 7 kali" dalam pembicaraan
antara Petrus dan Yesus?
MATT: Itu gaya berungkap orang Yahudi dulu. Ingat Kej 4:24? Membunuh nyawa
Kain akan mendatangkan balasan "tujuh kali lipat", tetapi kejahatan terhadap
nyawa Lamekh, keturunan Kain, bakal dibalas bahkan sampai tujuh puluh tujuh
kali lipat.
GUS: Kain kan bersalah membunuh Habel, adiknya, karena dengki.
MATT: Benar. Tetapi ia kan ditandai Allah agar nyawanya tidak
diganggu-gugat. Yang membunuhnya untuk membalas dendam akan kena hukuman
balas sampai tujuh kali lipat (Kej 4:15), maksudnya sampai penuh. Lamekh
juga membunuh orang yang melukainya (Kej 4:23), katakan saja untuk membela
diri, bukan karena dengki seperti Kain. Dan siapa membalas dendam dengan
mengakhiri nyawa Lamekh akan terkena hukuman yang tak terperi besarnya -
tujuh puluh tujuh kali lipat - tanpa batas.
GUS: Jadi orang Perjanjian Lama mulai sadar bahwa kebiasaan balas dendam
tidak boleh dilanjut-lanjutkan, dan bila dilakukan malah akan memperburuk
keadaan.
MATT: Persis. Kembali ke pertanyaan Petrus. Kata-katanya menggemakan upaya
membatasi sikap balas dendam tadi. Bila seorang saudara menyalahi untuk
pertama kalinya, ditolerir saja dah, begitu juga untuk kedua kalinya, dan
seterusnya sampai ketujuh kalinya. Tapi sesudah tujuh kali dianggap kelewat
batas dan tak perlu diampuni lagi! Amat longgar, walau masih tetap ada
batasnya. Tetapi Yesus hendak mengatakan semua itu tak cukup. Orang mesti
berani mengampuni sampai "tujuh puluh kali tujuh kali", artinya, tak
berbatas. Malah tak usah memikirkan sampai mana. Sikap pengampun jadi sikap
hidup.
GUS: Kalau begitu, pengampunan tak berbatas itu kutub lain dari gagasan yang
mendasari ancaman balasan hukuman yang tak berbatas seperti dalam seruan
Lamekh tadi.
MATT: Tapi sebenarnya pusat perhatian Injil lebih dalam daripada mengampuni
tanpa batas tok. Kan sudah diandaikan para murid punya sikap itu.
GUS: Lho lalu apa?
MATT: Begini, sikap pengampun memungkinkan Kerajaan Surga menjadi nyata di
muka bumi ini. Itu tujuan Mat 18:23-35.
GUS: Dalam Sabda Bahagia antara lain disebutkan, orang yang berbelaskasihan
itu orang bahagia, karena mereka sendiri akan memperoleh belas kasihan (Mat
5:7). Katanya begitulah cara hidup di dalam Kerajaan Surga. Bolehkah
disebutkan, di muka bumi Kerajaan ini baru terasa betul nyata bila ada sikap
belas kasihan satu sama lain?
MATT: Benar. Kerajaan Surga memang sudah datang, tapi baru bertumbuh dan
betul-betul bisa disebut membahagiakan bila yang mempercayainya juga ikut
mengusahakannya. Yesus memahami sikap pengampun bukan sebagai kelonggaran
hati atau kebaikan semata-mata, melainkan sebagai upaya ikut memungkinkan
agar Kerajaan Surga menjadi kenyataan, bukan angan-angan belaka.
GUS: Doa Bapa Kami (Mat 6:9-13) berawal dengan seruan pujian bagi nama Allah
Yang Mahakuasa sebagai Bapa dan diteruskan dengan permohonan agar
KerajaanNya datang dan kehendakNya terlaksana dan permintaan agar diberi
kekuatan cukup untuk hidup dari hari ke hari.
MATT: Dan baru setelah itu, dalam Mat 6:12, disampaikan permohonan agar
kesalahan "kami" diampuni "seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada
kami". Jelas kan? Ukuran bagi dikabulkan tidaknya permintaan ampun tadi
ialah kesediaan mengampuni saudara yang kita rasa menyalahi kita.
GUS: Rasa-rasanya Yesus hendak menggugah kesadaran bahwa pengampunan hanya
mungkin bila disertai kesediaan seperti terungkap dalam doa Bapa Kami tadi.
MAKNA PERUMPAMAAN
Petikan hari ini juga memuat sebuah perumpamaan (ay. 23-35). Pada bagian
pertama (ay. 23-27) digambarkan kebesaran raja yang pengampun terhadap
hambanya yang tak dapat membayar hutangnya yang amat besar - 10.000 talenta.
Dalam keadaan biasa hamba itu mesti dijual untuk menebus hutangnya, begitu
juga anak dan istrinya serta seluruh harta miliknya. Tetapi ia meminta
kelonggaran. Ia mohon agar raja bersabar. Dan sang raja tergerak hatinya dan
malah menghapus hutang yang besar itu. Raja itu sanggup merugi karena mau
sungguh-sungguh menunjukkan belas kasih terhadap hamba yang kesempitan itu.
Siapakah raja itu? Mungkin kita cepat-cepat menganggapnya ibarat bagi Allah
yang berbelas kasih. Tapi pemahaman ini tidak amat jitu. Matius sendiri
memberi isyarat bahwa bukan itulah maksudnya. Pada awal perumpamaan itu,
disebutkan Kerajaan Surga itu seumpama "seorang raja" (ay. 23). Dalam teks
Matius dipakai ungkapan "anthropos basileus", harfiahnya, "manusia yang
berkedudukan sebagai raja" dan juga "raja yang tetap manusiawi". Memang
boleh dimengerti bahwa ungkapan itu mencerminkan gaya bahasa Semit dan
"manusia" di situ berarti "seorang", tak penting siapa. Bagaimanapun juga,
hendak ditonjolkan bahwa tokoh ybs. itu orang, manusia seperti orang lain,
sesama yang saudara, walau beda kedudukannya.
Gagasan di atas bisa diterapkan kepada siapa saja yang mempunyai kuasa atas
orang lain. Jadi yang hendak ditampilkan ialah kebesaran orang yang
berkedudukan. Makin tinggi kedudukannya makin patutlah ia menunjukkan
kemurahan hati terhadap yang dibawahinya. Kan pada dasarnya sama-sama
manusia. Makin beruntung makin boleh diharapkan sanggup merugi, sanggup
kehilangan sebagian miliknya, sebesar apapun, agar membuat orang bisa ikut
merasakan keberuntungan. Ini keluhurannya. Berapa yang dilepaskannya? Amat
besar. Satu talenta nilainya antara 6.000 hingga 10.000 dinar. Dan satu
dinar ialah upah buruh harian sehari. Maka sepuluh ribu talenta itu jumlah
yang amat besar. Makin beruntung orang makin diharapkan dapat menyelami
keadaan orang yang sedang bernasib malang. Cara berpikir demikian
ditonjolkan. Mengapa? Kiranya memang ada kesadaran bahwa setinggi apapun,
sekaya apapun, orang tetap sesama bagi orang lain. Tapi juga semalang
apapun, seterpuruk apapun keadaan sosialnya, orang tetap bisa mengharapkan
bantuan dari saudara yang lebih beruntung. Inilah yang bakal membuat
Kerajaan Surga menjadi kenyataan di dunia ini juga. Ini spiritualitas
Matius, ini ajaran rohani Injilnya.
Ringkasnya, bagian pertama perumpamaan itu dimaksud untuk menunjukkan bahwa
Kerajaan Surga dibangun atas dasar kesediaan mereka yang berkelebihan untuk
berbagi dengan yang kurang beruntung. Dimensi horisontal Kerajaan Surga
digarisbawahi dengan jelas.
Pada bagian kedua muncul gambaran yang berkontras. Hamba yang dihapus
hutangnya itu tidak mau meneruskan berbelaskasihan yang dialaminya kepada
rekannya yang berhutang kepadanya seratus dinar saja. Jadi hanya
seperseratus dari hutangnya sendiri. Permintaan rekannya tak digubris. Bisa
dicatat, tindakan bersujud dan permintaan kelonggaran rekan ini (ay. 29)
sama dengan yang diucapkannya sendiri di hadapan raja majikannya tadi (ay.
26). Tetapi ia tetap tidak mau berbagi keberuntungan. Rekannya
dijebloskannya ke penjara. Ada ironi. Tadi atasan bersikap longgar. Kini
rekan sekerja kok malah berlaku kejam!
Dalam ay. 31 ada hal yang menarik. Rekan-rekan sekerja lain yang menyaksikan
perlakuan kejam tadi menjadi sedih dan melaporkan kejadian itu kepada raja
sang majikan hamba yang hutangnya dihapus tadi. Para rekan ini bukan hanya
sekadar tambahan cerita. Mereka berperan sebagai suara hati yang masih peka
akan keadilan, peka akan kewajiban moral. Dan kepekaan ini menjadi
keberanian bersuara mengungkapkan ketidakberesan. Tapi hamba yang kejam tak
mau melihat semua ini. Ia tak mau bertindak seperti tuannya. Akhirnya ia
sendiri tersiksa sampai ia melunasi hutangnya yang amat besar itu. Apa
kesalahannya? Ia menolak menjadi saudara bagi rekan sekerjanya. Dan lebih
dari itu, ia juga menolak menjadi saudara bagi tuannya sendiri.
ARAH KE DALAM DAN KE LUAR
Perumpamaan itu berakhir dengan perkataan berikut (ay. 35): "Demikianlah
juga yang akan diperbuat oleh Bapaku yang ada di surga terhadap kamu bila
kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Terasa
gema permintaan ampun dalam Bapa Kami dan Sabda Bahagia. Keikhlasan
mengampuni kiranya menjadi tolok ukur integritas murid-murid Yesus. Dan juga
menjadi cara hidup para pengikutnya.
Petrus bertanya tentang mengampuni "saudara" - dan tidak dipakai kata
"sesama". Begitu pula perkataan Yesus di atas. Seperti disinggung minggu
lalu, "saudara" memang juga sesama, tapi lebih bersangkutan dengan upaya
membangun umat dari dalam daripada menggarap kehidupan di masyarakat luas.
Tidak semua hal digariskan Injil walau semangatnya bisa berlaku umum. Tetapi
diamnya Injil itu menjadi ajakan agar umat mencari jalan bersama dengan
unsur-unsur lain di masyarakat luas dalam upaya membuat kemanusiaan semakin
pantas.
Salam,
A. Gianto
Rekan-rekan!
Injil Minggu Biasa XXIV tahun A (Mat 18:21-35) kembali berbicara mengenai
pengampunan. Kali ini Petrus bertanya sampai berapa kalikah pengampunan bisa
diberikan. Pada dasarnya jawaban Yesus hendak mengatakan, tak usah
menghitung-hitung, lakukan terus saja. Kemudian ia menceritakan perumpamaan
untuk menjelaskan mengapa sikap pengampun perlu ditumbuhkan (ay. 23-35).
Pembaca setapak demi setapak dituntun agar menyadari mengapa sikap
mengampuni dengan ikhlas itu wajar. Tapi juga yang wajar inilah yang akan
membuat Kerajaan Surga semakin nyata.
SAMPAI TUJUH PULUH KALI TUJUH KALI
GUS: Matt, apa sih maksud "7 kali" dan "70 kali 7 kali" dalam pembicaraan
antara Petrus dan Yesus?
MATT: Itu gaya berungkap orang Yahudi dulu. Ingat Kej 4:24? Membunuh nyawa
Kain akan mendatangkan balasan "tujuh kali lipat", tetapi kejahatan terhadap
nyawa Lamekh, keturunan Kain, bakal dibalas bahkan sampai tujuh puluh tujuh
kali lipat.
GUS: Kain kan bersalah membunuh Habel, adiknya, karena dengki.
MATT: Benar. Tetapi ia kan ditandai Allah agar nyawanya tidak
diganggu-gugat. Yang membunuhnya untuk membalas dendam akan kena hukuman
balas sampai tujuh kali lipat (Kej 4:15), maksudnya sampai penuh. Lamekh
juga membunuh orang yang melukainya (Kej 4:23), katakan saja untuk membela
diri, bukan karena dengki seperti Kain. Dan siapa membalas dendam dengan
mengakhiri nyawa Lamekh akan terkena hukuman yang tak terperi besarnya -
tujuh puluh tujuh kali lipat - tanpa batas.
GUS: Jadi orang Perjanjian Lama mulai sadar bahwa kebiasaan balas dendam
tidak boleh dilanjut-lanjutkan, dan bila dilakukan malah akan memperburuk
keadaan.
MATT: Persis. Kembali ke pertanyaan Petrus. Kata-katanya menggemakan upaya
membatasi sikap balas dendam tadi. Bila seorang saudara menyalahi untuk
pertama kalinya, ditolerir saja dah, begitu juga untuk kedua kalinya, dan
seterusnya sampai ketujuh kalinya. Tapi sesudah tujuh kali dianggap kelewat
batas dan tak perlu diampuni lagi! Amat longgar, walau masih tetap ada
batasnya. Tetapi Yesus hendak mengatakan semua itu tak cukup. Orang mesti
berani mengampuni sampai "tujuh puluh kali tujuh kali", artinya, tak
berbatas. Malah tak usah memikirkan sampai mana. Sikap pengampun jadi sikap
hidup.
GUS: Kalau begitu, pengampunan tak berbatas itu kutub lain dari gagasan yang
mendasari ancaman balasan hukuman yang tak berbatas seperti dalam seruan
Lamekh tadi.
MATT: Tapi sebenarnya pusat perhatian Injil lebih dalam daripada mengampuni
tanpa batas tok. Kan sudah diandaikan para murid punya sikap itu.
GUS: Lho lalu apa?
MATT: Begini, sikap pengampun memungkinkan Kerajaan Surga menjadi nyata di
muka bumi ini. Itu tujuan Mat 18:23-35.
GUS: Dalam Sabda Bahagia antara lain disebutkan, orang yang berbelaskasihan
itu orang bahagia, karena mereka sendiri akan memperoleh belas kasihan (Mat
5:7). Katanya begitulah cara hidup di dalam Kerajaan Surga. Bolehkah
disebutkan, di muka bumi Kerajaan ini baru terasa betul nyata bila ada sikap
belas kasihan satu sama lain?
MATT: Benar. Kerajaan Surga memang sudah datang, tapi baru bertumbuh dan
betul-betul bisa disebut membahagiakan bila yang mempercayainya juga ikut
mengusahakannya. Yesus memahami sikap pengampun bukan sebagai kelonggaran
hati atau kebaikan semata-mata, melainkan sebagai upaya ikut memungkinkan
agar Kerajaan Surga menjadi kenyataan, bukan angan-angan belaka.
GUS: Doa Bapa Kami (Mat 6:9-13) berawal dengan seruan pujian bagi nama Allah
Yang Mahakuasa sebagai Bapa dan diteruskan dengan permohonan agar
KerajaanNya datang dan kehendakNya terlaksana dan permintaan agar diberi
kekuatan cukup untuk hidup dari hari ke hari.
MATT: Dan baru setelah itu, dalam Mat 6:12, disampaikan permohonan agar
kesalahan "kami" diampuni "seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada
kami". Jelas kan? Ukuran bagi dikabulkan tidaknya permintaan ampun tadi
ialah kesediaan mengampuni saudara yang kita rasa menyalahi kita.
GUS: Rasa-rasanya Yesus hendak menggugah kesadaran bahwa pengampunan hanya
mungkin bila disertai kesediaan seperti terungkap dalam doa Bapa Kami tadi.
MAKNA PERUMPAMAAN
Petikan hari ini juga memuat sebuah perumpamaan (ay. 23-35). Pada bagian
pertama (ay. 23-27) digambarkan kebesaran raja yang pengampun terhadap
hambanya yang tak dapat membayar hutangnya yang amat besar - 10.000 talenta.
Dalam keadaan biasa hamba itu mesti dijual untuk menebus hutangnya, begitu
juga anak dan istrinya serta seluruh harta miliknya. Tetapi ia meminta
kelonggaran. Ia mohon agar raja bersabar. Dan sang raja tergerak hatinya dan
malah menghapus hutang yang besar itu. Raja itu sanggup merugi karena mau
sungguh-sungguh menunjukkan belas kasih terhadap hamba yang kesempitan itu.
Siapakah raja itu? Mungkin kita cepat-cepat menganggapnya ibarat bagi Allah
yang berbelas kasih. Tapi pemahaman ini tidak amat jitu. Matius sendiri
memberi isyarat bahwa bukan itulah maksudnya. Pada awal perumpamaan itu,
disebutkan Kerajaan Surga itu seumpama "seorang raja" (ay. 23). Dalam teks
Matius dipakai ungkapan "anthropos basileus", harfiahnya, "manusia yang
berkedudukan sebagai raja" dan juga "raja yang tetap manusiawi". Memang
boleh dimengerti bahwa ungkapan itu mencerminkan gaya bahasa Semit dan
"manusia" di situ berarti "seorang", tak penting siapa. Bagaimanapun juga,
hendak ditonjolkan bahwa tokoh ybs. itu orang, manusia seperti orang lain,
sesama yang saudara, walau beda kedudukannya.
Gagasan di atas bisa diterapkan kepada siapa saja yang mempunyai kuasa atas
orang lain. Jadi yang hendak ditampilkan ialah kebesaran orang yang
berkedudukan. Makin tinggi kedudukannya makin patutlah ia menunjukkan
kemurahan hati terhadap yang dibawahinya. Kan pada dasarnya sama-sama
manusia. Makin beruntung makin boleh diharapkan sanggup merugi, sanggup
kehilangan sebagian miliknya, sebesar apapun, agar membuat orang bisa ikut
merasakan keberuntungan. Ini keluhurannya. Berapa yang dilepaskannya? Amat
besar. Satu talenta nilainya antara 6.000 hingga 10.000 dinar. Dan satu
dinar ialah upah buruh harian sehari. Maka sepuluh ribu talenta itu jumlah
yang amat besar. Makin beruntung orang makin diharapkan dapat menyelami
keadaan orang yang sedang bernasib malang. Cara berpikir demikian
ditonjolkan. Mengapa? Kiranya memang ada kesadaran bahwa setinggi apapun,
sekaya apapun, orang tetap sesama bagi orang lain. Tapi juga semalang
apapun, seterpuruk apapun keadaan sosialnya, orang tetap bisa mengharapkan
bantuan dari saudara yang lebih beruntung. Inilah yang bakal membuat
Kerajaan Surga menjadi kenyataan di dunia ini juga. Ini spiritualitas
Matius, ini ajaran rohani Injilnya.
Ringkasnya, bagian pertama perumpamaan itu dimaksud untuk menunjukkan bahwa
Kerajaan Surga dibangun atas dasar kesediaan mereka yang berkelebihan untuk
berbagi dengan yang kurang beruntung. Dimensi horisontal Kerajaan Surga
digarisbawahi dengan jelas.
Pada bagian kedua muncul gambaran yang berkontras. Hamba yang dihapus
hutangnya itu tidak mau meneruskan berbelaskasihan yang dialaminya kepada
rekannya yang berhutang kepadanya seratus dinar saja. Jadi hanya
seperseratus dari hutangnya sendiri. Permintaan rekannya tak digubris. Bisa
dicatat, tindakan bersujud dan permintaan kelonggaran rekan ini (ay. 29)
sama dengan yang diucapkannya sendiri di hadapan raja majikannya tadi (ay.
26). Tetapi ia tetap tidak mau berbagi keberuntungan. Rekannya
dijebloskannya ke penjara. Ada ironi. Tadi atasan bersikap longgar. Kini
rekan sekerja kok malah berlaku kejam!
Dalam ay. 31 ada hal yang menarik. Rekan-rekan sekerja lain yang menyaksikan
perlakuan kejam tadi menjadi sedih dan melaporkan kejadian itu kepada raja
sang majikan hamba yang hutangnya dihapus tadi. Para rekan ini bukan hanya
sekadar tambahan cerita. Mereka berperan sebagai suara hati yang masih peka
akan keadilan, peka akan kewajiban moral. Dan kepekaan ini menjadi
keberanian bersuara mengungkapkan ketidakberesan. Tapi hamba yang kejam tak
mau melihat semua ini. Ia tak mau bertindak seperti tuannya. Akhirnya ia
sendiri tersiksa sampai ia melunasi hutangnya yang amat besar itu. Apa
kesalahannya? Ia menolak menjadi saudara bagi rekan sekerjanya. Dan lebih
dari itu, ia juga menolak menjadi saudara bagi tuannya sendiri.
ARAH KE DALAM DAN KE LUAR
Perumpamaan itu berakhir dengan perkataan berikut (ay. 35): "Demikianlah
juga yang akan diperbuat oleh Bapaku yang ada di surga terhadap kamu bila
kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Terasa
gema permintaan ampun dalam Bapa Kami dan Sabda Bahagia. Keikhlasan
mengampuni kiranya menjadi tolok ukur integritas murid-murid Yesus. Dan juga
menjadi cara hidup para pengikutnya.
Petrus bertanya tentang mengampuni "saudara" - dan tidak dipakai kata
"sesama". Begitu pula perkataan Yesus di atas. Seperti disinggung minggu
lalu, "saudara" memang juga sesama, tapi lebih bersangkutan dengan upaya
membangun umat dari dalam daripada menggarap kehidupan di masyarakat luas.
Tidak semua hal digariskan Injil walau semangatnya bisa berlaku umum. Tetapi
diamnya Injil itu menjadi ajakan agar umat mencari jalan bersama dengan
unsur-unsur lain di masyarakat luas dalam upaya membuat kemanusiaan semakin
pantas.
Salam,
A. Gianto
No comments:
Post a Comment