Injil Minggu Biasa XXIX/A 16 Okt 11 (Mat 22:15-21)
MEMBAYAR PAJAK KEPADA KAISAR?
Rekan-rekan yang budiman!
Satu ketika Yesus dimintai pendapat tentang membayar pajak kepada Kaisar:
apakah hal ini diperbolehkan (Mat 22:15-21 - Injil Minggu Biasa XXIX/A).
Bila mengatakan boleh maka ia akan menyalahi rasa kebangsaan. Tetapi bila
mengatakan tidak, ia pun akan berhadapan dengan penguasa Romawi yang waktu
itu mengatur negeri orang Yahudi. Para pengikut Yesus kerap dihadapkan ke
masalah seperti itu. Ada dua macam rumusan. Yang pertama terlalu
menyederhanakan perkaranya, dan bisanya berbunyi demikian: "Bolehkah
mengakui dan hidup menurut kelembagaan duniawi?" Gagasan ini kurang
membantu. Kalau bilang "ya" maka bisa dipersoalkan, lho kan orang beriman
mesti hidup dari dan bagi Kerajaan Surga seutuhnya. Kalau bilang "tidak",
apa maksudnya akan mengadakan pemerintahan ilahi di muka bumi? Pertanyaan
ini sama dengan jerat yang diungkapkan murid-murid kaum Farisi. Untunglah,
ada pertanyaan yang lebih cocok dengan inti Injil hari ini: Bagaimana Yesus
sang pembawa warta Kerajaan Surga melihat kehidupan di dunia ini? Ia memakai
pendekatan frontal? Atau pendekatan kerja sama? Apa yang dapat dipetik dari
cara pandangnya?
SEBUAH DISKUSI
Menurut kebiasaan kaum terpelajar Yahudi waktu itu, dalam menanggapi
pertanyaan yang membawa ke soal yang makin rumit, orang berhak mengajukan
sebuah pertanyaan guna menjernihkan perkaranya terlebih dahulu. Lihat
misalnya pertanyaan dalam Mat 21:23-25 mengenai asal kuasa Yesus. Dalam
perbincangan mengenai boleh tidaknya membayar pajak kepada Kaisar, Yesus
mengajak lawan bicaranya memasuki persoalan yang sesungguhnya. Ia meminta
mereka menunjukkan mata uang pembayar pajak dan bertanya gambar siapa
tertera di situ. Mereka tidak dapat menyangkal itu gambar Kaisar. Yesus pun
menyudahi pembicaraan dengan mengatakan, "Berikanlah kepada Kaisar yang
wajib kalian berikan kepada Kaisar dan kepada Allah yang wajib kalian
berikan kepada Allah!" Dengan jawaban ini ia membuat mereka memikirkan sikap
mereka sendiri baik terhadap "urusan kaisar" maupun keprihatinan mereka
mengenai "urusan Allah" dan sekaligus menghindari jerat yang dipasang
lawan-lawannya. Bagaimana penjelasannya?
Kaum Farisi memang bermaksud menjerat Yesus. Mereka menyuruh murid-murid
mereka datang kepadanya bersama dengan para pendukung Herodes. Kedua
kelompok ini sebetulnya memiliki pandangan yang bertolak belakang.
Orang-orang Farisi secara prinsip tidak mengakui hak pemerintah Romawi
memungut pajak yang dikenal sebagai pajak "kensos", yakni pajak bagi
penduduk, praktisnya sama dengan pajak hak milik tanah. Inilah pajak yang
dibicarakan dalam petikan ini. Tidak dibicarakan pajak pendapatan. Mereka
yang warga Romawi tidak dikenai pajak penduduk, tapi mereka diwajibkan
membayar pajak pendapatan kepada pemerintah. Orang Yahudi yang bukan warga
Romawi diharuskan membayar pajak penduduk. Maklumlah, seluruh negeri telah
diserap ke dalam kedaulatan Romawi. Pemerintah Romawi tidak memungut pajak
pendapatan orang Yahudi bukan warga Romawi. Tapi aturan agama juga
mewajibkan mereka membayar pajak pendapatan dan hasil bumi yang dikenal
dengan nama "persepuluhan" kepada lembaga agama. Disebut pajak Bait Allah.
Kepengurusan Bait Allah akan mengatur pemakaian dana tadi bagi pemeliharaan
tempat ibadat, menghidupi yatim piatu, janda, kaum terlantar serta keperluan
sosial lain. Jadi orang Yahudi yang memiliki tanah dan berpendapatan dipajak
dua kali.
MASALAH PAJAK?
Bagi orang Farisi, membayar pajak penduduk berarti mengakui kekuasaan Romawi
atas tanah suci. Padahal dalam keyakinan mereka, tanah itu milik turun
temurun yang diberikan Allah, dan tak boleh diganggu gugat, apalagi dipajak.
Maka pungutan pajak penduduk dirasakan sebagai perkara yang amat melawan
ajaran agama leluhur. Para penarik pajak yang orang Yahudi dipandang sebagai
kaum murtad dan melawan inti keyahudian sendiri. Mereka itu dianggap
pendosa, sama seperti perempuan yang tidak setia.
Bagaimana sikap para pendukung Herodes? Yang dimaksud ialah Herodes Antipas,
penguasa wilayah Galilea di bagian utara tanah suci. Pemerintah Romawi
meresmikannya sebagai penguasa "pribumi" dan memberi wewenang dalam urusan
sipil dan militer di wilayahnya. Tetapi di Yerusalem dan Yudea wewenang
dipegang langsung oleh perwakilan Romawi, waktu itu Ponsius Pilatus. Herodes
mengikuti politik Romawi dan merasa berhak menarik pajak penduduk di
wilayahnya. Mereka yang disebut kaum pendukung Herodes dalam Mat 21:16 itu
sebetulnya bukan mereka yang tinggal di Galilea, melainkan orang Yerusalem
dan Yudea pada umumnya yang menginginkan otonomi "pribumi" seperti Herodes
di utara. Mereka memperjuangkan pajak penduduk - pajak yang dibicarakan
dalam petikan ini - tetapi bukan bagi pemerintah Romawi, melainkan bagi kas
kegiatan politik mereka di Yudea dan Yerusalem. Jadi mereka berbeda paham
dengan orang Farisi yang menganggap penarikan pajak penduduk dalam bentuk
apa saja oleh siapa saja tidak sah dan melawan ajaran agama.
Bila Yesus menyetujui pembayaran pajak penduduk yang diklaim penguasa
Romawi, ia akan berhadapan dengan mereka yang bersikap nasionalis dan akan
dianggap meremehkan pandangan teologis bahwa tanah suci ialah hak yang
langsung diberikan oleh Allah. Dan orang Farisi bisa memakainya untuk
mengobarkan rasa tidak suka kepada Yesus. Tetapi bila ia mengatakan jangan,
maka ia akan bermusuhan dengan para pendukung Herodes yang dibawa serta
orang Farisi dan sekaligus melawan politik Romawi. Jawaban apapun akan
membuat Yesus mendapat lawan-lawan baru. Memang itulah yang diinginkan oleh
orang Farisi.
JALAN KELUAR
Ketika mengatakan berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib diberikan kepada
Kaisar sebetulnya Yesus mengajak lawan bicaranya memikirkan keadaan mereka
sendiri, yakni dibawahkan pada kuasa Romawi. Jelas kaum Farisi dan para
pendukung Herodes hendak menyangkalnya, tapi dengan alasan yang berbeda.
Kaum Farisi menolak dengan alasan agama, sedangkan kaum pendukung dengan
alasan kepentingan politik mereka sendiri. Di sini ada titik temu dengan
permasalahan yang kadang-kadang dihadapi para pengikut Yesus di manapun juga
seperti disebut pada awal ulasan ini. Bukan dalam arti mengidentifikasi diri
dengan pilihan orang-orang yang datang membawa masalah, melainkan belajar
dari sikap Yesus dalam menghadapi persoalan tadi. Dengan mengatakan bahwa
patutlah diberikan kepada Allah yang wajib diberikan kepada-Nya, Yesus
hendak menekankan perlunya integritas batin. Bila kehidupan agama mereka
utamakan, hendaklah mereka menjalankannya dengan lurus. Bila mau jujur,
mereka mau tak mau akan memeriksa diri adakah mereka sungguh percaya atau
sebetulnya mereka menomorsatukan kepentingan sendiri dengan memperalat
agama.
Yesus juga membuat mereka yang datang kepadanya berpikir apakah ada pilihan
lain selain memberikan kepada Kaisar yang menjadi haknya. Bila ya, coba
mana? Ternyata keadaan mereka tak memungkinkan. Mereka tidak mencoba
menemukan kemungkinan yang lain. Mereka telah menerima status quo dan tidak
mengusahakan perbaikan kecuali dengan mengubahnya menjadi soal teologi.
Padahal masalahnya terletak dalam kehidupan sehari-hari. Iman dan hukum
agama mereka pakai sebagai dalih dan sebenarnya mereka permiskin. Yesus
tidak mengikuti pemikiran yang sempit ini.
Pada akhir petikan disebutkan mereka "heran" mendengar jawaban tadi. Dalam
dunia Perjanjian Lama, para musuh umat tak bisa berbuat banyak karena Allah
sendiri melindungi umat-Nya dengan tindakan-tindakan ajaib. Para lawan itu
tak berdaya dan bungkam mengakui kebesaran-Nya. Inilah makna "heran" tadi.
Mereka kini terdiam mengakui kebijaksanaan Yesus dan mundur. Seperti
penggoda di padang gurun yang terdiam dan mundur meninggalkannya.
KOMUNITAS ORANG YANG PERCAYA
Ketika merumuskan pertanyaan mereka (Mat 21:16), murid-murid orang Farisi
terlebih dahulu menyebut Yesus sebagai "orang yang jujur dan dengan jujur
mengajar jalan Allah dan tidak takut kepada siapa pun juga, sebab tidak
mencari muka." Dalam bahasa sekarang, Yesus itu dikenal sebagai orang yang
punya prinsip serta hidup sesuai dengan prinsip tadi secara transparan .
Bukannya demi meraih keuntungan dan menjaga kedudukan. Orang yang
mencobainya sebetulnya sudah melihat arah pemecahan masalah, yakni sikapnya
yang terarah pada kepentingan Allah. Pembicaraan selanjutnya menunjukkan
bahwa sikap itu bukan sikap menutup diri terhadap urusan duniawi dan
memusuhinya. Malah hidup dengan urusan duniawi itu juga menjadi cara untuk
membuat kehidupan rohani lebih berarti. Itulah kebijaksanaan Yesus. Itulah
yang dapat dikaji dan diikuti para pengikutnya.
Gagasan pokok yang ditampilkan dalam petikan di atas dapat menjadi arahan
bagi Gereja. Apakah Gereja sebagai lembaga rohani yang ada di muka bumi ini
menemukan perannya juga? Sebagai kelompok masyarakat agama, Gereja
diharapkan dapat berdialog dengan kenyataan yang berubah-ubah dalam
masyarakat luas tanpa memaksa-maksakan posisi dan pilihan-pilihan sendiri.
Pada saat yang sama disadari juga betapa pentingnya menjalankan perutusannya
sebagai komunitas orang-orang yang mau menghadirkan Allah, yang memungkinkan
urusan-Nya berjalan sebaik-baiknya di bumi ini. Petikan di atas mengajak
orang menumbuhkan kebijaksanaan hidup dan menepati perutusan tadi.
Salam,
A. Gianto
MEMBAYAR PAJAK KEPADA KAISAR?
Rekan-rekan yang budiman!
Satu ketika Yesus dimintai pendapat tentang membayar pajak kepada Kaisar:
apakah hal ini diperbolehkan (Mat 22:15-21 - Injil Minggu Biasa XXIX/A).
Bila mengatakan boleh maka ia akan menyalahi rasa kebangsaan. Tetapi bila
mengatakan tidak, ia pun akan berhadapan dengan penguasa Romawi yang waktu
itu mengatur negeri orang Yahudi. Para pengikut Yesus kerap dihadapkan ke
masalah seperti itu. Ada dua macam rumusan. Yang pertama terlalu
menyederhanakan perkaranya, dan bisanya berbunyi demikian: "Bolehkah
mengakui dan hidup menurut kelembagaan duniawi?" Gagasan ini kurang
membantu. Kalau bilang "ya" maka bisa dipersoalkan, lho kan orang beriman
mesti hidup dari dan bagi Kerajaan Surga seutuhnya. Kalau bilang "tidak",
apa maksudnya akan mengadakan pemerintahan ilahi di muka bumi? Pertanyaan
ini sama dengan jerat yang diungkapkan murid-murid kaum Farisi. Untunglah,
ada pertanyaan yang lebih cocok dengan inti Injil hari ini: Bagaimana Yesus
sang pembawa warta Kerajaan Surga melihat kehidupan di dunia ini? Ia memakai
pendekatan frontal? Atau pendekatan kerja sama? Apa yang dapat dipetik dari
cara pandangnya?
SEBUAH DISKUSI
Menurut kebiasaan kaum terpelajar Yahudi waktu itu, dalam menanggapi
pertanyaan yang membawa ke soal yang makin rumit, orang berhak mengajukan
sebuah pertanyaan guna menjernihkan perkaranya terlebih dahulu. Lihat
misalnya pertanyaan dalam Mat 21:23-25 mengenai asal kuasa Yesus. Dalam
perbincangan mengenai boleh tidaknya membayar pajak kepada Kaisar, Yesus
mengajak lawan bicaranya memasuki persoalan yang sesungguhnya. Ia meminta
mereka menunjukkan mata uang pembayar pajak dan bertanya gambar siapa
tertera di situ. Mereka tidak dapat menyangkal itu gambar Kaisar. Yesus pun
menyudahi pembicaraan dengan mengatakan, "Berikanlah kepada Kaisar yang
wajib kalian berikan kepada Kaisar dan kepada Allah yang wajib kalian
berikan kepada Allah!" Dengan jawaban ini ia membuat mereka memikirkan sikap
mereka sendiri baik terhadap "urusan kaisar" maupun keprihatinan mereka
mengenai "urusan Allah" dan sekaligus menghindari jerat yang dipasang
lawan-lawannya. Bagaimana penjelasannya?
Kaum Farisi memang bermaksud menjerat Yesus. Mereka menyuruh murid-murid
mereka datang kepadanya bersama dengan para pendukung Herodes. Kedua
kelompok ini sebetulnya memiliki pandangan yang bertolak belakang.
Orang-orang Farisi secara prinsip tidak mengakui hak pemerintah Romawi
memungut pajak yang dikenal sebagai pajak "kensos", yakni pajak bagi
penduduk, praktisnya sama dengan pajak hak milik tanah. Inilah pajak yang
dibicarakan dalam petikan ini. Tidak dibicarakan pajak pendapatan. Mereka
yang warga Romawi tidak dikenai pajak penduduk, tapi mereka diwajibkan
membayar pajak pendapatan kepada pemerintah. Orang Yahudi yang bukan warga
Romawi diharuskan membayar pajak penduduk. Maklumlah, seluruh negeri telah
diserap ke dalam kedaulatan Romawi. Pemerintah Romawi tidak memungut pajak
pendapatan orang Yahudi bukan warga Romawi. Tapi aturan agama juga
mewajibkan mereka membayar pajak pendapatan dan hasil bumi yang dikenal
dengan nama "persepuluhan" kepada lembaga agama. Disebut pajak Bait Allah.
Kepengurusan Bait Allah akan mengatur pemakaian dana tadi bagi pemeliharaan
tempat ibadat, menghidupi yatim piatu, janda, kaum terlantar serta keperluan
sosial lain. Jadi orang Yahudi yang memiliki tanah dan berpendapatan dipajak
dua kali.
MASALAH PAJAK?
Bagi orang Farisi, membayar pajak penduduk berarti mengakui kekuasaan Romawi
atas tanah suci. Padahal dalam keyakinan mereka, tanah itu milik turun
temurun yang diberikan Allah, dan tak boleh diganggu gugat, apalagi dipajak.
Maka pungutan pajak penduduk dirasakan sebagai perkara yang amat melawan
ajaran agama leluhur. Para penarik pajak yang orang Yahudi dipandang sebagai
kaum murtad dan melawan inti keyahudian sendiri. Mereka itu dianggap
pendosa, sama seperti perempuan yang tidak setia.
Bagaimana sikap para pendukung Herodes? Yang dimaksud ialah Herodes Antipas,
penguasa wilayah Galilea di bagian utara tanah suci. Pemerintah Romawi
meresmikannya sebagai penguasa "pribumi" dan memberi wewenang dalam urusan
sipil dan militer di wilayahnya. Tetapi di Yerusalem dan Yudea wewenang
dipegang langsung oleh perwakilan Romawi, waktu itu Ponsius Pilatus. Herodes
mengikuti politik Romawi dan merasa berhak menarik pajak penduduk di
wilayahnya. Mereka yang disebut kaum pendukung Herodes dalam Mat 21:16 itu
sebetulnya bukan mereka yang tinggal di Galilea, melainkan orang Yerusalem
dan Yudea pada umumnya yang menginginkan otonomi "pribumi" seperti Herodes
di utara. Mereka memperjuangkan pajak penduduk - pajak yang dibicarakan
dalam petikan ini - tetapi bukan bagi pemerintah Romawi, melainkan bagi kas
kegiatan politik mereka di Yudea dan Yerusalem. Jadi mereka berbeda paham
dengan orang Farisi yang menganggap penarikan pajak penduduk dalam bentuk
apa saja oleh siapa saja tidak sah dan melawan ajaran agama.
Bila Yesus menyetujui pembayaran pajak penduduk yang diklaim penguasa
Romawi, ia akan berhadapan dengan mereka yang bersikap nasionalis dan akan
dianggap meremehkan pandangan teologis bahwa tanah suci ialah hak yang
langsung diberikan oleh Allah. Dan orang Farisi bisa memakainya untuk
mengobarkan rasa tidak suka kepada Yesus. Tetapi bila ia mengatakan jangan,
maka ia akan bermusuhan dengan para pendukung Herodes yang dibawa serta
orang Farisi dan sekaligus melawan politik Romawi. Jawaban apapun akan
membuat Yesus mendapat lawan-lawan baru. Memang itulah yang diinginkan oleh
orang Farisi.
JALAN KELUAR
Ketika mengatakan berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib diberikan kepada
Kaisar sebetulnya Yesus mengajak lawan bicaranya memikirkan keadaan mereka
sendiri, yakni dibawahkan pada kuasa Romawi. Jelas kaum Farisi dan para
pendukung Herodes hendak menyangkalnya, tapi dengan alasan yang berbeda.
Kaum Farisi menolak dengan alasan agama, sedangkan kaum pendukung dengan
alasan kepentingan politik mereka sendiri. Di sini ada titik temu dengan
permasalahan yang kadang-kadang dihadapi para pengikut Yesus di manapun juga
seperti disebut pada awal ulasan ini. Bukan dalam arti mengidentifikasi diri
dengan pilihan orang-orang yang datang membawa masalah, melainkan belajar
dari sikap Yesus dalam menghadapi persoalan tadi. Dengan mengatakan bahwa
patutlah diberikan kepada Allah yang wajib diberikan kepada-Nya, Yesus
hendak menekankan perlunya integritas batin. Bila kehidupan agama mereka
utamakan, hendaklah mereka menjalankannya dengan lurus. Bila mau jujur,
mereka mau tak mau akan memeriksa diri adakah mereka sungguh percaya atau
sebetulnya mereka menomorsatukan kepentingan sendiri dengan memperalat
agama.
Yesus juga membuat mereka yang datang kepadanya berpikir apakah ada pilihan
lain selain memberikan kepada Kaisar yang menjadi haknya. Bila ya, coba
mana? Ternyata keadaan mereka tak memungkinkan. Mereka tidak mencoba
menemukan kemungkinan yang lain. Mereka telah menerima status quo dan tidak
mengusahakan perbaikan kecuali dengan mengubahnya menjadi soal teologi.
Padahal masalahnya terletak dalam kehidupan sehari-hari. Iman dan hukum
agama mereka pakai sebagai dalih dan sebenarnya mereka permiskin. Yesus
tidak mengikuti pemikiran yang sempit ini.
Pada akhir petikan disebutkan mereka "heran" mendengar jawaban tadi. Dalam
dunia Perjanjian Lama, para musuh umat tak bisa berbuat banyak karena Allah
sendiri melindungi umat-Nya dengan tindakan-tindakan ajaib. Para lawan itu
tak berdaya dan bungkam mengakui kebesaran-Nya. Inilah makna "heran" tadi.
Mereka kini terdiam mengakui kebijaksanaan Yesus dan mundur. Seperti
penggoda di padang gurun yang terdiam dan mundur meninggalkannya.
KOMUNITAS ORANG YANG PERCAYA
Ketika merumuskan pertanyaan mereka (Mat 21:16), murid-murid orang Farisi
terlebih dahulu menyebut Yesus sebagai "orang yang jujur dan dengan jujur
mengajar jalan Allah dan tidak takut kepada siapa pun juga, sebab tidak
mencari muka." Dalam bahasa sekarang, Yesus itu dikenal sebagai orang yang
punya prinsip serta hidup sesuai dengan prinsip tadi secara transparan .
Bukannya demi meraih keuntungan dan menjaga kedudukan. Orang yang
mencobainya sebetulnya sudah melihat arah pemecahan masalah, yakni sikapnya
yang terarah pada kepentingan Allah. Pembicaraan selanjutnya menunjukkan
bahwa sikap itu bukan sikap menutup diri terhadap urusan duniawi dan
memusuhinya. Malah hidup dengan urusan duniawi itu juga menjadi cara untuk
membuat kehidupan rohani lebih berarti. Itulah kebijaksanaan Yesus. Itulah
yang dapat dikaji dan diikuti para pengikutnya.
Gagasan pokok yang ditampilkan dalam petikan di atas dapat menjadi arahan
bagi Gereja. Apakah Gereja sebagai lembaga rohani yang ada di muka bumi ini
menemukan perannya juga? Sebagai kelompok masyarakat agama, Gereja
diharapkan dapat berdialog dengan kenyataan yang berubah-ubah dalam
masyarakat luas tanpa memaksa-maksakan posisi dan pilihan-pilihan sendiri.
Pada saat yang sama disadari juga betapa pentingnya menjalankan perutusannya
sebagai komunitas orang-orang yang mau menghadirkan Allah, yang memungkinkan
urusan-Nya berjalan sebaik-baiknya di bumi ini. Petikan di atas mengajak
orang menumbuhkan kebijaksanaan hidup dan menepati perutusan tadi.
Salam,
A. Gianto
No comments:
Post a Comment