Injil Minggu Biasa XXVIII/ A - 9 Okt 2012 (Mat 22:1-14)
Rekan-rekan yang budiman!
Dalam Mat 22:1-14 yang dibacakan sebagai Injil Minggu Biasa ke 28 tahun A
ini disampaikan perumpamaan mengenai siapa yang akhirnya masuk ke dalam
Kerajaan Surga dan bagaimana mereka bisa sampai ke sana. Beginilah
ceritanya. Ada orang-orang yang sebenarnya sejak awal sudah beruntung karena
"diundang ke perjamuan" tapi mereka malah meremehkan ajakan ini. Karena itu
keberuntungan yang sebenarnya dapat mereka nikmati jadi beralih kepada
orang-orang lain yang tadinya tidak masuk hitungan. Apa artinya semua ini
bagi kehidupan kini?
VERSI MATIUS DAN LUKAS
Selain dalam Mat 22:1-14, perumpamaan tentang undangan yang menolak datang
itu didapati juga dalam Luk 14:15-24. (Untuk penjelasan versi Lukas, lihat
_Langkahnya...Langkahku!_ [Kanisius, Yogyakarta 2005], hlm. 155-156.) Namun
ada tiga hal yang khas pada versi Matius yang tidak dijumpai dalam versi
Lukas.
1. Dalam Injil Matius, undangannya ialah ke perjamuan makan siang (Yunani
"ariston", Latin "prandium") bagi pesta nikah seorang anak raja. Lukas
menyebutnya perjamuan makan malam (Yunani "deipnon", Latin "coena") yang
besar yang sudah disanggupi para undangan. Seperti kebiasaan kita, pada
zaman itu perhelatan meriah memang biasanya diadakan pada malam hari. Lebih
relaks, lebih membangun suasana. Kesempatan seperti itu tidak diadakan siang
hari kecuali peristiwanya amat penting dan resmi seperti halnya pesta nikah.
Inilah yang lebih ditonjolkan Matius. Perjamuan dalam pesta nikah lebih
resmi daripada perjamuan untuk membangun keakraban. Hadirin diajak ikut
menjadi saksi peristiwa itu. Apalagi pesta nikah anak raja.
2. Dalam perumpamaan Matius, sang raja sampai dua kali mengundang. Yang
kedua kalinya bahkan ada nada memohon. Tetapi orang-orang yang diundang
tetap tidak mau datang. Begitulah digarisbawahi dalam Injil Matius penolakan
yang makin keras. Ada yang tak peduli, ada yang meremehkan undangan, malah
menyiksa dan membunuh suruhan raja. Ini sama dengan memutuskan hubungan.
Lukas lain. Ia lebih menekankan dalih para undangan yang sudah bersedia
datang ketika diundang tapi kini ingkar.
3. Matius dan Lukas sama-sama mengatakan bahwa akhirnya orang-orang lain
yang tadinya tidak diundang kini didatangkan ke perjamuan. Tetapi Matius
masih menceritakan bahwa sang raja mendapati orang yang datang tanpa pakaian
pesta. Orang itu kemudian tidak diperbolehkan ikut pesta dan dikeluarkan.
Lukas tidak menyinggung adanya orang yang tak pantas ikut perjamuan malam.
Tetapi ia meneruskan perumpamaan itu dengan menyampaikan pengajaran Yesus
mengenai perlunya komitmen utuh dalam mengikutinya.
Matius berbicara kepada umat yang berasal dari lingkungan Yahudi. Bagi
mereka "perjamuan nikah" dan datang dengan "pakaian pesta" memiliki arti
yang khusus yang tidak segera ditangkap oleh orang dari kalangan lebih luas
seperti halnya umat Lukas. Marilah kita lihat dari dekat kedua gambaran yang
dipakai Matius.
PERJAMUAN NIKAH
Disebutkan "Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan
nikah untuk anaknya". Bagi pembaca Matius, "perjamuan nikah" membangkitkan
gagasan yang lebih dari pada sekedar hadir dalam resepsi, melainkan
mengikuti upacara religius dan berbagi hikmatnya. Dalam kesempatan seperti
itu dulu kerap didendangkan lagu-lagu kasih antara mempelai lelaki dan
mempelai perempuan. Lagu-lagu itu sering bernada erotik, tapi sekaligus juga
amat religius. Salah satu bentuk yang paling dikenal dan sudah menjadi
bagian Kitab Suci ialah Kidung Agung. Kedua mempelai saling memuji keelokan
masing-masing (Kid 1:9:2:7), saling mengungkapkan rasa rindu terhadap satu
sama lain (Kid 3:1-5; 5:2-8), saling mengungkapkan nikmatnya ada berduaan
(Kid 7:6-8:4). Di dalam kidung-kidung itu kasih antara kedua mempelai tampil
sebagai tempat kehadiran yang ilahi tanpa perlu mengatakannya. KehadiranNya
memanusia dalam ujud yang paling bisa dirasakan. Bagi orang Yahudi, ikut
serta dalam upacara dan perjamuan nikah dalam arti ini dapat mendekatkan
orang pada kemanusiaan dan keilahian sekaligus. Karena itu juga penolakan
ikut serta perjamuan lebih daripada sekedar tidak menghadiri pesta.
Menolak ajakan untuk menyaksikan pesta nikah juga membuat pesta menjadi sepi
dan hambar. Panggilan pertama tidak dipenuhi. Raja yang sebetulnya penuh
wibawa kemudian bersikap menghimbau. Ia merendah. Satu kali tidak digubris,
ia berusaha lagi. Malah seakan-akan memohon belas kasihan para undangan:
jangan biarkan pesta jadi rusak, hidangan sudah siap, lembu dan ternak
piaraan sendiri telah dipotong. Tetapi yang diundang semakin meninggikan
diri, dan menjadi takabur, dan akhirnya malah membunuh pesuruh sang raja.
Mereka tidak mau diganggu lagi. Mereka memutus hubungan. Terlihat betapa
kerasnya penolakan terhadap ajakan untuk ikut serta dalam kesempatan yang
sebenarnya bakal membuat siapa saja yang ikut semakin utuh hidupnya, semakin
memasuki Kerajaan Surga!
Mereka yang menolak kehilangan dua hal. Pertama rusaklah hubungan dengan
raja yang bisa melindungi mereka. Kedua mereka kehilangan kesempatan ikut
pesta nikah yang meriah yang memiliki arti khusus tadi. Jadi mereka semakin
menjauhkan diri dari kesempatan yang bakal membuat hidup mereka berarti.
Mereka menjauh dari Kerajaan Surga. Inilah yang hendak ditunjukkan dalam
perumpamaan ini.
ORANG-ORANG DI PERSIMPANGAN JALAN
Karena perjamuan nikah telah tersedia tapi yang diundang tak layak datang,
maka raja menyuruh hamba-hambanya ke persimpangan jalan, membawa orang-orang
yang mereka temui di sana, siapa saja, ke perjamuan nikah tadi. Tak pilih
bulu siapa saja didatangkan. Dan pesta itu diselamatkan oleh kehadiran
mereka-mereka ini.
Yang dimaksud dengan persimpangan jalan ialah lapangan tempat orang biasanya
berkumpul dengan macam-macam maksud: istirahat, menunggu kesempatan kerja,
melewatkan waktu, berjualan, membeli. Apa saja. Kegiatan sehari-hari yang
bermacam-ragam. Orang-orang yang di situ dengan macam-macam keadaan itulah
yang diminta datang ke perjamuan nikah. Di persimpangan jalan...hidup itulah
disampaikan ajakannya.
Bagaimana membacanya dengan cara yang lebih cocok bagi zaman ini?
Perumpamaan tadi mulai dengan "Kerajaan Surga seumpama.." Jadi dimaksud
membantu agar orang menyadari bagaimana cara Yang Mahakuasa mengajak siapa
saja ikut masuk ke dalam kehidupan-Nya, ke dalam keakraban dengan-Nya.
Dengan mengajak orang ikut serta dalam kegembiraan pesta nikah anaknya, sang
raja tadi ingin berbagi kegembiraan. Bahkan boleh dikatakan, kegembiraannya
itu baru menjadi nyata bila ikut dirasakan orang lain. Ia berusaha
mendatangkan orang-orang untuk ikut. Bahkan ia memohon agar mereka datang.
Tetapi permohonan ini dihadapi dengan sikap keras hati dan penolakan. Tidak
mau mengambil bagian dalam kehidupan yang sebenarnya tidak dapat sebarangan
dibagikan. Penolakan ini makin memisahkan dan menjauhkan mereka satu sama
lain. Juga membuat sang raja putus asa dan merasa pestanya bakal rusak.
Tetapi ia tidak menyerah. Pestanya itu kemudian dibuka bagi siapa saja yang
tadinya tidak termasuk hitungan.
Kerap dijelaskan bahwa para undangan yang menolak datang itu ialah orang
Yahudi dan mereka yang didatangkan dari jalanan itu ialah pengikut Yesus.
Yang pertama kehilangan Kerajaan Surga, yang kedua memperolehnya. Para hamba
yang disuruh mengundang ialah nabi-nabi dan kemudian yang diperlakukan
dengan buruk ialah para rasul. Tafsir alegori ini memang sudah ada sejak
lama. Dan bahkan sudah mulai pada zaman Injil sendiri ditulis. Namun
demikian masih ada keleluasaan untuk memahami perumpamaan ini sebagai
perumpamaan untuk membaca kehidupan orang zaman ini, untuk mengartikan
pengalaman hidup.
PAKAIAN PESTA
Pesta nikah itu terlaksana justru karena hadirnya orang-orang jalanan tadi.
Kerajaan Surga semakin menjadi kenyataan karena dimasuki, dihuni,
dikembangkan. Kepada pembaca diberikan ajakan yang amat kuat. Ayo ikut
membuat kehidupan yang nyata ini semakin menjadi ujud dari Kerajaan Surga.
Bisakah dibalik sehingga dikatakan agar Kerajaan Surga menjadi bagian dari
kehidupan nyata? Orang tergoda mengatakan ya, tapi kiranya tidak pas bila
begitu. Seolah-olah kerajaan itu sudah ada dan jadi dan tinggal dimasuki,
seperti menaiki kereta yang akan jalan. Yang lebih cocok, tiap orang diminta
menemukan wujud Kerajaan Surga baginya. Bahan mentahnya: kehidupan
sehari-harinya, kehidupannya di persimpangan jalan. Tapi untuk ke sana orang
perlu memakai pakaian pesta.
Dalam alam pikiran Semit, pakaian memberi bentuk kepada orang yang
memakainya sehingga dapat dikenali. Tidak mengenakan pakaian pesta berarti
datang tanpa sungguh mau mengikuti pesta. Orang baru dapat dikatakan datang
ikut perjamuan pesta bila memang mau menghadiri pesta itu, bukan untuk
urusan lain. Datang tanpa pakaian yang cocok berarti tidak membiarkan diri
dikenal sebagai yang datang untuk itu. Komitmen setengah-setengah ini kurang
dapat menjadikan hidup orang menjadi bagian dari hidup dalam Kerajaan Surga.
Kebalikannya, datang dengan mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa
maksud atau tujuan lain. Yang bersangkutan akan dikenali sebagai orang yang
hidupnya sedang berubah dari yang ada di persimpangan jalan menjadi dia yang
hidup dalam perjamuan yang makin memanusiakan dan makin mendekatkan ke
keilahian.
Salam hangat,
A. Gianto
Rekan-rekan yang budiman!
Dalam Mat 22:1-14 yang dibacakan sebagai Injil Minggu Biasa ke 28 tahun A
ini disampaikan perumpamaan mengenai siapa yang akhirnya masuk ke dalam
Kerajaan Surga dan bagaimana mereka bisa sampai ke sana. Beginilah
ceritanya. Ada orang-orang yang sebenarnya sejak awal sudah beruntung karena
"diundang ke perjamuan" tapi mereka malah meremehkan ajakan ini. Karena itu
keberuntungan yang sebenarnya dapat mereka nikmati jadi beralih kepada
orang-orang lain yang tadinya tidak masuk hitungan. Apa artinya semua ini
bagi kehidupan kini?
VERSI MATIUS DAN LUKAS
Selain dalam Mat 22:1-14, perumpamaan tentang undangan yang menolak datang
itu didapati juga dalam Luk 14:15-24. (Untuk penjelasan versi Lukas, lihat
_Langkahnya...Langkahku!_ [Kanisius, Yogyakarta 2005], hlm. 155-156.) Namun
ada tiga hal yang khas pada versi Matius yang tidak dijumpai dalam versi
Lukas.
1. Dalam Injil Matius, undangannya ialah ke perjamuan makan siang (Yunani
"ariston", Latin "prandium") bagi pesta nikah seorang anak raja. Lukas
menyebutnya perjamuan makan malam (Yunani "deipnon", Latin "coena") yang
besar yang sudah disanggupi para undangan. Seperti kebiasaan kita, pada
zaman itu perhelatan meriah memang biasanya diadakan pada malam hari. Lebih
relaks, lebih membangun suasana. Kesempatan seperti itu tidak diadakan siang
hari kecuali peristiwanya amat penting dan resmi seperti halnya pesta nikah.
Inilah yang lebih ditonjolkan Matius. Perjamuan dalam pesta nikah lebih
resmi daripada perjamuan untuk membangun keakraban. Hadirin diajak ikut
menjadi saksi peristiwa itu. Apalagi pesta nikah anak raja.
2. Dalam perumpamaan Matius, sang raja sampai dua kali mengundang. Yang
kedua kalinya bahkan ada nada memohon. Tetapi orang-orang yang diundang
tetap tidak mau datang. Begitulah digarisbawahi dalam Injil Matius penolakan
yang makin keras. Ada yang tak peduli, ada yang meremehkan undangan, malah
menyiksa dan membunuh suruhan raja. Ini sama dengan memutuskan hubungan.
Lukas lain. Ia lebih menekankan dalih para undangan yang sudah bersedia
datang ketika diundang tapi kini ingkar.
3. Matius dan Lukas sama-sama mengatakan bahwa akhirnya orang-orang lain
yang tadinya tidak diundang kini didatangkan ke perjamuan. Tetapi Matius
masih menceritakan bahwa sang raja mendapati orang yang datang tanpa pakaian
pesta. Orang itu kemudian tidak diperbolehkan ikut pesta dan dikeluarkan.
Lukas tidak menyinggung adanya orang yang tak pantas ikut perjamuan malam.
Tetapi ia meneruskan perumpamaan itu dengan menyampaikan pengajaran Yesus
mengenai perlunya komitmen utuh dalam mengikutinya.
Matius berbicara kepada umat yang berasal dari lingkungan Yahudi. Bagi
mereka "perjamuan nikah" dan datang dengan "pakaian pesta" memiliki arti
yang khusus yang tidak segera ditangkap oleh orang dari kalangan lebih luas
seperti halnya umat Lukas. Marilah kita lihat dari dekat kedua gambaran yang
dipakai Matius.
PERJAMUAN NIKAH
Disebutkan "Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan
nikah untuk anaknya". Bagi pembaca Matius, "perjamuan nikah" membangkitkan
gagasan yang lebih dari pada sekedar hadir dalam resepsi, melainkan
mengikuti upacara religius dan berbagi hikmatnya. Dalam kesempatan seperti
itu dulu kerap didendangkan lagu-lagu kasih antara mempelai lelaki dan
mempelai perempuan. Lagu-lagu itu sering bernada erotik, tapi sekaligus juga
amat religius. Salah satu bentuk yang paling dikenal dan sudah menjadi
bagian Kitab Suci ialah Kidung Agung. Kedua mempelai saling memuji keelokan
masing-masing (Kid 1:9:2:7), saling mengungkapkan rasa rindu terhadap satu
sama lain (Kid 3:1-5; 5:2-8), saling mengungkapkan nikmatnya ada berduaan
(Kid 7:6-8:4). Di dalam kidung-kidung itu kasih antara kedua mempelai tampil
sebagai tempat kehadiran yang ilahi tanpa perlu mengatakannya. KehadiranNya
memanusia dalam ujud yang paling bisa dirasakan. Bagi orang Yahudi, ikut
serta dalam upacara dan perjamuan nikah dalam arti ini dapat mendekatkan
orang pada kemanusiaan dan keilahian sekaligus. Karena itu juga penolakan
ikut serta perjamuan lebih daripada sekedar tidak menghadiri pesta.
Menolak ajakan untuk menyaksikan pesta nikah juga membuat pesta menjadi sepi
dan hambar. Panggilan pertama tidak dipenuhi. Raja yang sebetulnya penuh
wibawa kemudian bersikap menghimbau. Ia merendah. Satu kali tidak digubris,
ia berusaha lagi. Malah seakan-akan memohon belas kasihan para undangan:
jangan biarkan pesta jadi rusak, hidangan sudah siap, lembu dan ternak
piaraan sendiri telah dipotong. Tetapi yang diundang semakin meninggikan
diri, dan menjadi takabur, dan akhirnya malah membunuh pesuruh sang raja.
Mereka tidak mau diganggu lagi. Mereka memutus hubungan. Terlihat betapa
kerasnya penolakan terhadap ajakan untuk ikut serta dalam kesempatan yang
sebenarnya bakal membuat siapa saja yang ikut semakin utuh hidupnya, semakin
memasuki Kerajaan Surga!
Mereka yang menolak kehilangan dua hal. Pertama rusaklah hubungan dengan
raja yang bisa melindungi mereka. Kedua mereka kehilangan kesempatan ikut
pesta nikah yang meriah yang memiliki arti khusus tadi. Jadi mereka semakin
menjauhkan diri dari kesempatan yang bakal membuat hidup mereka berarti.
Mereka menjauh dari Kerajaan Surga. Inilah yang hendak ditunjukkan dalam
perumpamaan ini.
ORANG-ORANG DI PERSIMPANGAN JALAN
Karena perjamuan nikah telah tersedia tapi yang diundang tak layak datang,
maka raja menyuruh hamba-hambanya ke persimpangan jalan, membawa orang-orang
yang mereka temui di sana, siapa saja, ke perjamuan nikah tadi. Tak pilih
bulu siapa saja didatangkan. Dan pesta itu diselamatkan oleh kehadiran
mereka-mereka ini.
Yang dimaksud dengan persimpangan jalan ialah lapangan tempat orang biasanya
berkumpul dengan macam-macam maksud: istirahat, menunggu kesempatan kerja,
melewatkan waktu, berjualan, membeli. Apa saja. Kegiatan sehari-hari yang
bermacam-ragam. Orang-orang yang di situ dengan macam-macam keadaan itulah
yang diminta datang ke perjamuan nikah. Di persimpangan jalan...hidup itulah
disampaikan ajakannya.
Bagaimana membacanya dengan cara yang lebih cocok bagi zaman ini?
Perumpamaan tadi mulai dengan "Kerajaan Surga seumpama.." Jadi dimaksud
membantu agar orang menyadari bagaimana cara Yang Mahakuasa mengajak siapa
saja ikut masuk ke dalam kehidupan-Nya, ke dalam keakraban dengan-Nya.
Dengan mengajak orang ikut serta dalam kegembiraan pesta nikah anaknya, sang
raja tadi ingin berbagi kegembiraan. Bahkan boleh dikatakan, kegembiraannya
itu baru menjadi nyata bila ikut dirasakan orang lain. Ia berusaha
mendatangkan orang-orang untuk ikut. Bahkan ia memohon agar mereka datang.
Tetapi permohonan ini dihadapi dengan sikap keras hati dan penolakan. Tidak
mau mengambil bagian dalam kehidupan yang sebenarnya tidak dapat sebarangan
dibagikan. Penolakan ini makin memisahkan dan menjauhkan mereka satu sama
lain. Juga membuat sang raja putus asa dan merasa pestanya bakal rusak.
Tetapi ia tidak menyerah. Pestanya itu kemudian dibuka bagi siapa saja yang
tadinya tidak termasuk hitungan.
Kerap dijelaskan bahwa para undangan yang menolak datang itu ialah orang
Yahudi dan mereka yang didatangkan dari jalanan itu ialah pengikut Yesus.
Yang pertama kehilangan Kerajaan Surga, yang kedua memperolehnya. Para hamba
yang disuruh mengundang ialah nabi-nabi dan kemudian yang diperlakukan
dengan buruk ialah para rasul. Tafsir alegori ini memang sudah ada sejak
lama. Dan bahkan sudah mulai pada zaman Injil sendiri ditulis. Namun
demikian masih ada keleluasaan untuk memahami perumpamaan ini sebagai
perumpamaan untuk membaca kehidupan orang zaman ini, untuk mengartikan
pengalaman hidup.
PAKAIAN PESTA
Pesta nikah itu terlaksana justru karena hadirnya orang-orang jalanan tadi.
Kerajaan Surga semakin menjadi kenyataan karena dimasuki, dihuni,
dikembangkan. Kepada pembaca diberikan ajakan yang amat kuat. Ayo ikut
membuat kehidupan yang nyata ini semakin menjadi ujud dari Kerajaan Surga.
Bisakah dibalik sehingga dikatakan agar Kerajaan Surga menjadi bagian dari
kehidupan nyata? Orang tergoda mengatakan ya, tapi kiranya tidak pas bila
begitu. Seolah-olah kerajaan itu sudah ada dan jadi dan tinggal dimasuki,
seperti menaiki kereta yang akan jalan. Yang lebih cocok, tiap orang diminta
menemukan wujud Kerajaan Surga baginya. Bahan mentahnya: kehidupan
sehari-harinya, kehidupannya di persimpangan jalan. Tapi untuk ke sana orang
perlu memakai pakaian pesta.
Dalam alam pikiran Semit, pakaian memberi bentuk kepada orang yang
memakainya sehingga dapat dikenali. Tidak mengenakan pakaian pesta berarti
datang tanpa sungguh mau mengikuti pesta. Orang baru dapat dikatakan datang
ikut perjamuan pesta bila memang mau menghadiri pesta itu, bukan untuk
urusan lain. Datang tanpa pakaian yang cocok berarti tidak membiarkan diri
dikenal sebagai yang datang untuk itu. Komitmen setengah-setengah ini kurang
dapat menjadikan hidup orang menjadi bagian dari hidup dalam Kerajaan Surga.
Kebalikannya, datang dengan mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa
maksud atau tujuan lain. Yang bersangkutan akan dikenali sebagai orang yang
hidupnya sedang berubah dari yang ada di persimpangan jalan menjadi dia yang
hidup dalam perjamuan yang makin memanusiakan dan makin mendekatkan ke
keilahian.
Salam hangat,
A. Gianto
No comments:
Post a Comment