Minggu Paskah III 22 April 2012 (Luk 24:35-48 )
Kawan-kawan yang baik!
Kemarin saya diminta mengisi ruang ulasan Injil kali ini. Dengar-dengar Luk
24:35-48 ditampilkan sebagai Injil Minggu Paskah III tahun B ini. Ada kawan
yang bertanya, kenapa diceritakan bahwa para murid tak langsung mengenali
Yesus yang tiba-tiba berada di antara mereka. Malah mereka menyangkanya
hantu. Ada lagi yang bertanya, apa sih maksudnya kok Yesus minta diberi
makan segala, apa ini perkara sajian kepada arwah. Katanya di negeri kalian
ada adat seperti itu. Ah, lain padang lain belalangnya.
Tak meleset amatan para ahli tafsir bahwa episode terakhir yang saya
ceritakan itu mirip dengan yang kemudian tertulis dalam Yoh 20:19-29.
Kalangan sumber kami sama. Minggu lalu di ruang ini kan ada kupasan tentang
itu. Betul seperti yang ditekankan, Yesus yang telah bangkit itu kini
menyertai para murid. Begitulah mereka mengalami kedamaian dan tidak lagi
merasa tertekan lagi. Berjumpa dengan dia yang telah bangkit itu membuat
para murid menemukan kehidupan baru. Pokok inilah yang saya garap dalam Luk
24:35-48.
Awal bacaan kali ini sebetulnya lanjutan kisah kedua orang murid yang
bertemu dengan Yesus di Emaus (Luk 24:13-33). Kedua orang itu kemudian
bergegas ke Yerusalem memberitakan pengalaman mereka kepada para murid
terdekat yang sedang berada bersama beberapa orang lain. Sementara itu
disebutkan (Luk 24:34) bahwa Simon juga telah melihat Yesus. Kedua murid
tadi kemudian bercerita bagaimana mereka berjalan bersama Yesus ke Emaus,
mendapat penjelasan mengenai kata Kitab Suci tentang dirinya, dan bagaimana
mereka mengenalinya ketika ia membagi-bagi roti. Kiranya pada waktu itu para
murid dan orang-orang yang dekat sedang berbagi pengalaman iman mengenai
Yesus. Beberapa orang memang merasa berjumpa dengan Yesus yang bangkit pada
kesempatan yang berbeda-beda. Tentu saja yang mereka lihat dan alami tidak
sama persis. Namun demikian, akhirnya mereka dapat saling memahami bahwa
yang mereka jumpai itu ialah dia yang dulu mereka kenal dalam hidup
sehari-hari. Sekarang ia berada dalam cara lain, tapi nyata.
Pengalaman bermacam-macam, tapi sama arahnya. Satu pula intinya. Yesus sudah
bangkit dan tetap berada dengan mereka, tapi dengan cara yang masih perlu
mereka sadari lebih lanjut. Tentu saja di antara para murid itu ada yang
merasa bahwa dirinyalah yang pertama kali berjumpa dengan Yesus. Ada yang
merasa paling dekat dengannya. Seperti ada kompetisi siapa yang paling
dikasihi! Ini manusiawi. Tetapi kalau begitu terus, perkaranya akan jadi
tidak keruan. Bisa-bisa mereka akan saling menyisihkan dan bergilir
mengklaim ilham paling utama, paling duluan. Memang benar pada saat-saat
awal itu para pengikut Yesus sempat saling meragu-ragukan. Dalam Luk 24:11
saya singgung bagaimana para rasul menganggap perkataan para perempuan
tentang Yesus sebagai omong kosong belaka; lihat juga ay. 24 yang
diperkatakan kepada Yesus sendiri oleh kedua murid yang ke Emaus itu.
Para murid butuh waktu untuk mengolah pengalaman mengenai Yesus yang wafat
di salib dan bangkit. Pada pengantar jilid dua kitab saya, ada saya catat
bahwa Yesus menampakkan diri kepada para murid dan menunjukkan dengan banyak
bukti bahwa dirinya betul hidup. Bahkan selama 40 hari berulang-ulang ia
menampakkan diri dan berbicara mengenai hal yang dulu diwartakannya, yakni
Kerajaan Allah (Kis 1:3). Jadi memang para murid perlu waktu mengendapkan
pengalaman mereka. Mereka butuh bantuan dari sang Guru sendiri. Lambat-laun
mereka belajar mendalami pengalaman mereka dan makin bisa berbicara satu
sama lain tentangnya. Para murid akhirnya bisa saling menerima. Begitulah
kenyataan tumbuhnya iman kebangkitan. Baru terjadi bila ada sikap saling
menghargai. Juga jalan yang dialami tiap orang patut diperhatikan. Bukankah
demikian yang dialami kedua murid yang berjalan ke Emaus? Mereka dikawani
Yesus tanpa mereka sadari.
Ketika tiba-tiba Yesus berada di tengah-tengah mereka, para murid terkejut
dan menyangka mereka sedang berhadapan dengan hantu. Ada sisi yang menggugah
perasaan dalam peristiwa itu. Yesus memahami kebingungan para murid. Ia
merumuskan yang mereka rasakan. Yesus dapat membaca wajah dan pikiran mereka
dan berkata (ay. 38) "Mengapa kamu terkejut dan apa sebabnya timbul
keragu-raguan di dalam hati kamu?" Ia malah menyodorkan tangan dan kakinya
dan minta mereka meraba sambil berkata (ay. 39-40) "... hantu tidak ada
daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaku!" Dia menyelami
kesulitan mereka, dan kini juga, setelah bangkit, ia masih mengajar mereka
agar mereka dapat menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Guru itu tidak
meninggalkan mereka. Mereka tetap diajarinya melangkah lebih jauh. Memang
ini juga baru bagi saya.
Saking gembira dan campur heran, para murid belum bisa percaya bahwa yang
mereka hadapi ini bukan jadi-jadian, bukan proyeksi pikiran mereka sendiri.
Orang dulu sudah tahu bahwa jadi-jadian, hantu, ingatan akan orang mati yang
datang lagi, semua itu sebetulnya bayang-bayang belaka. Maka satu-satunya
cara untuk menguji ialah dengan menyuruhnya berbuat seperti orang hidup,
yakni makan. Tetapi tentu saja para murid tak berani. Yesus memberi jalan,
ia minta diberi sesuatu yang bisa dimakannya supaya mereka tak ragu-ragu
lagi. Begitulah mereka mendapatkan sepotong ikan bakar, bukan ikan goreng,
seperti ada dalam terjemahan kalian. Tapi ini bukan soal yang amat penting.
Yang dimaksud ialah ikan yang dimasak dan tentunya akan dimakan oleh para
murid sendiri. Ini bukan penjelasan yang dicari-cari lho.
Ikan itu kan hasil kerja para murid, dan tentunya salah satu dari mereka
juga yang menyiapkannya untuk disantap bersama hari itu. Perhatikan yang
terjadi pada saat itu. Hasil kerja para murid, itulah yang diminta Yesus
untuk dipakai sebagai batu uji apa dirinya itu nyata atau hanya
bayang-bayang belaka. Kita tidak bisa mulai dari awang-awang sana. Perlu
berpijak di bumi. Iman itu begitu. Baru demikian akan jadi iman yang kukuh.
Yesus bangkit, hidup berpijak pada kenyataan yang ada, yakni murid-muridnya,
jerih payah mereka, suka duka mereka, juga kesederhanaan mereka. Itulah yang
saya tangkap dari sumber-sumber saya dan ingin saya sampaikan kepada kalian.
Pada akhir petikan yang kalian bacakan ini ada pengajaran yang amat berharga
dari Yesus. Ia membaca kembali hidupnya sebagai penggenapan Kitab Suci (ay.
44). Sabda Ilahi juga menerangi makna penderitaan dan kebangkitannya (ay.
46). Murid-murid kini boleh merasa lega, tak terganjal, "plong"! Mereka juga
ingat bahwa mereka diminta membagikan kelegaan itu kepada semua orang, semua
bangsa. Bukankah ini yang paling kita butuhkan - jadi lega? Ah, hal itu
terungkap dengan cara bicara orang zaman itu, yakni "berita pertobatan dan
pengampunan dosa".
Beginilah yang dibayangkan orang dulu. "Dosa" itu bagaikan jerat yang
menyeret orang ke dasar telaga yang dalam. Makin tak berdaya, makin sesak,
makin gelap. Baca saja Mazmur 18:5-6 yang menyebut tali-tali maut yang
melilit yang makin menyesakkan. Orang merasa tak berdaya. Tak ada
selesainya. Menyeramkan. Orang yang terbawa ke sana disebut "mati", tapi
sebenarnya diikat oleh kekuatan-kekuatan tadi. Tersiksa terus. Satu-satunya
yang masih bisa dilakukan ialah berteriak minta pertolongan kepada Yang Maha
Kuasa, seperti yang terjadi dalam Mazmur itu. Ingat juga seruan minta tolong
dari jurang yang dalam seperti pada Mazmur 130.
"Pertobatan" ialah berseru dan percaya masih ada yang bisa menolong meski
lilitan tali-tali maut makin menyesakkan dan jurang makin dalam. Dan
"pengampunan" ialah pertolongan, pelonggaran, pelepasan dari tarikan ke
dasar jurang tadi. Hanya Yang Maha Kuasa sendirilah yang dapat melakukannya.
Ketika wafat , Yesus turun ke tempat orang mati, terlilit oleh hutang-hutang
kemanusiaan pada kekuatan jahat, terseret sampai ke dasar jurang yang kelam.
Satu-satunya harapannya ialah Bapanya di surga. Dan kami semua percaya ia
berseru agar tak ditinggalkan. Dan Dia yang di atas sana tidak tinggal diam.
Dia turun membebaskannya. Inilah yang terjadi dalam kebangkitan. Bagi
kemanusiaan, ini pengampunan. Kelegaan. Tapi bukan itu saja. Coba pikirkan
baik-baik. Yesus sampai ke dasar penderitaan itu bukan karena
hutang-hutangnya kepada yang jahat. Karena itu pembebasan yang diperolehnya
pun juga bukan bagi dirinya sendiri saja, melainkan bagi kemanusiaan. Inilah
yang diharapkan agar dibagikan kepada makin banyak orang. Kalian bisa juga
ikut mengupayakan agar kebangkitan itu juga menjadi kenyataan hidup di
masyarakat. Pemerdekaan dari jerat-jerat sosial yang mengerdilkan
kemanusiaan dan keadaban. Itu kan dimensi sosial iman kebangkitan?
Murid-murid diminta Yesus menjadi saksi bahwa "pertobatan" bisa dijalankan
dan "pengampunan" bisa digapai. Kita juga.
Salam,
Luc
Kawan-kawan yang baik!
Kemarin saya diminta mengisi ruang ulasan Injil kali ini. Dengar-dengar Luk
24:35-48 ditampilkan sebagai Injil Minggu Paskah III tahun B ini. Ada kawan
yang bertanya, kenapa diceritakan bahwa para murid tak langsung mengenali
Yesus yang tiba-tiba berada di antara mereka. Malah mereka menyangkanya
hantu. Ada lagi yang bertanya, apa sih maksudnya kok Yesus minta diberi
makan segala, apa ini perkara sajian kepada arwah. Katanya di negeri kalian
ada adat seperti itu. Ah, lain padang lain belalangnya.
Tak meleset amatan para ahli tafsir bahwa episode terakhir yang saya
ceritakan itu mirip dengan yang kemudian tertulis dalam Yoh 20:19-29.
Kalangan sumber kami sama. Minggu lalu di ruang ini kan ada kupasan tentang
itu. Betul seperti yang ditekankan, Yesus yang telah bangkit itu kini
menyertai para murid. Begitulah mereka mengalami kedamaian dan tidak lagi
merasa tertekan lagi. Berjumpa dengan dia yang telah bangkit itu membuat
para murid menemukan kehidupan baru. Pokok inilah yang saya garap dalam Luk
24:35-48.
Awal bacaan kali ini sebetulnya lanjutan kisah kedua orang murid yang
bertemu dengan Yesus di Emaus (Luk 24:13-33). Kedua orang itu kemudian
bergegas ke Yerusalem memberitakan pengalaman mereka kepada para murid
terdekat yang sedang berada bersama beberapa orang lain. Sementara itu
disebutkan (Luk 24:34) bahwa Simon juga telah melihat Yesus. Kedua murid
tadi kemudian bercerita bagaimana mereka berjalan bersama Yesus ke Emaus,
mendapat penjelasan mengenai kata Kitab Suci tentang dirinya, dan bagaimana
mereka mengenalinya ketika ia membagi-bagi roti. Kiranya pada waktu itu para
murid dan orang-orang yang dekat sedang berbagi pengalaman iman mengenai
Yesus. Beberapa orang memang merasa berjumpa dengan Yesus yang bangkit pada
kesempatan yang berbeda-beda. Tentu saja yang mereka lihat dan alami tidak
sama persis. Namun demikian, akhirnya mereka dapat saling memahami bahwa
yang mereka jumpai itu ialah dia yang dulu mereka kenal dalam hidup
sehari-hari. Sekarang ia berada dalam cara lain, tapi nyata.
Pengalaman bermacam-macam, tapi sama arahnya. Satu pula intinya. Yesus sudah
bangkit dan tetap berada dengan mereka, tapi dengan cara yang masih perlu
mereka sadari lebih lanjut. Tentu saja di antara para murid itu ada yang
merasa bahwa dirinyalah yang pertama kali berjumpa dengan Yesus. Ada yang
merasa paling dekat dengannya. Seperti ada kompetisi siapa yang paling
dikasihi! Ini manusiawi. Tetapi kalau begitu terus, perkaranya akan jadi
tidak keruan. Bisa-bisa mereka akan saling menyisihkan dan bergilir
mengklaim ilham paling utama, paling duluan. Memang benar pada saat-saat
awal itu para pengikut Yesus sempat saling meragu-ragukan. Dalam Luk 24:11
saya singgung bagaimana para rasul menganggap perkataan para perempuan
tentang Yesus sebagai omong kosong belaka; lihat juga ay. 24 yang
diperkatakan kepada Yesus sendiri oleh kedua murid yang ke Emaus itu.
Para murid butuh waktu untuk mengolah pengalaman mengenai Yesus yang wafat
di salib dan bangkit. Pada pengantar jilid dua kitab saya, ada saya catat
bahwa Yesus menampakkan diri kepada para murid dan menunjukkan dengan banyak
bukti bahwa dirinya betul hidup. Bahkan selama 40 hari berulang-ulang ia
menampakkan diri dan berbicara mengenai hal yang dulu diwartakannya, yakni
Kerajaan Allah (Kis 1:3). Jadi memang para murid perlu waktu mengendapkan
pengalaman mereka. Mereka butuh bantuan dari sang Guru sendiri. Lambat-laun
mereka belajar mendalami pengalaman mereka dan makin bisa berbicara satu
sama lain tentangnya. Para murid akhirnya bisa saling menerima. Begitulah
kenyataan tumbuhnya iman kebangkitan. Baru terjadi bila ada sikap saling
menghargai. Juga jalan yang dialami tiap orang patut diperhatikan. Bukankah
demikian yang dialami kedua murid yang berjalan ke Emaus? Mereka dikawani
Yesus tanpa mereka sadari.
Ketika tiba-tiba Yesus berada di tengah-tengah mereka, para murid terkejut
dan menyangka mereka sedang berhadapan dengan hantu. Ada sisi yang menggugah
perasaan dalam peristiwa itu. Yesus memahami kebingungan para murid. Ia
merumuskan yang mereka rasakan. Yesus dapat membaca wajah dan pikiran mereka
dan berkata (ay. 38) "Mengapa kamu terkejut dan apa sebabnya timbul
keragu-raguan di dalam hati kamu?" Ia malah menyodorkan tangan dan kakinya
dan minta mereka meraba sambil berkata (ay. 39-40) "... hantu tidak ada
daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaku!" Dia menyelami
kesulitan mereka, dan kini juga, setelah bangkit, ia masih mengajar mereka
agar mereka dapat menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Guru itu tidak
meninggalkan mereka. Mereka tetap diajarinya melangkah lebih jauh. Memang
ini juga baru bagi saya.
Saking gembira dan campur heran, para murid belum bisa percaya bahwa yang
mereka hadapi ini bukan jadi-jadian, bukan proyeksi pikiran mereka sendiri.
Orang dulu sudah tahu bahwa jadi-jadian, hantu, ingatan akan orang mati yang
datang lagi, semua itu sebetulnya bayang-bayang belaka. Maka satu-satunya
cara untuk menguji ialah dengan menyuruhnya berbuat seperti orang hidup,
yakni makan. Tetapi tentu saja para murid tak berani. Yesus memberi jalan,
ia minta diberi sesuatu yang bisa dimakannya supaya mereka tak ragu-ragu
lagi. Begitulah mereka mendapatkan sepotong ikan bakar, bukan ikan goreng,
seperti ada dalam terjemahan kalian. Tapi ini bukan soal yang amat penting.
Yang dimaksud ialah ikan yang dimasak dan tentunya akan dimakan oleh para
murid sendiri. Ini bukan penjelasan yang dicari-cari lho.
Ikan itu kan hasil kerja para murid, dan tentunya salah satu dari mereka
juga yang menyiapkannya untuk disantap bersama hari itu. Perhatikan yang
terjadi pada saat itu. Hasil kerja para murid, itulah yang diminta Yesus
untuk dipakai sebagai batu uji apa dirinya itu nyata atau hanya
bayang-bayang belaka. Kita tidak bisa mulai dari awang-awang sana. Perlu
berpijak di bumi. Iman itu begitu. Baru demikian akan jadi iman yang kukuh.
Yesus bangkit, hidup berpijak pada kenyataan yang ada, yakni murid-muridnya,
jerih payah mereka, suka duka mereka, juga kesederhanaan mereka. Itulah yang
saya tangkap dari sumber-sumber saya dan ingin saya sampaikan kepada kalian.
Pada akhir petikan yang kalian bacakan ini ada pengajaran yang amat berharga
dari Yesus. Ia membaca kembali hidupnya sebagai penggenapan Kitab Suci (ay.
44). Sabda Ilahi juga menerangi makna penderitaan dan kebangkitannya (ay.
46). Murid-murid kini boleh merasa lega, tak terganjal, "plong"! Mereka juga
ingat bahwa mereka diminta membagikan kelegaan itu kepada semua orang, semua
bangsa. Bukankah ini yang paling kita butuhkan - jadi lega? Ah, hal itu
terungkap dengan cara bicara orang zaman itu, yakni "berita pertobatan dan
pengampunan dosa".
Beginilah yang dibayangkan orang dulu. "Dosa" itu bagaikan jerat yang
menyeret orang ke dasar telaga yang dalam. Makin tak berdaya, makin sesak,
makin gelap. Baca saja Mazmur 18:5-6 yang menyebut tali-tali maut yang
melilit yang makin menyesakkan. Orang merasa tak berdaya. Tak ada
selesainya. Menyeramkan. Orang yang terbawa ke sana disebut "mati", tapi
sebenarnya diikat oleh kekuatan-kekuatan tadi. Tersiksa terus. Satu-satunya
yang masih bisa dilakukan ialah berteriak minta pertolongan kepada Yang Maha
Kuasa, seperti yang terjadi dalam Mazmur itu. Ingat juga seruan minta tolong
dari jurang yang dalam seperti pada Mazmur 130.
"Pertobatan" ialah berseru dan percaya masih ada yang bisa menolong meski
lilitan tali-tali maut makin menyesakkan dan jurang makin dalam. Dan
"pengampunan" ialah pertolongan, pelonggaran, pelepasan dari tarikan ke
dasar jurang tadi. Hanya Yang Maha Kuasa sendirilah yang dapat melakukannya.
Ketika wafat , Yesus turun ke tempat orang mati, terlilit oleh hutang-hutang
kemanusiaan pada kekuatan jahat, terseret sampai ke dasar jurang yang kelam.
Satu-satunya harapannya ialah Bapanya di surga. Dan kami semua percaya ia
berseru agar tak ditinggalkan. Dan Dia yang di atas sana tidak tinggal diam.
Dia turun membebaskannya. Inilah yang terjadi dalam kebangkitan. Bagi
kemanusiaan, ini pengampunan. Kelegaan. Tapi bukan itu saja. Coba pikirkan
baik-baik. Yesus sampai ke dasar penderitaan itu bukan karena
hutang-hutangnya kepada yang jahat. Karena itu pembebasan yang diperolehnya
pun juga bukan bagi dirinya sendiri saja, melainkan bagi kemanusiaan. Inilah
yang diharapkan agar dibagikan kepada makin banyak orang. Kalian bisa juga
ikut mengupayakan agar kebangkitan itu juga menjadi kenyataan hidup di
masyarakat. Pemerdekaan dari jerat-jerat sosial yang mengerdilkan
kemanusiaan dan keadaban. Itu kan dimensi sosial iman kebangkitan?
Murid-murid diminta Yesus menjadi saksi bahwa "pertobatan" bisa dijalankan
dan "pengampunan" bisa digapai. Kita juga.
Salam,
Luc
No comments:
Post a Comment