Injil Minggu XXXII/B 11 November 2010 (Mrk 12:38-44 )
LURUS DI HADAPAN TUHAN DAN SESAMA?
Menurut isinya, Mrk 12:38-44 (Injil Minggu Biasa XXXII tahun B) terdiri dari
dua bagian. Yang pertama, ay. 38-40, memuat amatan keras Yesus terhadap
perilaku sementara ahli Taurat yang suka mempertontonkan kesalehan dan
menyalahgunakan penghormatan orang terhadap mereka, tapi lebih-lebih karena
mereka "menelan rumah janda-janda", serta mengelabui mata orang dengan doa
mereka yang berkepanjangan. Dalam bagian selanjutnya, ay. 41-44, didapati
pengajaran Yesus kepada para muridnya ketika mengamati orang-orang yang
memasukkan uang ke dalam peti persembahan di Bait Allah. Ada seorang janda
miskin yang memberikan uang receh paling kecil - itulah seluruh nafkahnya.
Kata Yesus, pemberiannya lebih dari orang-orang yang memberi dari kelimpahan
mereka. Apa ini pujian bagi sang janda dan sindiran terhadap orang yang
memberi dari kelimpahan? Mari kita temukan Kabar Gembira petikan kali ini
agar kita dapat pula ikut mewartakannya.
ARAH TAFSIR
Petikan ini bukan pertama-tama dimaksud untuk mengecam sikap sementara orang
maupun untuk memuji-muji orang miskin yang berani berkorban, melainkan untuk
mengajar para murid bernalar. Begitu juga Warta Gembira bagi kita jangan
kita jadikan kabar buruk bagi orang lain. Ini prinsip yang perlu dipegang
dalam menafsirkan Alkitab khususnya dalam memakainya dalam pewartaan. Bila
tidak, Injil akan menjadi alat pengecam dan sulit menjadi Kabar Gembira bagi
siapa saja.
Hendak diajarkan kepekaan mewaspadai kebiasaan kita sendiri. Dalam ay. 38,
dikatakan "Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang...!" Dinasihatkan
agar orang awas, artinya tidak menerima begitu saja apa yang di kalangan
umum diterima sebagai tindakan yang patut disetujui dan bahkan dijadikan
teladan. Apalagi bila menyangkut tokoh-tokoh yang berwibawa, seperti para
ahli Taurat. Mereka ini orang yang tahu menahu tentang agama. Mereka lazim
menjadi panutan orang banyak. Sebenarnya ada banyak ahli Taurat yang baik,
juga pada zaman itu. Tapi ada beberapa gelintir dari mereka yang
menyalahgunakan kedudukan serta penghormatan orang terhadap mereka. Mereka
inilah yang disoroti.
PEGANGAN
Tidak mudah menilai anggapan serta perbuatan para tokoh seperti kaum ahli
Taurat. Apa pegangannya? Tak lain dan tak bukan yakni mewaspadai apa
kelakuan tertentu itu sejalan atau kurang sejalan dengan dua perintah yang
paling terutama yang dijadikan pokok pembicaraan dalam Mrk 12:28-34 (Injil
Minggu lalu), yakni mengasihi Tuhan Allah dengan seutuh-utuhnya dan
mengasihi sesama seperti diri sendiri.
Mempertontonkan kesalehan dalam berdoa dan mengharapkan penghargaan dari
orang bukan cara yang cocok untuk menepati perintah mengasihi Tuhan Allah.
Mengapa? Karena Dia dijadikan dalih agar diri sendiri mendapat kemudahan,
memperoleh penghormatan, menikmati privilegi sebagai rohaniwan, sebagai
ulama. Apalagi dengan dalih seperti itu kasarnya apa-apa saja bisa
dipaksa-paksakan: bila begitu menghujat, kami membela Tuhan Allah, kalian
mesti tunduk! Jangan melecehkan orang yang menjalankan ibadat, karena "ia
sedang mengasihi Tuhan". Tapi Tuhan sendiri malah tidak mendapat tempat
dalam kehidupan orang seperti itu.
Menelan rumah janda-janda, membeli dengan paksa, atau mengambil alih tempat
berlindung mereka itu kelakuan yang kejam. Juga jadi tindakan yang paling
melanggar perintah mengasihi sesama seperti diri sendiri. Memang kebanyakan
orang biasa tidak memiliki rumah sendiri, mereka biasa menyewa dari pemilik
tanah. Tapi bila penyewa meninggal maka istrinya tidak langsung berhak
meneruskan memakai tanah atau rumahnya. Janda itu biasanya disuruh pergi,
dan nasibnya tergantung pada sanak dekat yang menurut aturan hukum adat
dapat diminta mengurusnya. Keadaan umat Perjanjian Lama dulu di Mesir
seperti itu. Karena itu dalam kepercayaan mereka, Tuhan menampilkan diri
sebagai sanak terdekat yang membela mereka dan menuntun mereka keluar dari
tempat penderitaan dan memberi mereka negeri baru! Oleh karena itu jauh di
kemudian hari setelah umat mengalami perbaikan hidup, diajarkan agar selalu
diingat bahwa leluhur mereka dulu menderita dan oleh karena itu kini jangan
sekali-kali memperlakukan orang yang tak ada pelindungnya dengan
semena-mena. Bila tak mau mengerti, nanti Tuhan sendiri akan menjadi pembela
orang yang tertindas tadi, seperti dulu juga. Dan orang yang berlaku keras
akan terhukum seperti raja Mesir dan penindas lain dulu! Tak ada hukuman
lain yang lebih berat daripada dimusuhi oleh Tuhan sendiri.
MANAJEMEN GEREJA
Di kalangan Gereja Awal tumbuh kepedulian besar akan keadaan para janda. Kis
6:1-6 mempermasalahkan kurangnya pelayanan yang semestinya diberikan kepada
para janda, bahkan dalam kebutuhan yang amat sehari-hari. Para pemimpin
sibuk mengurus pengajaran mengenai Sabda sehingga urusan sehari-hari kurang
dapat ikut mereka tangani. Ini masalah manajemen dalam komunitas tapi yang
berakibat pada terlantarnya orang-orang yang mesti diurus. Guna memperbaiki
keadaan, maka diangkatlah orang-orang yang ditugasi mengurus kebutuhan yang
kurang dapat diurus para pemimpin sendiri. Begitulah asal usul adanya para
diakon dalam Gereja Awal. Terlihat dalam komunitas pertama itu betapa
besarnya perhatian terhadap para janda. Juga dalam Kis 9:39 disebutkan bahwa
Dorkas (Tabita) dikenang karena jasanya mengurus keperluan sandang bagi para
janda. Dari 1 Tim 5:3-16 bahkan dapat disimpulkan bagaimana tertibnya
organisasi pelayanan bagi para janda. Ada daftar siapa yang betul-betul
membutuhkan pelayanan. Ada pengaturan, bila mungkin hendaknya saudara
dekatnya menolong, termasuk mendapatkan suami. Ini semua karena masyarakat
waktu itu memang sulit bagi perempuan yang hidup sendirian.
Bagaimana menafsirkan amatan mengenai sang janda yang memberikan seluruh
nafkahnya itu (Mrk 12:44)? Dikatakan bahwa ia memberi jauh lebih banyak dari
pada orang-orang yang memberi dari kelimpahannya. Pembaca mesti
pandai-pandai menyadari permasalahannya. Memang gampang menggarisbawahi
pemberian sang janda ini pemberian yang menyeluruh, tanpa menyisakan bagi
diri sendiri, dst. Sikap seperti ini tentunya mesti dipegang dalam memberi,
apalagi kepada Tuhan. Tapi tafsiran seperti itu sebenarnya kurang menggali
warta Injil degan cukup dalam. Juga bukan cara untuk berwarta. Tidak banyak
yang dapat berlaku seperti janda itu dalam hidup nyata. Maka tak usah ke
sana arahnya. Malah akan membuat Injil makin jauh dari kehidupan.
PEMBERIAN?
Pendengar zaman dulu tentunya paham akan keadaan para janda dalam komunitas
mereka. Dan mereka akan membandingkan kisah itu dengan kenyataan yang
sehari-hari. Dikatakan janda itu memberikan seluruh nafkahnya. Ini akan
dimengerti sebagai ungkapan bahwa sang janda masih butuh dan berhak mendapat
perhatian sungguh. Jadi bukan semata-mata kisah mengenai nilai pemberian
dari orang miskin? Bagaimana penjelasannya?
Iuran wajib bagi Bait Allah (seperti perpuluhan dst.) memang dipakai
sebagian untuk pemeliharaan tempat ibadat dan keperluan upacara, tetapi
sebagian besar dialokasikan sebagai bantuan bagi orang-orang miskin, yatim
piatu, dan janda. Semuanya diatur dalam anggaran Bait Allah. Orang yang tak
punya apa-apa akan mendapat bantuan, asal betul-betul tak punya. Nah janda
tadi memberikan seluruh "nafkahnya" yang tentunya diperoleh bukan dari
bantuan tadi. Dengan demikian ia akan berhak mendapat bantuan yang
diperuntukkan baginya. Tentunya bantuan Bait Allah ini akan lebih besar
daripada dua keping uang tembaga, yang tidak akan cukup untuk hidup sehari.
Tetapi bila sang janda memegang "nafkahnya" yang hari itu memang hanya dua
uang tembaga receh itu bisa jadi ia tidak dianggap butuh bantuan resmi tadi
- mungkin ia masih mendapat nafkah lain sampai cukup buat menyambung hidup.
Tetapi bila merelakan semua yang ada, maka ia akan dinyatakan tak punya
apa-apa lagi dan hidupnya hari itu akan ditanggung yang berwajib. Tak usah
kisah ini dimengerti sebagai ajakan memuji-muji sikap memberi sang janda
tadi atau menyindir orang yang berduit. Ia boleh dipuji dengan alasan lain
yang akan diutarakan di bawah. Kisah ini pertama-tama ditujukan kepada para
pengurus komunitas para murid agar siap memperhatikan orang-orang seperti
janda yang tak memiliki apa-apa lagi sehingga hidupnya menjadi tanggungan
jemaat. Kisah ini disampaikan untuk menajamkan kepekaan terhadap orang yang
berhak mendapatkan bantuan, bukan untuk meromantiskan mereka.
Namun demikian, keberanian sang janda dalam menyatakan diri tak punya
apa-apa lagi dengan cara tadi patut dilihat sebagai penyerahan diri kepada
kebaikan Tuhan. Mempercayakan diri sepenuhnya, inilah pengajaran Injil hari
ini. Bagaimana dengan orang yang memberi dari kelimpahan, yang tentunya
dapat masih dapat menyandarkan diri pada harta milik yang ada padanya.
Mereka, dan orang-orang seperti kita, diajak berani belajar semakin
menyandarkan diri kepada Tuhan. Tak perlu dengan cara pemberian, melainkan
dengan cara yang akan melibatkan diri. Apa itu? Yesus tidak menunjukkan
seluk beluknya. Dan Injil diam. Diserahkan kepada pemahaman dan kesuburan
moral masing-masing. Prakarsa serta kreativitas masing-masing masih mendapat
tempat. Dan ini termasuk Kabar Gembiranya.
Salam hangat,
A. Gianto
LURUS DI HADAPAN TUHAN DAN SESAMA?
Menurut isinya, Mrk 12:38-44 (Injil Minggu Biasa XXXII tahun B) terdiri dari
dua bagian. Yang pertama, ay. 38-40, memuat amatan keras Yesus terhadap
perilaku sementara ahli Taurat yang suka mempertontonkan kesalehan dan
menyalahgunakan penghormatan orang terhadap mereka, tapi lebih-lebih karena
mereka "menelan rumah janda-janda", serta mengelabui mata orang dengan doa
mereka yang berkepanjangan. Dalam bagian selanjutnya, ay. 41-44, didapati
pengajaran Yesus kepada para muridnya ketika mengamati orang-orang yang
memasukkan uang ke dalam peti persembahan di Bait Allah. Ada seorang janda
miskin yang memberikan uang receh paling kecil - itulah seluruh nafkahnya.
Kata Yesus, pemberiannya lebih dari orang-orang yang memberi dari kelimpahan
mereka. Apa ini pujian bagi sang janda dan sindiran terhadap orang yang
memberi dari kelimpahan? Mari kita temukan Kabar Gembira petikan kali ini
agar kita dapat pula ikut mewartakannya.
ARAH TAFSIR
Petikan ini bukan pertama-tama dimaksud untuk mengecam sikap sementara orang
maupun untuk memuji-muji orang miskin yang berani berkorban, melainkan untuk
mengajar para murid bernalar. Begitu juga Warta Gembira bagi kita jangan
kita jadikan kabar buruk bagi orang lain. Ini prinsip yang perlu dipegang
dalam menafsirkan Alkitab khususnya dalam memakainya dalam pewartaan. Bila
tidak, Injil akan menjadi alat pengecam dan sulit menjadi Kabar Gembira bagi
siapa saja.
Hendak diajarkan kepekaan mewaspadai kebiasaan kita sendiri. Dalam ay. 38,
dikatakan "Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang...!" Dinasihatkan
agar orang awas, artinya tidak menerima begitu saja apa yang di kalangan
umum diterima sebagai tindakan yang patut disetujui dan bahkan dijadikan
teladan. Apalagi bila menyangkut tokoh-tokoh yang berwibawa, seperti para
ahli Taurat. Mereka ini orang yang tahu menahu tentang agama. Mereka lazim
menjadi panutan orang banyak. Sebenarnya ada banyak ahli Taurat yang baik,
juga pada zaman itu. Tapi ada beberapa gelintir dari mereka yang
menyalahgunakan kedudukan serta penghormatan orang terhadap mereka. Mereka
inilah yang disoroti.
PEGANGAN
Tidak mudah menilai anggapan serta perbuatan para tokoh seperti kaum ahli
Taurat. Apa pegangannya? Tak lain dan tak bukan yakni mewaspadai apa
kelakuan tertentu itu sejalan atau kurang sejalan dengan dua perintah yang
paling terutama yang dijadikan pokok pembicaraan dalam Mrk 12:28-34 (Injil
Minggu lalu), yakni mengasihi Tuhan Allah dengan seutuh-utuhnya dan
mengasihi sesama seperti diri sendiri.
Mempertontonkan kesalehan dalam berdoa dan mengharapkan penghargaan dari
orang bukan cara yang cocok untuk menepati perintah mengasihi Tuhan Allah.
Mengapa? Karena Dia dijadikan dalih agar diri sendiri mendapat kemudahan,
memperoleh penghormatan, menikmati privilegi sebagai rohaniwan, sebagai
ulama. Apalagi dengan dalih seperti itu kasarnya apa-apa saja bisa
dipaksa-paksakan: bila begitu menghujat, kami membela Tuhan Allah, kalian
mesti tunduk! Jangan melecehkan orang yang menjalankan ibadat, karena "ia
sedang mengasihi Tuhan". Tapi Tuhan sendiri malah tidak mendapat tempat
dalam kehidupan orang seperti itu.
Menelan rumah janda-janda, membeli dengan paksa, atau mengambil alih tempat
berlindung mereka itu kelakuan yang kejam. Juga jadi tindakan yang paling
melanggar perintah mengasihi sesama seperti diri sendiri. Memang kebanyakan
orang biasa tidak memiliki rumah sendiri, mereka biasa menyewa dari pemilik
tanah. Tapi bila penyewa meninggal maka istrinya tidak langsung berhak
meneruskan memakai tanah atau rumahnya. Janda itu biasanya disuruh pergi,
dan nasibnya tergantung pada sanak dekat yang menurut aturan hukum adat
dapat diminta mengurusnya. Keadaan umat Perjanjian Lama dulu di Mesir
seperti itu. Karena itu dalam kepercayaan mereka, Tuhan menampilkan diri
sebagai sanak terdekat yang membela mereka dan menuntun mereka keluar dari
tempat penderitaan dan memberi mereka negeri baru! Oleh karena itu jauh di
kemudian hari setelah umat mengalami perbaikan hidup, diajarkan agar selalu
diingat bahwa leluhur mereka dulu menderita dan oleh karena itu kini jangan
sekali-kali memperlakukan orang yang tak ada pelindungnya dengan
semena-mena. Bila tak mau mengerti, nanti Tuhan sendiri akan menjadi pembela
orang yang tertindas tadi, seperti dulu juga. Dan orang yang berlaku keras
akan terhukum seperti raja Mesir dan penindas lain dulu! Tak ada hukuman
lain yang lebih berat daripada dimusuhi oleh Tuhan sendiri.
MANAJEMEN GEREJA
Di kalangan Gereja Awal tumbuh kepedulian besar akan keadaan para janda. Kis
6:1-6 mempermasalahkan kurangnya pelayanan yang semestinya diberikan kepada
para janda, bahkan dalam kebutuhan yang amat sehari-hari. Para pemimpin
sibuk mengurus pengajaran mengenai Sabda sehingga urusan sehari-hari kurang
dapat ikut mereka tangani. Ini masalah manajemen dalam komunitas tapi yang
berakibat pada terlantarnya orang-orang yang mesti diurus. Guna memperbaiki
keadaan, maka diangkatlah orang-orang yang ditugasi mengurus kebutuhan yang
kurang dapat diurus para pemimpin sendiri. Begitulah asal usul adanya para
diakon dalam Gereja Awal. Terlihat dalam komunitas pertama itu betapa
besarnya perhatian terhadap para janda. Juga dalam Kis 9:39 disebutkan bahwa
Dorkas (Tabita) dikenang karena jasanya mengurus keperluan sandang bagi para
janda. Dari 1 Tim 5:3-16 bahkan dapat disimpulkan bagaimana tertibnya
organisasi pelayanan bagi para janda. Ada daftar siapa yang betul-betul
membutuhkan pelayanan. Ada pengaturan, bila mungkin hendaknya saudara
dekatnya menolong, termasuk mendapatkan suami. Ini semua karena masyarakat
waktu itu memang sulit bagi perempuan yang hidup sendirian.
Bagaimana menafsirkan amatan mengenai sang janda yang memberikan seluruh
nafkahnya itu (Mrk 12:44)? Dikatakan bahwa ia memberi jauh lebih banyak dari
pada orang-orang yang memberi dari kelimpahannya. Pembaca mesti
pandai-pandai menyadari permasalahannya. Memang gampang menggarisbawahi
pemberian sang janda ini pemberian yang menyeluruh, tanpa menyisakan bagi
diri sendiri, dst. Sikap seperti ini tentunya mesti dipegang dalam memberi,
apalagi kepada Tuhan. Tapi tafsiran seperti itu sebenarnya kurang menggali
warta Injil degan cukup dalam. Juga bukan cara untuk berwarta. Tidak banyak
yang dapat berlaku seperti janda itu dalam hidup nyata. Maka tak usah ke
sana arahnya. Malah akan membuat Injil makin jauh dari kehidupan.
PEMBERIAN?
Pendengar zaman dulu tentunya paham akan keadaan para janda dalam komunitas
mereka. Dan mereka akan membandingkan kisah itu dengan kenyataan yang
sehari-hari. Dikatakan janda itu memberikan seluruh nafkahnya. Ini akan
dimengerti sebagai ungkapan bahwa sang janda masih butuh dan berhak mendapat
perhatian sungguh. Jadi bukan semata-mata kisah mengenai nilai pemberian
dari orang miskin? Bagaimana penjelasannya?
Iuran wajib bagi Bait Allah (seperti perpuluhan dst.) memang dipakai
sebagian untuk pemeliharaan tempat ibadat dan keperluan upacara, tetapi
sebagian besar dialokasikan sebagai bantuan bagi orang-orang miskin, yatim
piatu, dan janda. Semuanya diatur dalam anggaran Bait Allah. Orang yang tak
punya apa-apa akan mendapat bantuan, asal betul-betul tak punya. Nah janda
tadi memberikan seluruh "nafkahnya" yang tentunya diperoleh bukan dari
bantuan tadi. Dengan demikian ia akan berhak mendapat bantuan yang
diperuntukkan baginya. Tentunya bantuan Bait Allah ini akan lebih besar
daripada dua keping uang tembaga, yang tidak akan cukup untuk hidup sehari.
Tetapi bila sang janda memegang "nafkahnya" yang hari itu memang hanya dua
uang tembaga receh itu bisa jadi ia tidak dianggap butuh bantuan resmi tadi
- mungkin ia masih mendapat nafkah lain sampai cukup buat menyambung hidup.
Tetapi bila merelakan semua yang ada, maka ia akan dinyatakan tak punya
apa-apa lagi dan hidupnya hari itu akan ditanggung yang berwajib. Tak usah
kisah ini dimengerti sebagai ajakan memuji-muji sikap memberi sang janda
tadi atau menyindir orang yang berduit. Ia boleh dipuji dengan alasan lain
yang akan diutarakan di bawah. Kisah ini pertama-tama ditujukan kepada para
pengurus komunitas para murid agar siap memperhatikan orang-orang seperti
janda yang tak memiliki apa-apa lagi sehingga hidupnya menjadi tanggungan
jemaat. Kisah ini disampaikan untuk menajamkan kepekaan terhadap orang yang
berhak mendapatkan bantuan, bukan untuk meromantiskan mereka.
Namun demikian, keberanian sang janda dalam menyatakan diri tak punya
apa-apa lagi dengan cara tadi patut dilihat sebagai penyerahan diri kepada
kebaikan Tuhan. Mempercayakan diri sepenuhnya, inilah pengajaran Injil hari
ini. Bagaimana dengan orang yang memberi dari kelimpahan, yang tentunya
dapat masih dapat menyandarkan diri pada harta milik yang ada padanya.
Mereka, dan orang-orang seperti kita, diajak berani belajar semakin
menyandarkan diri kepada Tuhan. Tak perlu dengan cara pemberian, melainkan
dengan cara yang akan melibatkan diri. Apa itu? Yesus tidak menunjukkan
seluk beluknya. Dan Injil diam. Diserahkan kepada pemahaman dan kesuburan
moral masing-masing. Prakarsa serta kreativitas masing-masing masih mendapat
tempat. Dan ini termasuk Kabar Gembiranya.
Salam hangat,
A. Gianto
No comments:
Post a Comment