Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Injil Minggu Biasa XVI - C 17 Juli 2016

Ulasan Eksegetis Injil Minggu Biasa XVI - C, 17 Juli 2016 ( Luk 10:38-42)

By A. Gianto on July, 2016 Jendela Alkitab, Mingguan

Rekan-rekan yang baik!

KISAH dua perempuan bersaudara dalam Luk 10:38-42 yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XVI tahun C ini acap kali dipandang sebagai anjuran agar orang memilih bersikap seperti Maria yang duduk bersimpuh mendengarkan Tuhan dan jangan seperti Marta, saudaranya, yang tenggelam dalam kesibukan pelayanan belaka. Tetapi dalam teks Injil Lukas itu tidak kita jumpai Yesus yang memuji-muji Maria, tidak pula ada celaan terang-terangan atau halus terhadap sikap Marta. Yesus bertamu untuk menerima kebaikan mereka dan ia menukarnya dengan Kabar Gembira, bukan sindiran atau ajaran-ajaran yang kerap dititipkan atau dipaksa-paksakan ke dalam Injil.

Di Rumah Marta

Cerita ini terjadi di rumah “seorang perempuan yang bernama Marta” (ayat 38). Tokoh ini kiranya memang seorang perempuan terpandang yang tinggal di sebuah suburbia. Terjemahan “desa” dapat memberi kesan keliru. Dari Yoh 11:1 kita tahu rumah Marta itu di Betania, semacam pemukiman yang berkembang dalam hubungan dengan sebuah kota tua, yakni Yerusalem. Di Betania itu juga nanti Yesus dielu-elukan sebagai raja (Luk 19:29, Mrk 11:1). Mereka yang tinggal di tempat seperti itu biasanya orang yang cukup berada. Gagasan “suburbia” lebih cocok, seperti “Kebayoran Baru”-nya Jakarta atau “Candi Baru”-nya Semarang atau “BSD”. Begitulah bisa sekadar kita bayangkan kedudukan sosial Marta dan Maria.

Di beberapa tempat lain dalam Injil disebutkan Yesus mengajar dari kota ke kota dan dari “desa ke desa”. Sebetulnya yang dimaksud ialah dari kota dan wilayah suburbianya. Memang Gereja pertama berkembang di kalangan itu. Di tanah Palestina dulu tak ada banyak hunian yang mirip desa yang biasa kita bayangkan, yaitu pemukiman yang terpisah dari dunia perkotaan. Di sana sini di padang gurun memang ada hunian kaum Badui, tetapi mereka tidak menetap di satu tempat melainkan berpindah-pindah secara musiman. Di wilayah padang gurun memang ada pertapaan dan orang perkotaan sekali-sekali datang untuk “nyepi” atau minta berkah orang suci seperti Yohanes Pembaptis. Di mana orang “miskin” tinggal? Tempat mereka meneduh biasanya di luar pintu gerbang kota, tetapi tidak di suburbia kota itu. Mereka biasa meminta sedekah di jalanan dari mereka yang keluar masuk kota. Bersama dengan penderita kusta, orang buta, orang miskin tinggal di luar kedua wilayah hunian itu. Mereka betul-betul kaum marginal, tak masuk hitungan. Para murid dari generasi kedua yang memang orang kota dan suburbia makin peka akan keadaan mereka yang terpinggir ini dan berbuat banyak untuk mengentas mereka dari kemelaratan. Dalam hal ini terasa paling jelas kesadaran kalangan murid yang dikenal Lukas.

Marta dikenang para murid generasi kedua sebagai perempuan terpandang yang rumahnya pernah menjadi tempat singgah Yesus bersama murid-muridnya dalam perjalanan menuju Yerusalem. Memang tak sedikit perempuan yang “melayani rombongan Yesus dengan harta mereka” (Luk 8:3 lihat juga Luk 4:39; Mrk 15:40-41). Dan kedua bersaudara ini termasuk kelompok penunjang seperti itu. (Maria saudara Marta itu bukan Maria Magdalena.) Di rumah itu Yesus tidak hanya singgah, ia juga sempat mengajar. Di situ ia diterima baik, tidak seperti di sebuah tempat di Samaria yang diceritakan sebelumnya dalam Luk 9:53-56.

Dua cara Menerima Kedatangan Yesus

Tentu saja Marta bangga rumahnya disinggahi. Ia berusaha sebaik-baiknya melayani tetamunya. Terutama tamu yang satu ini. Tidak heran, ibu rumah tangga ini mulai sibuk menyiapkan ruang, perhelatan, apa saja yang pantas bagi kesempatan ini. Ia tidak ingin nanti dibicarakan orang bahwa jamuannya tak semeriah Bu Anu…. Kita bayangkan Marta ke sana ke mari mencicipi ini itu, menyuruh si ini si itu, agak mengomel kok begini begitu, ia pegang komando sore itu… Lha di mana Maria? Tuh, malah “duduk dekat kaki Yesus” ikut-ikutan mendengarkan uraian ilmu ketuhanan yang sedang dibeberkan Yesus kepada para bapak terhormat di ruang tamu! Bagaimana si Maria ini, pikir Marta. Di zaman itu memang tak biasa perempuan diterima menjadi murid ahli agama. Yesus ini nyleneh. Kok tidak merasa kurang enak kuliahnya ikut dihadiri perempuan. Marta makin kesal. Dan pada ayat 40 rasa jengkelnya itu sempat mendarat pada Yesus, “Tuhan, kok diam saja melihat saudaraku ini membiarkan aku sendirian keteteran melayani!” Tipe Marta itu masih dapat dilihat di sekitar kita, perempuan baik hati dan cekatan, meski ceplas-ceplos dan rada intimidating. Maria lain. Siapa yang lebih menerima Kabar Gembira? Tak perlu tergesa-gesa kita jawab.

Tentang Maria tidak banyak kata ditulis. Namun ia menjadi perhatian semua pihak: Marta yang kesal terhadapnya, Yesus yang akan mengatakan sesuatu tentangnya, dan orang banyak, dan homilist hari ini juga. Jangan lupa, juga perhatian Lukas penginjil! Maria perempuan yang berani dalam caranya sendiri, tak kalah dari Marta, ia nekat mendengarkan kuliah Yesus. Ia tak membiarkan diri dibatasi rambu-rambu tingkah laku bagi kaum perempuan waktu itu. Tapi ia tidak mencari-cari pembenaran teoretis. Mungkin juga bukan soal baginya. Tak terpikir olehnya teori emansipasi, apalagi wacana seputar konstruksi sosial gender. Perangainya tidak konfrontatif. Sekarang ia sedang asyik mendengarkan perkataan Yesus – “duduk dekat kaki Tuhan”, seperti dibisikkan Lukas kepada pembacanya dalam ayat 39. Langsung sesudahnya, Lukas menulis “sedangkan Marta sibuk sekali melayani”. Sikap mendengarkan ditaruh Lukas berjajar dengan kesibukan melayani. Ini bukan penilaian. Bukan juga untuk membuat kita memili! Ia mengajak kita mengamat-amati serta menikmati peristiwa manusiawi itu dan belajar mengenal kemanusiaan sendiri.

Melacak Kisruhnya Teks

Bukan maksud Lukas memperlawankan kerohanian kontemplatif dan spiritualitas aktif. Tidak juga seperti Yesuit yang getol menyarankan sintesis antara keduanya dalam ujud “contemplatio in actione”. Lukas lebih apa adanya, lebih lugu. Tapi juga lebih lembut. Ia memperlihatkan, di dalam perjalanan ke salib, ke Yerusalem ini, ada orang-orang yang menyambutnya secara khusus tapi dengan cara mereka masing-masing.

Pada akhir episode itu Yesus mengatakan Maria sudah memilih “bagian terbaik” yang tak akan diambil darinya. Apa itu? Mendengarkan Tuhan? Agar supaya tidak terlalu cepat meloncat ke tafsiran seperti itu, baiklah diketahui bahwa paling sedikit ada lima versi teks pada ayat yang memuat “bagian terbaik” tadi. Ini menunjukkan saratnya upaya penafsiran dari zaman dulu: (1) Marta, Marta, Maria telah memilih bagian terbaik… (2) Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak hal, Maria telah memilih bagian terbaik…. (3) Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak hal; tapi hanya beberapa saja yang perlu; Maria telah memilih bagian terbaik…. (4) Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak hal; tapi hanya satu saja yang perlu; Maria telah memilih bagian terbaik…. (5) Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak hal; tapi hanya beberapa saja yang perlu atau malah hanya satu saja; Maria telah memilih bagian terbaik….

Jelas (5) itu hasil gabungan (3) dan (4), dan masing-masing dari (3) dan (4) itu berisi tafsiran tentang apa yang dimaksud dengan tak usah banyak repot dalam (2). Teks (1) boleh jadi telah kehilangan “engkau khawatir…dengan banyak hal” yang memuat amatan Yesus mengenai Marta. Mana yang benar? Teks Lembaga Alkitab Indonesia, memilih (4), mengikuti pemakaian teks utama dalam liturgi. Tradisi ini memang sepatutnya dihargai. Mari kita coba mengerti alam pikiran pengarangnya sendiri.

“Memilih yang Terbaik”

Luc kemarin datang ngobrol. Beberapa minggu ini memang ia tak kelihatan. Maklum baru saja ia kembali dari menengok kampung halamannya. Dibawanya oleh-oleh sebesek kunafa, penganan nyamikan Timur Tengah bermadu, kenyal-kenyal kemripik berisi kacang pistacchio gepuk. Di sore musim panas itu kami mulai bicara ke sana ke mari mengenai orang-orang zaman dulu, termasuk kedua bersaudara Marta dan Maria.

GUS: Marta masuk lagi ke ruang tamu, bangga, membawa penampan dengan tambahan kunafa dan heran melihat minumannya kok ternyata belum dihidangkan. Tadi Maria kan sudah dipesan menyuguhkan teh, lha nyatanya tetap duduk terpaku di bagian depan kumpulan itu Maka Marta minta Yesus membangunkan Maria dari lamunannya supaya mengambilkan minuman. Marta sendiri masih akan menyiapkan tumpeng kus-kus.

LUC: Imaginatif! Apa akan terbit di jurnal penulisan kreatif?

GUS: [Dapat angin.] Mengenai “satu saja yang perlu” yang dikatakan Yesus, gimana juntrungnya? Apa maksudnya satu macam saja suguhannya sudah cukup, tak usah banyak-banyak. Kunafa cukup, tak usah tambah kueh amandel baklava. Atau Yesus sebenarnya mau bilang, ala kadarnya saja, tak usah macam-macam?

LUC: [Kelihatan geli, lalu menambah.] Maria memang barusan memberi Yesus seiris kunafa yang betul-betul dipilihnya sebagai potongan “yang terbaik”. Kubayangkan Yesus memaksudkan, “Sudahlah, Marta, kan Maria memilihkan [sepotong kunafa]yang terbaik yang kau suguhkan tadi dan memberikan padaku dengan senyum. Kunafa buatanmu rasanya jadi tambah manis! Sudah kucicipi, takkan diambil orang lain – tuh piringnya masih dipegangkan Maria!”

Luc meraih cangkir dan menghirup teh hibiscus hangat kegemarannya, lalu mendesis puas. Terhenyak saya oleh humornya yang enteng tapi padat berisi itu. Eksegese kunafa! “Yang terbaik” itu memang hasil olahan Marta tapi dipilih dan disampaikan oleh Maria. Dan tanpa memandang perangai masing-masing, Yesus menerima kebaikan mereka berdua. Kunafa atau apa saya “yang satu yang perlu” (ayat 42) itu sekadar tanda mereka bertiga saling memperkenalkan diri masing-masing. Yesus tidak minta agar lebih didengarkan. Ia sudah senang rombongannya diterima dengan ramah. Pemberian apa saja dapat membuatnya puas.

Sampai larut malam kami ngobrol. Setelah mengantar Luc sampai ke gerbang, terlintaslah di benak saya, malam itu, di Betania Yesus dan murid-muridnya sempat mendapatkan tempat menaruh kepala untuk beristirahat, hal yang sebenarnya sudah tak mereka harapkan lagi (lihat Luk 9:58; Mat 8:20). Kebaikan dua perempuan bersaudara itu membuat orang yang berjalan menuju ke Yerusalem itu bisa sekadar menarik nafas. Satu saja yang perlu, yang terbaik, kunafa hasil jerih payah Marta yang dihidangkan oleh Maria dengan senyum.


Salam hangat,

No comments:

Post a Comment