Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa XXXII C - 7 November 2010

Injil Minggu Biasa XXXII/C - 7 November 2010 (Luk 20:27-38)

Rekan-rekan yang budiman!
Dalam Luk 20:27-38 terungkap perbincangan antara orang-orang Saduki dan
Yesus mengenai hidup setelah kehidupan di dunia ini. Apa arti permasalahan
itu bagi orang pada zaman ini? Marilah kita tengok terlebih dahulu siapa itu
orang-orang itu dan apa haluan pemikiran mereka.

Di kalangan orang Yahudi waktu itu ada sekelompok orang yang dikenal sebagai
kaum Saduki. Mereka hanya mengakui kitab-kitab Taurat, yakni Kejadian,
Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Kepercayaan yang tidak berlandaskan
Taurat tidak mereka terima. Karena itu mereka juga menyangkal adanya
kebangkitan. Memang kebangkitan hanya disinggung dalam Dan 12:2 dan Yes
26:19 yang tidak termasuk Taurat. Dalam hal ini kaum Farisi jauh berbeda.
Mereka menegaskan adanya kebangkitan setelah kehidupan di dunia ini. Menurut
pandangan mereka, di akhirat ada kelanjutan dari kehidupan di dunia ini
lengkap dengan semua lembaganya seperti yang dapat dialami di dunia ini.
Persoalan mengenai perempuan yang bersuamikan tujuh bersaudara yang mati
bergiliran (Luk 20:28-33) adalah cara orang Saduki melecehkan pendapat orang
Farisi. Bila ada kehidupan kelak, maka seperti ditanyakan dalam ayat 33,
siapa dari ketujuh bersaudara itu yang menjadi suami perempuan tadi? Dalam
hukum Musa ada perkawinan Levirat yang menggariskan agar orang mengawini
istri saudaranya yang meninggal demi menjaga kelanjutan keturunan saudaranya
itu (Ul 25:5-6). Inilah hukum yang dirujuk orang Saduki dalam Luk 20:28.

Orang Saduki bukannya berpendapat bahwa setelah mati manusia hilang begitu
saja. Masih ada kelanjutannya, namun bukan berujud kehidupan kembali dengan
kebangkitan seperti dipikirkan orang Farisi. Bagi orang Saduki, setelah mati
orang masuk ke Syeol, ke dalam kegelapan seperti pada masa sebelum
Penciptaan. Keberadaan seperti itu berlanjut terus dan tak ada banyak
harapan berubah. Pandangan seperti ini umum diterima dalam alam pikiran
Perjanjian Lama dan dunia Timur Tengah pada masa itu.

Orang-orang dulu terusik batinnya memikirkan keberadaan di Syeol yang tak
terelakkan itu. Mereka mulai bertanya-tanya apakah perbuatan baik selama
hidup di dunia ini tidak ada artinya kelak? Lalu bagaimana dengan orang yang
menderita terus selama di dunia ini? Apa akan terus terhukum dalam
keberadaan tanpa arti itu? Tak ada pelepasan? Di manakah keadilan ilahi?
Pertanyaan ini mendasari seluruh Kitab Ayub.

Baru menjelang pembuangan berkembang gagasan bahwa di akhirat akan ada
pelepasan dari penderitaan sekarang, akan ada pahala abadi bagi perilaku
baik dan hukuman kekal bagi kejahatan. Lambat laun keberadaan setelah mati
nanti semakin disadari sebagai kehidupan baru. Menurut kaum Farisi,
kehidupan ini mulai dengan kebangkitan untuk dapat menikmati hal-hal yang
membahagiakan secara badaniah juga. Gagasan inilah yang ditolak
mentah-mentah orang Saduki.

Keberadaan sesudah hidup di dunia ini memang menjadi pemikiran banyak orang.
Orang mau tahu jalan ke hidup kekal, tentunya hidup kekal yang
membahagiakan. Ada orang kaya datang bertanya kepada Yesus mengenai jalan ke
hidup kekal (Mat 19:16-26 Mrk 10:17-27 Luk 18:18-27). Yesus merujuk kembali
kepada ajaran Taurat yang tentu diketahui dan dijalankan orang itu sejak
masa mudanya. Itu cukup. Hidup di akhirat nanti bergantung dari upaya
menjalankan kebaikan di dunia ini. Kekayaan rohani ini bisa menjadi pijakan
bagi hidup di akhirat nanti. Yesus menambahkan, tapi kalau mau sempurna,
hendaknya orang kaya itu berani merelakan semua miliknya bagi orang miskin
dan mengikuti Yesus. Dengan melepaskan diri dari semua miliknya, orang dapat
dipenuhi karunia ilahi. Begitulah orang akan hidup bahagia di hadirat Tuhan
sendiri, bukan sebatas menikmati pahala atau menghindari hukuman. Tapi juga
ditegaskan, tak ada orang yang bisa mencapai kesempurnaan ini dengan
kekuatan sendiri. Hanya Tuhan-lah yang bisa menjadikannya nyata baginya.

Orang-orang Saduki ingin tahu apakah Yesus berpihak kepada orang Farisi
dalam hal kebangkitan. Jawabannya (ayat 34-38) dimaksud untuk menyadarkan
lawan bicaranya mengenai apa yang sebenarnya mau dibicarakan:
pikiran-pikiran kita sendiri tentang akhirat atau mau belajar mengenai Dia
yang bakal kita pandangi dari dekat nanti?

Dalam menanggapi kasus perempuan yang bersuami tujuh bersaudara yang mati
satu persatu itu, Yesus mengatakan bahwa perkawinan itu lembaga dari dunia
sini dan ada bagi urusan di dunia ini. Maksudnya, perkara itu tidak bisa
diterapkan bagi keadaan dunia sana (ayat 34-36). Lalu bagaimana kita bisa
membayangkan perkara-perkara di akhirat nanti? Tentunya memakai hal-hal yang
bisa membantu mengerti dunia sana itu. Dalam ayat 37-38 Yesus mengajak orang
Saduki memperhatikan satu peristiwa yang ada dalam Taurat, kitab-kitab yang
mereka terima. Dirujuknya Kel 3:6. Di situ Tuhan mewahyukan diri kepada Musa
sebagai Tuhannya Abraham, Tuhannya Ishak, dan Tuhannya Yakub. Maksudnya,
leluhur Musa sudah mengenalNya sebagai Tuhan yang menyelamatkan mereka dan
tetap akan menyelamatkan keturunan mereka. Ia Tuhan Pencipta, tapi juga
Tuhan yang menyelamatkan, ia Tuhan orang hidup, bukan Tuhan orang mati.

Sekali-sekali kita dengar ada orang yang merasa bisa berkomunikasi dengan
"dunia sana", dengan arwah orang yang sudah meninggal yang datang dengan
permintaan, keluhan, peringatan, atau petunjuk. Bagaimana pelayanan pastoral
kita? Cara Yesus menanggapi hal seperti ini dapat membantu. Ia mengajak
orang memusatkan perhatian kepada Tuhan yang menampakkan diri kepada Musa
sebagai Penyelamat leluhur Musa sendiri. Ia itu Tuhan orang hidup, Tuhan
kita-kita ini. Dan orang-orang yang telah mendahului? Beginilah penalaran
Yesus. Karena Tuhan itu Tuhan yang menyelamatkan, maka orang-orang yang
mendahului kita itu juga tetap hidup. Dalam ujud mana dan bagaimana tidak
kita ketahui. Namun kita yakin mereka bahagia di hadiratNya. Mereka membantu
melantarkan kita ke hadirat ilahi. Ya! Mereka itu kekuatan-kekuatan yang
dapat membantu kita semakin dekat dengan Dia justru karena mereka sudah
dekat denganNya. Tapi bila terasa mereka menarik perhatian kepada mereka
sendiri, boleh kita ragukan apakah kekuatan-kekuatan ini sungguh dekat pada
Tuhan - atau mereka itu kekuatan-kekuatan yang mau menjauhkan kita
daripadaNya?

Ada seorang yang dapat membantu kita mengerti. Maria melantarkan kita kepada
Tuhan seperti di Kana dulu ketika mendengar penyelenggara pesta gelisah
karena kehabisan anggur. Memang Maria datang kepada Yesus mengatakan hal
itu. Tapi ia meminta para pelayan supaya menjalankan apa saja yang dikatakan
Yesus (Yoh 2:5). Maria mengajak orang semakin mendengarkan Yesus. Kisah itu
bersangkutan dengan kehidupan di dunia, namun Maria kini hidup di hadirat
Tuhan. Caranya melantarkan kita juga masih sama. Ia juga berdoa bagi "kami
yang berdosa ini, sekarang dan pada waktu kami mati" (Salam Maria). Para
orang kudus, seperti Oma Miryam kita itu, dapat membantu kita mendengarkan
Tuhan.

Bagaimana bila ada orang datang dan bercerita merasa didatangi mendiang
sanak saudara yang sambat-sambat belum punya tempat yang tetap....masih ke
sana ke mari. Bagaimana tanggapan pastoral kita? Tak baik kita berlaku
sebagai orang Saduki yang meremehkan hal ini. Tapi kalau kita meng-iya-kan
saja, rasanya juga tidak memberi pelayanan yang baik Bagaimana bila kita
katakan, jangan arwah yang datang itu "ditahan" dengan pikiran-pikiran kita
sendiri mengenai mereka? Kita sekarang tahu bahwa energi rohani kita luar
biasa besarnya. Bila kita belum bersedia "merelakan", bisa jadi jejak-jejak
mereka juga tak dapat sepenuhnya meninggalkan keterbatasan dunia ini.
Perkara ini sering kurang kita sadari. Sekali lagi kita bisa belajar dari
Maria - lewat ingatan Oom Hans. Di kayu salib Yesus menyerahkan Maria kepada
Yohanes yang dimintanya menerima Maria sebagai ibunya (Yoh 19:25-26). Apa
maksudnya? Maria dibesarkan hatinya agar saat itu juga merelakan. Sekarang
Yohanes itu anakmu. Juga dicatat Luc, Yesus ini seperti waktu kecil dulu, ia
sudah merasa perlu tinggal di rumah Bapanya (Luk 2:49). Sudah lama Oma
Miryam menyimpan perkara ini dalam hatinya, bisik Luc. Kebesaran budi hati
Maria yang merelakan Yesus itulah yang membuat kepergiannya kepada Bapa
menjadi jalan bagi Yesus untuk dapat hadir kembali mempersaksikan kepada
kita kebesaran BapaNya.

Salam hangat,
A. Gianto

No comments:

Post a Comment