Jaman dahulu ada seorang lelaki yang baik hatinya. Ia telah menjalani hidupnya dengan melakukan segala hal yang memungkinkan orang masuk sorga. Ia memberi harta kepada si miskin, ia mencintai sesamanya, dan ia mengabdi kepada mereka. Karena mengingat pentingnya kesabaran, ia senantiasa bertahan terhadap kesulitan yang besar dan tak diduga-duga, sering itu semua demi kebahagiaan orang lain. Iapun mengadakan perjalanan jauh-jauh untuk mendapatkan pengetahuan. Kerendahhatian dan perilakunya yang pantas ditiru begitu dikenal sehingga ia dipuji-puji sebagai seorang yang bijaksana dan warga yang baik; pujian itu terdengar mulai dari Timur sampai ke Barat, Utara sampai ke Selatan.
Segala kebaikan itu memang dijalankan --selama ia ingat melakukannya. Namun ia memiliki kekurangan, yakni kurang perhatian. Kecenderungan itu memang tidak berat, dan ditimbang dengan kebaikannya yang lain, hal itu merupakan cacat kecil saja. Ada beberapa orang miskin yang tak tertolongnya, sebab selalu saja ia kurang memperhatikan kebutuhan mereka itu. Kasih sayang dan pengabdian pun kadang-kadang terlupakan apabila yang dipikirkannya sebagai kebutuhan pribadi muncul dalam dirinya.
Ia suka sekali tidur. Dan kadang-kadang kalau ia sedang tidur, kesempatan mendapatkan pengetahuan, atau memahaminya, atau melaksanakan kerendahhatian, atau menambah jumlah tindakannya yang terpuji kesempatan semacam itu lenyap begitu saja, tak akan kembali lagi.
Wataknya yang baik meninggalkan bekas pada dirinya; begitu juga halnya dengan wataknya yang buruk, yakni kurangnya perhatian itu.
Dan kemudian ia meninggal. Menyadari dirinya berada di balik kehidupan ini, dan sedang berjalan menuju pintu-pintu Taman Berpagar, orang itu istirahat sejenak. Ia mendengarkan kata-hatinya. Dan ia merasa bahwa kesempatannya memasuki Gerbang Agung itu cukup besar.
Disaksikannya gerbang itu tertutup; dan kemudian terdengar suara berkata kepadanya, "Siagalah selalu; sebab gerbang hanya terbuka sekali dalam seratus tahun." Ia pun duduk menunggu, gembira membayangkan apa yang akan terjadi. Namun, jauh dari kemungkinan untuk menunjukkan kebaikan terhadap manusia, ternyata ia menyadari bahwa kemampuannya untuk memperhatikan tidak cukup pada dirinya. Setelah siaga terus selama waktu yang rasanya sudah seabad kepalanya terkantuk-kantuk. Segera saja pelupuk matanya tertutup. Dan pada saat yang sekejap itu, gerbangpun terbuka. Sebelum mata si lelaki itu terbuka sepenuhnya kembali, gerbang itupun tertutup: dengan suara menggelegar yang cukup dahsyat untuk membangunkan orang-orang mati.
Cerita dari Sang Guru lainnya:
No comments:
Post a Comment