Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Injil Minggu Biasa XXVII B - 28 September 2009

Injil Minggu Biasa XXVII B (Mrk 10:2-16)
28 September 2009 08:22

MASALAH HUKUM ATAU SOAL IMAN?

Masalah yang dibawa ke hadapan Yesus oleh orang-orang Farisi kali ini
berkisar pada prinsip diperbolehkan atau tidaknya seorang suami menceraikan
istrinya (Mrk 10:2-16; Injil Minggu Biasa XXVII tahun B). Memang dalam hukum
Taurat, seperti mereka ketahui, tindakan itu diizinkan asal dilakukan dengan
cara yang ditetapkan, yakni dengan surat cerai resmi yang dibuat oleh suami
yang diserahkan - jadi resmi diterima - oleh istrinya. Istri yang diceraikan
tadi bisa menikah lagi dengan sah, tetapi bila suaminya menceraikannya atau
meninggal, maka bekas suami yang dulu tidak boleh menikahinya kembali.

Demi jelasnya, baiklah dikutip secara utuh hukum yang tertera dalam Ul
24:1-4 yang melatari pembicaraan di atas: (1) "Apabila seseorang mengambil
seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai
lagi perempuan itu sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia
dapat menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu,
sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, (2) dan jika perempuan itu
keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi istri orang lain, (3)
dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu
menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta
menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki itu yang kemudian
mengambil dia menjadi istrinya itu mati, (4) maka suaminya yang pertama -
yang telah menyuruh pergi itu - tidak boleh mengambil dia kembali menjadi
istrinya, setelah perempuan itu dicemari: sebab hal itu adalah kekejian di
hadapan Tuhan."

Ada gagasan dalam hukum tadi bahwa lembaga perkawinan itu keramat dan ada
ketetapan yang jelas dan wajib diikuti bila ikatan tadi dilepas. Gagasan ini
melandasi amatan tajam Yesus mengenai diperbolehkannya suami menceraikan
istrinya. Menurut Yesus, hukum itu diadakan karena "ketegaran hatimu",
maksudnya ketidakmampuan orang mengenali keramatnya perkawinan sendiri,
yakni menyatakan kesatuan yang sejak awal dikehendaki Yang Maha Kuasa antara
suami dan istri. Bagaimana kita bisa mengambil manfaat dari pembicaraan ini?

PRAKTEK HUKUM TAURAT

Sebenarnya pembicaraan tadi berkisar pada dua tataran, yakni tataran hukum
adat atau agama di satu sisi, dan di sisi lain tataran batin yang melebihi
sisi-sisi yuridis tadi. Orang Farisi bergerak dengan alam pikiran hukum
belaka, yakni soal diperbolehkan atau tidaknya menurut aturan hukum yang
berlalu. Dalam hal itu di masyarakat Yahudi dulu memang suami dapat
menceraikan istri, dengan persyaratan jelas tadi. Pada tataran batin, Yesus
mengajak orang untuk melihat lembaga perkawinan sebagai tanda menjalankan
kemauan ilahi. Gereja mengembangkan kesadaran ini dengan mengangkat
perkawinan sebagai sakramen kesatuan yang dikehendaki Pencipta sendiri.
Inilah yang mendasari hukum Gereja mengenai perkawinan.

Dalam hukum perkawinan adat Yahudi waktu itu, alasan terkuat untuk
menceraikan istri ialah bila si istri berbuat zinah. Zinah hanya
diperkatakan mengenai istri. Suami yang selingkuh dengan istri orang lain
tidak disebut zinah. Memang terjadi pelanggaran hak suami perempuan tadi.
Tetapi tindakan itu tidak dianggap pelanggaran terhadap hak istri yang
suaminya selingkuh dengan istri orang lain. Juga hukum tentang perzinahan
hanyalah berarti dalam hubungan dengan pasangan-pasangan yang telah nikah.
Mereka dulu membedakan percabulan yaitu perbuatan birahi yang tak bisa
dibenarkan dengan perzinahan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang istri
dengan lelaki yang bukan suaminya. Dengan latar seperti ini maka penegasan
Yesus bahwa seorang suami berzinah terhadap perempuan yang diceraikannya itu
pernyataan yang amat mengagetkan. Yesus memandang perempuan dan lelaki
setara dalam hak dan kewajiban. Maka ditegaskannya pula, bila seorang
perempuan menceraikan suaminya lalu menikah lagi, maka perempuan itu
bertindak zinah terhadap suaminya. Yang juga pasti membuat orang kaget ialah
pernyataan bahwa istri dapat menceraikan suami! Hukum agama Yahudi tidak
mengenal hal ini. Sebagai guru agama Yesus memberi tafsir yang berbeda.

Bagaimana Yesus sampai berpendapat demikian? Ada dua penjelasan yang saling
menopang. Pertama, Yesus melihat inti warta Alkitab tentang penciptaan
manusia lelaki dan perempuan. Mereka diciptakan setara satu sama lain,
menjadi penolong yang setara. Kedua, dalam hukum Romawi dimungkinkan adanya
kesetaraan tadi dalam hak menceraikan dari kedua pihak, baik suami maupun
istri. Orang Yahudi waktu itu dibawahkan pada hukum Romawi, meskipun mereka
bisa menentukan sendiri dalam perkara adat, termasuk ikatan perkawinan.
Dalam masyarakat Yahudi hukum agama ini dijalankan sebagai "pietas",
kesalehan, dan tidak memiliki sanksi hukum pidana. Hanya yang sesuai dengan
hukum Romawi dapat disahkan dengan sanksi yang diatur hukum Romawi. Pada
zaman generasi kedua nanti, pelaksanaan hukum Romawi semakin umum sedangkan
hukum Taurat menjadi hukum adat setempat.

TAFSIR

Bobot alasan menceraikan istri dapat bermacam-macam. Ada kelompok ahli hukum
zaman itu yang mengajarkan bahwa hanya perbuatan zinah dengan lelaki lain
atau ketidaknormalan birahi lain yang dapat menjadi alasan. Aliran lain
menghalalkan kesalahan kecil, misalnya tidak bisa menghidangkan makanan yang
mencocoki suami atau istri tidak selalu tunduk. Bagaimanapun juga, di
kalangan Yahudi waktu itu kedudukan perempuan sebagai istri tidak dianggap
setara dengan lelaki. Tetapi orang Yahudi yang menjadi pengikut Yesus
menjalankan kesetaraan tadi. Dengan demikian, mereka berseberangkan pendapat
dan penghayatan dengan orang Yahudi tradisional. Untuk mengambil manfaat
dari petikan ini perlu disepakati dulu beberapa hal.

Pertama, persoalan yang dibicarakan di sini ialah soal hukum agama Yahudi
pada zaman Yesus. Bukan perkara hukum Gereja. Jadi tidak bisa diterapkan
begitu saja pada peraturan perkawinan dalam Gereja maupun pemecahan masalah
kehidupan rumah tangga orang katolik di masa kini.

Kedua, di kalangan pengikut Yesus yang tercermin dalam Injil Markus ada
orang-orang yang bukan dari kalangan Yahudi sehingga adat kebiasaan serta
hukum Yahudi tidak bisa diberlakukan kepada mereka. Dalam masyarakat yang
lebih luas daripada masyarakat Yahudi, seperti pada masyarakat Romawi, istri
bisa pula memiliki hak menceraikan suaminya. Lagi pula, suami akan dianggap
menyalahi kontrak pernikahan bila berselingkuh. Jadi adat dan hukum di
kalangan lebih luas, katakan saja masyarakat Romawi waktu itu, juga
mendasari pembicaraan dalam petikan ini.

Ketiga, dan paling penting bagi tafsir petikan hari ini,  ialah prinsip
teologis yang mendasari pendapat Yesus. Prinsip ini ialah maksud Pencipta
dalam menjadikan lelaki dan perempuan, yakni agar mereka bersatu dan
janganlah hubungan yang dikehendaki Pencipta diabaikan.

Ada satu hal lagi. Yesus seorang tokoh agama yang dikenal dan dihormati juga
di masyarakat Yahudi waktu itu. Bukan oleh siapa saja. Perdebatan yang
sering dilaporkan dalam Injil ialah kejadian yang lazim di antara para guru
dan ahli agama. Kerap kali perbincangan bukan ditujukan untuk memecahkan
sebuah kasus kongkrit, tetapi dilakukan sebagai "seminar" untuk mempertajam
permasalahannya dan mencapai pemahaman lebih dalam mengenai satu masalah.
Perbincangan antara orang Farisi dan Yesus kali ini sebetulnya bukan
dimaksud untuk "mempertobatkan" pihak yang kalah berdebat. Pengajaran Yesus
kepada murid-muridnya bukan untuk membuat mereka terpancang pada huruf,
melainkan agar mereka lebih berpegang pada prinsip-prinsip hidup di hadapan
Allah..

BERKAT KEPADA ANAK KECIL

Dalam bagian kedua petikan kali ini diutarakan bagaimana Yesus memberkati
anak-anak yang dibawa kepadanya (Mrk 10:13-16) Kelihatannya peristiwa ini
tidak ada hubungannya bagian yang membicarakan kekeramatan hubungan suami
istri. Tapi penjajaran kedua pokok itu dalam Injil Markus (diikuti juga oleh
Matius) memiliki arti khusus yang akan menjadi jelas bila kita pertimbangkan
padanan dalam Lukas (Luk 18:15-17). Peristiwa pemberkatan kepada anak-anak
itu ditaruh Lukas sesudah perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai (Luk
18:9-14). Lukas memang tidak menampilkan kembali masalah perceraian yang
digarap Markus dan Matius tadi, boleh jadi hukum Musa mengenai perceraian
tidak amat relevan bagi komunitas Lukas yang kebanyakan orang bukan asli
Yahudi. Walaupun demikian, Lukas menekankan bahwa sikap sebagai anak-anak,
yakni keluguan mereka, menjadi cara jalan terbaik untuk mampu menyelami
serta menjalankan kehendak ilahi. Lukas memakainya untuk mengomentari
perumpamaan mengenai pemungut cukai yang pulang sebagai orang yang
dibenarkan Allah. Tidak sebarang pengakuan bahwa berdosa atau bersikap tidak
memuji diri dapat membenarkan orang. Hanya dengan ketulusan seperti
anak-anaklah orang dapat memasuki Kerajaan Allah. Pemungut cukai itu datang
menghadap Allah di Baitnya dengan sikap itu, tidak demikian orang Farisi
yang menonjol-nonjolkan kesalehan serta kelurusan dirinya. Begitu pula
hubungan suami istri dapat menunjukkan yang dikehendaki Pencipta bila
dijalani dengan sikap tulus dan lugu seperti anak-anak. Dalam hal inilah
kekeramatan ikatan suami istri akan tampil bukan sebagai ikatan hukum
semata-mata, melainkan sebagai cara hidup yang dapat membuat ikatan antar
manusia sebagai tanda kehadiran ilahi. Sekaligus hendak disampaikan bahwa
sikap lugu sebagai anak-anak tadi mendatangkan berkat. Dan berkat inilah
yang menjaga kelanggengan hubungan tadi, seperti yang terjadi pada pemungut
cukai tadi: dibenarkan.

Salam hangat,
A.Gianto

Injil Minggu Biasa XXVI B - 25 September 2009

Injil Minggu Biasa XXVI B (Mrk 9:38-43.45.47-48)
25 September 2009 07:37

KESERAGAMAN ATAU KERAGAMAN?

Rekan-rekan yang budiman!
Dalam Mrk 9:38-43.45.47-48 (Injil Minggu Biasa XXVI/B) diutarakan bagaimana
suatu ketika Yohanes, salah satu dari para murid Yesus, bercerita kepada
guru mereka bahwa mereka melihat orang yang mengeluarkan setan demi namanya.
Langsung Yohanes mencegahnya, kan orang itu bukan salah satu dari pengikut
para murid Yesus! Murid ini berpendapat bahwa siapa saja yang mau
menjalankan hal-hal yang baik mestinya bergabung dulu dengan kelompok yang
sudah mapan seperti para murid terdekat tadi. Bukan sendiri-sendiri. Yohanes
mengatakan "bukan pengikut kita". Terasa adanya pendapat bahwa mengikuti
Yesus baru dapat dijalani bersama dengan para muridnya. Seolah-olah mereka
itu satu-satunya agen penyalur. Rupa-rupanya Yohanes berpikir dalam kerangka
"keseragaman" dan tidak melihat nilai "keragaman" di antara para pengikut
Yesus.

MENGIKUTI YESUS

Minggu lalu kita dengar bahwa barangsiapa dapat menghargai orang yang belum
bisa berkata telah berbuat banyak, yakni "anak kecil", sama dengan menerima
Yesus sendiri, dan sebetulnya menerima Bapanya yang mengutusnya (Mrk
9:36-37). Diajarkannya bahwa mengikutinya hendaknya tidak dipandang dari
dengan besarnya jasa atau banyaknya sumbangan, melainkan dengan keluguan.
Dalam petikan bagi hari Minggu ini, pokok mengenai menjadi pengikut Yesus
tampil kembali. Apakah mengikut Yesus berarti mesti ikut di dalam kelompok
murid-muridnya? Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab, apalagi bila kelompok
murid Yesus kita samakan dengan Gereja. Pertanyaannya berkembang: apakah
mengikuti Yesus mesti terjadi dengan menjadi anggota Gereja? Lalu Gereja
mana? Tidak semua akan dipecahkan di sini karena persoalan yang ditampilkan
dalam Injil hari ini tidak dapat dijabarkan begitu ke keadaan masa kini.
Namun demikian, kita dapat berusaha memahami prinsip-prinsip yang
dikemukakan Yesus di sini dan yang diikuti oleh komunitas pertama dulu.

Dalam episode kali ini kita ikuti bagaimana Yesus meluruskan pendapat
Yohanes. Dilebarkannya pula pandangan para murid lainnya. Mereka diajarnya
agar tidak melihat diri mereka sebagai kelompok pusat dalam umat. Janganlah
mereka menganggap orang-orang yang belum atau tidak bergabung dengan mereka
sebagai yang bukan pengikut Yesus. Dengan kata lain, mereka diajak menyadari
bahwa ada orang-orang yang mau menerima Yesus dan mengikutinya meskipun
tidak jelas-jelas bergabung dengan para murid terdekat. Yang menjadi ukuran
bagi pengikut Yesus kiranya bukanlah keseragaman dengan para murid tadi,
melainkan keselarasan dengan Yesus dan dengan pengutusan yang dijalaninya.
Dan keselarasan ini bisa bermacam-macam ujudnya, bisa memuat keragaman.

TIGA POKOK PENGAJARAN

Ada tiga pokok ajaran yang terungkapi dalam ay. 39-42. Dalam ay. 39
diajaknya para murid menumbuhkan kelonggaran hati. Dikatakannya tentang
orang yang mengeluarkan setan tapi bukan pengikut mereka, "Jangan kamu cegah
dia, sebab tidak ada seorang pun yang telah mengerjakan mukjizat demi namaku
dapat seketika itu juga mengumpat aku." Bagi Yesus orang itu jelas-jelas
menjadi pengikutnya. Para murid Yesus, juga yang paling dekat sekalipun,
diminta agar longgar hati menghargai keragaman.

Kemudian dalam ay. 40 dituntunnya para murid supaya sampai pada keyakinan
bahwa "Siapa saja yang tidak melawan kita, ia ada di pihak kita." Ada soal
bahasa yang agak pelik. Tetapi soalnya selesai bila kita mengerti pernyataan
itu sebagai ajakan Yesus kepada para murid agar mampu dan berani menegaskan
kalimat itu. Jadi yang dimaksud ialah murid-murid sendiri yang
mempertengkarkan perkara tadi.. Mereka diharapkannya bisa bertindak sebagai
orang besar yang sejati. Tak usah mereka merasa terancam bila ada orang yang
mengerjakan hal serupa walaupun tidak bergabung dengan mereka. Dengan bahasa
zaman kita sekarang, mereka diharap agar berani berkompetisi secara jujur.

Selanjutnya, ada imbauan dalam ay. 41 agar para murid memandangi diri dengan
cara yang benar. Mereka sebenarnya memberi banyak kepada siapa saja yang
berbuat kebaikan sekecil apapun kepada mereka. Tetapi mereka itu
mendatangkan pahala bagi orang lain bukan karena diri mereka sendiri,
melainkan karena mereka itu adalah pengikutnya. Menjadi pengikut Kristus,
itulah yang membawakan keselamatan bagi orang lain, bukan menjadi pengikut
para murid. Cocok dengan ajaran agar tidak mencari kedudukan, menginginkan
status tinggi dalam umat, tidak menginginkan diri jadi pusat. Ayat ini
sebenarnya ungkapan akan apa yang nyata-nyata diyakini umat awal seperti
jelas dengan ungkapan "karena kamu adalah pengikut Kristus". Yesus sendiri
dalam hidupnya tidak pernah menyebut diri Kristus atau Mesias; ia memakai
sebutan Anak Manusia.

Akhirnya, para murid diminta dalam ay. 42 agar memiliki rasa tanggung jawab
yang besar terhadap orang-orang yang hendak mengikuti Yesus secara tulus.
Ayat ini menggambarkan orang-orang itu sebagai "anak kecil" sejalan dengan
pemakaian kata itu dalam Mrk 9:36-37 yang ikut dibacakan hari Minggu lalu.
Jangan sampai mereka dibiarkan "berbuat dosa" oleh para murid yang merasa
lebih dekat dengan Yesus. Masalah dalam penerapan ayat ini bagi zaman ini
tentunya berkisar pada siapa yang merasa murid dekat dan siapa yang menjadi
pengikut Yesus pada umumnya itu. Dalam menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci bagi
kehidupan masa kini, sebaiknya dibuat penerapan yang luwes dan tidak kaku.
Jadi, "para murid terdekat" tak usah membuat orang ingat akan para pemimpin
Gereja, para pastor melulu, dan sebaliknya "anak kecil" tak perlu dibatasi
pada umat. Yang berpihak pada Yesus dan pengutusannya menjadi pengikutnya.
Yang ikut memperhatikan kesejahteraan mereka ialah murid terdekat.
Begitulah, Yesus menekankan bahwa siapa saja yang merasa sudah dekat
padanya, sudah masuk ke dalam kelompok murid terdekat, hendaklah ia
memikirkan kesejahteraan mereka yang masih belajar, masih mencoba menemukan
jalan mendekat kepada Kabar Gembira yang dibawakan Yesus. Inilah kenyataan
ikut serta dalam perutusan dan pengutusan Yesus. Inilah kekuatan yang
menghidukan Gereja.

INTEGRITAS PENGIKUT YESUS

Membiarkan orang yang sedang berjalan kepadanya "berdosa" adalah keburukan
yang besar. Kata asli yang dipakai di situ harfiahnya berarti "tersandung
jatuh". Sanksi hukumannya lebih berat daripada orang yang ditenggelamkan ke
dalam laut, dengan batu giling yang diikatkan pada lehernya. Dasar laut
ialah wilayah kekuatan-kekuatan maut. Ditenggelamkan ke sana berarti
diserahkan pada kuasa maut, tanpa kemungkinan naik karena pada lehernya
diikatkan batu giling. Dan keadaan ini dikatakan mendingan daripada murid
yang membiarkan orang jatuh tersandung! Tak usah Injil hari ini membuat
kita-kita yang diserahi mendampingi umat merasa diancam. Sebaliknyalah, kita
makin melihat betapa berartinya orang-orang yang telah dipercayakan kepada
kita. Bagaimana kita bisa dipercaya begitu besar? Baiklah kita lihat bagian
selanjutnya.

Dalam bagian berikutnya, ay. 43-48, diperdengarkan beberapa petuah keras
untuk tidak membiarkan diri sendiri tersandung. Jadi tanggung jawab bukan
saja terhadap keadaan orang lain, melainkan juga bagi diri sendiri. Wajar.
Orang yang dapat menjaga diri tentunya dapat menolong orang lain. Cara
penyampaiannya amat konkret. Bila lengan menyebabkan diri jatuh dalam
tindakan yang merugikan diri maka lebih baik dipenggal saja, begitu juga
kaki, demikian pula mata. Dikatakan lebih baik hidup dengan satu lengan,
berjalan timpang, atau buta sebelah daripada terjerumus ke dalam neraka.
Bagaimana memahami petuah-petuah keras ini? Jelas bukan secara harfiah.
Sekali lagi yang penting ialah melihat dasar pemikiran yang dikemukakan di
sini. Para murid diminta menyadari bahwa kehidupan dan Kerajaan Allah patut
menjadi pilihan dasar.

GARAM DAN API?

Dalam ay. 49 dijumpai  sebuah pepatah yang agak aneh: "(Karena) setiap orang
akan digarami dengan api." Digarami  biasanya berarti diasinkan sehingga tak
hambar atau lebih penting lagi, jadi awet. Tetapi pengawetan di sini
dilakukan dengan api, dengan nyala dan panas yang bakal membersihkan semua
yang bersifat campuran sehingga sisanya nanti hanya yang murni. Apa yang
dimurnikan dengan api? Integritas sebagai murid, kejujuran serta keluguan
dalam mengikuti Yesus, akan dimurnikan sehingga nanti yang keluar ialah
murid yang tahan uji, dan yang bakal dapat mengasinkan orang banyak. Bukan
yang membiarkan hambar dan tak bertahan lama.

Pada akhir petikan ini ada ajakan agar dalam diri murid selalu ada "garam"
tadi. Tentunya yang dimaksud ialah agar mereka senantiasa mampu mengawetkan
diri sendiri dan juga orang lain. Bila demikian, hidup dalam damai satu sama
lain akan menjadi kenyataan. Kalimat terakhir dalam petikan ini
mengungkapkan hasil dari adanya daya pengawet dalam kehidupan batin para
murid. Tanpa itu, tanpa integritas, akan sulitlah ada hidup damai di antara
para murid.

Injil hari ini mulai dengan perkiraan para murid bahwa mengikuti Yesus baru
bisa terjadi bila orang mau menggabungkan diri dengan mereka. Yesus tidak
membenarkan gagasan itu. Ia malah menegaskan betapa berharganya orang yang
menjadi pengikut Yesus, siapa saja, entah para murid dekat entah yang da  di
luar kalangan itu. Mereka yang merasa sudah lebih dekat dengannya dimintanya
agar memperhatikan orang-orang yang mau mengikutinya. Kesetiaan pada
tanggung jawab ini tanda kejujuran murid sang Guru dan menjadi ukuran bagi
integritas Gereja di dunia ini.

Salam hangat,
A. Gianto

Injil Minggu Biasa XXIV B - 20 September 2009

Injil Minggu Biasa XXV/B tgl. 20 September 2009 (Mrk 9:30-37)

MENGIKUTI DIA DI JALANNYA

Injil bagi hari Minggu Biasa XXV tahun B kali ini (Mrk 9:30-37) memuat
pernyataan Yesus yang kedua kalinya kepada murid-muridnya mengenai
kesengsaraan, salib, serta kebangkitannya. Sesudah itu, ia juga memberi
pengajaran agar dalam mengikutinya para murid tidak berpamrih bakal mendapat
kedudukan. Sebelum mendalami pengajaran ini, marilah ditengok sejenak maksud
serta makna pemberitahuan mengenai sengsara tadi bagi komunitas para murid
waktu itu.

PERNYATAAN TENTANG  KESENGSARAANNYA

Walaupun diakui sebagai Mesias oleh orang-orang yang paling dekat, Yesus mau
lebih memahami dirinya sebagai Anak Manusia. Maksudnya, lebih menampilkan
sisi kemanusiaan dan pribadi dirinya daripada sisi utusan ilahi dan tugas
besar kemesiasan. Ia bahkan menegaskan bahwa dirinya akan ditolak,
disalibkan, tetapi akan dibangkitkan. (Lihat ulasan Injil Minggu lalu, Mrk
8:27-35). Pernyataan ini muncul sampai tiga kali dalam Injil Markus, Matius
dan Lukas. Yang pertama, Mrk 8:31-33//Mat 16:21-23//Luk 9:22, yang kedua Mrk
9:30-32//Mat 17:22//Luk 9:43b-45 dan yang ketiga, Mrk 10:32-34//Mat
20:17-19//Luk 18:31-34. Pernyataan pertama diikuti pengajaran khusus bagi
siapa saja yang mau mengikutinya, yakni agar mereka sedia "menyerahkan
nyawa", maksudnya berdedikasi penuh Mrk 8:34-38//Mat 16:24-28//Luk 9:23-27.
Pernyataan yang kedua dilanjutkan dengan pengajaran untuk tidak mencari
kedudukan tinggi, melainkan bersikap seperti anak kecil Mrk 9:34-37//Mat
18:1-5//Luk 9:46-48. Pernyataan ketiga ditegaskan dengan pengajaran mengenai
kesediaan melayani satu sama lain Mrk 10:35-45 Mat 20:20-28 (Lukas tidak
menyertakan padanannya). Dari ikhtisar ini kelihatan bahwa arah ke salib dan
kebangkitan itu memang sulit dipahami, bahkan oleh murid-murid terdekat yang
sudah lama mengikutinya sekalipun. Jalan untuk memahami kenyataan salib dan
kebangkitan itu ialah kesediaan untuk menerima tanpa mementingkan diri
ataupun mencari kedudukan yang tinggi. Inilah yang diberikan dalam
pengajaran yang mengikuti setiap pernyataan tadi.

Semakin dekat ke Yerusalem, Yesus semakin berusaha agar para murid
terdekatnya memahami arah ke salib dan kebangkitan tadi dengan ikhlas.
Murid-murid sulit memahami mengapa ia perlu mengalami penderitaan hingga
kematian di salib. Mengapa Yang Maha Kuasa tidak menyertainya dengan bala
tentara surga dan dunia untuk membangun kejayaan umat di hadapan para
penentang-penentangnya. Pertanyaan seperti ini ada dalam lubuk hati mereka.
Juga dalam hati kecil kita. Mengapa perlu sampai sejauh itu. Mengapa dia,
dan juga kita, seolah-olah dibiarkan sendirian di hadapan kekuatan-kekuatan
yang kini semakin mengancam kita.

MENGHADAPI KEKUATAN JAHAT DENGAN SALIB

Kekuatan jahat perlu ditekuni dengan salib, seperti yang dilakukan Yesus.
Baru dengan demikian daya gelap akan dapat dikuasai dan diubah menjadi
kekuatan terang. Namun demikian, perlu disadari bahwa salib tidak identik
dengan apa saja yang dirasa sebagai penderitaan. Ada banyak kesusahan yang
bukan salib dan mestinya bisa dihindari dan diatasi dengan kebijaksanaan
hidup dan ikhtiar. Pelbagai ketimpangan ekonomi dan ketakadilan di
masyarakat bukan salib, melainkan musibah sosial yang mesti ditangani dengan
serius. Menyebutnya sebagai salib tidak membawa manfaat apapun kecuali
menutup mata pada kenyataan. Dan mengurangi makna salib yang sesungguhnya.
Yang perlu diterima sebagai salib ialah yang dihadapi oleh Yesus sendiri,
yakni penolakan manusia terhadap kebaikan ilahi. Inilah realitas yang jahat
yang hanya dapat dihadapi dengan salib.

Penderitaan serta kematian Yesus itu akan berakhir dengan kebangkitan. Unsur
yang paling membedakan salib dengan penderitaan biasa ialah ada tidaknya
kaitan dengan kebangkitan. Bahkan salib dan kebangkitan ialah satu realitas
dengan dua muka yang tak dapat saling dipisahkan. Bila tidak ada
kebangkitan, maka tak dapat dikatakan penderitaannya mengalahkan yang jahat.
Juga tidak dapat ditegaskan bahwa ada kebangkitan tanpa salib. Seperti dalam
peristiwa pemberitahuan pertama, para murid juga kurang menangkap maksud
pemberitahuan kedua.

SIAPAKAH YANG TERBESAR?

Adegan beralih dari sebuah tempat di Galilea yang namanya tidak disebut ke
sebuah rumah di Kapernaum, juga di wilayah Galilea. Di rumah inilah Yesus
menanyai para murid tentang apa yang mereka bicarakan di perjalanan. Mereka
diam tak berani menjawab, karena mereka tadi bertengkar mengenai siapa di
antara mereka yang terbesar. Mereka cukup tahu, tidak sepatutnyalah mereka
berpikir demikian. Tetapi Yesus tidak memarahi, melainkan mengajak mereka
untuk mengenal diri dengan lebih baik. Mereka kini bukan lagi orang luar dan
pengikut baru. Mereka telah berjalan bersama dia dari tempat ke tempat,
sudah melihat yang diperbuatnya bagi orang banyak dan ikut serta melayani
mereka. Murid-murid ini ialah Yang Duabelas, kalangan paling dekat dengannya
sendiri. Mereka inti umat yang baru yang akan memperkenalkan Yang Ilahi
kepada segala bangsa. Inilah orang-orang yang memang mempunyai niat
mengikuti Yesus. Kok malah kini memperebutkan kedudukan siapa yang lebih
penting. Memang mereka masih butuh belajar membuat diri searah dengan dia
yang mereka ikuti.

Yesus pun memberi mereka pengajaran khusus mengenai apa itu menjadi yang
pertama. Ia tahu tiap orang mempunyai hasrat menjadi orang penting. Orang
yang tidak memiliki dorongan ke arah itu juga sulit menemukan makna hidup.
Tetapi yang membuat penting ada bermacam-macam. Dan tidak selalu benar dan
cocok dengan pilihan hidup yang sudah mulai ditempuh. Inilah keadaan para
murid waktu itu. Kini sang Guru membantu mereka untuk semakin menemukan
diri.

Diajarkan bahwa yang ingin menjadi yang pertama, hendaklah menjadi yang
berdiri paling belakang dan melayani semuanya. Jelas hendak ditunjukkannya
bahwa mementingkan orang lain bakal membuat pengikut Yesus menjadi besar.
Dia sendiri menjalankannya. Seluruh hidupnya ditujukan untuk mengusahakan
kebahagiaan orang lain, memperoleh keselamatan bagi umat manusia.
Perjalanannya ke salib dan kebangkitan itu sebuah ziarah yang bakal
menyelamatkan umat manusia dari kungkungan kuasa yang jahat yang tak dapat
dipecahkan kecuali dengan pengorbanan dan keikhlasan untuk itu.

Para murid diajar untuk menerima anak kecil, artinya menerimanya sebagai
yang penting meski ia tak dapat menonjolkan diri pernah berbuat banyak dan
berjasa, dst. Ia diterima bukan karena yang diperbuatnya melainkan karena
berharga tanpa jasa sendiri. Itulah spiritualitas yang sepantasnya
berkembang dalam diri para murid dalam mengikuti guru mereka.

SEBUAH PERBANDINGAN

Ada manfaatnya bila hal di atas dipahami bersama dengan pengajaran yang
diberikan setelah pemberitahuan kesengsaraan yang pertama dan yang ketiga.
Titik berat dalam pengajaran yang disampaikan setelah pemberitahuan sengsara
yang pertama ialah kesediaan berdedikasi utuh dalam mengikuti Yesus (Mrk
8:34-38). Injil mengungkapkannya dengan "merelakan nyawa". Tetapi yang
ditekankan bukan sisi pengorbanan melulu, melainkan sisi keuntungannya.
Dikatakan, siapa yang kehilangan nyawanya "karena aku dan karena Injil"
malah akan mendapatkan keselamatan bagi dirinya (Mrk 8:35). Jadi tekanan
bukan pada kemartiran atau berani mati demi agama dan iman. Tafsiran ke arah
itu kurang membantu dan malah bisa disebut meleset. Yang dituju ialah
keberanian untuk menanggalkan serta meninggalkan pikiran-pikiran sendiri
mengenai apa itu mengikut Yesus dan membiarkan diri dituntun olehnya dan
dengan demikian dapat mengalami sendiri apa itu berjalan bersama dia. Jadi
"kehilangan nyawa" di situ ialah membuka diri untuk menerima kekayaan batin
yang sejati. Spiritualitas ini memberi arti pada "menyangkal diri dan
memikul salib dan mengikuti dia" yang dikatakan sebelumnya (ay. 34). Bukan
memikul salib apa saja, melainkan ikut ambil bagian dalam meringankan salib
yang dipanggul Yesus. Itulah salib yang bermuara pada kebangkitan.

Nanti sesudah pemberitahuan kesengsaraan yang ketiga kalinya, diceritakan
bagaimana Yakobus dan Yohanes meminta Yesus agar mereka dapat duduk di kanan
dan kirinya dalam kemuliaannya kelak. Yesus menanyai mereka apa mereka
bersedia minum dari cawan yang diminumnya dan dibaptis dengan baptisan yang
diterimanya. Maksudnya, menjadi senasib sepenanggungan. Mereka menyatakan
sanggup. Sekalipun demikian, Yesus menukas, ia tak berhak memberikan
kedudukan yang mereka inginkan itu karena hanya diberikan kepada yang pantas
menerimanya, siapa pun orang itu (Mrk 10:35-40). Kemudian Yesus menambahkan,
siapa ingin menjadi besar hendaknya menjadi orang yang mau melayani, yang
mau menjadi yang pertama hendaknya ada di bawah, sebagai hamba, seperti ia
sendiri (Mrk 10:43-45).

Dari ketiga pengajaran tadi dapat dilihat apa artinya mengikuti Yesus.
Pertama-tama, tentu bukan meniru-niru dia, melainkan membiarkan diri
dibentuk olehnya sendiri. Kedua, alih-alih beragenda mau jadi orang besar,
ada ajakan bersedia datang kepadanya tanpa apa-apa yang dapat diperhitungkan
sebagai jasa yang patut mendapat ganjaran. Akhirnya, mengikuti dia itu
berarti membiarkan diri dituntun oleh Yang Maha Kuasa sendiri ke tempat dan
kedudukan yang sudah disediakan olehNya. Memang kini belum dapat diduga
macamnya namun Bapa yang Maha Baik tentunya akan memberikan yang terbaik
Inilah iman yang ditumbuhkan Yesus dalam diri murid-muridnya.

Salam hangat,
A. Gianto

Injil Minggu Biasa XXIII B - 13 September 2009


Injil Minggu Biasa XXIII/B - 13 September 2009 (Mrk 8:27-35)
08 September 2009 07:06

ENGKAU ITULAH MESIAS!

Judul di atas dipetik dari jawaban Petrus terhadap pertanyaan Yesus kepada
para murid mengenai siapa dirinya menurut mereka sendiri. Kedengarannya
sederhana, apa adanya, muncul dari kesadaran mereka sendiri. Akan tetapi
belum jelas apa sesungguhnya yang hendak disampaikan Mrk 8:27-35 (Injil
Minggu Biasa XXIV tahun B) dengan peristiwa tanya jawab seperti ini. Belum
lama ini Mark mampir ke sini. Kami berbincang-bincang mengenai tokoh Yesus
dalam hubungan dengan peristiwa di atas.

SOSOK YESUS DI MATA ORANG

GUS: Kejadian ini bertempat di Kaisarea Filipi - apa ada penjelasannya? Kota
itu kan letaknya amat di utara, di kaki gunung Hermon, di Libanon, sekitar
45 km sebelah timur kota Tirus.

MARK: Ada teologinya. Sampai sekarang Injil Markus mengisahkan macam-macam
kegiatan dan pengajaran Yesus. Ia makin dikenal orang banyak. Juga makin
diawasi oleh orang Farisi dan ahli Taurat yang mengira ia mengajarkan yang
bukan-bukan. Pada titik ini perlu ditunjukkan bagaimana lingkungan terdekat
Yesus memahaminya. Dipilih sebuah tempat yang bukan di Galilea, tempat asal
Yesus sendiri, bukan di Yudea yaitu wilayah keyahudian yang resmi, tidak
pula di Samaria yang tidak menerima keyahudian resmi, melainkan di luar
semua itu, di daerah yang netral. Di situ akan lebih jelas siapa sosok dia
itu sesungguhnya.

GUS: Baru dengar kali ini ilmu bumi Injil ada maknanya juga!

MARK: Asal jangan dimengerti sebagai ilmu bumi sekolah, sehingga teologinya
tak muncul.

GUS: Kalau benar tangkapanku, di Kaisarea Filipi yang netral itu kelompok
Yesus dan murid-muridnya memperbincangkan tiga macam pandangan mengenai
Yesus, yaitu: (1) anggapan orang banyak, dan (2) anggapan dari lingkup lebih
khusus, orang Farisi dan ahli Taurat di satu pihak dan (3) para murid
terdekat di pihak lain.

MARK: Benar, kalau kauikuti kisah-kisah Injil, akan jelas makin besarnya
pelbagai harapan, keinginan, dan cara membayangkan sosok Yesus di pelbagai
kalangan. Ada yang mengira Yesus kayak Yohanes Pembaptis karena seruan
gerakan rohaninya mengajak orang mengarahkan diri kembali ke hidup lurus, eh
kalian sebut bertobat. Atau seperti Nabi Elia yang kembali ke dunia
menyampaikan sabda dari atas sana guna mengatasi kekersangan batin. Atau
seperti seorang nabi lain, yakni orang yang berani menyuarakan kehadiran
Tuhan yang kerap terbungkam oleh ketamakan manusia. Itulah macam-macam
pendapat orang tentang Yesus.

GUS: Dalam pembicaraan di Kaisarea Filipi itu kok tak jelas-jelas
ditampilkan pendapat orang Farisi dan ahli Taurat?

MARK: Injil diharap bicara tentang apa-apa saja? Huh, maunya kayak database
siap pakai tapi bikin pandir, tanpa mikir?

GUS: Mari kita berandai-andai. Kaum Farisi dan ahli Taurat agaknya
beranggapan bahwa Yesus itu, seperti mereka sendiri, ialah seorang guru
agama yang mestinya mengajarkan hal-hal yang sudah digariskan, seperti yang
mereka jalankan?

MARK: Memang mereka sebetulnya menganggap Yesus rekan seprofesi dan sering
mengajaknya diskusi. Hanya mereka merasa dirugikan karena orang banyak lebih
tertarik olehnya. Tapi mereka tidak memfitnah-fitnah Yesus. Nanti kaum imam
di Yerusalemlah yang frontal memusuhinya serta mendakwanya di mahkamah
mereka dan memintakan hukuman mati baginya dari Pilatus.

GUS: Kembali ke kaum Farisi dan ahli Taurat. Jadi mereka itu menganggap
Yesus guru agama, teolog, pembimbing rohani seperti mereka. Apa ini tidak
penting?

MARK: Para murid Yesus dari generasi awal sampai kini memang menghadapi
masalah itu. Mengikuti Yesus atau mengikuti pendapat-pendapat mengenai dia.
Batas-batasnya sering tampak kabur. Tapi ingat, sosok Yesus yang ditampilkan
Injil terutama bukanlah guru atau pembimbing rohani, atau pengajar
kebijaksanaan. Bukan seperti anggapan kaum saleh Farisi dan ahli kitab
Taurat. Yesus lebih dari itu.

GUS: Kalau begitu sekarang pun masih relevan soal ini. Banyak orang
melihatnya sebagai tokoh kebijaksanaan dan guru rohani. Kurang cocok?

MARK: Itulah pemikiran orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Pindahkan saja ke
budaya lain, dan kalian akan melihat soal yang dialami murid-muridnya.

GUS: Mulai menuduh kami ya?

MARK: Gini lho, bila kamu orang melihat sosok Yesus terutama sebagai guru
kebijaksanaan, nanti akan cepat kalian merasa tak perlu digurui lagi, malah
akan mempersoalkan kelakuan Yesus. Atau bisa jadi kalian akan ngotot
mempertahankan pendapat sendiri mengenai dia dan menolak sisi-sisi lain. Ini
soal orang Farisi dan ahli hukum agama dulu. Dan sekarang juga!

SIAPAKAH YESUS ITU BAGI MURID-MURIDNYA?

Sejenak saya lacak kembali pembicaraan dengan Mark ini. Jadi ada pendapat
orang banyak tentang Yesus, yaitu sebagai nabi yang dengan wibawa besar
mengajak orang kembali ke Yang Maha Kuasa, ada pula pendapat kalangan
intelektual mengenai Yesus sebagai tokoh kebijaksanaan yang diandaikan dapat
ditangkap pembaca Injil meski tidak terang-terangan dikatakan dalam
peristiwa di Kaisarea Filipi itu. Mark mengajak saya bereksegese secara
kontekstual, menengarai duduk cerita serta arahnya, tidak hanya baca lalu
membuat tafsir dari bahan yang tercetak. Pembaca diharap bertanya manakah
pendapat kalangan Farisi dan ahli Taurat yang rupanya dengan sengaja tidak
ikut disebutkan di Kaisarea Filipi. Bukan karena dianggap tak penting, tapi
karena pendapat itu tidak bakal membawa orang kepada diri Yesus
sesungguhnya. Lha lalu siapa ya dia itu?

GUS: Nerusin lagi nih. Pendapat yang ketiga ialah yang ada di kalangan para
murid Yesus dan yang terucap lewat Petrus, begitu kan? Ia menjawab
pertanyaan Yesus mengenai siapa dirinya bagi mereka dengan pernyataan bahwa
ia itu Mesias, artinya yang terurapi, yang mendapat pengutusan dan perutusan
resmi dari Yang Maha Kuasa sana untuk menjalankan urusanNya di dunia.

MARK: Itu pendapat yang mesti kalian pandangi dengan latar kedua pandangan
lain yang kita bicarakan tadi: pandangan orang banyak dan pandangan kaum
intelek Yahudi waktu itu, yakni orang Farisi dan ahli Taurat. Begitu maka
akan lebih jelas sosok Yesus.

GUS: Apa kekhususan pandangan bahwa Yesus itu Mesias?

MARK: Ya, dia itulah yang sejak lama dinantikan orang banyak. Mereka
menginginkan Yang Maha Kuasa berbuat sesuatu bagi mereka. Dan kehadiran
Yesus itulah jawaban dari atas sana.

GUS: Wah, wah, bisa berat nih konsekuensinya. Kan Mesias itu juga gelar raja
di kalangan umat Perjanjian Lama dulu, seperti Saul, Daud, dan raja-raja
lain yang diurapi oleh kuasa ilahi demi kelangsungan hidup umat.

MARK: Benar. Gagasan Mesias memang mudah diplesetkan. Ingat kan, menurut
catatan Oom Hans, orang-orang yang dipuaskan Yesus dengan makanan pernah
ingin menjadikannya raja.

GUS: Dan karena itu ia menyingkir.

MARK: Bukan hanya menyingkir secara fisik, tapi juga secara teologis.

GUS: Apa? [Rada heran.] Belum pernah dengar apa itu menyingkir secara
teologis!

MARK: Baru tiga detik lalu kau dengar kok lupa. Apa ingin jadi si tuli yang
disembuhkan dalam Injil hari Minggu lalu?

YESUS TENTANG DIRINYA SENDIRI

GUS: Kepegang nih! Iya bener. Setelah Petrus menegaskan Yesus itu Mesias,
anehnya Yesus melarang dia menyebarluaskan pengertian itu dan kemudian dalam
bagian selanjutnya Yesus malah membicarakan diri dengan ungkapan "Anak
Manusia" dan tidak pernah menyuarakan diri dengan kata "Mesias" Inikah yang
kausebut menyingkir secara teologis?

MARK: Itu cara Yesus merombak wacana yang Mesias-sentrik dengan wacana kalem
yang berpusat pada figur Anak Manusia yang juga cukup dikenal orang pada
zaman itu. Lebih membawa ke Yang Maha Kuasa.

GUS: Teringat Dan 7:13 dengan sosok yang seperti Anak Manusia yang datang
dengan awan-awan menghadap ke Yang Maha Usia untuk mendapat kuasa.

MARK: Persis! Tapi boleh kutambah? Anak Manusia dalam Kitab Daniel itu
datang dari kalangan manusia untuk menerima kuasa dari atas sana. Ini
penting. Mesias berkebalikan arahnya, ia membawa kuasa dari atas sana ke
sini. Sudah makin melihat maksud Yesus ketika berbicara mengenai dirinya
sendiri sebagai Anak Manusia?

GUS: Bukan karena teologi Mesias tidak cocok, hanya teologi ini sudah
terlalu sering dipakai dengan maksud berlain-lainan, malah tidak membantu,
itu kan maksudnya?

MARK: Katakan saja begitu. Teologi Anak Manusia lebih cocok, lebih aktual,
dan lebih membuat orang memahami Yesus itu tokoh yang menghadap Dia yang ada
di atas sana, bukan tokoh yang mau menjalankan kuasa di sini, juga kuasa
batin terhadap pengikut-pengikutnya. Ia baru punya bobot seperti itu nanti
setelah wafat di kayu salib. Dan pada saat itulah sosok Anak Manusia yang
tadi datang menghadap Allah itu sampai ke tujuannya dan menerima
kemuliaannya sebagai Anak Allah, seperti diucapkan oleh kepala pasukan yang
menunggui dia di salib, "Sungguh, orang ini Anak Allah!" (Mrk 15:39).

GUS: Jadi gambaran sebagai Anak Manusia malah menegaskan bahwa anugerah dari
Yang Maha Kuasa yang diterimanya itu bukannya untuk mempertontonkan kuasa,
melainkan pemberian kekuatan untuk menanggung penderitaan nanti, sampai
dinaikkan di salib. Tapi juga kekuatan yang bakal membuatnya bangkit.

MARK: Gitu baru bisa dikatakan berteologi cara baru tentang Yesus sang Anak
Manusia. Kayak dia sendiri.


Salam hangat,
A. Gianto

Injil Minggu Biasa XXIII/B - 06 September 2009

Injil Minggu Biasa XXIII/B tgl. 06 September 2009 (Mrk 7:31-37)
04 September 2009 08:46

EFATA! - TERBUKALAH!
Rekan-rekan yang budiman!
Kali ini Injil Markus menampilkan kisah unik: penyembuhan orang tuli. Hanya
dalam Injil Markus sajalah peristiwa ini disampaikan. Dalam petikan Mrk
7:31-37 (hari Minggu Biasa XXIII tahun B) ada beberapa hal menarik yang
kurang begitu saya pahami. Karena tak ada cukup waktu untuk membalik-balik
komentar Injil, saya bujuk Mark menulis. Ia biasanya pendiam dan tak banyak
kata, tapi kali ini ia rada suka cerita dan ia tidak keberatan suratnya saya
teruskan kepada kalian.
Teriring salam,
A. Gianto.
======================================
Gus yang baik!
Memang benar Yesus banyak melakukan penyembuhan, tetapi memang baru di
sinilah kusampaikan peristiwa penyembuhan orang tuli. Dan hanya akulah yang
menyampaikan kisah penyembuhan dari ketulian. Memang Matt menyebut mengenai
penyembuhan pelbagai orang sakit, termasuk orang bisu (Mat 15:29-31 tidak
eksplisit disebut tuli, tapi orang bisu biasanya karena tuli). Oleh karena
itu,para ahli zaman modern biasa menduga aku hanya membuat-buat kisah itu.
Kuharap kau tidak beranggapan demikian kan? Aku mendengar dari sumber-sumber
tepercaya yang menyaksikan kejadian itu sendiri dan mengisahkannya
berkali-kali.

Mereka juga ingat kejadian itu bertempat di dekat danau Galilea. Demi
gampangnya maka kujelaskan pada awal bahwa Yesus sedang dalam perjalanan
balik dari Tirus di pesisir Lebanon selatan sekarang ke kota-kota sekitar
danau Galilea tempat ia banyak dikenal. Tapi memang dari Tirus ia ke utara
dulu, ke Sidon, juga pesisir, dan dari sana kembali lewat daerah sepuluh
kota, yaitu Dekapolis, dan sampai di tempat orang bisu itu dibawa ke
hadapannya. Kalau sukar dibayangkan, gini saja, barusan kulihat peta Pulau
Jawa di Internet. Bayangkan Yesus itu dulunya giat di sekitar
Ambarawa-Salatiga, tuh di sekitar Rawa Pening (anggap saja ini wilayah
Galilea), tapi ia kan pernah diminta pergi dari Galilea (Mrk 5:1-20,
terutama ay. 17) ke Tirus, (Mrk 5:24) bayangkan saja Semarang, maksudnya
incognito, tapi di situ seorang ibu-ibu Yunani keturunan Siro-Fenisia malah
minta dia menyembuhkan anak perempuannya yang kerasukan setan (Mrk 7:24-30).
Tentu Yesus tidak berniat berlama-lama di Tirus/Semarang, dan memutuskan
kembali ke Galilea/sekitar Rawa Pening. Tapi kebetulan ada yang mengajaknya
ke Sidon yang tak jauh dari sana, kayak ke Weleri, beli rambak petis buat
oleh-oleh, dan dari sana di balik ke wilayah Ambarawa-Salatiga/Galilea, tapi
tidak lewat jalan biasa, melainkan memutar lewat sebuah Gua Maria, Sukorejo,
Parakan Candi Umbul dst. (anggap saja seperti Dekapolis). Sebelum sampai
kembali di Ambarawa ia dihentikan orang-orang yang membawa seorang pasien
tuli. Rada jelas?

Kurasa penting kisah perjalanan ini diceritakan karena menggambarkan
bagaimana perjalanan Yesus itu sebuah ziarah yang semakin membentuk sikap
batinnya yang khas: memberi isi nyata pada kata "kehendak Allah".
Pengabdiannya pada kemanusiaan, tak peduli apa haluan kepercayaannya seperti
ibu-ibu tadi, ialah untaian manikam kenyataan apa itu kehendak Bapanya.
Inilah yang membuatku terkesan dan merasa perlu menyampaikannya kepada
kalian orang sekarang.
Lagipula, kota Tirus dan Sidon itu letaknya di wilayah amat pinggiran
lingkup masyarakat Yahudi. Di sana orang dianggap tak menghiraukan sisi-sisi
rohani dan hanya mementingkan materi. Maklum keduanya kota perdagangan yang
tua, kayak Semarang dan Weleri kalian itu. Tapi wilayah seperti itu tidak
dilupakan Tuhan,malah ia semakin menemukan diri di sana. Ini termasuk
Mysterium Christi yang bikin orang mau tahu lebih tentang sang Mesias.
Sarjana-sarjana kan beranggapan bahwa tulisanku menitikberatkan perkenalan
pada misteri ini.

Sekarang ada yang lebih menarik dari pelajaran geografi tadi. Terus terang
kisah mengenai penyembuhan orang tuli ini mesti dibaca atau paling tidak
dibayangkan bersama dengan kisah penyembuhan orang buta (sering dikenal
dengan nama Bartimeus) di Betsaida (Mrk 8:22-26). Kau sendiri pernah menulis
tentang si buta itu kan? Kesembuhan si tuli dan si buta ini ada makna
simboliknya.

Mereka jadi sembuh dalam perjumpaan dengan Yesus yang tak terduga-duga di
tengah perjalanannya, di tengah ziarahnya menemukan kehendak Bapanya.
Kesembuhan mereka itu ialah kesembuhan dari ketulian dan kebutaan mengenai
siapa sebetulnya Yesus ini. Kisah ini kumaksudkan bagi orang banyak, yang
ada di situ dan yang ada di mana saja Injil ini terbaca. Hendaknya mereka
mengerti bahwa perjumpaan dengan Yesus sang pejalan ini membuka gerbang
telinga dan pintu mata. Ketulian sesenyap apapun dan kebutaan segelap apapun
tak bisa menahan suara dan terang yang keluar dari diri Yesus.

Dalam kisah penyembuhan orang tuli ini ada orang banyak yang membantu si
tuli untuk bertemu dengan Yesus dan meminta agar ia menumpangkan tangan
menyembuhkannya. Nanti dalam kisah orang buta, orang banyak agak
menghalangi, tapi si buta itu terus bertekad mau mendekat. Seperti di mana
saja dan kapan saja, orang banyak sering tak jelas mau apa dan ke mana. Maka
dari itu, mereka juga diajak mendengar dan melihat. Kita ini kadang-kadang
mirip orang banyak juga. Tapi untung ada orang tuli dan orang buta tadi.

Kita bisa melihat yang terjadi pada diri mereka dan belajar dari mereka.
Sekarang perhatikan sikap dan tindakan Yesus dalam penyembuhan orang tuli
itu. Ia memisahkannya dari kerumunan orang banyak sehingga hanya mereka
berdua sendirian saja. Di situ terjadi penyembuhannya. Ia mau agar yang
pertama-tama didengar orang tuli itu nanti ialah suara yang dibawakannya,
bukan kasak kusuk orang banyak yang untuk sementara dijauhkannya. Kita tak
tahu semua seluk beluk yang terjadi ketika mereka sendirian. Tentu si tuli
tadi kemudian bercerita dan dari sana kita agak tahu bahwa Yesus memasukkan
jarinya ke telinga orang itu, meludah dan meraba lidah orang tadi. Kayak
penyembuh paranormal ya? Tapi lebih penting lagi, kemudian sambil menengadah
ke langit, ia mendesah dan berkata, dalam bahasa Aram, "Efata!" artinya
"Terbukalah!" Dari bentuk Aramnya, Gus kau tahu Aram lebih baik dari padaku,
perintah itu ditujukan kepada dua telinga yang dimasuki jarinya. Perintah
kepada telinga yang menutup diri kuat-kuat.

Perhatikan, Yesus mendesah. ya, mendesah, mengerang kayak orang yang sedang
kena kesakitan. Aku tak tahu banyak mengenai dunia itu, tapi sumber yang
kupakai jelas-jelas memaksudkan Yesus seperti sedang menahan sakit. Bukankah
kedua jarinya ada di telinga orang itu. Ada pergulatan antara kekuatan yang
menolak sang Sabda dengan Sabda yang mendatanginya. Dan disertai kesakitan
dari Sabda itu. Juga ia menyentuh lidah orang tadi. Bayangkan saja, ibu
jarinya menyentuh lidah orang tadi. Juga ada pergulatan antara lidah yang
dikuasai kekuatan yang membisukan melawan dia yang membuat orang berani
bersaksi. Yesus juga meludah. Kekuatan jahat dari telinga yang diambilnya
itu masuk ke dalam badannya, badan Yesus sendiri, dan kini diludahkannya dan
dibuangnya keluar.

Gus jangan mulai tersenyum membaca uraian ini, aku sendiri juga heran.
Memang Yesus bertindak seperti penyembuh paranormal zaman itu. Tapi satu hal
tak bisa kulewatkan: Yesus menengadah (Mrk 7:34). Ia mengarahkan diri ke
langit. Dulu ketika ia dibaptis ia melihat langit terbuka dan saat itulah ia
mendengar suara dari sana (Mrk 1:9-10): "Engkaulah AnakKu yang terkasih,
kepadamulah Aku berkenan." Pengalaman ini tak pernah lepas dari dirinya.
Kini ia menengadah menghadirkan kembali kekuatan perkenan dari atas dan
menyalurkannya ke dalam telinga dan lidah orang bisu tuli tadi. Adakah
kekuatan lain yang dapat menahan suara dan perkenan dari langit yang terbuka
tadi? Yesus bukan penyembuh biasa,ia meneruskan perkenan yang meraja di
dalam dirinya kepada siapa saja yang mendekat padanya. Ia juga sanggup ikut
merasakan penderitaan batin dan fisik orang yang sakit.

Mungkin kau akan bertanya-tanya mengapa Yesus menyuruh orang banyak
merahasiakan kejadian tadi. Tapi makin dilarang, mereka malah makin
memberitakannya. Aneh, di sini yang dilarang ialah orang banyak, jadi
berbeda dengan yang terjadi dalam penyembuhan orang kusta (Mrk 1:44).
Larangan itu sebenarnya untuk menghimbau agar orang tidak mengobral cerita
sehingga maknanya jadi buyar, jadi kisah penyembuhan dan penumpangan tangan
semata-mata. Banyak orang akan berbondong-bondong minta ditumpangi tangan.
Tidak enak! Kesembuhan itu hasil sampingan dari kejadian yang lebih dalam
yang aku sendiri tidak tahu tapi percaya ada. Orang-orang diminta
mengendapkan pengalaman melihat peristiwa itu dan menemukan artinya. Baru
bisa omong. Sayang mereka tak sabar, maka Yesus ketika itu makin dikenal
sebagai penyembuh saja, bukan terutama sebagai Anak terkasih Dia yang ada di
surga dan mendapat perkenanNya. Ini baru kusadari ketika menuliskan
semuanya.

Gus coba terangkan kepada rekan-rekan perkara ini.
Juga ada hubungannya dengan kebangkitan Yesus nanti. Orang boleh mulai
cerita banyak mengenai tindakan, pengajaran, penyembuhan yang dilakukan
Yesus setelah ia nanti ditinggikan di salib. Setelah diakui bahkan oleh
kepala pasukan di Golgota dengan kata-kata ini: "Sungguh, orang ini Anak
Allah!" (Mrk 15:39). Dan itulah yang diwartakan tentang Yesus Kristus, dan
itulah yang memberi arti lebih kepada semua tindakannya, penyembuhannya, dan
pengajarannya. Dan itulah realitas kebangkitannya: ia sungguh Anak Allah.
Salam buat rekan-rekan yang tahun ini mencoba mengerti yang ingin
kusampaikan dalam kisah-kisah tentang Yesus sang Mesias.

Salam hangat,
Mark