Injil Minggu Biasa VI/B 12 Feb 2012 (Mrk 1:40-45)
Rekan-rekan yang baik!
Diceritakan dalam Mrk 1:40-45 (Injil Minggu Biasa VI tahun B) bagaimana
seorang penderita kusta memohon kepada Yesus dengan mengatakan bila Yesus
menghendaki, tentu ia dapat membersihkannya, maksudnya menyembuhkannya.
Yesus pun menyentuhnya dan mengatakan ia mau agar ia jadi bersih. Begitu
sembuh, orang itu diperingatkan agar tidak mengatakan apa-apa kepada siapa
pun. Kemudian disuruhnya pergi menghadap imam, karena menurut perintah Musa
(Im 14:2-32), imamlah yang berwenang secara resmi menyatakan orang sudah
bersih dari kusta. Apa sebetulnya pokok persoalannya? Penyembuhan atau
pernyataan bahwa sudah bersih dari kusta? Kita boleh bertanya-tanya,
bagaimana perasaan Yesus ketika melihat orang tadi? Apa pula relevansi kisah
ini bagi kita?
PENDERITA KUSTA
Dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, "kusta" sebenarnya
bukan penyakit kusta yang dikenal ilmu kedokteran sekarang, yaitu yang
disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae, melainkan. semacam penyakit
kulit akibat jamur yang membuat kulit melepuh merah. Penyakit kulit ini
menyeramkan dan membuat penderita dijauhi orang. Mereka juga tak diizinkan
mengikuti ibadat karena dalam keadaan itu mereka dianggap tidak cukup bersih
untuk masuk ke tempat suci.
Menurut hukum adat dan agama Yahudi dulu, meski sudah sembuh, orang kusta
baru akan diterima kembali ke dalam masyarakat dan boleh ikut perayaan suci
setelah dinyatakan sembuh dalam upacara yang hanya dapat dilakukan para
imam. Hanya imamlah yang berhak menyatakan "najis" (kotor karena kusta) atau
"tahir" (bersih, sembuh dari kusta). Peraturan ini termaktub dalam bagian
Taurat, yakni Im 14:2-32. Tujuannya tentunya menjaga kebersihan kurban.
Tetapi pelaksanaan hukum itu kemudian menjadi soal. Menjelang zaman
Perjanjian Baru, semua upacara keagamaan yang penting semakin dipusatkan di
Bait Allah di Yerusalem. Penegasan sudah tahir atau masih kotor praktis
kemudian hanya dilakukan di Bait Allah pada kesempatan terbatas walaupun
tidak ada larangan melakukannya di tempat lain. Alhasil orang kusta yang
sudah sembuh sekalipun sulit sekali mendapat pernyataan sudah bersih
kembali. Orang itu akan benar-benar terkucil dan tidak memiliki tempat
mengadu lagi. Dengan latar belakang seperti ini Yesus itu memang menjadi
harapan satu-satunya. Tak heran orang tadi datang kepadanya, berlutut, lalu
mengatakan kalau engkau mau, engkau dapat mentahirkan diriku.
Orang itu memohon dua hal. Pertama, kesembuhan dari kusta, dan kedua, tidak
kalah pentingnya, ia mohon agar Yesus mau menyatakan ia sudah tahir kembali.
Baginya, Yesus inilah yang dapat memenuhi peraturan dalam Taurat karena
kelembagaan yang didukung imam-imam tidak lagi mendukung. Inilah sudut
pandang orang kusta tadi. Bagaimana dengan Yesus?
PERASAAN YESUS
Dikatakan Yesus "tergerak hatinya" (Mrk 1:41). Kerap disebut Yesus iba hati
bila melihat penderitaan atau kebutuhan orang yang tak terpenuhi. Ikut
merasakan, itulah yang dimaksudkan Injil, dalam bahasa Yunani,
"splagkhnistheis", kata yang dijumpai dalam ay. 41 ini. Tetapi pada ayat itu
beberapa naskah tua memakai kata lain, yakni "orgistheis", yang artinya
marah, kesal, berang. Mana yang benar? Bukankah iba hati lebih cocok dan
lebih biasa? Pemikiran seperti inilah yang mengakibatkan penggantian teks
asli "marah" menjadi "iba hati" pada ay. 41 itu. Tidak di setiap tempat ia
disebut iba hati sebetulnya ia marah.
Waktu itu di seluruh Galilea ia memberitakan Injil dan mengusir setan
(1:39). Tentunya ia berharap kekuasaan setan dan penyakit akan surut. Tapi
masih ada saja! Malah sekarang datang orang kusta yang sembari berlutut
minta disembuhkan. Apa lagi yang belum kulakukan, kata Yesus dalam hati!
Kesal, berang, marah, begitulah perasaan Yesus waktu itu. Dan dengan
perasaan inilah ia mengatakan, tentu saja aku mau. Hai, kau, jadilah bersih!
Dan seketika itu juga penyakit kusta itu pergi meninggalkan orang tadi, sama
seperti demam yang lenyap dari badan ibu mertua Simon. Kekuatan kusta itu
jeri padanya, begitu gagasan Markus.
Selanjutnya dalam ay. 43 disebutkan Yesus "menyuruh pergi orang tadi dengan
peringatan keras". Dan dalam ayat selanjutnya dikutip kata-kata yang
melarang orang itu menceritakan apapun kepada siapa saja dilanjutkan
perintah agar menghadap imam agar dinyatakan bersih menurut hukum Musa.
Sebenarnya teks aslinya lebih keras, harfiahnya, "Dengan geram Yesus
menyuruh orang itu pergi. Katanya, 'Ingat, jangan katakan apapun kepada
siapa saja!'" Orang itu disuruhnya menghadap imam supaya dinyatakan bersih
menurut aturan Musa. Apa yang membuat Yesus geram?
Sering para imam, yang berwenang menyatakan orang kusta sudah sembuh serta
bisa diterima kembali dalam masyarakat, kurang bersedia melakukannya. Jadi
sekalipun sudah sembuh, orang yang bersangkutan tetap tersisih. Yesus
menyuruh orang itu membawa persembahan yang diwajibkan hukum untuk keperluan
seperti itu justru untuk menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan siap
dinyatakan bersih. Inilah yang dimaksud dengan "sebagai bukti" dalam ay. 44.
Tapi Yesus sendiri tentu juga tahu bahwa tak mudah orang itu menemui imam
yang bersedia menolong orang itu. Karena itu ia geram. Lebih parah lagi,
yang menghalangi bukan kekuatan jahat yang menyebabkan penyakit - yang sudah
tersingkir - melainkan orang-orang yang memiliki wewenang menjalankan hukum
Musa, yakni para imam! Ini membuatnya geram dan merasa tak berdaya.
SIAPA MENGABARKANNYA?
Bila dibaca sekilas, bagian pertama ay. 45 memberi kesan bahwa yang pergi
memberitakan dan mengabarkan ke mana-mana ialah orang yang baru saja
dilarang mengatakan tentang hal itu. Beberapa kali memang Yesus ingin agar
kejadian luar biasa yang dilakukannya tidak disiarkan. Tetapi "ia" dalam ay.
45 itu dapat menunjuk pada orang kusta, tapi bisa juga pada Yesus sendiri.
Secara harfiah bunyinya begini: "Sambil berjalan pergi ia (=si kusta, tapi
bisa juga Yesus) mulai mengabarkan dan menyebarluaskan..." Lebih lanjut,
yang disebarluaskan, ialah "ton logon", dari kata "logos", yang bisa berarti
"hal itu", maksudnya penyembuhan, bila "ia" dimengerti sebagai orang kusta;
tetapi "logos" bisa pula berarti "kata", dan dalam konteks ini khususnya,
"Injil". Ini cocok bila yang dimaksud dengan "ia" ialah Yesus sendiri.
Memang akhirnya orang yang barusan disembuhkan itu menyebarluaskan berita
tentang hal itu. Ia tidak diam seperti yang diinginkan Yesus. Tetapi juga
benar bahwa Yesus mengabarkan dan menyebarluaskan Injil. Dalam kedua makna
ini, kejadiannya sama: baik warta Injil maupun berita tentang kesembuhan si
kusta itu tersebar luas. Akibatnya juga sama, seperti disebutkan dalam
bagian kedua ay. 45, "...ia (=Yesus) tidak dapat memasuki kota dengan
terang-terangan. Ia tinggal di luar di tempat-tempat terpencil, namun orang
terus juga datang kepadanya dari segala penjuru" Boleh dicatat, dalam teks
asli tidak dipakai kata "Yesus" yang ditambahkan dalam terjemahan Indonesia
demi kejelasan. Kiranya Markus bermaksud memunculkan dua gambaran tumpang
tindih bagi kejadian yang sama. Pembaca diajak melihat kejadian itu baik
dari sisi orang kusta maupun dari sisi Yesus. Kisah ini bukan hanya kisah
kesembuhan, melainkan juga kisah pewartaan Injil. Kedua-duanya perlu
ditampilkan dalam pembicaraan mengenai petikan ini.
HIKMAT KISAH
Dikatakan, Yesus tinggal di "tempat-tempat terpencil", dari kata Yunani
"eremos" yang juga sering dialihbahasakan sebagai padang gurun yang memang
terpencil. Kita boleh ingat akan peristiwa Yesus menghadapi kekuatan iblis
yang menggodainya di padang gurun, di tempat terpencil (Mrk 1:12). Tapi
kekuatan ilahi tetap menyertainya. Pada lain kesempatan, dikatakan pagi-pagi
benar ia pergi berdoa di tempat terpencil (Mrk 1:35). Dan orang-orang
mencari dan mendatanginya, seperti disebutkan dalam petikan kali ini juga.
Kisah ringkas ini menjadi ajakan untuk menemukan dia yang mengusahakan diri
agar bersama dengan Yang Maha Kuasa. Di situ kekuatannya, di situ terjadi
kesembuhan yang utuh.
Markus menggambarkan perasasan Yesus yang kesal, mengalami frustrasi melihat
adanya halangan-halangan yang memisahkan manusia dari sumber hidupnya
sendiri. Kita diajak penginjil untuk mulai bersimpati pada Yesus, menyelami
perasaannya agar makin memahami kesungguhannya. Bukan supaya kita menirunya
atau membenarkan diri kita bila kesal dan kecewa, melainkan untuk membantu
agar kita dapat mengenal siapa dia itu. Bukan pula untuk mengutuk kaum imam
yang kurang bersedia menjalankan yang digariskan hukum Musa. Kita diajak
menyadari akan adanya halangan-halangan yang membuat kebaikan terbelenggu.
Akan makin besar pula kebutuhan mendengarkan warta yang melegakan.
Tadi disebutkan bahwa sukar bagi orang kusta yang sembuh untuk menghadap
imam di Bait Allah agar resmi dinyatakan sembuh dan dapat kembali ke dalam
masyarakat. Tempat Yang Ilahi hadir secara nyata sekarang tidak lagi di Bait
Allah, tapi di tempat Yesus berada. Dialah Bait yang baru. Dia juga yang
menyatakan orang jadi bersih kembali. Ia sendiri jugalah yang menjadi kurban
bagi pulihnya orang kusta serta kaum terpinggir lainnya. Ini warta yang
melegakan yang disampaikan Injil!
Salam hangat,
A. Gianto
Rekan-rekan yang baik!
Diceritakan dalam Mrk 1:40-45 (Injil Minggu Biasa VI tahun B) bagaimana
seorang penderita kusta memohon kepada Yesus dengan mengatakan bila Yesus
menghendaki, tentu ia dapat membersihkannya, maksudnya menyembuhkannya.
Yesus pun menyentuhnya dan mengatakan ia mau agar ia jadi bersih. Begitu
sembuh, orang itu diperingatkan agar tidak mengatakan apa-apa kepada siapa
pun. Kemudian disuruhnya pergi menghadap imam, karena menurut perintah Musa
(Im 14:2-32), imamlah yang berwenang secara resmi menyatakan orang sudah
bersih dari kusta. Apa sebetulnya pokok persoalannya? Penyembuhan atau
pernyataan bahwa sudah bersih dari kusta? Kita boleh bertanya-tanya,
bagaimana perasaan Yesus ketika melihat orang tadi? Apa pula relevansi kisah
ini bagi kita?
PENDERITA KUSTA
Dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, "kusta" sebenarnya
bukan penyakit kusta yang dikenal ilmu kedokteran sekarang, yaitu yang
disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae, melainkan. semacam penyakit
kulit akibat jamur yang membuat kulit melepuh merah. Penyakit kulit ini
menyeramkan dan membuat penderita dijauhi orang. Mereka juga tak diizinkan
mengikuti ibadat karena dalam keadaan itu mereka dianggap tidak cukup bersih
untuk masuk ke tempat suci.
Menurut hukum adat dan agama Yahudi dulu, meski sudah sembuh, orang kusta
baru akan diterima kembali ke dalam masyarakat dan boleh ikut perayaan suci
setelah dinyatakan sembuh dalam upacara yang hanya dapat dilakukan para
imam. Hanya imamlah yang berhak menyatakan "najis" (kotor karena kusta) atau
"tahir" (bersih, sembuh dari kusta). Peraturan ini termaktub dalam bagian
Taurat, yakni Im 14:2-32. Tujuannya tentunya menjaga kebersihan kurban.
Tetapi pelaksanaan hukum itu kemudian menjadi soal. Menjelang zaman
Perjanjian Baru, semua upacara keagamaan yang penting semakin dipusatkan di
Bait Allah di Yerusalem. Penegasan sudah tahir atau masih kotor praktis
kemudian hanya dilakukan di Bait Allah pada kesempatan terbatas walaupun
tidak ada larangan melakukannya di tempat lain. Alhasil orang kusta yang
sudah sembuh sekalipun sulit sekali mendapat pernyataan sudah bersih
kembali. Orang itu akan benar-benar terkucil dan tidak memiliki tempat
mengadu lagi. Dengan latar belakang seperti ini Yesus itu memang menjadi
harapan satu-satunya. Tak heran orang tadi datang kepadanya, berlutut, lalu
mengatakan kalau engkau mau, engkau dapat mentahirkan diriku.
Orang itu memohon dua hal. Pertama, kesembuhan dari kusta, dan kedua, tidak
kalah pentingnya, ia mohon agar Yesus mau menyatakan ia sudah tahir kembali.
Baginya, Yesus inilah yang dapat memenuhi peraturan dalam Taurat karena
kelembagaan yang didukung imam-imam tidak lagi mendukung. Inilah sudut
pandang orang kusta tadi. Bagaimana dengan Yesus?
PERASAAN YESUS
Dikatakan Yesus "tergerak hatinya" (Mrk 1:41). Kerap disebut Yesus iba hati
bila melihat penderitaan atau kebutuhan orang yang tak terpenuhi. Ikut
merasakan, itulah yang dimaksudkan Injil, dalam bahasa Yunani,
"splagkhnistheis", kata yang dijumpai dalam ay. 41 ini. Tetapi pada ayat itu
beberapa naskah tua memakai kata lain, yakni "orgistheis", yang artinya
marah, kesal, berang. Mana yang benar? Bukankah iba hati lebih cocok dan
lebih biasa? Pemikiran seperti inilah yang mengakibatkan penggantian teks
asli "marah" menjadi "iba hati" pada ay. 41 itu. Tidak di setiap tempat ia
disebut iba hati sebetulnya ia marah.
Waktu itu di seluruh Galilea ia memberitakan Injil dan mengusir setan
(1:39). Tentunya ia berharap kekuasaan setan dan penyakit akan surut. Tapi
masih ada saja! Malah sekarang datang orang kusta yang sembari berlutut
minta disembuhkan. Apa lagi yang belum kulakukan, kata Yesus dalam hati!
Kesal, berang, marah, begitulah perasaan Yesus waktu itu. Dan dengan
perasaan inilah ia mengatakan, tentu saja aku mau. Hai, kau, jadilah bersih!
Dan seketika itu juga penyakit kusta itu pergi meninggalkan orang tadi, sama
seperti demam yang lenyap dari badan ibu mertua Simon. Kekuatan kusta itu
jeri padanya, begitu gagasan Markus.
Selanjutnya dalam ay. 43 disebutkan Yesus "menyuruh pergi orang tadi dengan
peringatan keras". Dan dalam ayat selanjutnya dikutip kata-kata yang
melarang orang itu menceritakan apapun kepada siapa saja dilanjutkan
perintah agar menghadap imam agar dinyatakan bersih menurut hukum Musa.
Sebenarnya teks aslinya lebih keras, harfiahnya, "Dengan geram Yesus
menyuruh orang itu pergi. Katanya, 'Ingat, jangan katakan apapun kepada
siapa saja!'" Orang itu disuruhnya menghadap imam supaya dinyatakan bersih
menurut aturan Musa. Apa yang membuat Yesus geram?
Sering para imam, yang berwenang menyatakan orang kusta sudah sembuh serta
bisa diterima kembali dalam masyarakat, kurang bersedia melakukannya. Jadi
sekalipun sudah sembuh, orang yang bersangkutan tetap tersisih. Yesus
menyuruh orang itu membawa persembahan yang diwajibkan hukum untuk keperluan
seperti itu justru untuk menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan siap
dinyatakan bersih. Inilah yang dimaksud dengan "sebagai bukti" dalam ay. 44.
Tapi Yesus sendiri tentu juga tahu bahwa tak mudah orang itu menemui imam
yang bersedia menolong orang itu. Karena itu ia geram. Lebih parah lagi,
yang menghalangi bukan kekuatan jahat yang menyebabkan penyakit - yang sudah
tersingkir - melainkan orang-orang yang memiliki wewenang menjalankan hukum
Musa, yakni para imam! Ini membuatnya geram dan merasa tak berdaya.
SIAPA MENGABARKANNYA?
Bila dibaca sekilas, bagian pertama ay. 45 memberi kesan bahwa yang pergi
memberitakan dan mengabarkan ke mana-mana ialah orang yang baru saja
dilarang mengatakan tentang hal itu. Beberapa kali memang Yesus ingin agar
kejadian luar biasa yang dilakukannya tidak disiarkan. Tetapi "ia" dalam ay.
45 itu dapat menunjuk pada orang kusta, tapi bisa juga pada Yesus sendiri.
Secara harfiah bunyinya begini: "Sambil berjalan pergi ia (=si kusta, tapi
bisa juga Yesus) mulai mengabarkan dan menyebarluaskan..." Lebih lanjut,
yang disebarluaskan, ialah "ton logon", dari kata "logos", yang bisa berarti
"hal itu", maksudnya penyembuhan, bila "ia" dimengerti sebagai orang kusta;
tetapi "logos" bisa pula berarti "kata", dan dalam konteks ini khususnya,
"Injil". Ini cocok bila yang dimaksud dengan "ia" ialah Yesus sendiri.
Memang akhirnya orang yang barusan disembuhkan itu menyebarluaskan berita
tentang hal itu. Ia tidak diam seperti yang diinginkan Yesus. Tetapi juga
benar bahwa Yesus mengabarkan dan menyebarluaskan Injil. Dalam kedua makna
ini, kejadiannya sama: baik warta Injil maupun berita tentang kesembuhan si
kusta itu tersebar luas. Akibatnya juga sama, seperti disebutkan dalam
bagian kedua ay. 45, "...ia (=Yesus) tidak dapat memasuki kota dengan
terang-terangan. Ia tinggal di luar di tempat-tempat terpencil, namun orang
terus juga datang kepadanya dari segala penjuru" Boleh dicatat, dalam teks
asli tidak dipakai kata "Yesus" yang ditambahkan dalam terjemahan Indonesia
demi kejelasan. Kiranya Markus bermaksud memunculkan dua gambaran tumpang
tindih bagi kejadian yang sama. Pembaca diajak melihat kejadian itu baik
dari sisi orang kusta maupun dari sisi Yesus. Kisah ini bukan hanya kisah
kesembuhan, melainkan juga kisah pewartaan Injil. Kedua-duanya perlu
ditampilkan dalam pembicaraan mengenai petikan ini.
HIKMAT KISAH
Dikatakan, Yesus tinggal di "tempat-tempat terpencil", dari kata Yunani
"eremos" yang juga sering dialihbahasakan sebagai padang gurun yang memang
terpencil. Kita boleh ingat akan peristiwa Yesus menghadapi kekuatan iblis
yang menggodainya di padang gurun, di tempat terpencil (Mrk 1:12). Tapi
kekuatan ilahi tetap menyertainya. Pada lain kesempatan, dikatakan pagi-pagi
benar ia pergi berdoa di tempat terpencil (Mrk 1:35). Dan orang-orang
mencari dan mendatanginya, seperti disebutkan dalam petikan kali ini juga.
Kisah ringkas ini menjadi ajakan untuk menemukan dia yang mengusahakan diri
agar bersama dengan Yang Maha Kuasa. Di situ kekuatannya, di situ terjadi
kesembuhan yang utuh.
Markus menggambarkan perasasan Yesus yang kesal, mengalami frustrasi melihat
adanya halangan-halangan yang memisahkan manusia dari sumber hidupnya
sendiri. Kita diajak penginjil untuk mulai bersimpati pada Yesus, menyelami
perasaannya agar makin memahami kesungguhannya. Bukan supaya kita menirunya
atau membenarkan diri kita bila kesal dan kecewa, melainkan untuk membantu
agar kita dapat mengenal siapa dia itu. Bukan pula untuk mengutuk kaum imam
yang kurang bersedia menjalankan yang digariskan hukum Musa. Kita diajak
menyadari akan adanya halangan-halangan yang membuat kebaikan terbelenggu.
Akan makin besar pula kebutuhan mendengarkan warta yang melegakan.
Tadi disebutkan bahwa sukar bagi orang kusta yang sembuh untuk menghadap
imam di Bait Allah agar resmi dinyatakan sembuh dan dapat kembali ke dalam
masyarakat. Tempat Yang Ilahi hadir secara nyata sekarang tidak lagi di Bait
Allah, tapi di tempat Yesus berada. Dialah Bait yang baru. Dia juga yang
menyatakan orang jadi bersih kembali. Ia sendiri jugalah yang menjadi kurban
bagi pulihnya orang kusta serta kaum terpinggir lainnya. Ini warta yang
melegakan yang disampaikan Injil!
Salam hangat,
A. Gianto
No comments:
Post a Comment