Doa, yang adalah permohonan, permintaan, tidak mungkin menemukan realitas yang bukan hasil dari tuntutan. Kita minta, memohon, berdoa hanya bila kita bingung, bersedih hati; dan karena tidak memahami kebingungan atau kesedihan itu, kita berpaling kepada sosok lain. Jawaban terhadap doa adalah proyeksi kita sendiri; dalam satu atau lain cara itu selalu memuaskan, memenuhi harapan; kalau tidak, kita akan menolaknya. Jadi, bila kita telah belajar cara menenangkan pikiran melalui pengulangan, kita mempertahankan kebiasaan itu, tetapi jawaban terhadap permohonan tentu harus dibentuk sesuai dengan keinginan orang yang memohon.
Nah, doa, permohonan, permintaan, tidak pernah dapat mengungkapkan apa yang bukan proyeksi pikiran. Untuk menemukan apa yang bukan buatan pikiran, batin harus hening—bukan dibuat hening dengan mengulang kata-kata, yang adalah menghipnotis diri, juga tidak dengan jalan lain untuk membuat batin diam.
Keheningan yang dibuat, dipaksakan, bukan keheningan sama sekali. Itu seperti meletakkan seorang anak kecil di sudut—secara lahiriah ia mungkin diam, tetapi di dalam ia marah. Jadi, batin yang dibuat hening dengan disiplin tidak pernah sungguh-sungguh hening, dan keheningan yang dibuat tidak dapat mengungkap keadaan kreatif yang di situ realitas muncul.
No comments:
Post a Comment