Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai, "Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."
Nasrudin memotong, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum-lah yang harus diseusaikan dengan kemanusiaan."
Hakim mencoba bertaktik, "tetapi coba kit alihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan Anda pilih?"
Nasrudin menjawab seketika, "Tentu saja, saya memilih kekayaan."
Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"
Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"
Hakim menjawab tegas, Tentu, saya memilih kebijaksanaan."
Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."
Nasrudin memotong, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum-lah yang harus diseusaikan dengan kemanusiaan."
Hakim mencoba bertaktik, "tetapi coba kit alihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan Anda pilih?"
Nasrudin menjawab seketika, "Tentu saja, saya memilih kekayaan."
Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"
Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"
Hakim menjawab tegas, Tentu, saya memilih kebijaksanaan."
Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."
No comments:
Post a Comment