Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Biasa XXXI A - 30 Okt 11

Minggu Biasa XXXI- A 30 Okt 11 (Mat 23:1-12)

BOROK KEHIDUPAN AGAMA?

Rekan-rekan yang budiman,
Suatu ketika kepada orang banyak dan para muridnya Yesus menuturkan sikap
tercela para ahli Taurat dan kaum Farisi (Mat 23:1-12, Injil Minggu Biasa
XXXI tahun A tgl. 30 Oktober 2011). Sekalipun mereka ini memiliki hak untuk
mengajarkan Taurat, janganlah kelakuan mereka diikuti. Mereka membebani
orang dengan ajaran-ajaran tanpa bersedia menjalaninya sendiri. Mereka suka
dipandang sebagai orang saleh, ingin diberi tempat kehormatan di tempat
ibadat, mengharapkan sanjungan di hadapan umum.... Tingkah mereka ini boleh
dikata sudah menjadi karikatur oberagama.

BOROK KEHIDUPAN?

Teks hari ini gampang dipakai untuk melancarkan kritik terhadap para
pemimpin masyarakat khususnya di kalangan para tokoh agama. Tetapi apakah
Injil pertama-tama bertujuan membuka borok-borok kehidupan agama seperti
itu? Seandainya hanya itu, akan lebih menarik bila didatangkan seorang
karyawan pastoran atau biara untuk curhat tiga menit di mimbar sebagai
selingan dalam khotbah. Dia bakal jadi narasumber otentik. Atau bila keadaan
mengizinkan, tayangkan sekaligus video (dengan muka para pembicara
dikelabukan demi anonimitas) mengenai keluhan-keluhan seorang istri atau
seorang suami atau anak terhadap tuntutan yang terasa terlalu besar untuk
menjalankan hidup berumah tangga ideal menurut ajaran Gereja. Peragaan
seperti itu akan lebih seru. Tapi itukah warta Injil hari ini? Rasa-rasanya
bukan. Pewarta sabda tidak diminta menitip-nitipkan kritik ke dalam Injil,
memuatinya dengan nasihat dan seruan moralistis, atau memakainya sebagai
pijakan bercurhat.

DI BAIT ALLAH PADA HARI-HARI TERAKHIR

Ketika Yesus tiba di kota Yerusalem, orang banyak menyambutnya dengan
meriah. Seluruh kota jadi gempar  (Mat 21:10). Pada hari itu juga ia datang
di Bait Allah dan menyadarkan orang bahwa rumah doa itu kini telah jadi
sarang "penyamun" (21:12-13). Di situ juga ia menyembuhkan orang-orang buta
dan orang-orang timpang. Imam-imam kepala dan ahli Taurat tidak senang
melihat kepopuleran Yesus di wilayah mereka. Tetapi malam hari itu juga
Yesus ke luar kota dan bermalam di Betania yang terletak di sebelah timur
Yerusalem (21:18). Keesokan harinya ia kembali ke Bait Allah (21:23). Di
situ terjadi serangkai pembicaraan dengan para pemimpin Yahudi yang
mempertanyakan asal kuasa Yesus. Dalam kesempatan inilah ia mengajar dengan
perumpamaan mengenai para penggarap kebun anggur yang mau merebut hasil dan
tanah majikan (21:33-45), perumpamaan para undangan ke perjamuan nikah dan
pakaian pesta (22:1-14). Juga waktu itulah dipaparkan pemecahan masalah
membayar pajak kepada Kaisar (22:15-22), jawaban bagi penolakan orang Saduki
terhadap kebangkitan (22:23-33), dan pengajaran mengenai hukum yang terutama
(22:34-40) dan penjelasan mengenai hubungan antara Yesus dan Daud
(22:41-46). Peristiwa yang disampaikan Injil hari ini terjadi di Bait Allah
juga. Pengajaran ini disusul dengan tujuh kecaman keras terhadap sikap para
ahli Taurat dan orang Farisi termasuk para pemimpin (23:13-36) dan keluhan
terhadap kota Yerusalem (23:34-35). Setelah itu Yesus keluar dari Bait Allah
dan Injil Matius mulai menceritakan pengajaran Yesus mengenai akhir zaman
(24:1-25:46). Ini semua terjadi dua hari ia ditangkap untuk disalibkan dua
hari menjelang Paskah orang Yahudi (26:2).

Konteks di atas memberi arti yang lebih penuh pada pengajaran Yesus. Matius
menampilkan Yesus sebagai orang yang berkuasa mengajarkan mengenai Allah -
di rumah-Nya sendiri. Bukan lagi para ahli Taurat dan orang Farisi yang kini
berkuasa. Wibawa mereka sudah pudar karena mereka sendiri tidak menjalankan
yang mereka ajarkan. Dan ini dirasakan orang banyak. Namun kuasa yang kini
dimiliki Yesus membawa risiko. Para tokoh yang tak senang akan kepopuleran
Yesus ini membuat rencana untuk menjatuhkannya (26:1-5). Yesus juga sadar
bahwa risiko ini muncul dari keteguhannya dalam mengasihi Allah dengan
seutuh-utuhnya dan mengasihi sesama yang sama-sama manusia seperti dia... Ia
menghayati yang diajarkannya. Di situlah integritasnya. Ini dilihat orang
banyak pula.

DUDUK DI KURSI MUSA?

Dikatakan dalam terjemahan yang lazim dipakai di Indonesia bahwa ahli Taurat
dan orang Farisi "telah menduduki kursi Musa". Sayang kata "menduduki" dapat
memberi kesan "menghuni dengan tanpa hak, merebut" yang tidak dimaksud di
sini. Lebih cocok bila dipakai "duduk di kursi Musa". Dalam tradisi Yahudi
ketika itu memang para ahli Taurat dan kaum Farisi diakui memiliki wewenang
mengajarkan dan menafsirkan Taurat dengan wibawa seperti yang dimiliki Musa
sendiri. Pengaruh mereka mulai besar pada abad ke-5 seb. Masehi, yakni
setelah orang Yahudi kembali dari pengasingan di Babilonia. Pada zaman itu
dibutuhkan pegangan untuk membangun kembali kehidupan bangsa dan agama.
Dapat dimengerti bila sisi "hukum" ajaran agama lebih ditonjolkan. Tiap kali
masyarakat Yahudi terdesak oleh kuasa politik dari luar, maka ciri-ciri
legalistis kepercayaan mereka makin menjadi menonjol. Keadaan seperti ini
sering dijumpai di pelbagai masyarakat, juga pada zaman kita sekarang. Tentu
saja ada ekses. Dan inilah yang dibicarakan dalam petikan hari ini.
Pengajaran dan kesaksian hidup pribadi sering tidak sejalan. Boleh dikatakan
ketimpangan itu berpusat pada diabaikannya hidup beragama yang semestinya
bergantung pada dua perintah yang terbesar yang dibicarakan dalam bagian
sebelumnya (Mat 22:34-40; bacaan Injil Minggu Biasa XXX/A).

PEMBACA INJIL MATIUS: DULU DAN SEKARANG

Injil Matius tumbuh di kalangan orang-orang Yahudi yang telah menjadi
pengikut para rasul. Orang-orang itu memiliki latar pendidikan Taurat yang
kuat dan memang berusaha hidup menurut Taurat dengan baik. Tentu ada dari
mereka yang akhirnya keterlaluan dan bersikap legalistis...juga setelah
bergabung dengan para pengikut Yesus. Mereka inilah yang dibicarakan dalam
Injil hari ini. Meski penggambarannya dilatarbelakangi kecaman Yesus
terhadap para ahli Taurat dan kaum Farisi, masalahnya lebih menyangkut
kehidupan di dalam komunitas muda yang memang tumbuh dari kalangan Yahudi.
(Tidak semua pemimpin dan ahli Taurat atau kaum Farisi tercela. Ada
orang-orang seperti Yusuf Arimatea dan Nikodemus, ada juga Saulus, orang
Farisi yang fanatik tetapi yang kemudian menjadi rasul Paulus.) Pembaca dari
zaman dulu melihat kembali secara kritis ke masa lampau mereka sendiri dan
dengan halus menyampaikan kepada rekan-rekan mereka agar tidak menempuh cara
lama itu. Mereka mau menyadari sisi mana dari cara hidup mereka tidak bisa
lagi memberi inspirasi dan tidak bisa menjawab tantangan zaman. Mereka mau
menimba kebijaksanaan dari ingatan para guru mereka yang masih mengenal
Yesus ketika mengajar di Yerusalem dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh di
sana. Inilah yang ditampilkan Matius.

Tentunya pembaca dari zaman kita sekarang tidak hanya berminat pada konteks
yang dulu-dulu saja. Orang zaman ini ingin membaca Injil sebagai inspirasi
hidup. Bila tidak tergesa-gesa, sebenarnya kuncinya juga terdapat di dalam
Injil Matius sendiri. Secara sederhana begini. Seluruh pengajaran Yesus
menjelang akhir hidupnya dalam Mat 23 ditampilkan oleh Matius sebagai gema
pengajarannya ketika ia mulai tampil di muka umum, yakni  ketika ia mengajar
"orang banyak dan murid-muridnya" di sebuah bukit (Mat 5:1 dan 5:17-7:29).

Baik diperiksa bagaimana bagian yang memuat tujuh kecaman terhadap pemimpin,
ahli Taurat dan orang Farisi (Mat 22:13-36, kelanjutan bacaan hari ini)
berpadanan dengan Sabda Bahagia (Mat 5:3-12). Mereka yang dicela itu
dikatakan telah menutup pintu-pintu Kerajaan Surga (22:13), bdk. orang
miskin dan orang yang dianiaya yang dalam Sabda Bahagia dikatakan bakal
memiliki Kerajaan Surga (5:3 dan 10); mereka disebutkan calon penghuni
neraka (22:15), bdk. pembawa damai yang akan disebut anak-anak Allah (5:9);
mereka disebut buta (22:16-22), bdk. orang yang bersih hatinya yang akan
melihat Allah (5:8); mereka mengabaikan belas kasihan (22:23-24), bdk. orang
yang berbelaskasihan yang akan mendapat belas kasihan (5:7); mereka rakus
tak pernah kenyang (22:25-26), bdk. orang lapar dan haus yang akan dipuaskan
(5:6); batin mereka membusuk seperti mayat yang dikubur  (22:27-28), bdk.
orang berduka cita yang akan dihibur (5:4); kelakuan jahat mereka akan
menjadi hukuman mereka sendiri (22:29-35), bdk. orang lemah lembut yang akan
imemilik bumi.

Diberikan gambaran keadaan bila pengajaran di bukit dan Sabda Bahagia tidak
dihayati. Mereka yang merasa mau menegakkan hukum agama akan menindas
kehidupan agama dari dalam! Ini kendala beragama yang tidak berusaha
mengembangkan inti sikap beragama sendiri. Malah bisa memburuk dan memborok.
Pada titik ini Injil Matius hendak membawa pembaca kembali ke inti kehidupan
orang yang percaya, yakni ke inti pewartaan Yesus sendiri: mengajak orang
menyongsong masa depan di dalam Kerajaan Surga sehingga menemukan kembali
manusia yang utuh. Dan sekali lagi, di situ kemerdekaan manusia serta
kebijaksanaan menghayatinya menjadi pusat perhatian.


Salam hangat,
A. Gianto

Minggu Biasa XXX A - 23 Oktober 2011

Injil Minggu Biasa XXX tahun A - 23 Oktober 2011 (Mat 22:34-40)

Rekan-rekan yang baik!
Minggu Biasa XXX tahun A ini dirayakan dengan bacaan Injil dari Mat
22:34-40. Di situ Yesus menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat yang hendak
menjajaki pengetahuan keagamaannya. Ditanyakan kepadanya, manakah perintah
yang paling utama dalam Taurat. Jawabnya, perintah yang terutama dan yang
pertama ialah (Ul 6:5) "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu." Dan perintah yang
kedua ialah (Im 19:18) "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
Ditambahkannya, pada kedua perintah itu bergantung seluruh hukum Taurat dan
kitab para nabi. (Kitab para nabi menurut orang Yahudi meliputi kitab-kitab
sejarah dari Hak sampai Raj dan nabi-nabi Yes, Yer, Yeh dan ke-12 nabi lain;
Dan tidak termasuk di sini).

TENTANG TAURAT

Pertanyaan kepada Yesus berbunyi "Guru, perintah manakah yang terutama dalam
hukum Taurat?" membuat orang berpikir, dari sekian banyak perintah, manakah
yang paling pokok. Namun, dalam rumusan aslinya, pertanyaan tadi sebenarnya
berbunyi: "Guru, perintah macam apa bisa disebut besar di dalam Taurat?"
Jadi yang dipertanyakan bukanlah yang mana, melainkan macamnya, jenisnya,
kategorinya... Pertanyaan ini mengarah pada ciri-ciri yang membuat perintah
tertentu dapat dikatakan perintah besar. Memang diandaikan perintah-perintah
dalam Taurat tidak sama bobotnya. Ahli Taurat itu mau tahu apa Yesus
memiliki kemampuan menimbang-nimbang Taurat dan bukan hanya asal kutip sana
sini.

Memang dalam kesadaran orang Yahudi yang terpelajar, ada macam-macam bobot.
Dan tidak bisa dipukul rata. Yeus sendiri di lain kesempatan juga
menunjukkan kepekaan ini. Misalnya hukum Sabat (Mat 12:1-14). Di situ
kewajiban menguduskan Sabat dibawahkan kepada kewajiban berkurban dan
melaksanakan belas kasihan. Mana prinsip memahami perintah yang satu lebih
pokok dari yang lain? Soal ini dijawab Yesus dengan mengutarakan dua
perintah yang disebutkannya sebagai tempat bergantung semua hukum Taurat dan
kitab para nabi.

Perintah mengasihi Tuhan Allah dengan sepenuh-penuhnya yang dikutipnya dari
Ul 6:5 itu termasuk ayat-ayat suci yang wajib didoakan dua kali sehari (pagi
dan petang) oleh orang Yahudi yang saleh. Perintah Im 19:8 mengenai
mengasihi sesama itu disertakannya sebagai perintah utama yang kedua.

ISI PERINTAH UTAMA DAN MAKNANYA

Semalam saya mengajak tiga sekawan Matt, Luc, dan Mark ngobrol ke sana ke
mari tentang perbincangan Yesus dengan pemuka-pemuka Yahudi seperti
disampaikan Matt. Berikut ini beberapa potong pembicaraan kami di sela-sela
seruputan wedang ndongo dan kue-kue Mon Ami yang dibekalkan pemiliknya
ketika mau pulang ke Roma.

GUS: Kalian ini menyampaikan peristiwa yang sama tapi menaruh dalam konteks
yang berbeda-beda. Bikin bingung pembaca. Matt, lu bilang kayak di atas
tadi. Tapi, ekseget tahu kau memakai bahan dari Mark kan?

MATT [mulai tak tenang, rada segan dengan kaum penafsir]: Versi Ul 6:5 yang
dikutip Mark itu memuat empat unsur "segenap hati, jiwa, akal budi dan
kekuatanmu". Sebenarnya "segenap akalbudi" yang dipakai Mark itu kan untuk
menjelaskan arti "segenap hati". Bagi orang Yahudi seperti kami, hati itu
tempat bernalar, bukan tempat perasaan. "Segenap kekuatan" yang ada dalam
teks Perjanjian Lama tidak dikutip kembali oleh Mark dan juga tak
kutampilkan kembali karena sudah jelas bagi kami. [MARK manggut-manggut]
Tapi Luc, ah dia tulis sesuai teks Perjanjian Lama "dengan segenap hati,
jiwa, kekuatan", tetapi ia juga masukkan tambahan Mark yang menyebut "dan
segenap dan akal budi."

LUC: Kalau pakai sumber Perjanjian Lama mestinya cermat, gitu kan?

MATT: Kau tentang Perjanjian Lama tahumu apa sih! Dalam versimu [Luk
10:25-28] kedua perintah itu kautaruh dalam mulut ahli Taurat yang menanyai
Yesus, bukan dalam kata-kata Yesus seperti kami laporkan. Lu aje yang
cermatan dikit dulu dong!

MARK [buru-buru menyela sebelum Luc sempat menukas Matt]: Sudah, sudah, yang
itu asalnya juga dari tulisanku. Memang Yesus mengutip kedua perintah tadi
[Mrk 12:29-31]. Tapi seperti kuceritakan, ahli Taurat tadi kemudian
mengulang yang dikatakan Yesus [Mrk 12:32-33]. Ini yang diolah Luc, ya kan?
Jadi kalian berdua benar. Jangan berantem kayak anak kecil, malu ah.

LUC: Peristiwa tanya jawab itu kupakai untuk mengantar kisah orang Samaria
yang baik hati yang menjelaskan bagaimana orang Samaria yang biasanya
dianggap tak masuk hitungan sekalipun toh bisa betul-betul menjadi sesama
bagi orang Yahudi yang kena musibah di perjalanan.

MATT: Bagiku, tanya jawab itu menunjukkan bahwa Yesus tak kalah piawai
dengan ahli Taurat dalam menafsirkan Perjanjian Lama.

GUS [mulai tertarik]: Gimana?

MATT: Begini, seperti ditulis Mark, ada tambahan dari Yesus bahwa tak ada
perintah yang lebih utama dari keduanya tadi. Nah tambahan ini kupertajam
dengan mengungkapkannya kembali demikian: "Pada kedua perintah inilah
bergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi".

GUS: Jadi, Matt, kau bermaksud menonjolkan pandangan Yesus bahwa kedua
perintah memang menjadi dasar dan menjiwai semua hukum Taurat dan kitab para
nabi.

MATT [tersenyum puas, dapat angin]: Benar. Bukan maksud Yesus mengabaikan
hukum-hukum lain. Justru ia mau menunjukkan makna kumpulan hukum itu. Ini
kurang ditekankan Mark, apalagi Luc.

LUC: Tapi Matt , you kan tidak memberi contoh bagaimana mengasihi Tuhan
sepenuh-penuhnya dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Orang sekarang
lebih mudah menangkap bila diberi cerita. Pendekatan naratif. Itulah
sebabnya kutampilkan perumpamaan orang Samaria itu.

MATT: Oke, deh. Cerita orang Samaria yang engkau tampilkan itu menjelaskan
perintah kedua. Tapi perintah pertama?

LUC: Belum ngerti? Seluruh kisah Yesus menuju tujuan perjalanannya di
Yerusalem (Luk 9:51-19:28) itu penjelasan naratif tentang mengasihi Tuhan
dengan sepenuh-penuhnya. Kan nanti pada akhirnya di kayu salib Yesus
menyerahkan nyawanya kepada Bapanya yang dikasihinya sepenuh-penuhnya - itu
caraku menjelaskan.

MARK: Sudahlah, kita tak perlu menjelaskan sendiri tulisan kita, serahkan
saja kepada ekseget.

GUS: Terima kasih, kukira kalian sendiri mau jadi penafsir. Gini, mengenai
"kasihilah sesama seperti dirimu sendiri" ada sesuatu yang masih perlu
diulas. Kan kalian maksudkan, kasihilah sesama yang punya pengalaman sama
seperti dirimu sendiri, begitu kan. Jadi diingatkan bahwa kita ini pada
dasarnya mengalami pahit getirnya kehidupan seperti orang lain. Maka ingat
nanti kalau sudah lebih beruntung, gitu kan, jangan lupa orang yang sedang
ada dalam kesusahan, ya kan? Jadi tafsirnya bukan mengasihi sesama seperti
halnya kita mengasihi diri kita sendiri.

MATT [melirik ke Mark yang tampak setuju]: Benar! Itu juga yang kumaksud
dalam Mat 19:19 dan 22:39. Paul juga gitu, lihat Rom 13:9, Gal 5:14, juga
Opa Jim dalam Yak 2:8.

LUC: Persis. Kalau mau bilang mengasihi sesama seperti mengasihi diri
sendiri, mestinya diulang kata "mengasihi" itu. Aku ingat kalimat seperti
itu dalam tulisan Oom Hans (Yoh 15:12), "Inilah perintahku, yaitu supaya
kamu saling mengasihi seperti aku (=Yesus) mengasihi kamu."

GUS [lega mereka bertiga saling setuju]: Kalau bisa kurumuskan kembali,
mengasihi Tuhan hendaknya dijalankan dengan kesadaran penuh (= segenap
"hati" /"akalbudi") yang keluar dari keyakinan (= segenap "jiwa") dan tekad
utuh (= segenap "kekuatan"). Jadi bukan hanya setengah-setengah, mendua,
atau ikut-ikutan, tapi dengan pengertian. Lalu mengasihi sesama itu kan
karena sesama itu seperti kita-kita ini juga dalam suka duka kehidupan ini.
Kalian tak keberatan dengan parafrase ini kan?

BERKEAGAMAAN?

Pembicaraan malam itu kemudian semakin berpusat pada kemampuan Yesus
memperlihatkan apa itu inti ajaran Taurat dan para nabi, dari hukum-hukum
dan kisah-kisah yang mengajarkan hidup sebagai orang percaya. Saya lontarkan
pertanyaan kepada ketiga rekan ini bagaimana penjelasannya kok Yesus bisa
melihat sedalam itu dan menyampaikan pemahamannya kepada orang banyak. Jawab
mereka satu dan sama: Yesus memenuhi kedua perintah utama tadi. Boleh
dikatakan, seluruh hidupnya diserahkan untuk mengasihi Yang Mahakuasa dengan
kesadaran penuh dan dengan keyakinan dan tekad yang matang. Dan semuanya ini
terungkap dalam kesediaannya ikut merasakan yang dialami orang lain. Ia
percaya orang lain itu juga seperti dia sendiri: dikasihi Allah dan oleh
karenanya dapat mengasihiNya. Inilah dasar dan inti hidup beragama.

Pembicaraan dengan ketiga rekan tadi semakin memperjelas betapa inti hidup
beragama itu sebetulnya menomorsatukan Allah dan sesama, bukan aturan-aturan
agama belaka yang malah bisa menjauhkan orang dari sesama dan dari Allah
sendiri.

Salam hangat,
A. Gianto

Minggu Biasa XXIX A - 16 Okt 11

Injil Minggu Biasa XXIX/A 16 Okt 11 (Mat 22:15-21)

MEMBAYAR PAJAK KEPADA KAISAR?

Rekan-rekan yang budiman!
Satu ketika Yesus dimintai pendapat tentang membayar pajak kepada Kaisar:
apakah hal ini diperbolehkan (Mat 22:15-21 - Injil Minggu Biasa XXIX/A).
Bila mengatakan boleh maka ia akan menyalahi rasa kebangsaan. Tetapi bila
mengatakan tidak, ia pun akan berhadapan dengan penguasa Romawi yang waktu
itu mengatur negeri orang Yahudi.  Para pengikut Yesus kerap dihadapkan ke
masalah seperti itu. Ada dua macam rumusan. Yang pertama terlalu
menyederhanakan perkaranya, dan bisanya berbunyi demikian: "Bolehkah
mengakui dan hidup menurut kelembagaan duniawi?" Gagasan ini kurang
membantu. Kalau bilang "ya" maka bisa dipersoalkan, lho kan orang beriman
mesti hidup dari dan bagi Kerajaan Surga seutuhnya. Kalau bilang "tidak",
apa maksudnya akan mengadakan pemerintahan ilahi di muka bumi? Pertanyaan
ini sama dengan jerat yang diungkapkan murid-murid kaum Farisi. Untunglah,
ada pertanyaan yang lebih cocok dengan inti Injil hari ini: Bagaimana Yesus
sang pembawa warta Kerajaan Surga melihat kehidupan di dunia ini? Ia memakai
pendekatan frontal? Atau pendekatan kerja sama? Apa yang dapat dipetik dari
cara pandangnya?

SEBUAH DISKUSI

Menurut kebiasaan kaum terpelajar Yahudi waktu itu, dalam menanggapi
pertanyaan yang membawa ke soal yang makin rumit, orang berhak mengajukan
sebuah pertanyaan guna menjernihkan perkaranya terlebih dahulu. Lihat
misalnya pertanyaan dalam Mat 21:23-25 mengenai asal kuasa Yesus. Dalam
perbincangan mengenai boleh tidaknya membayar pajak kepada Kaisar, Yesus
mengajak lawan bicaranya memasuki persoalan yang sesungguhnya. Ia meminta
mereka menunjukkan mata uang pembayar pajak dan bertanya gambar siapa
tertera di situ. Mereka tidak dapat menyangkal itu gambar Kaisar. Yesus pun
menyudahi pembicaraan dengan mengatakan, "Berikanlah kepada Kaisar yang
wajib kalian berikan kepada Kaisar dan kepada Allah yang wajib kalian
berikan kepada Allah!" Dengan jawaban ini ia membuat mereka memikirkan sikap
mereka sendiri baik terhadap "urusan kaisar" maupun keprihatinan mereka
mengenai "urusan Allah" dan sekaligus menghindari jerat yang dipasang
lawan-lawannya. Bagaimana penjelasannya?

Kaum Farisi memang bermaksud menjerat Yesus. Mereka menyuruh murid-murid
mereka datang kepadanya bersama dengan para pendukung Herodes. Kedua
kelompok ini sebetulnya memiliki pandangan yang bertolak belakang.
Orang-orang Farisi secara prinsip tidak mengakui hak pemerintah Romawi
memungut pajak yang dikenal sebagai pajak "kensos", yakni pajak bagi
penduduk, praktisnya sama dengan pajak hak milik tanah. Inilah pajak yang
dibicarakan dalam petikan ini. Tidak dibicarakan pajak pendapatan. Mereka
yang warga Romawi tidak dikenai pajak penduduk, tapi mereka diwajibkan
membayar pajak pendapatan kepada pemerintah. Orang Yahudi yang bukan warga
Romawi diharuskan membayar pajak penduduk. Maklumlah, seluruh negeri telah
diserap ke dalam kedaulatan Romawi. Pemerintah Romawi tidak memungut pajak
pendapatan orang Yahudi bukan warga Romawi. Tapi aturan agama juga
mewajibkan mereka membayar pajak pendapatan dan hasil bumi yang dikenal
dengan nama "persepuluhan" kepada lembaga agama. Disebut pajak Bait Allah.
Kepengurusan Bait Allah akan mengatur pemakaian dana tadi bagi pemeliharaan
tempat ibadat, menghidupi yatim piatu, janda, kaum terlantar serta keperluan
sosial lain. Jadi orang Yahudi yang memiliki tanah dan berpendapatan dipajak
dua kali.

MASALAH PAJAK?

Bagi orang Farisi, membayar pajak penduduk berarti mengakui kekuasaan Romawi
atas tanah suci. Padahal dalam keyakinan mereka, tanah itu milik turun
temurun yang diberikan Allah, dan tak boleh diganggu gugat, apalagi dipajak.
Maka pungutan pajak penduduk dirasakan sebagai perkara yang amat melawan
ajaran agama leluhur. Para penarik pajak yang orang Yahudi dipandang sebagai
kaum murtad dan melawan inti keyahudian sendiri. Mereka itu dianggap
pendosa, sama seperti perempuan yang tidak setia.

Bagaimana sikap para pendukung Herodes? Yang dimaksud ialah Herodes Antipas,
penguasa wilayah Galilea di bagian utara tanah suci. Pemerintah Romawi
meresmikannya sebagai penguasa "pribumi" dan memberi wewenang dalam urusan
sipil dan militer di wilayahnya. Tetapi di Yerusalem dan Yudea wewenang
dipegang langsung oleh perwakilan Romawi, waktu itu Ponsius Pilatus. Herodes
mengikuti politik Romawi dan merasa berhak menarik pajak penduduk di
wilayahnya. Mereka yang disebut kaum pendukung Herodes dalam Mat 21:16 itu
sebetulnya bukan mereka yang tinggal di Galilea, melainkan orang Yerusalem
dan Yudea pada umumnya yang menginginkan otonomi "pribumi" seperti Herodes
di utara. Mereka memperjuangkan pajak penduduk - pajak yang dibicarakan
dalam petikan ini - tetapi bukan bagi pemerintah Romawi, melainkan bagi kas
kegiatan politik mereka di Yudea dan Yerusalem. Jadi mereka berbeda paham
dengan orang Farisi yang menganggap penarikan pajak penduduk dalam bentuk
apa saja oleh siapa saja tidak sah dan melawan ajaran agama.

Bila Yesus menyetujui pembayaran pajak penduduk yang diklaim penguasa
Romawi, ia akan berhadapan dengan mereka yang bersikap nasionalis dan akan
dianggap meremehkan pandangan teologis bahwa tanah suci ialah hak yang
langsung diberikan oleh Allah. Dan orang Farisi bisa memakainya untuk
mengobarkan rasa tidak suka kepada Yesus. Tetapi bila ia mengatakan jangan,
maka ia akan bermusuhan dengan para pendukung Herodes yang dibawa serta
orang Farisi dan sekaligus melawan politik Romawi. Jawaban apapun akan
membuat Yesus mendapat lawan-lawan baru. Memang itulah yang diinginkan oleh
orang Farisi.

JALAN KELUAR

Ketika mengatakan berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib diberikan kepada
Kaisar sebetulnya Yesus mengajak lawan bicaranya memikirkan keadaan mereka
sendiri, yakni dibawahkan pada kuasa Romawi. Jelas kaum Farisi dan para
pendukung Herodes hendak menyangkalnya, tapi dengan alasan yang berbeda.
Kaum Farisi menolak dengan alasan agama, sedangkan kaum pendukung dengan
alasan kepentingan politik mereka sendiri. Di sini ada titik temu dengan
permasalahan yang kadang-kadang dihadapi para pengikut Yesus di manapun juga
seperti disebut pada awal ulasan ini. Bukan dalam arti mengidentifikasi diri
dengan pilihan orang-orang yang datang membawa masalah, melainkan belajar
dari sikap Yesus dalam menghadapi persoalan tadi. Dengan mengatakan bahwa
patutlah diberikan kepada Allah yang wajib diberikan kepada-Nya, Yesus
hendak menekankan perlunya integritas batin. Bila kehidupan agama mereka
utamakan, hendaklah mereka menjalankannya dengan lurus. Bila mau jujur,
mereka mau tak mau akan memeriksa diri adakah mereka sungguh percaya atau
sebetulnya mereka menomorsatukan kepentingan sendiri dengan memperalat
agama.

Yesus juga membuat mereka yang datang kepadanya berpikir apakah ada pilihan
lain selain memberikan kepada Kaisar yang menjadi haknya. Bila ya, coba
mana? Ternyata keadaan mereka tak memungkinkan. Mereka tidak mencoba
menemukan kemungkinan yang lain. Mereka telah menerima status quo dan tidak
mengusahakan perbaikan kecuali dengan mengubahnya menjadi soal teologi.
Padahal masalahnya terletak dalam kehidupan sehari-hari. Iman dan hukum
agama mereka pakai sebagai dalih dan sebenarnya mereka permiskin. Yesus
tidak mengikuti pemikiran yang sempit ini.

Pada akhir petikan disebutkan mereka "heran" mendengar jawaban tadi. Dalam
dunia Perjanjian Lama, para musuh umat tak bisa berbuat banyak karena Allah
sendiri melindungi umat-Nya dengan tindakan-tindakan ajaib. Para lawan itu
tak berdaya dan bungkam mengakui kebesaran-Nya. Inilah makna "heran" tadi.
Mereka kini terdiam mengakui kebijaksanaan Yesus dan mundur. Seperti
penggoda di padang gurun yang terdiam dan mundur meninggalkannya.

KOMUNITAS ORANG YANG PERCAYA

Ketika merumuskan pertanyaan mereka (Mat 21:16), murid-murid orang Farisi
terlebih dahulu menyebut Yesus sebagai "orang yang jujur dan dengan jujur
mengajar jalan Allah dan tidak takut kepada siapa pun juga, sebab tidak
mencari muka." Dalam bahasa sekarang, Yesus itu dikenal sebagai orang yang
punya prinsip serta hidup sesuai dengan prinsip tadi secara transparan .
Bukannya demi meraih keuntungan dan menjaga kedudukan. Orang yang
mencobainya sebetulnya sudah melihat arah pemecahan masalah, yakni sikapnya
yang terarah pada kepentingan Allah. Pembicaraan selanjutnya menunjukkan
bahwa sikap itu bukan sikap menutup diri terhadap urusan duniawi dan
memusuhinya. Malah hidup dengan urusan duniawi itu juga menjadi cara untuk
membuat kehidupan rohani lebih berarti. Itulah kebijaksanaan Yesus. Itulah
yang dapat dikaji dan diikuti para pengikutnya.

Gagasan pokok yang ditampilkan dalam petikan di atas dapat menjadi arahan
bagi Gereja. Apakah Gereja sebagai lembaga rohani yang ada di muka bumi ini
menemukan perannya juga? Sebagai kelompok masyarakat agama, Gereja
diharapkan dapat berdialog dengan kenyataan yang berubah-ubah dalam
masyarakat luas tanpa memaksa-maksakan posisi dan pilihan-pilihan sendiri.
Pada saat yang sama disadari juga betapa pentingnya menjalankan perutusannya
sebagai komunitas orang-orang yang mau menghadirkan Allah, yang memungkinkan
urusan-Nya berjalan sebaik-baiknya di bumi ini. Petikan di atas mengajak
orang menumbuhkan kebijaksanaan hidup dan menepati perutusan tadi.

Salam,
A. Gianto

Minggu Biasa XXVIII A - 9 Okt 2012

Injil Minggu Biasa XXVIII/ A - 9 Okt 2012 (Mat 22:1-14)

Rekan-rekan yang budiman!
Dalam Mat 22:1-14 yang dibacakan sebagai Injil Minggu Biasa ke 28 tahun A
ini disampaikan perumpamaan mengenai siapa yang akhirnya masuk ke dalam
Kerajaan Surga dan bagaimana mereka bisa sampai ke sana. Beginilah
ceritanya. Ada orang-orang yang sebenarnya sejak awal sudah beruntung karena
"diundang ke perjamuan" tapi mereka malah meremehkan ajakan ini. Karena itu
keberuntungan yang sebenarnya dapat mereka nikmati jadi beralih kepada
orang-orang lain yang tadinya tidak masuk hitungan. Apa artinya semua ini
bagi kehidupan kini?

VERSI MATIUS DAN LUKAS

Selain dalam Mat 22:1-14, perumpamaan tentang undangan yang menolak datang
itu didapati juga dalam Luk 14:15-24. (Untuk penjelasan versi Lukas, lihat
_Langkahnya...Langkahku!_ [Kanisius, Yogyakarta 2005], hlm. 155-156.) Namun
ada tiga hal yang khas pada versi Matius yang tidak dijumpai dalam versi
Lukas.

1. Dalam Injil Matius, undangannya ialah ke perjamuan makan siang (Yunani
"ariston", Latin "prandium") bagi pesta nikah seorang anak raja. Lukas
menyebutnya perjamuan makan malam (Yunani "deipnon", Latin "coena") yang
besar yang sudah disanggupi para undangan. Seperti kebiasaan kita, pada
zaman itu perhelatan meriah memang biasanya diadakan pada malam hari. Lebih
relaks, lebih membangun suasana. Kesempatan seperti itu tidak diadakan siang
hari kecuali peristiwanya amat penting dan resmi seperti halnya pesta nikah.
Inilah yang lebih ditonjolkan Matius. Perjamuan dalam pesta nikah lebih
resmi daripada perjamuan untuk membangun keakraban. Hadirin diajak ikut
menjadi saksi peristiwa itu. Apalagi pesta nikah anak raja.

2. Dalam perumpamaan Matius, sang raja sampai dua kali mengundang. Yang
kedua kalinya bahkan ada nada memohon. Tetapi orang-orang yang diundang
tetap tidak mau datang. Begitulah digarisbawahi dalam Injil Matius penolakan
yang makin keras. Ada yang tak peduli, ada yang meremehkan undangan, malah
menyiksa dan membunuh suruhan raja. Ini sama dengan memutuskan hubungan.
Lukas lain. Ia lebih menekankan dalih para undangan yang sudah bersedia
datang ketika diundang tapi kini ingkar.

3. Matius dan Lukas sama-sama mengatakan bahwa akhirnya orang-orang lain
yang tadinya tidak diundang kini didatangkan ke perjamuan. Tetapi Matius
masih menceritakan bahwa sang raja mendapati orang yang datang tanpa pakaian
pesta. Orang itu kemudian tidak diperbolehkan ikut pesta dan dikeluarkan.
Lukas tidak menyinggung adanya orang yang tak pantas ikut perjamuan malam.
Tetapi ia meneruskan perumpamaan itu dengan menyampaikan pengajaran Yesus
mengenai perlunya komitmen utuh dalam mengikutinya.

Matius berbicara kepada umat yang berasal dari lingkungan Yahudi. Bagi
mereka "perjamuan nikah" dan datang dengan "pakaian pesta" memiliki arti
yang khusus yang tidak segera ditangkap oleh orang dari kalangan lebih luas
seperti halnya umat Lukas. Marilah kita lihat dari dekat kedua gambaran yang
dipakai Matius.

PERJAMUAN NIKAH

Disebutkan "Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan
nikah untuk anaknya". Bagi pembaca Matius, "perjamuan nikah" membangkitkan
gagasan yang lebih dari pada sekedar hadir dalam resepsi, melainkan
mengikuti upacara religius dan berbagi hikmatnya. Dalam kesempatan seperti
itu dulu kerap didendangkan lagu-lagu kasih antara mempelai lelaki dan
mempelai perempuan. Lagu-lagu itu sering bernada erotik, tapi sekaligus juga
amat religius. Salah satu bentuk yang paling dikenal dan sudah menjadi
bagian Kitab Suci ialah Kidung Agung. Kedua mempelai saling memuji keelokan
masing-masing (Kid 1:9:2:7), saling mengungkapkan rasa rindu terhadap satu
sama lain (Kid 3:1-5; 5:2-8), saling mengungkapkan nikmatnya ada berduaan
(Kid 7:6-8:4). Di dalam kidung-kidung itu kasih antara kedua mempelai tampil
sebagai tempat kehadiran yang ilahi tanpa perlu mengatakannya. KehadiranNya
memanusia dalam ujud yang paling bisa dirasakan. Bagi orang Yahudi, ikut
serta dalam upacara dan perjamuan nikah dalam arti ini dapat mendekatkan
orang pada kemanusiaan dan keilahian sekaligus. Karena itu juga penolakan
ikut serta perjamuan lebih daripada sekedar tidak menghadiri pesta.

Menolak ajakan untuk menyaksikan pesta nikah juga membuat pesta menjadi sepi
dan hambar. Panggilan pertama tidak dipenuhi. Raja yang sebetulnya penuh
wibawa kemudian bersikap menghimbau. Ia merendah. Satu kali tidak digubris,
ia berusaha lagi. Malah seakan-akan memohon belas kasihan para undangan:
jangan biarkan pesta jadi rusak, hidangan sudah siap, lembu dan ternak
piaraan sendiri telah dipotong. Tetapi yang diundang semakin meninggikan
diri, dan menjadi takabur, dan akhirnya malah membunuh pesuruh sang raja.
Mereka tidak mau diganggu lagi. Mereka memutus hubungan. Terlihat betapa
kerasnya penolakan terhadap ajakan untuk ikut serta dalam kesempatan yang
sebenarnya bakal membuat siapa saja yang ikut semakin utuh hidupnya, semakin
memasuki Kerajaan Surga!

Mereka yang menolak kehilangan dua hal. Pertama rusaklah hubungan dengan
raja yang bisa melindungi mereka. Kedua mereka kehilangan kesempatan ikut
pesta nikah yang meriah yang memiliki arti khusus tadi. Jadi mereka semakin
menjauhkan diri dari kesempatan yang bakal membuat hidup mereka berarti.
Mereka menjauh dari Kerajaan Surga. Inilah yang hendak ditunjukkan dalam
perumpamaan ini.

ORANG-ORANG DI PERSIMPANGAN JALAN

Karena perjamuan nikah telah tersedia tapi yang diundang tak layak datang,
maka raja menyuruh hamba-hambanya ke persimpangan jalan, membawa orang-orang
yang mereka temui di sana, siapa saja, ke perjamuan nikah tadi. Tak pilih
bulu siapa saja didatangkan. Dan pesta itu diselamatkan oleh kehadiran
mereka-mereka ini.

Yang dimaksud dengan persimpangan jalan ialah lapangan tempat orang biasanya
berkumpul dengan macam-macam maksud: istirahat, menunggu kesempatan kerja,
melewatkan waktu, berjualan, membeli. Apa saja. Kegiatan sehari-hari yang
bermacam-ragam. Orang-orang yang di situ dengan macam-macam keadaan itulah
yang diminta datang ke perjamuan nikah. Di persimpangan jalan...hidup itulah
disampaikan ajakannya.

Bagaimana membacanya dengan cara yang lebih cocok bagi zaman ini?
Perumpamaan tadi mulai dengan "Kerajaan Surga seumpama.." Jadi dimaksud
membantu agar orang menyadari bagaimana cara Yang Mahakuasa mengajak siapa
saja ikut masuk ke dalam kehidupan-Nya, ke dalam keakraban dengan-Nya.
Dengan mengajak orang ikut serta dalam kegembiraan pesta nikah anaknya, sang
raja tadi ingin berbagi kegembiraan. Bahkan boleh dikatakan, kegembiraannya
itu baru menjadi nyata bila ikut dirasakan orang lain. Ia berusaha
mendatangkan orang-orang untuk ikut. Bahkan ia memohon agar mereka datang.
Tetapi permohonan ini dihadapi dengan sikap keras hati dan penolakan. Tidak
mau mengambil bagian dalam kehidupan yang sebenarnya tidak dapat sebarangan
dibagikan. Penolakan ini makin memisahkan dan menjauhkan mereka satu sama
lain. Juga membuat sang raja putus asa dan merasa pestanya bakal rusak.
Tetapi ia tidak menyerah. Pestanya itu kemudian dibuka bagi siapa saja yang
tadinya tidak termasuk hitungan.

Kerap dijelaskan bahwa para undangan yang menolak datang itu ialah orang
Yahudi dan mereka yang didatangkan dari jalanan itu ialah pengikut Yesus.
Yang pertama kehilangan Kerajaan Surga, yang kedua memperolehnya. Para hamba
yang disuruh mengundang ialah nabi-nabi dan kemudian yang diperlakukan
dengan buruk ialah para rasul. Tafsir alegori ini memang sudah ada sejak
lama. Dan bahkan sudah mulai pada zaman Injil sendiri ditulis. Namun
demikian masih ada keleluasaan untuk memahami perumpamaan ini sebagai
perumpamaan untuk membaca kehidupan orang zaman ini, untuk mengartikan
pengalaman hidup.

PAKAIAN PESTA

Pesta nikah itu terlaksana justru karena hadirnya orang-orang jalanan tadi.
Kerajaan Surga semakin menjadi kenyataan karena dimasuki, dihuni,
dikembangkan. Kepada pembaca diberikan ajakan yang amat kuat. Ayo ikut
membuat kehidupan yang nyata ini semakin menjadi ujud dari Kerajaan Surga.
Bisakah dibalik sehingga dikatakan agar Kerajaan Surga menjadi bagian dari
kehidupan nyata? Orang tergoda mengatakan ya, tapi kiranya tidak pas bila
begitu. Seolah-olah kerajaan itu sudah ada dan jadi dan tinggal dimasuki,
seperti menaiki kereta yang akan jalan. Yang lebih cocok, tiap orang diminta
menemukan wujud Kerajaan Surga baginya. Bahan mentahnya: kehidupan
sehari-harinya, kehidupannya di persimpangan jalan. Tapi untuk ke sana orang
perlu memakai pakaian pesta.

Dalam alam pikiran Semit, pakaian memberi bentuk kepada orang yang
memakainya sehingga dapat dikenali. Tidak mengenakan pakaian pesta berarti
datang tanpa sungguh mau mengikuti pesta. Orang baru dapat dikatakan datang
ikut perjamuan pesta bila memang mau menghadiri pesta itu, bukan untuk
urusan lain. Datang tanpa pakaian yang cocok berarti tidak membiarkan diri
dikenal sebagai yang datang untuk itu. Komitmen setengah-setengah ini kurang
dapat menjadikan hidup orang menjadi bagian dari hidup dalam Kerajaan Surga.
Kebalikannya, datang dengan mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa
maksud atau tujuan lain. Yang bersangkutan akan dikenali sebagai orang yang
hidupnya sedang berubah dari yang ada di persimpangan jalan menjadi dia yang
hidup dalam perjamuan yang makin memanusiakan dan makin mendekatkan ke
keilahian.

Salam hangat,
A. Gianto

Minggu Biasa XXVII A - 2 Okt 11

Minggu Biasa XXVII/A 2 Okt 11 (Mat 21:33-43)

Rekan-rekan yang baik!
Pada hari Minggu Biasa XXVII tahun A ini dibacakan Mat 21:33-43. Yesus
kembali mengutarakan perumpamaan yang berhubungan dengan kebun anggur. Tapi
kali ini yang disoroti ialah para penggarap kebun anggur yang ingin merebut
lahan yang dipercayakan kepada mereka oleh si empunya yang sedang berada di
negeri lain. Di kebun itu juga ada tempat penggarapan anggur yang dibangun
oleh si pemilik.

Para hamba yang diutus untuk memungut hasilnya diperlakukan dengan buruk
oleh para pekerja. Orang-orang suruhan yang pertama dipukuli, dibunuh, dan
dirajam. Yang kedua, meski jumlahnya lebih banyak, mendapat perlakuan
serupa. Akhirnya sang pemilik mengutus anaknya sendiri dengan perhitungan
bahwapara pekerja akan menerimanya. Tetapi mereka malah membunuhnya dengan
harapan kebun anggur itu nanti jatuh ke tangan mereka karena sang ahli waris
telah mati. Yesus kemudian bertanya kepada imam-imam kepala dan orang Farisi
(mereka baru saja mempertanyakan dari manakah kuasa Yesus berasal; lihat Mat
21:23), apa yang bakal diperbuat pemilik kebun anggur tadi terhadap
penggarap-penggarap tadi. Spontan jawab mereka, tentunya ia akan menghabisi
orang-orang tadi dan menyerahkan kebun itu kepada penggarap-penggarap lain.
Apa maksud Yesus dengan perumpamaan itu? Dan apa pula artinya bagi kita
sekarang?

KEBUN ANGGUR

Bagian pertama perumpamaan ini mengingatkan pembaca akan Yes 5:1-7. Di situ
sang nabi mengutarakan keluh kesah seorang pemilik kebun anggur yang merasa
tidak berhasil membuat kebunnya menghasilkan buah yang baik meskipun
tanahnya subur dan segala upaya telah dilakukannya. Ia juga telah mendirikan
tempat pengelolaan bagi hasil kebun yang tak kunjung datang itu. Dalam
perumpamaan yang diucapkan Yesus, pemilik kebun juga tidak mendapat hasilnya
sekalipun ia telah mendirikan tempat penggarapan. Lebih buruk lagi, hasil
yang tak kunjung datang ini akibat ulah para penggarap sendiri, bukan karena
pohon anggurnya buruk. Dalam teks Yesaya, pohon anggur yang tak memberi
hasil memuaskan itu melambangkan umat yang hidupnya tidak mengusahakan yang
adil dan benar, mereka malah menjalankan kelaliman dan keonaran. Dalam
perumpamaan yang diceritakan Yesus, diutarakan bahwa para penggarap yang
jahat itulah yang membuat sang pemilik tidak mendapatkan hasil dari tanah
miliknya. Mereka malah berusaha merebut hak milik sang empunya. Perkaranya
berkembang dari tak ada hasil yang memuaskan menjadi hak milik yang direbut
dengan kekerasan.

Menurut alam pikiran Perjanjian Lama, hak atas tanah yang sah tak boleh
diganggu gugat. Merebut kebun anggur Nabot mendatangkan celaka bagi Ahab dan
Izebel, istrinya (1 Raj 21:1-29). Bagi orang seperti Nabot, kebun anggur
miliknya itu pusaka turun temurun yang tak boleh diganggu gugat. Milik ini
diberikan kepadanya secara sah. Tak dapat diperjualbelikan dengan imbalan
apa saja, apalagi direbut. Masalah utama dalam kisah kebun anggur Nabot itu
ialah kekerasan atau tindakan rudapaksa raja merebut hak milik, bukan
pertama-tama soal keadilan sosial atau penindasan kaum kuat terhadap si
lemah. Kekerasan terhadap hak milik ditampilkan sebagai kejahatan yang
melebihi batas apa pun. Demikian dalam perumpamaan kali ini, hak sang
empunya lahan dirudapaksa oleh para penggarap. (Ia bukan pihak yang lemah.
Tapi pembedaan kuat-lemah tak dapat dipakai untuk menafsirkan perumpamaan
ini.) Para penggarap itu akhirnya membunuh ahliwarisnya. Ini pelanggaran
yang paling keras terhadap hak milik.

Ada dua hal yang bakal terpikir oleh para pendengar perumpamaan tadi
Pertama, pemilik dengan penuh perhatian membangun tempat pengelolaan kebun
anggurnya. Karena itulah ia amat mengharapkan hasilnya. Tetapi ia
dikecewakan dan malah direbut miliknya. Kedua, merebut hak milik kebun
anggur ini ditampilkan sebagai kejahatan yang melampaui batas.

SEBUAH ALEGORI

Perumpamaan ini sudah sejak awalnya dibaca sebagai alegori atau kisah yang
diterapkan pada orang atau keadaan tertentu. Dalam tafsiran alegori, kebun
anggur akan dipandang mewakili umat. Hanya Tuhan Allah-lah yang memiliki
umatNya. Ia memang mempercayakan pemeliharaannya kepada para pemimpin umat
(Perjanjian Lama), yang dalam kisah ini tampil sebagai para penggarap yang
ingin menguasai milik tuan tadi. Para hamba ialah para nabi yang mendapat
perlakuan buruk dari para pemimpin. Kemudian anak empunya kebun tadi ialah
Yesus sendiri. Para penggarap tadi merencanakan akan membunuhnya. Dan memang
dalam perumpamaan tadi rencana itu dijalankan.

Rupa-rupanya para imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi langsung memahami
perumpamaan tadi sebagai alegori seperti di atas. Dalam Mat 21:45 disebutkan
bahwa mereka (bersama orang-orang Farisi) mendengar perumpamaan-perumpamaan
Yesus dan mengerti bahwa merekalah yang dimaksud oleh Yesus. Mereka merasa
diancam bakal mendapat hukuman dari Allah sendiri. Oleh karena itu mereka
semakin bersikap memusuhi Yesus.

Apakah Yesus sendiri bermaksud menggambarkan sikap para pemimpin tadi
sebagai para penggarap yang jahat dan bakal ditindak sang pemilik?
Rasa-rasanya memang demikian. Para pemimpin itu baru saja mempertanyakan sah
tidaknya kuasa Yesus yang dilihat banyak orang dan diakui orang sebagai
berasal dari Allah (Mat 21:23 dst.). Mereka tidak berani dan boleh jadi
tidak mampu melihat siapa sebenarnya Yesus itu. Mereka lebih merisaukan
konsekuensi politik di tanah Yudea dan khususnya bagi kelestarian Bait
Allah. Mereka waswas bila pengajar atau "nabi" hebat tapi liar ini tidak
ditertibkan, para penguasa Romawi mengira ada gerakan untuk memberontak. Dan
akan ada tindakan militer yang bakal semakin mengekang kebebasan yang sudah
amat terbatas hingga kini. Jadi para pemimpin Yahudi tadi memang memikirkan
kepentingan mereka dan tidak dapat lagi mengikuti apa yang sedang terjadi di
masyarakat waktu itu.

Ada hal yang tidak dimengerti oleh para pemimpin tadi. Yakni bahwa semuanya
ini belum terjadi seperti diutarakan dalam perumpamaan. Mereka belum diadili
oleh pemilik kebun anggur. Bahkan mereka belum sungguh-sungguh menyingkirkan
anak pemilik tadi. Jadi sebenarnya masih ada waktu bagi mereka untuk
berubah. Sayang kesempatan itu tidak mereka lihat. Mereka sudah terbawa oleh
rencana-rencana mereka sendiri dan tidak lagi memiliki kemerdekaan. Mereka
tidak dapat memikirkan perumpamaan tadi sebagai perumpamaan yang juga memuat
ajakan untuk berubah. Mereka hanya mengira ada rencana lawan dari pihak
Yesus untuk balas menyingkirkan mereka.

BAGI ORANG SEKARANG

Tetapi kita tidak selalu perlu membaca perumpamaan Yesus kali ini sebagai
alegori belaka dengan menerapkannya kepada tokoh dan keadaan zaman ini.
Sebaiknya dihindari tafsiran alegori demi tujuan mengkritik para pemimpin
dalam masyarakat sekarang atau dalam Gereja! Kisah itu perlu juga didalami
sebagai perumpamaan, sebagai pembicaraan yang mengajak orang mengamati diri
dan bertanya apa yang dapat diperbuat dalam keadaan itu.

Perumpamaan ini dapat amat berguna untuk memahami hidup rohani atau hidup
batin kita. Seperti dalam kehidupan pada umumnya, dalam hidup batin ada
unsur "rencana-rencana" dan ada pula unsur "kebetulan". Kerap rencana tidak
terlaksana, sering yang terjadi ialah yang kebetulan yang bisa lebih baik
daripada yang diperhitungkan. Hidup batin diberikan kepada kita sebagai
peluang agar kita semakin menyadari sisi-sisi ilahi dalam hidup ini. Peluang
agar kita membiarkan Tuhan memasuki kehidupan kita. Bisa ditelateni dan
dikembangkan, tetapi tidak dapat diatur secara ketat menurut agenda sendiri.
Hidup batin itu dipercayakan untuk digarap, bukan untuk dimiliki, diklaim
sebagai milik.

Namun demikian, jelas ada kecenderungan untuk merebut wilayah tadi. Kita
dengar ada macam-macam ulah batin yang tujuannya menghimpun
kekuatan-kekuatan luar biasa untuk memanipulasinya. Bila terjadi, ibaratnya
penggarap yang dipercaya mengolah hidup batin mau merebut kekuatan-kekuatan
batin tadi dari Dia yang memilikinya.

Catatan. Titik berat dalam perumpamaan ini bukanlah perlakuan buruk terhadap
para utusan pemilik kebun. Yang disoroti sebagai kejahatan ialah upaya
merebut kebun tadi. Jadi perumpamaan itu bukan untuk menuduh para penggarap,
bukan pula untuk menuduh diri kita sendiri yang acapkali kurang peka akan
isyarat ilahi. Perumpamaan itu dimaksud untuk memurnikan hidup rohani dari
unsur-unsur yang menjauhkannya dari kehadiran ilahi sendiri.

Salam hangat,
A. Gianto