Featured Post

Berterima Kasih Atas Segala Hal

Seorang anak kecil usia 4 tahun diminta untuk berterima kasih saat doa sebelum makan malam Natal. Para anggota keluarga menundukkan kepala...

Minggu Adven I B - 27 Nov 2011

Minggu Adven I th B tgl. 27 Nov 2011 (Mrk 13:33-37)

Rekan-rekan yang baik!

Masa Adven adalah kesempatan menantikan serta memahami perayaan tahunan
kelahiran sang Penyelamat pada hari Natal. Dia yang lahir dalam
kesederhanaan di Betlehem itu sama dengan dia yang akan datang pada akhir
zaman dengan segala kemuliaannya nanti.

Bacaan Injil Adven I tahun B (Mrk 13:33-37) mengajak orang untuk waspada
agar tidak kehilangan arah ke masa depan itu. Nanti dalam Injil Minggu Adven
II dan III, perhatian pada "akhir zaman" erat dihubungkan dengan warta
Yohanes Pembaptis mengenai baptisan sebagai ungkapan tobat. Ia juga bersaksi
mengenai baptisan dalam Roh yang dibawakan Yesus. Penekanan pada kesaksian
akan karya ilahi ini juga ada dalam Injil Minggu Adven IV yang menampilkan
orang-orang yang terdekat dengan Yesus, yakni Maria dan Yusuf. Mereka inilah
orang-orang yang dengan segala kesederhanaan dan ketulusan membiarkan Roh
bekerja dalam diri mereka. Dan kita semua, kini dan di sini, dapat ikut
menikmati buah keberanian mereka.

TAJAM-TAJAM MENGAMATI

Mrk 13:33-37 sebetulnya memuat dua perumpamaan mengenai kewaspadaan yang
diringkas dan disatukan oleh Markus. Yang pertama terdapat dalam ay. 34,
"Keadaannya sama seperti seorang yang bepergian, yang meninggalkan rumahnya
dan menyerahkan tanggung jawab kepada hamba-hambanya, masing-masing dengan
tugasnya, dan memerintahkan penjaga pintu supaya berjaga-jaga." Pokok
perhatian perumpamaan ini terletak pada kesetiaan. Perumpamaan yang kedua
tersirat dalam ay. 35: "Maka berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu kapan
tuan rumah itu pulang, menjelang malam, atau tengah malam, atau larut malam,
atau pagi-pagi buta." Di sini yang ditonjolkan ialah sikap waspada.

Para pembaca Markus pada zaman dulu mengerti bahwa tuan rumah yang pulang
pada malam hari (ay. 35) tidak sama dengan orang yang tadi diceritakan pergi
jauh dan mempercayakan miliknya kepada para hambanya (ay. 34). Bukan
kebiasaan orang yang merantau untuk kembali pada saat yang tak terduga-duga
pada malam hari. Tuan rumah yang disebut dalam ay. 35 itu hanya pergi ke
sebuah perjamuan nikah - seperti diberitakan dalam Luk 12:36 - dan akan
pulang malam itu juga walau tidak diketahui jam berapa persisnya. Bahwasanya
ada dua perumpamaan juga terlihat dari pengolahan terpisah baik di dalam
Injil Matius maupun Lukas.

Matius menggarap kembali perumpamaan yang pertama dalam perumpamaan tentang
talenta dalam Mat 25:14 dst. Perumpamaan tentang mina dalam Luk 19:27-37
juga ke sana arahnya walaupun tidak sejelas Matius. Di lain pihak
perumpamaan yang kedua dalam Injil Markus tadi lebih terolah dalam Luk
12:36-38. Lukas menaruhnya di dalam rangkaian pengajaran khusus kepada para
murid. Mat 24:43b sebenarnya hanya berupa saduran ringkas perumpamaan yang
kedua dengan mengalihkan peran hamba-hamba yang mesti berjaga-jaga dengan
sikap seorang tuan rumah yang menjaga rumahnya terhadap pencuri yang tak
diketahui kapan datangnya.

Seperti dalam perumpamaan pertama, yakni Mrk 13:34, perumpamaan talenta
dalam versi Matius mulai pada Mat 25:14 yang menyebutkan bahwa orang yang
meninggalkan rumahnya mempercayakan miliknya kepada para hambanya. Markus
berhenti di sini dan sisanya dikembangkan oleh pendengarnya, juga kita
sekarang boleh mengembangkannya. Maka seperti ditemukan dalam Matius,
masing-masing hamba disebutkan mendapat sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Dengan kata lain, tanggung jawabnya sebanding dengan besarnya
tugas tiap orang. Tiap orang diharapkan sebaik-baiknya menjalankan pekerjaan
yang dipercayakan pemilik. Memang satu ketika ia akan kembali dan memeriksa
jalannya urusan yang dipercayakannya tadi. Akan jelas siapa dari para hamba
itu yang sungguh dapat dipercaya dan siapa yang sebenarnya tidak patut
diserahi urusan.

MEMBANGUN MASA DEPAN

Kesetiaan digambarkan bukan dengan perasaan atau niatan saja, melainkan
dengan usaha dan perbuatan nyata. Mereka yang sungguh setia ialah yang
berhasil mengembalikan dua kali lipat, maksudnya, berhasil mengembangkan
sama dengan besarnya kepercayaan yang telah diberikan tuannya. Mereka akan
dijadikan orang merdeka - bukan lagi hamba - dan tetap boleh tinggal di
rumah itu. Itulah cara Matius mengembangkan perumpamaan yang dirumuskan
Markus dengan amat singkat dalam Mrk 13:34.

Apa warta Mrk 13:34? Seperti dalam Matius, ada imbauan agar waspada, selalu
siap sedia, serta berani mengembangkan urusan yang dipercayakan. Tidak
dibenarkan sikap merendah dan tak berani berinisiatif karena takut seperti
hamba yang mendapat satu talenta yang malah menyembunyikannya. Ia tidak
dapat mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.
Tenggang waktu menunggu pulangnya sang majikan menjadi kesempatan emas
membangun masa depan tapi bisa juga mengarah ke lenyapnya masa depan itu.
Membangun masa depan dengan sikap percaya ialah cara menerima kebaikan ilahi
yang paling bertanggungjawab. Itulah rahmat dalam kehidupan nyata.

KESEMPATAN EMAS

Mari kita lihat bagaimana Lukas menggarap perumpamaan yang kedua.
Diceritakannya tentang seorang tuan rumah yang bepergian ke jamuan nikah
pada malam hari dan akan pulang malam itu juga. Harapannya, bila pulang ia
akan mendapati hamba-hambanya masih bangun. Hamba-hamba yang didapati
berjaga ketika tuannya pulang disebut "berbahagia" dalam Luk 12:37. Tuan itu
akan meminta mereka duduk dan ia sendiri akan melayani mereka. Ia akan
menghidangkan oleh-oleh dan "berkah" yang dibawanya pulang dari pesta tadi.
Jelas tuan tadi memikirkan hamba-hambanya. Bagi orang zaman itu, dan boleh
juga zaman kita sekarang, keramahan dan sikap tuan rumah tadi mengherankan.
Mana ada majikan yang melayani! Memang tak jarang kita pulang larut malam
membawa sesuatu bagi mereka yang bekerja kepada kita, tetapi melayani mereka
makan...? Pembaca ayat Lukas itu akan bertanya-tanya demikian. Tetapi ini
cara Lukas mengatakan bahwa sang tuan rumah kini tidak lagi menganggap
mereka hamba. Perlakuannya mengundang mereka duduk dan menghidangkan makanan
itu perlakuan kepada anggota keluarga sendiri. Jadi dalam perumpamaan itu
hendak dikatakan bahwa mereka yang didapati berjaga-jaga dan membukakan
pintu bagi tuan rumah itu kini menjadi anggota keluarga!

Dalam tafsiran Lukas di atas, nasihat berjaga-jaga agar tidak ketiduran
dalam Mrk 13:35 ditampilkan sebagai warta gembira. Ujung pangkalnya ialah
kebaikan tuan rumah yang kini memperlakukan hamba-hamba sebagai anggota
keluarga sendiri. Adakah yang lebih besar yang dapat diinginkan seorang
hamba? Adakah hal lebih membuat orang menyesal bila kesempatan ini berlalu
begitu saja karena ketiduran? Dan warta ini tidak hanya ditujukan kepada
para murid, tetapi juga seperti disebut dalam ay. 37, diajarkan Yesus kepada
semua orang.

PENGALAMAN BATIN EMPAT WAKTU

Ayat 35 saya simak berkali-kali tapi kok malah tak jelas:
"...berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu kapan tuan rumah itu pulang,
menjelang malam, atau tengah malam, atau larut malam, atau pagi-pagi buta."
Mark yang biasanya hemat kata kok sekarang menyebut-nyebut empat waktu
seperti itu. Maka saya tanya saja padanya, pumpung masih ada di dekat-dekat
sini.

GUS: Mark, kau bicara mengenai malam hari, tengah malam, larut malam, dan
pagi-pagi buta. Luc dan Matt tidak ikut menyebutnya. Gimana nih? Apa ini
kayak empat waktu "ronda" malam hari?

MARK: Ehm! [Lalu memandang kembali ke masa silam.] Memang itu pendapatku
sendiri. Gus, kau tahu kan, saat-saat akhir hidup Yesus diingat dalam empat
waktu itu: (1) ...setelah hari malam, Mrk 14:17, ia mengadakan perjamuan
terakhir .." lalu (2) menjelang tengah malam ia ditangkap di Getsemani dan
langsung di sidangkan di Mahkamah Agama Mrk 14:53; setelah itu (3) sebelum
ayam berkokok kedua kalinya, Mrk 14:72, Petrus, orang kepercayaannya,
menyangkalnya untuk ketiga kalinya; dan akhirnya (4) - pagi-pagi benar -
seperti dalam Mrk 15:1, ia dibawa ke hadapan Pilatus untuk diadili dan
akhirnya dihukum mati di salib.

GUS: [Dalam hati, "Mark ngelamun nih!"] Maksudmu?

MARK: Ada di antara para pengikut Yesus dulu yang menantikan kedatangannya
kembali seperti hamba-hamba menunggu tuannya pulang pesta sambil berharap
nanti bisa mendapat berkah, seperti tafsirmu di atas yang mengikuti Luc
tadi. [Menatap tajam-tajam lalu menghela nafas.] Tapi kerap itu hanya
lamunan!

GUS: [Terhenyak, kok ia tahu yang saya pikirkan tadi.] Jadi sebaiknya
melakukan "berjaga-jaga" itu dalam ujud ikut menjalani waktu demi waktu
malam harinya Yesus dan menarik hikmat dari kisah itu?

MARK: Saat kedatangan itu hanya Bapa-lah yang tahu (Mrk 13:32). Tapi kita
bisa mendapatkan kebijaksanaan memahami siapa dia yang bakal datang pada
saat yang tak terduga-duga itu.

GUS: Dan kebijaksanaan itu diperoleh bila kita menyertainya pada saat-saat
hidupnya paling sulit seperti ketika mesti berpisah dengan yang
murid-muridnya, ditolak kaum tua-tua, disangkal orang terdekat, dihukum
mati. Begitukah?

MARK: Itulah maksudnya berjaga-jaga empat waktu tadi.

Bincang-bincang ini semakin menjelaskan bagaimana masa Adven menjadi
kesempatan berjaga-jaga agar dapat menyertai Yesus dalam empat waktu tadi.
Semua ini terjadi padanya karena ia bersedia menjadi silih bagi seluruh umat
manusia. Maka memperingati kelahirannya nanti juga berarti merayakan
kedatangan penebus.

Ketika hendak saya pastikan hal itu dengan Mark, ia sudah pergi. Kini hanya
tulisannyalah yang tertinggal di sini.

Salam hangat,
A. Gianto

Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam A

Hari Raya Kristus Raja Alam Semesta, 20 November 2011 (Mat 25:31-46)

MENGAPA IA DISEBUT RAJA?

Rekan-rekan yang budiman!

Digambarkan dalam Mat 25:31-46 bagaimana pada akhir zaman nanti Anak Manusia
datang sebagai raja untuk menghakimi semua bangsa. Pahala diberikan kepada
mereka yang berbuat baik kepadanya ketika ia lapar, haus, tak ada kenalan,
telanjang, sakit, bahkan dipenjara. Mereka yang tak punya kepedulian akan
tersingkir. Mereka tidak menyadari bahwa perlakuan kepada salah satu dari
saudaranya yang paling hina sama dengan perbuatan terhadapnya sendiri.
Bagaimana memahami ajaran Injil yang dibacakan pada hari raya Kristus Raja
Semesta Alam tahun ini? Beberapa hal saya bicarakan dengan Matt sendiri.
Karena akan berguna bagi rekan-rekan, berikut ini saya kutipkan balasannya.
Ia juga ada pesan khusus pada akhir suratnya. Selamat membaca! A. Gianto

==============================================

[...] Gus, pengajaran Yesus ini kutemukan dalam sumber yang tidak dikenal
Mark maupun Luc. Juga Oom Hans tidak menyebutnya. Bahan itu kemudian kutaruh
bersama dengan beberapa pembicaraan lain mengenai akhir zaman dalam bab
24-25 dengan penyesuaian di sana sini. Kusisipkan perumpamaan Anak Manusia
memisahkan bangsa-bangsa seperti "gembala memisahkan domba dari kambing"
(Mat 25:32). Maksudnya, penghakiman itu bukan semena-mena. Ia mengenal
mereka sebagai gembala mengenal kawanannya satu per satu. Ia tahu siapa yang
membiarkan diri diberkati. Seperti domba-domba, mereka ini akan diberinya
tempat aman di sebelah kanannya. Tetapi yang menyukai kekerasan - seperti
kambing - akan dijauhkannya.

APABILA ANAK MANUSIA DATANG DALAM KEMULIAANNYA...

Apakah ini sebuah ramalan? Sama sekali bukan bila yang dimaksud ialah
"pengetahuan gaib tentang masa depan". Yang hendak disoroti ialah keadaan
yang sedang berlangsung kini. Begini, kita biasa memahami masa sekarang
sebagai kelanjutan dan akibat peristiwa-peristiwa masa lampau. Nah, dalam
petikan ini semuanya digeser ke depan dan dengan demikian dapat menjadi
pengarahan dan harapan. Jadi keadaan sekarang ini ialah "masa lampaunya"
kejadian "kelak" yang digambarkan dalam petikan ini. Namun pengertian kami
mengenai jalannya sejarah tidak seperti mesin, bila begini pasti begitu.
Kami justru melihat adanya unsur yang tidak termasuk hukum-hukum perjalanan
waktu, yakni kehadiran Yang Ilahi. KehadiranNya bisa memberi arah baru pada
sejarah kemanusiaan dengan cara-cara yang tidak kita duga sama sekali. Baru
kita sadari setelah terjadi. Dan yang kalian dengarkan hari ini ada dalam
arah itu. Kehadiran Yang Ilahi itu dibicarakan dengan memakai gagasan
tampilnya "Anak Manusia" dalam kemuliaannya tapi yang tidak langsung
dikenali. Orang bertanya "Kapan kami melihatmu...?

"Anak Manusia" di sini berhubungan erat dengan Dan 7:13. Di situ Daniel
melihat ada sosok yang "seperti anak manusia" datang mengarah kepada Yang
Mahakuasa untuk menerima kuasa atas bumi dan langit. Lihat, kuasa ini
diberikan bukan kepada malaikat, atau makhluk ilahi, melainkan kepada tokoh
yang memiliki ciri-ciri sebagai manusia itu. Dan tentangnya dikatakan
"mengarah" ke Yang Mahakuasa. Inilah kemanusiaan yang terbuka bagi
keilahian, tidak menutup diri atau malah mau menyainginya. Semua ini ikut
disampaikan dalam pengajaran Yesus dalam petikan Injil hari ini. Anak
Manusia tampil sebagai yang kini menduduki tahta kemuliaannya tetapi tetap
mengarahkan diri kepada Yang Mahakuasa. Dalam ay. 34 ia malah
terang-terangan menyebutNya sebagai Bapa yang telah menyiapkan tempat bagi
mereka yang diberkati.

Dalam bahasa yang dipakai Yesus, bahasa Aram, ungkapan "anak manusia" itu
artinya sama dengan "manusia", tapi dengan penekanan pada sifatnya sebagai
makhluk di hadapan Pencipta. Dalam alam pikiran kami, seluruh umat manusia
itu makhluknya Yang Maha Kuasa. Yesus beberapa kali merujuk pada dirinya
sendiri sebagai "Anak Manusia". Hendak dikatakannya, ia tahu tempatnya
sebagai manusia di hadapan Pencipta. Hidupnya berasal dari Dia. Karena itu
Yesus mengajarkan bahwa Sang Pencipta dapat dipanggil sebagai Bapa. Coba
ucapkan doa Bapa Kami - di situ terpeta siapa Dia yang dapat dipanggil Bapa
tadi.

Ingat kisah pengakuan Petrus bahwa Yesus itu Mesias - Yang Terurapi - Anak
Allah yang hidup (Mat 16:16)? Tetapi kemudian Yesus melarang murid-muridnya
memberitahukan kepada siapa pun bahwa ia Mesias (16:20). Ia malah berbicara
mengenai penderitaannya bakal ditolak, dibunuh, tetapi akan dibangkitkan
pada hari ketiga (16:21). Kata "ia" yang kupakai di situ menjelaskan makna
ungkapan aslinya, yakni "Anak Manusia", yang ada dalam tulisan Mark yang
menjadi sumberku (Mrk 8:31). Luc malah eksplisit menampilkannya dalam ujud
kutipan langsung (Luk 9:22). Yesus ingin agar murid-muridnya mengerti
terlebih dahulu bahwa kemesiasannya itu hanya berarti bila disertai
pengakuan diri sebagai makhluk di hadapan Pencipta. Juga baru dengan
demikian ia dapat tampil sebagai Mesias yang senasib sepenanggungan dengan
manusia.

SEMUA BANGSA AKAN DIKUMPULKANNYA

Kau bertanya apakah "semua bangsa" dalam Mat 25:32 merujuk kepada seluruh
umat manusia, seperti kerap ditafsirkan. Terus terang bukan itulah yang
kupikirkan. Kau tahu kan, istilah ini berasal dari tradisi Perjanjian Lama.
Di situ "bangsa-bangsa" ialah mereka yang tidak termasuk "umat Allah", yakni
yang bukan orang Yahudi. (Bdk. Mat 24:14, juga 28:19 yang kaubicarakan bagi
Pesta Kenaikan Tuhan 5 Mei 2005.) Tetapi di kalangan kami timbul pertanyaan
yang mengusik batin. Dapatkah "bangsa-bangsa" itu ikut masuk hidup abadi?
Atau mereka tak masuk hitungan? Memang kami beruntung karena jadi bangsa
terpilih, tapi kami kan tak boleh melupakan orang lain. Lalu bagaimana?

Menurut Yesus, keselamatan "bangsa-bangsa" itu bergantung pada perlakuan
mereka kepada sang raja ketika ia lapar, haus, tak ada tumpangan, telanjang,
sakit, dipenjara. Tapi ketika mereka bertanya kapan mereka ada kesempatan
berbuat demikian terhadap dia, sang raja menjawab, yang kalian perbuat
terhadap "salah seorang (saudaraku) yang paling hina ini" (ay. 39 dan 45)
sama dengan yang kauperbuat terhadapku. Maksudnya orang yang termasuk
kaumnya sang raja, termasuk bangsa terpilih. Yesus tidak menghapus tradisi
mengenai bangsa terpilih, tetapi malah mengembangkannya. Jawaban ini genial.
Mereka yang di luar lingkungan bangsa terpilih dapat ikut menikmati
keselamatan bila mereka menghargai yang paling kecil dari bangsa terpilih
tadi.

Penting kalian ketahui, pembicaraan tadi ditujukan terutama kepada kami,
pengikut Yesus yang berasal dari lingkungan Yahudi, yang merasa lebih
beruntung daripada "bangsa-bangsa". Mereka sendiri bukanlah pendengar yang
dimaksud. Karena itu jangan petikan ini ditafsirkan sebagai imbauan kepada
mereka agar berbuat baik kepada orang seperti kami, berikut janji pahala dan
ancaman hukuman. Yesus bukan guru yang naif. Sapaannya diarahkan langsung
kepada kami yang merasa sudah mengikuti dia. Ia mau berkata, mereka akan
ikut selamat bila kalian membiarkan diri menjadi jalan bagi mereka. Hiduplah
menurut kehendak Bapa, jadilah "saudaraku" yang sungguh, sehingga orang luar
- "bangsa-bangsa" itu - melihat integritas kalian dan memperlakukan kalian
dengan baik.

Tampak betapa manusiawinya ajaran Yesus itu tapi juga betapa luhurnya Anak
Manusia yang mengajarkan semua ini. Tak heran ia disebut Raja semesta alam!
Inilah corak universal ajarannya. Seperti dikisahkan teman kita Luc,
komunitas pengikut Yesus diperkaya dengan ikut sertanya "bangsa-bangsa",
yakni orang-orang seperti Kornelius dan orang-orang yang mendengarkan
pewartaan Paul di mana-mana.

SARAN DAN PESAN

Bukan maksudku mengajak kalian memandangi zaman dulu saja. Aku tahu kalian
memahami diri sebagai umat Allah yang baru. Begitu kan teologi Gereja
kalian? Konsekuensinya, kalian diharapkan berani menjadi "saudara"-nya
Yesus, sekecil apapun. Bisakah kalian menerima kenyataan Sabda Bahagia?
Kalau ya, teruskan, dan kalian akan menjadi jembatan emas bagi
"bangsa-bangsa" di zaman kalian. Terus terang aku sampai hari ini masih
gelisah memikirkan apa nanti akan ada yang terpaksa perlu ditempatkan di
sebelah kiri dan disuruh enyah. Bila ya, artinya kami gagal membuat
pihak-pihak lain melihat bahwa kepercayaan yang kami hayati itu patut mereka
tanggapi baik-baik. Kami juga akan merasa kurang mampu menunjukkan diri
betul-betul saudara raja tadi. Gus, mintakan pertolongan rekan-rekan,
tutuplah kekurangan kami di masa lampau dengan yang bisa kalian buat
sekarang. Dan kami akan lebih tenang. Kalian itu sambungan hidup kami!

Ini juga penghabisan kalinya Injil Matius kalian bacakan pada hari Minggu.
Gus, terima kasih sudah berusaha menguraikan kisah-kisahku tentang Yesus
bagi orang zaman ini. Tidak perlu kita selalu sekata mengenai semua hal.
Bila begitu nanti khazanah Injil malah tidak tertimba. Bila dua ahli Kitab
saling mengulang, apa yang bisa dituai pendengar? Itu itu juga! Kami dididik
berani memasuki liku-liku teks agar semakin diperkaya di dalam interaksi
dengan teks. Dan teksnya sendiri akan mekar jadi indah. Bila begitu peneliti
teks boleh berkata, dalam bahasa Yunani, "matheteutheis" (Mat 13:52),
artinya, "telah memperoleh hikmat pengajaran". Ah, tak usah menduga-duga apa
bunyi kata itu mau mengingatkan nama resmiku, "Maththaios".

Mulai Minggu depan kalian akan lebih sering mendengarkan Mark. Juga Oom Hans
akan kerap datang. Mark itu hemat kata. Ia mengikhtisarkan ceramah-cermah
Petrus di Roma bagi pendengar yang semakin ingin tahu siapa Yesus Kristus
itu. Luc dan aku sendiri berhutang banyak kepada Mark. Dan juga Oom Hans,
meski beliau baru menerbitkan bukunya setelah kami semua selesai menulis!
Kalian pasti akan belajar banyak dari mereka. Dan engkau sendiri masih akan
menulis tentang rekan-rekan kita itu kan?

Sampaikan salam kepada rekan-rekan di Internos dan para peminat lain!
Matt

Minggu Biasa XXXIII A - 13 Nov 2011

Injil Minggu Biasa XXXIII/A - 13 Nov 2011 (Mat 25:14-30)


KEPERCAYAAN YANG SUBUR DAN TALENTA YANG MANDUL

Rekan-rekan yang budiman!
Perumpamaan mengenai talenta dalam Mat 25:14-30 berawal dengan kisah tentang
orang yang mempercayakan hartanya kepada para hambanya karena ia akan lama
bepergian ke luar negeri. Dan jumlah uang yang ditinggalkannya itu amat
besar. Satu talenta nilainya 10.000 dinar dan satu dinar itu waktu itu upah
sehari pekerja harian. Pendengar waktu itu langsung menangkap arah
perumpamaan ini, yakni kepercayaan yang luar biasa besarnya dari pihak
pemilik kepada para hambanya. Dan memang perumpamaan ini lebih bercerita
mengenai sang pemberi daripada mengenai mereka yang menerima. Dari 16 ayat
dalam petikan ini, 10 ayat dipakai untuk menggambarkan tindakan serta
kata-kata sang tuan dan hanya 6 ayat dikhususkan bagi hamba-hambanya.

MENURUT KESANGGUPAN MASING-MASING

Orang itu mempercayakan miliknya kepada tiga orang hambanya. Ia mengenal
kemampuan mereka satu persatu dengan baik. Injil mengutarakannya dengan
ungkapan "...masing-masing menurut kesanggupannya." Begitulah pemilik tadi
merasa aman dapat menitipkan hartanya kepada orang-orang yang dekat yang
sungguh dikenalnya. Ia percaya mereka akan menjaganya dengan sebaik-baiknya
dan mau menjalankan uangnya. Ia berharap akan tetap beruntung, di luar
negeri dan di tanah sendiri. Perusahaannya akan tetap berjalan.

Selama sang tuan berada di negeri lain, kedua hamba yang pertama memang
menjalankan uang majikannya. Usaha mereka mendatangkan hasil yang sepadan
dengan modal yang dipercayakan kepada mereka. Baik yang mendapat lima
talenta maupun yang mendapat dua sama-sama mengatakan kepada tuan mereka
"Tuan, sekian talenta tuan percayakan kepadaku...." Jelas dari situ bahwa
sejak permulaan mereka tahu bahwa mereka dipercaya tuan mereka. Kiranya
kesadaran inilah yang membuat mereka berani berusaha agar harta yang
dipercayakan itu menjadi harta yang hidup. Mereka dapat berkata telah
mendapat laba sebanyak talenta yang dipercayakan. Dan ternyata yang mereka
kerjakan mendapat perkenan. Sang pemilik berkata bahwa mereka akan mendapat
tanggung jawab dalam perkara yang lebih besar karena telah menunjukkan
kesetiaan dalam hal kecil. Mereka juga akan semakin berbagi kekayaan dengan
pemilik tadi. Mereka diajak masuk ke dalam kebahagiaan tuan mereka.
Maksudnya, tuan tadi akan membuat mereka menjadi anggota rumah yang merdeka,
dan bukan lagi hamba. Pembaca zaman itu dapat segera menyimpulkannya bahwa
itulah maksud kata-kata pemilik yang kembali tadi. Usaha mereka telah
membuat mereka menjadi orang merdeka yang tetap boleh berdiam di rumah tuan
mereka. Inilah pahala terbesar yang dapat diharapkan.

TALENTA YANG TAK DIKEMBANGKAN

Bagaimana dengan hamba yang mendapat satu talenta dan kemudian hanya mampu
mengembalikan satu talenta saja? Kita tahu apa yang terjadi dengan dia pada
akhir perumpamaan. Ia tidak lagi mendapat kepercayaan dan tidak menerima
apa-apa. Bahkan ia tidak lagi diakui sebagai hamba oleh tuannya dan
dikeluarkan dari rumah tangganya. Ia kini menjadi mangsa kegelapan dan apa
saja yang menakutkan. Hamba ini menjadi gambaran kebalikan dari kedua hamba
yang lain. Selama tuannya pergi ia tidak pernah belajar mengurus dan
menjalankan harta yang dipercayakan kepadanya. Kenapa? Bukan karena ia tidak
berinisiatif. Dalam ay. 25 ia berkata bahwa ia tahu tuannya itu kejam,
menuai di tempat ia tidak menabur, dan memungut di tempat ia tidak menanam
sendiri. Ia takut. Ketakutan ini membuat ia tidak bisa menerima bahwa
tuannya mau mempercayainya. Karena itu ia menyembunyikan talenta yang
diserahkan kepadanya. Ada ironi yang tajam. Tuan itu mengenal baik
hamba-hambanya. Ia mau mempercayakan miliknya kepada mereka sesuai kemampuan
masing-masing. Tetapi tidak semua hamba itu mengenal sang majikan sebaik ia
mengenal mereka.

Mengapa hamba itu malah kena marah dan disebut hamba yang "jahat dan malas"?
Mengapa dikatakan, seharusnya hamba itu mempercayakan talenta tadi kepada
orang yang bisa menjalankan sehingga nanti ada bunganya? Sebetulnya semua
yang dibayangkan hamba yang mendapat satu talenta itu benar. Apa
persoalannya?

Memang ada kebiasaan menyembunyikan harta dengan memendamnya. Keuntungannya
memang harta itu tidak akan gampang diincar orang karena tidak diketahui.
Dan sulit ditemukan orang lain. Aman. Tetapi juga tidak mendatangkan laba.
Jadi modal mati. Hamba tadi kurang punya inisiatif, ia malas. Ia ragu-ragu,
jangan-jangan nanti begini, jangan-jangan nanti begitu. Akhirnya ia malah
tak menghasilkan apa-apa.

Kenapa ia disebut tuannya sebagai "jahat" juga? Pembaca boleh memikirkan,
hamba yang ini sebetulnya tidak memberi kemungkinan kepada tuannya untuk
berubah. Majikannya itu memang dikenal sebagai orang yang tinggi
tuntutannya, dst. Dan kiranya memang begitu (ay. 26). Tetapi berkat
keberanian kedua hamba yang lain, atau lebih baik dikatakan kesetiaan mereka
menjaga serta menjalankan milik tuannya, maka ia bisa berubah menjadi murah
hati dan suka mengajak bawahannya ikut menikmati kekayaannya yang berlimpah.
Tetapi ada yang tidak mau menerima bahwa ia bisa berubah menjadi murah hati.
Ada yang menutup pintu bagi tuan tadi agar bisa menjadi orang yang lain
daripada yang dahulu-dahulu. Inilah yang mendatangkan kemalangan bagi hamba
tadi. Ia tidak mampu menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan
tuannya. Hamba itu terhukum oleh pandangannya sendiri yang kaku mengenai
tuannya.

TENTANG TUHAN

Perumpamaan ini memuat ajakan agar orang berani memikirkan kembali anggapan
mengenai siapa itu Tuhan dan bagaimana mendapat perkenannya. Dan kiranya
memang itulah maksud Yesus dengan perumpamaan ini. Maklum bagi pendengarnya
pada waktu itu Tuhan Allah dialami sebagai yang menuntut dan akan murka dan
menghukum bila umatnya tidak menuruti hukum-hukumNya. Itulah teologi yang
dulu dirasa jitu di kalangan para pemimpin (ahli Taurat, para imam) dan
orang-orang yang dianggap benar dan menganggap diri benar (kaum Farisi).
Tuhan tidak mendapat ruang untuk tampil dengan wajah kebapaan. Dia dikurung
dalam teologi picik hamba yang mendapat satu talenta itu.

Tahukah orang yang akan bepergian ke luar negeri tadi bahwa di antara
hambanya yang dipercayainya itu ada yang tidak bakal banyak berbuat?
Tentunya ya. Walaupun demikian, ia tetap berharap hambanya itu bisa
berkembang. Dan tuan tadi - kini bisa kita pakai untuk mengerti siapa Tuhan
sebenarnya - berani mengambil risiko. Siapa tahu hamba yang begitu itu nanti
berubah. Tuhan berani memberi kesempatan kepada orang yang sebenarnya
dikenal tidak akan berbuat banyak.

INJIL DAN KEHIDUPAN

Mari kita bayangkan jalan cerita yang berbeda. Katakan saja hamba yang malas
dan penakut yang mendapat satu talenta itu bisa berubah. Katakan saja, ada
rekan yang menolong dan memberanikannya agar lebih percaya diri. Alur
kisahnya akan berbeda. Pendengar yang berani berinteraksi dengan perumpamaan
dengan cara ini akan juga merasa terdorong membantu rekan yang dalam
kehidupan nyata dikenal sebagai orang yang kurang berani berinisiatif, takut
melulu, takut gagal, takut menyalahi gagasan sendiri. Dan kiranya itulah
sikap pastoral yang diharapkan ada bila kita menjumpai orang yang butuh
dibesarkan hatinya, dibimbing, diberanikan. Itu juga yang bisa diharapkan
dari kita-kita yang merasa beruntung seperti kedua hamba yang dipuji dan
diajak berbagi kebahagiaan oleh tuannya tadi. Kita yang merasa seperti
mereka akan tertantang apa juga berani ambil risiko seperti tuan hamba-hamba
tadi. Nurani kita akan terketuk untuk berupaya menolong orang yang
sebenarnya sudah mengurung diri dalam pagar keputusasaan. Boleh kita
bertanya dalam hati, beranikah kita mencoba membebaskan orang yang
memenjarakan diri dengan teologi yang mematikan, dengan gambaran mengenai
Yang Ilahi yang serba kaku. Beranikah kita berusaha menghidupkan imannya.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu termasuk pesan yang tersirat dalam
perumpamaan ini.

Saya tanya Matt apa setuju dengan cara membaca di atas. Katanya, "Apa belum
tahu bahwa perumpamaan itu sebenarnya baru separuh jalan? Baru ada dalam
Injil dan belum selesai ditulis dengan kehidupan. Kalianlah yang mesti
melanjutkannya sampai Anak Manusia datang kembali nanti di akhir zaman. Dia
ingin mendengarkan kelanjutan cerita yang disampaikan dalam perumpamaan itu.
Mudah-mudahan saat itu tak ada yang hanya akan mengutarakan kembali yang ada
di Injil tanpa menambah kelanjutannya dalam hidup masing-masing. Dia ini
akan seperti orang yang mendapat satu talenta."

Salam hangat,
Gianto

Minggu Biasa XXV A - 25 Sep 2005

Injil Minggu Biasa XXVI A - 25 Sep 2005 (Mat 21:28-32)

Rekan-rekan!
Injil kali ini (Mat 21:28-32) menampilkan perumpamaan mengenai seorang ayah
yang bergilir meminta dua orang anaknya berangkat bekerja di kebun anggur.
Yang pertama pada mulanya tidak bersedia, tapi kemudian menyesal dan
akhirnya menjalankannya. Yang kedua sebaliknya berkata "ya" tapi tidak
melakukannya. Siapa dari kedua anak itu yang sungguh mengikuti kehendak sang
ayah? Tentunya orang berpikir tentang anak yang pertama. Apakah perumpamaan
ini sekadar dimaksud mengajarkan bahwa tindakan nyata jauh lebih bernilai
dari pada sekedar janji? Adakah hal-hal khusus yang dapat dipetik dari
bacaan Injil pada hari Minggu Biasa XXVI tahun A ini?

SEKEDAR LATAR BELAKANG

Yesus biasa mengajar di Bait Allah . Di situ banyak orang mendengarkannya.
Dalam kesempatan itu datang juga imam-imam kepala serta tua-tua bangsa
Yahudi. Suatu ketika mereka mempertanyakan, dengan kuasa mana Yesus
melakukan "hal-hal itu" (Mat 21:23). Mereka mau tahu apa dan siapa di
belakang tindakan Yesus menyembuhkan, menerima murid, mengajar tentang
Kerajaan Surga, mengusir roh jahat dari diri orang, menghibur. Maklum, orang
banyak makin melihat karya ilahi di dalam diri Yesus. Para pemimpin
masyarakat Yahudi tadi menjadi waswas karena Yesus semakin populer. Bukan
terutama karena mereka merasa tersaingi. Mereka khawatir jangan-jangan Yesus
mengadakan gerakan politik dengan warna gerakan agama. Mereka curiga bahwa
yang dilakukannya itu gerakan politik mengumpulkan massa dengan dalih
keagamaan.

Dalam pembicaraan itu Yesus berkata, ia bersedia menjelaskan dari mana
kuasanya asalkan mereka juga dapat menjawab satu pertanyaan darinya. Ia
balik bertanya apakah pada hemat mereka Yohanes tokoh yang membaptis banyak
orang itu mendapat perkenan dari Allah ("datang dari surga", 21:25) atau
tindakan mencari pengikut belaka ("dari manusia"). Para pemimpin tadi merasa
terpojok. Bila mengakui adanya perkenan ilahi, berarti mereka mendukung
Yohanes dan konsekuensinya akan ikut dicurigai penguasa Romawi. Tetapi bila
menyatakan tindakan Yohanes hanya manusiawi belaka, maka mereka akan
berhadapan dengan orang banyak yang percaya tokoh ini datang dari Allah.

Begitulah Yesus membuat para pemimpin itu menyadari sikap mendua dalam diri
mereka sendiri mengenai Yohanes Pembaptis. Mereka tidak mau memberi jawaban
jelas dan hanya berkata, "Kami tidak tahu!" Yesus pun menutup pembicaraan
tadi dengan mengatakan karena mereka tak dapat memberi jawaban, maka ia pun
tidak akan menjawab pertanyaan mereka pada awal, yaitu mengenai asal
kekuasaan Yesus (Mat 21:27). Tapi jelas yang hendak dikemukakannya. Kalian
tahu Yohanes menyuarakan seruan dari atas sana, tapi kalian tidak berani
mengakuinya terang-terangan. Begitulah sikap kalian kepadaku!

Memang para pemimpin Yahudi itu diserahi tanggungjawab moral oleh pemerintah
Romawi untuk menjaga ketenangan di masyarakat. Jangan sampai ada gejolak.
Apalagi jangan sampai ada gerakan politik dengan warna agama. Bila terjadi,
maka pemerintah Romawi akan bertindak dan akan makin membatasi kebebasan
orang Yahudi. Inilah yang dikhawatirkan para pemimpin. Jika nanti Yesus dan
pengikutnya dianggap mengadakan gerakan politik yang dibiarkan begitu saja
oleh instansi agama, maka pemerintah Romawi tidak akan tingal diam.

SIKAP YANG COCOK?

Berlainan dengan para pemimpin tadi, Yesus tidak menyembunyikan pendapatnya
mengenai Yohanes Pembaptis. Dalam ayat 32 ia berkata bahwa Yohanes "datang
untuk menunjukkan jalan kebenaran". Diakuinya penugasan yang datangnya dari
Allah sendiri. Namun para pemimpin Yahudi tidak menanggapinya dengan
semestinya, malah tidak berani mengakuinya karena takut. Maka mereka
bersikap seperti anak yang berkata ya ya tapi tidak melakukan yang
diharapkan. Orang-orang yang mereka anggap rendah, yakni para pemungut cukai
dan pelacur, sebaliknya seperti anak yang pada mulanya menolak permintaan si
ayah tapi kemudian menyesal dan menurut. Lawan bicara Yesus juga paham
maksud perumpamaan ini. Mereka merasa kena teguran. Dan dasar teguran itu
ialah prinsip yang mereka pakai mengadili orang lain, yakni ketaatan atau
ketidaktaatan religius. 

Perumpamaan ini dipakai untuk menunjukkan sikap yang kurang serius dari
pimpinan masyarakat Yahudi dalam perkara-perkara kerohanian. Oleh karenanya
malah "pemungut cukai" dan 'pelacur" bakal lebih beruntung daripada mereka
karena orang-orang ini berani mengubah sikap mereka. Kedua golongan orang
ini dianggap paling tidak taat pada ajaran agama. Pemungut pajak dijauhi
karena mereka bekerja bagi sistem pajak asing yang memeras bangsa sendiri.
Yang kedua dicap tidak punya kesetiaan. Tetapi mereka yang dianggap buruk
itu percaya kepada warta pertobatan Yohanes Pembaptis sedangkan para
pemimpin tidak. Mereka itu sebenarnya bahkan lebih memeras bangsa sendiri
dan tidak setia pada inti ajaran agama.

MENYESAL DAN AKHIRNYA BERANGKAT

Gagasan dasar dalam perumpamaan ini terungkap dalam kata "menyesal" dalam
ayat 29. Anak yang pada mulanya tegas-tegas tidak mau menuruti kemauan
ayahnya itu kemudian menyesal. Gagasan "menyesal" di sini bukan terutama
perasaan gegetun karena telah berbuat sesuatu yang kurang baik dan kini
merasa tak enak, ada ganjelan dalam hati, kenapa tadi berbuat begini atau
begitu. Oleh karena itu kiranya tidak amat tepat bila kita bayangkan anak
yang akhirnya menjalankan permintaan ayahnya itu sebagai orang yang punya
hati, berperasaan, dan ingin memuaskan ayahnya. Semua ini memang amat
berharga dan sering terjadi. Namun perumpamaan kali ini tidak membicarakan
sikap hati seperti itu. Yang ditunjukkan ialah keberanian untuk meninjau
kembali niatnya dan memikirkan apakah tidak lebih baik menjalankan yang
diminta dari pada bersikeras.

Perkaranya menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan anak yang kedua.
Sebetulnya dia tidak pernah berniat berangkat bekerja di kebun anggur
ayahnya. Ia hanya berbasa-basi mengatakan "Baik pak!" tapi sebetulnya hanya
ingin agar tidak diganggu lebih lanjut. Ia lebih berminat meneruskan yang
sedang dikerjakannya. Tidak juga ia berminat mencari tahu mengapa ayahnya
memintanya pergi bekerja di kebun anggurnya. Ia cuma mau membungkam ayahnya
dengan sebuah janji. Ia tidak berpikir panjang mengenai tindakannya atau
alasan permintaan ayahnya.

Jadi pengertian "menyesal" dalam perumpamaan ini lebih cocok dipahami
sebagai "memikirkan kembali", "meninjau kembali keputusan yang telah dibuat"
dan "urung menjalankan yang sudah diniatkan". Ada usaha untuk tidak
membiarkan diri terpancang pada satu pandangan mati. Itulah yang terjadi
pada anak yang pertama. Meskipun sudah dengan jelas mengatakan tidak mau
berangkat, ia akhirnya berangkat pergi juga. Boleh jadi ia mulai berpikir
mengapa sang ayah memintanya bekerja. Apa tidak ada pekerja? Apa memang amat
perlu? Tidak dijelaskan dalam perumpamaan alasan sang ayah. Tetapi anak yang
ini jelas mengerti maksudnya. Dan ia yakin sebaiknya menuruti. Di bawah
nanti akan diulas arti permintaan tadi.

PERMINTAAN SANG AYAH = REZEKI HARI INI?

Tidak ada buruknya kita coba ikut merasa-rasakan bagaimana sang ayah
mengungkapkan keinginannya. Ia berkata, "Anakku, pergi dan bekerjalah hari
ini dalam kebun anggur!" Kata-kata ini tidak berisi sebuah perintah keras,
melainkan tawaran yang diungkapkan dengan halus. Terasa juga sapaan yang
penuh kasih sayang. Isi permintaannya sendiri sebetulnya tidak amat berarti.
Ada banyak orang yang menunggu dipekerjakan di kebun anggurnya. Sang ayah
meminta anaknya bekerja di sana justru karena ia mau menawarkan kesempatan
bagi mereka. Dan lebih khusus lagi, ia menawarkan kesempatan bekerja "hari
ini".

Tawaran bekerja di kebun anggur "hari ini" mengingatkan pada permintaan
kepada Bapa dalam doa yang diajarkan Yesus: "Berilah kami rezeki pada hari
ini".Dalam perumpamaan ini ditunjukkan betapa sang ayah ingin memberi
sesuatu yang dapat membuat anaknya mendapatkan sesuatu pada "hari ini".
Rezeki pada hari ini, itulah yang ditawarkannya dengan lembut. Tidak
dipaksakannya. Berarti bisa ditolak, bisa tak dianggap penting, diremehkan,
tapi tetap ditawarkan. Bagi yang tadinya tidak mau, tetapi kemudian berubah
sikap, tawaran itu masih tetap berlaku.

Perumpamaan ini menggemakan tema kemurahan hati Allah yang ditawarkan kepada
siapa saja tetapi yang tidak selalu diterima dengan serta merta. Dalam
perumpamaan hari Minggu lalu (Mat 20:1-16) kemurahan hati ini dipersoalkan
oleh mereka yang kurang memikirkan keadaan mereka yang kurang seberuntung
mereka. Pekerja yang langsung menemukan pekerjaan dan masuk pagi kurang
senang melihat yang datang kemudian mendapat upah sama. Tetapi mereka yang
datang kemudian ini sebenarnya sudah lama menunggu. Kini dalam perumpamaan
tentang dua anak, rezeki hari itu ditawarkan kepada dua orang yang
sebetulnya tahu apa itu kemurahan hati dan kebaikan ilahi. Tetapi hanya satu
saja yang akhirnya mau menerimanya. Yang lain merasa tidak membutuhkannya.
Pembaca perumpamaan ini diajak berpikir di mana kedudukannya sekarang ini.
Sekaligus ada imbauan untuk berubah bagi yang bersikap sebagai anak yang
kedua.


Salam hangat,
A. Gianto

Minggu Biasa XXV A - 18 Sept 11

Injil Minggu XXV/A 18 Sept 11 (Mat 20:1-16)

Rekan-rekan di Internos,
Karena sedang dipenuhi kesibukan, pengisi rubrik ini meminta saya berbicara
mengenai perumpamaan dalam Mat 20:1-16 yang dibacakan pada hari Minggu XXV
tahun A ini. Ceritanya tentu sudah anda kenal. Pagi-pagi benar seorang
pemilik kebun anggur menawarkan pekerjaan dengan upah sedinar sehari. Upah
sedinar memang lazim bagi pekerja harian waktu itu. Tentu saja para pencari
kerja menerima. Sang empunya kebun itu kemudian juga mengajak orang yang
belum mendapat pekerjaan pada pukul sembilan, duabelas, tiga, dan bahkan
sampai pukul lima sore - sejam sebelum usai jam kerja. Masalahnya begini.
Tiap pekerja, entah yang datang satu jam sebelum tutup hari, entah yang
mulai pagi-pagi mendapat upah sama: satu dinar. Maka yang datang pagi tidak
puas, kok upahnya sama dengan yang bekerja satu jam saja. Pemilik kebun
menegaskan, bukannya ia berlaku tak adil. Kan tadi sudah saling sepakat
mengenai upah sedinar. Ia merasa merdeka memberi upah sedinar juga kepada
yang datang belakangan. Jawaban ini menukas rasa iri hati orang yang melihat
ia bermurah hati kepada orang lain. Sebenarnya kata-kata itu bukan hanya
ditujukan kepada pekerja yang protes melainkan kepada siapa saja yang
membaca dan pendengar perumpamaan.

NAFKAH HARIAN DAN KEADILAN BAGI SEMUA

Rekan-rekan, perumpamaan ini kerap menjadi sandungan bagi rasa keadilan baik
pada zaman dulu maupun sekarang. Tidak perlu kita poles permasalahannya.
Justru perumpamaan itu dimaksud untuk membuat kita semakin mencermati
anggapan kita sendiri mengenai keadilan. Kita diajak menyadari bahwa
keadilan tak bisa ditafsirkan secara sepihak tanpa merugikan pihak lain. Dan
pihak lain di sini ialah orang-orang yang baru mendapat pekerjaan setelah
hari hampir lewat. Para pekerja yang merasa mendapat upah terlalu sedikit
sebenarnya tidak melihat sisi yang lebih dasar dari keadilan, yakni
kesempatan yang sama bagi tiap orang untuk mencari nafkah. Orang yang tak
puas itu sebenarnya beruntung karena langsung mendapat pekerjaan tanpa perlu
menunggu. Upah yang dijanjikan juga jelas dan wajar menurut kebiasaan waktu
itu. Sudah terjamin. Tetapi ada banyak orang yang tak seberuntung mereka.
Ada yang masih menganggur sampai siang dan bahkan sampai sore hari karena
tak ada yang memberi pekerjaan. Dari mana mereka akan mendapat nafkah bagi
hari itu? Apa mereka harus melewatkan malam hari dengan perut kosong? Apa
rasa keadilan yang seperti ini tidak muncul?

Sering terdengar, urusan mereka sendirilah bila tidak berhasil mendapat
nafkah penyambung hidup. Tetapi hidup dalam Kerajaan Surga tidak demikian.
Di situ tersedia kesempatan yang sama baiknya bagi siapa saja. Inilah yang
dalam perumpamaan tadi digambarkan dengan tindakan pemilik kebun keluar
menawarkan pekerjaan bagi mereka yang kedapatan masih menganggur pada jam
sembilan, tengah hari, tiga sore dan bahkan sejam sebelum waktu kerja usai.
Mereka yang masih menunggu rezeki tidak ditinggalkan sendirian. Inilah
keadilan yang diberlakukan dalam Kerajaan Surga.

Yesus pernah mengajarkan agar kita berdoa kepada Bapa yang ada di surga,
mohon diberi "rezeki pada hari ini", maksudnya, nafkah penyambung hari ke
hari. Apa yang kita rasakan kita bila kita ada dalam keadaan mereka yang
belum mendapatkannya? Orang-orang ini tidak bakal dilupakan.

PERIHAL KERAJAAN SURGA

Kawan-kawan ingat, perumpamaan ini diceritakan Yesus dengan maksud untuk
menjelaskan perihal Kerajaan Surga. Ia sudah sering mengajarkan bagaimana
kehidupan kita di bumi ini bisa menjadi ruang leluasa bagi kehadiran Yang
Mahakuasa. Oleh karena itulah saya menyampaikannya kembali dengan ungkapan
Kerajaan Surga. Akan lebih mudah terbayang adanya wahana, ruang batin.

Mark dan Luc lebih suka menyebutnya Kerajaan Allah. Intinya sama, tetapi
kedua rekan itu lebih menggarisbawahi yang hadir di dalam ruang batin itu,
yakni Allah sendiri. Saya sendiri lebih menyoroti diri kita sebagai ruang
tadi. Pemikiran saya ini ada latar belakangnya. Mari kita tengok kembali
kisah penciptaan, khususnya yang terjadi pada hari kedua (Kej 1:6-8).
Bukankah pada hari kedua itu Allah menjadikan langit? Dan yang dinamaiNya
langit itu berperan memisahkan air yang di bawah dan air yang di atas.
Karena itulah mulai ada ruang bagi ciptaan-ciptaan berikutnya, yakni
daratan, laut, tumbuh-tumbuhan, hewan sampai kepada manusia.

Boleh saya sebutkan, dalam bahasa Ibrani (dan Aram, dan Yunani), kata untuk
langit yang kita bicarakan itu sama dengan kata bagi surga, yakni "syamaim"
(Aram "syemaya", Yunani "ouranos"). Berkat "syamaim" yang diciptakan tadi,
berkat surga, maka bumi beserta isinya, dan khususnya manusia, kiini
terlindung. Jadi surgalah yang membendung kekuatan-kekuatan gelap serta
kekacauan yang ada di seputar ciptaan yang dilambangkan dengan air-air. Jadi
Pencipta menghendaki wahana kehidupan ini sejak awal dilingkupi oleh surga.
Bila gagasan Kitab Kejadian di atas diikuti, maka ciptaan bersama isinya
tentunya juga dimaksud agar semakin menjadi tempat kehadiranNya. Oleh karena
itu, Kerajaan Surga boleh dibayangkan sebagai wahana yang luas tak berbatas
yang semakin terisi siapa saya yang ingin masuk berlindung di dalamnya. Yang
datang terlebih dahulu atau yang sudah lama menunggu dan baru masuk
belakangan akan mendapatkan tempat.

Yesus datang mewartakan bahwa Kerajaan Surga benar-benar sudah ada di dekat.
Ia mengajak orang banyak bertobat - ber-metanoia - yang artinya bukan
semata-mata kapok dari berbuat jahat dan banting setir, melainkan berwawasan
luas melampaui yang sudah-sudah, maksudnya, tidak mengurung diri dalam
pandangan-pandangan sendiri, tetapi mulai berpikir jauh ke depan meluangkan
diri bagi kehadiran ilahi.

PENERAPAN

Dalam masyarakat kami dulu ada gagasan bahwa semua tindakan di bumi ini
cepat atau lambat akan mendapat ganjaran sepadan di sini atau di akhirat,
begitu pula kejahatan akan mendapat hukuman setimpal. Semacam balasan dari
atas sana dengan menggunakan cara-cara seperti yang ada di dunia. Pendapat
ini katanya ada juga dalam masyarakat anda. Kata para ahli, alam pikiran
seperti ini ada di mana-mana. Memang ajaran ini menjadi pengontrol perilaku
individu. Tapi bila hanya itu, orang akan bertanya-tanya, bagaimana dengan
orang yang tidak dapat berbuat banyak? Apa hanya sedikit ganjarannya nanti?
Jadi nanti di akhirat ada tingkat-tingkat menurut ukuran yang kita kenal
sekarang? Dengan perumpamaan hari ini Yesus mengajak orang menyadari bahwa
Kerajaan Surga itu berkembang dengan kemurahan hati Allah dan bukanlah
dengan prinsip ganjaran bagi perbuatan di bumi.

Apakah perumpamaan itu memuat sindiran bagi kita manusia yang cenderung
bertabiat mau mengambil lebih? Yang mudah iri bila melihat orang lain
beruntung? Ah, tak usah kita pakai Injil untuk menyindir. Dan bukan itulah
maksud Injil. Yesus kiranya juga tidak bertujuan menyampaikan kritik moral
sosial yang perlu kita perkhotbahkan. Tujuannya ialah mengabarkan cara hidup
dalam Kerajaan Surga. Pikir punya pikir memang perlakuan istimewa bagi yang
masuk kerja belakangan itu termasuk warta mengenai Kerajaan Surga. Kemurahan
ilahi juga tidak dapat diukur dengan banyak sedikitnya kerja. Bila diukur
dengan cara itu akan tidak klop dan Kerajaan Surga akan menjadi perkara jual
beli jasa. Lha nanti akan bermunculan spekulannya, berikut calo-calonya,
akan berkembang korupsi dan kolusi!

Ada catatan penting. Orang-orang yang bekerja sejam itu mendapat upah karena
juga bekerja sungguh-sungguh. Sedinar itu tidak dihadiahkan begitu saja.
Seandainya mereka hanya enak-enak nongkrong di kebun, apa akan mendapat
upah? (Ingat orang yang diberi satu talenta tetapi malah menguburkannya! Ia
akhirnya tak dapat apa-apa, malah talenta itu diambil daripadanya. Ingat Mat
25:14-30, terutama ay. 24 dst. ) Upah tetap imbalan bagi usaha dan kerja
yang nyata. Dan kerja penuh, tidak separo-separo. Yang bekerja hanya sejam
itu juga bekerja penuh. Kan tak bisa lebih. Satu jam kemudian sudah tutup
hari. Yang datang jam enam pagi ukurannya ya sehari penuh.

Kawan-kawan, Kerajaan Surga itu ditawarkan kepada orang yang berada dalam
keadaan yang berbeda-beda. Ada yang sudah menunggu lama tapi tak kunjung
mendapatkannya. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, boleh jadi kita bisa
lebih memahami kenapa pemilik kebun itu bermurah hati. Dan juga kita-kita
yang boleh jadi merasa patut mendapat lebih akan merasa tidak perlu
menuntut. Apakah kita tidak malah senang ada makin banyak orang yang diajak
bekerja? Paling tidak pekerjaan kita bisa jadi ringan! Dan bagaimana bila
yang datang terakhir itu justru kita sendiri?


Salam,
Matt

Minggu Biasa XXIV A - 11 Sept 2011

Injil Minggu Biasa XXIV/A 11 Sept 2011 (Mat 18: 18:21-35)

Rekan-rekan!
Injil Minggu Biasa XXIV tahun A (Mat 18:21-35) kembali berbicara mengenai
pengampunan. Kali ini Petrus bertanya sampai berapa kalikah pengampunan bisa
diberikan. Pada dasarnya jawaban Yesus hendak mengatakan, tak usah
menghitung-hitung, lakukan terus saja. Kemudian ia menceritakan perumpamaan
untuk menjelaskan mengapa sikap pengampun perlu ditumbuhkan (ay. 23-35).
Pembaca setapak demi setapak dituntun agar menyadari mengapa sikap
mengampuni dengan ikhlas itu wajar. Tapi juga yang wajar inilah yang akan
membuat Kerajaan Surga semakin nyata.

SAMPAI TUJUH PULUH KALI TUJUH KALI

GUS: Matt, apa sih maksud "7 kali" dan "70 kali 7 kali" dalam pembicaraan
antara Petrus dan Yesus?

MATT: Itu gaya berungkap orang Yahudi dulu. Ingat Kej 4:24? Membunuh nyawa
Kain akan mendatangkan balasan "tujuh kali lipat", tetapi kejahatan terhadap
nyawa Lamekh, keturunan Kain, bakal dibalas bahkan sampai tujuh puluh tujuh
kali lipat.

GUS: Kain kan bersalah membunuh Habel, adiknya, karena dengki.

MATT: Benar. Tetapi ia kan ditandai Allah agar nyawanya tidak
diganggu-gugat. Yang membunuhnya untuk membalas dendam akan kena hukuman
balas sampai tujuh kali lipat (Kej 4:15), maksudnya sampai penuh. Lamekh
juga membunuh orang yang melukainya (Kej 4:23), katakan saja untuk membela
diri, bukan karena dengki seperti Kain. Dan siapa membalas dendam dengan
mengakhiri nyawa Lamekh akan terkena hukuman yang tak terperi besarnya -
tujuh puluh tujuh kali lipat - tanpa batas.

GUS: Jadi orang Perjanjian Lama mulai sadar bahwa kebiasaan balas dendam
tidak boleh dilanjut-lanjutkan, dan bila dilakukan malah akan memperburuk
keadaan.

MATT: Persis. Kembali ke pertanyaan Petrus. Kata-katanya menggemakan upaya
membatasi sikap balas dendam tadi. Bila seorang saudara menyalahi untuk
pertama kalinya, ditolerir saja dah, begitu juga untuk kedua kalinya, dan
seterusnya sampai ketujuh kalinya. Tapi sesudah tujuh kali dianggap kelewat
batas dan tak perlu diampuni lagi! Amat longgar, walau masih tetap ada
batasnya. Tetapi Yesus hendak mengatakan semua itu tak cukup. Orang mesti
berani mengampuni sampai "tujuh puluh kali tujuh kali", artinya, tak
berbatas. Malah tak usah memikirkan sampai mana. Sikap pengampun jadi sikap
hidup.

GUS: Kalau begitu, pengampunan tak berbatas itu kutub lain dari gagasan yang
mendasari ancaman balasan hukuman yang tak berbatas seperti dalam seruan
Lamekh tadi.

MATT: Tapi sebenarnya pusat perhatian Injil lebih dalam daripada mengampuni
tanpa batas tok. Kan sudah diandaikan para murid punya sikap itu.

GUS: Lho lalu apa?

MATT: Begini, sikap pengampun memungkinkan Kerajaan Surga menjadi nyata di
muka bumi ini. Itu tujuan Mat 18:23-35.

GUS: Dalam Sabda Bahagia antara lain disebutkan, orang yang berbelaskasihan
itu orang bahagia, karena mereka sendiri akan memperoleh belas kasihan (Mat
5:7). Katanya begitulah cara hidup di dalam Kerajaan Surga. Bolehkah
disebutkan, di muka bumi Kerajaan ini baru terasa betul nyata bila ada sikap
belas kasihan satu sama lain?

MATT: Benar. Kerajaan Surga memang sudah datang, tapi baru bertumbuh dan
betul-betul bisa disebut membahagiakan bila yang mempercayainya juga ikut
mengusahakannya. Yesus memahami sikap pengampun bukan sebagai kelonggaran
hati atau kebaikan semata-mata, melainkan sebagai upaya ikut memungkinkan
agar Kerajaan Surga menjadi kenyataan, bukan angan-angan belaka.

GUS: Doa Bapa Kami (Mat 6:9-13) berawal dengan seruan pujian bagi nama Allah
Yang Mahakuasa sebagai Bapa dan diteruskan dengan permohonan agar
KerajaanNya datang dan kehendakNya terlaksana dan permintaan agar diberi
kekuatan cukup untuk hidup dari hari ke hari.

MATT: Dan baru setelah itu, dalam Mat 6:12, disampaikan permohonan agar
kesalahan "kami" diampuni "seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada
kami". Jelas kan? Ukuran bagi dikabulkan tidaknya permintaan ampun tadi
ialah kesediaan mengampuni saudara yang kita rasa menyalahi kita.

GUS: Rasa-rasanya Yesus hendak menggugah kesadaran bahwa pengampunan hanya
mungkin bila disertai kesediaan seperti terungkap dalam doa Bapa Kami tadi.

MAKNA PERUMPAMAAN

Petikan hari ini juga memuat sebuah perumpamaan (ay. 23-35). Pada bagian
pertama (ay. 23-27) digambarkan kebesaran raja yang pengampun terhadap
hambanya yang tak dapat membayar hutangnya yang amat besar - 10.000 talenta.
Dalam keadaan biasa hamba itu mesti dijual untuk menebus hutangnya, begitu
juga anak dan istrinya serta seluruh harta miliknya. Tetapi ia meminta
kelonggaran. Ia mohon agar raja bersabar. Dan sang raja tergerak hatinya dan
malah menghapus hutang yang besar itu. Raja itu sanggup merugi karena mau
sungguh-sungguh menunjukkan belas kasih terhadap hamba yang kesempitan itu.

Siapakah raja itu? Mungkin kita cepat-cepat menganggapnya ibarat bagi Allah
yang berbelas kasih. Tapi pemahaman ini tidak amat jitu. Matius sendiri
memberi isyarat bahwa bukan itulah maksudnya. Pada awal perumpamaan itu,
disebutkan Kerajaan Surga itu seumpama "seorang raja" (ay. 23). Dalam teks
Matius dipakai ungkapan "anthropos basileus", harfiahnya, "manusia yang
berkedudukan sebagai raja" dan juga "raja yang tetap manusiawi". Memang
boleh dimengerti bahwa ungkapan itu mencerminkan gaya bahasa Semit dan
"manusia" di situ berarti "seorang", tak penting siapa. Bagaimanapun juga,
hendak ditonjolkan bahwa tokoh ybs. itu orang, manusia seperti orang lain,
sesama yang saudara, walau beda kedudukannya.

Gagasan di atas bisa diterapkan kepada siapa saja yang mempunyai kuasa atas
orang lain. Jadi yang hendak ditampilkan ialah kebesaran orang yang
berkedudukan. Makin tinggi kedudukannya makin patutlah ia menunjukkan
kemurahan hati terhadap yang dibawahinya. Kan pada dasarnya sama-sama
manusia. Makin beruntung makin boleh diharapkan sanggup merugi, sanggup
kehilangan sebagian miliknya, sebesar apapun, agar membuat orang bisa ikut
merasakan keberuntungan. Ini keluhurannya. Berapa yang dilepaskannya? Amat
besar. Satu talenta nilainya antara 6.000 hingga 10.000 dinar. Dan satu
dinar ialah upah buruh harian sehari. Maka sepuluh ribu talenta itu jumlah
yang amat besar. Makin beruntung orang makin diharapkan dapat menyelami
keadaan orang yang sedang bernasib malang. Cara berpikir demikian
ditonjolkan. Mengapa? Kiranya memang ada kesadaran bahwa setinggi apapun,
sekaya apapun, orang tetap sesama bagi orang lain. Tapi juga semalang
apapun, seterpuruk apapun keadaan sosialnya, orang tetap bisa mengharapkan
bantuan dari saudara yang lebih beruntung. Inilah yang bakal membuat
Kerajaan Surga menjadi kenyataan di dunia ini juga. Ini spiritualitas
Matius, ini ajaran rohani Injilnya.

Ringkasnya, bagian pertama perumpamaan itu dimaksud untuk menunjukkan bahwa
Kerajaan Surga dibangun atas dasar kesediaan mereka yang berkelebihan untuk
berbagi dengan yang kurang beruntung. Dimensi horisontal Kerajaan Surga
digarisbawahi dengan jelas.

Pada bagian kedua muncul gambaran yang berkontras. Hamba yang dihapus
hutangnya itu tidak mau meneruskan berbelaskasihan yang dialaminya kepada
rekannya yang berhutang kepadanya seratus dinar saja. Jadi hanya
seperseratus dari hutangnya sendiri. Permintaan rekannya tak digubris. Bisa
dicatat, tindakan bersujud dan permintaan kelonggaran rekan ini (ay. 29)
sama dengan yang diucapkannya sendiri di hadapan raja majikannya tadi (ay.
26). Tetapi ia tetap tidak mau berbagi keberuntungan. Rekannya
dijebloskannya ke penjara. Ada ironi. Tadi atasan bersikap longgar. Kini
rekan sekerja kok malah berlaku kejam!

Dalam ay. 31 ada hal yang menarik. Rekan-rekan sekerja lain yang menyaksikan
perlakuan kejam tadi menjadi sedih dan melaporkan kejadian itu kepada raja
sang majikan hamba yang hutangnya dihapus tadi. Para rekan ini bukan hanya
sekadar tambahan cerita. Mereka berperan sebagai suara hati yang masih peka
akan keadilan, peka akan kewajiban moral. Dan kepekaan ini menjadi
keberanian bersuara mengungkapkan ketidakberesan. Tapi hamba yang kejam tak
mau melihat semua ini. Ia tak mau bertindak seperti tuannya. Akhirnya ia
sendiri tersiksa sampai ia melunasi hutangnya yang amat besar itu. Apa
kesalahannya? Ia menolak menjadi saudara bagi rekan sekerjanya. Dan lebih
dari itu, ia juga menolak menjadi saudara bagi tuannya sendiri.

ARAH KE DALAM DAN KE LUAR

Perumpamaan itu berakhir dengan perkataan berikut (ay. 35): "Demikianlah
juga yang akan diperbuat oleh Bapaku yang ada di surga terhadap kamu bila
kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Terasa
gema permintaan ampun dalam Bapa Kami dan Sabda Bahagia. Keikhlasan
mengampuni kiranya menjadi tolok ukur integritas murid-murid Yesus. Dan juga
menjadi cara hidup para pengikutnya.

Petrus bertanya tentang mengampuni "saudara" - dan tidak dipakai kata
"sesama". Begitu pula perkataan Yesus di atas. Seperti disinggung minggu
lalu, "saudara" memang juga sesama, tapi lebih bersangkutan dengan upaya
membangun umat dari dalam daripada menggarap kehidupan di masyarakat luas.
Tidak semua hal digariskan Injil walau semangatnya bisa berlaku umum. Tetapi
diamnya Injil itu menjadi ajakan agar umat mencari jalan bersama dengan
unsur-unsur lain di masyarakat luas dalam upaya membuat kemanusiaan semakin
pantas.


Salam,
A. Gianto

Minggu Biasa XXIII A - 4 Sept 2011

Injil Minggu Biasa XXIII A 4 Sept 2011 (Mat 18:15-20)

Rekan-rekan yang budiman,
Disebutkan dalam Mat 18:15-20, bila seorang saudara didapati berbuat dosa,
hendaknya ia diberi tahu mengenai kesalahannya secara perorangan terlebih
dahulu. Jika tidak ada hasilnya, sebaiknya ia dinasihati di hadapan saksi.
Kalau tetap tidak peduli, barulah perlu ia dibawa ke sidang umat. Injil yang
dibacakan pada hari Minggu Biasa XXIII tahun A ini lebih luas dari pada
sekadar mengajarkan cara-cara menegur kesalahan atau berprihatin tentang
orang lain. Tujuan utamanya ialah membangun komunitas pengikut Yesus yang
saling menopang. Diketengahkan bagaimana umat dapat semakin dewasa berkat
adanya perhatian satu sama lain, juga dalam menunjukkan kekeliruan.

Akan diulas pula bagaimana dalam bacaan kedua (Rom 13:8-10) Paulus berusaha
membuat orang yang mengenal macam-macam aturan Taurat sampai pada inti yang
dimaksudkan Taurat itu sendiri.

PELBAGAI CARA MEMBANGUN UMAT

Kali ini Injil menyampaikan salah satu dari beberapa imbauan yang terdapat
dalam Mat 18:1-35 Pertama-tama ditonjolkan pentingnya sikap tidak
mementingkan diri sendiri (18:1-5 disebut dalam cara bicara Injil, bersikap
sebagai "anak kecil"). Hukuman besar akan dialami orang yang kurang
menghargai sikap ini (18:6-11). Yang kehilangan arah hendaknya sungguh
ditolong agar bisa berada bersama kembali bersama umat (18:12-14 "domba yang
hilang"). Karena itu perlu diusahakan agar yang salah ditegur dengan penuh
perhatian (petikan hari ini, 18:15-20). Akhirnya juga perlu dipupuk sikap
pengampun yang seikhlas-ikhlasnya (18:21-35).

Bahan petikan ini diambil Matius dari himpunan kata-kata Yesus yang beredar
waktu itu dan diperluas dengan kenyataan yang ada di kalangan para murid
yang berasal dari kalangan Yahudi tradisional. Lukas juga memakai himpunan
kata-kata Yesus. Tetapi bagian yang sejajar dengan Matius kali ini hanya
menyebut titik tolak pembicaraan, yakni perihal menegur saudara yang berbuat
dosa, lihat Luk 17:3a (= Mat 18:15a). Tidak dirincikan caranya. Ketiga tahap
memperingatkan kesalahan serta menegur saudara itu kiranya khas terjadi
dalam umat Matius yang memang berlatarkan tradisi Yahudi. Keadaan umat Lukas
lain.

Dalam Kis 2:44-46; 3:34-35 ada secercah gambaran ideal mengenai keadaan umat
Lukas serta keprihatinan utama mereka. Disebutkan antara lain bahwa mereka
menjual milik mereka, mengumpulkan uangnya, lalu menyerahkan kepada para
rasul agar dibagi-bagikan kepada mereka yang membutuhkan. Umat yang
digambarkan Lukas memang terutama dari kalangan yang berada. Iman
menumbuhkan dalam diri mereka niat serta usaha nyata bagaimana memperbaiki
keadaan ekonomi orang-orang yang kurang mampu. Tentunya mereka tidak
berpikir akan "membeli" keselamatan bagi diri sendiri dengan bederma dan
bersedekah. Gagasan dasarnya bukanlah melepaskan harta demi amal
semata-mata, melainkan kepedulian akan keadaan orang-orang yang tidak
seberuntung mereka. Berbagi harta itu menjadi salah satu bentuk nyata
bagaimana membangun umat. Semangat yang mendasari sikap peduli terhadap
saudara seumat itu juga ada dalam kehidupan umat Matius. Tetapi dalam
kehidupan mereka kepedulian dasar tadi diwujudkan dengan cara yang berbeda.
Seperti dalam petikan Injil kali ini, lebih ditekankan upaya dalam umat
untuk menyadarkan saudara yang melakukan kesalahan. Demikian terbangun sikap
saling percaya dan saling menopang secara moral. Inilah keutamaan yang
dianggap lebih butuh dikembangkan di kalangan umat Matius.

Contoh lain. Lukas menggarisbawahi bahwa umat makin tumbuh bila dipupuk
dengan kebesaran hati dalam mengampuni. Matius juga mengolah pokok ini
(lihat kelanjutan petikan ini, yakni Mat 18:21-27), tetapi baru setelah
menunjukkan pentingnya keberanian memperingatkan kesalahan serta kesediaan
menerima teguran. Dari situ bisa terbangun rasa saling percaya.

TIGA LANGKAH MEMBANGUN RASA SALING PERCAYA

Dalam bacaan Injil kali ini dipakai kata "saudara" dan bukan "sesama".
Gagasan "sesama" memang berhubungan dengan kehidupan masyarakat yang
mengutamakan solidaritas, kepentingan bersama, dan perlakuan terhadap orang
lain sebagaimana diinginkan terjadi pada diri sendiri. Tapi gagasan ini
lebih diterapkan pada orang yang berada di luar kalangan sendiri. Ungkapan
"saudara" lebih berbicara mengenai lingkungan sendiri. Selain itu juga lebih
diutamakan sikap saling bertanggung jawab, saling mengurus kebaikan, saling
memperhatikan kebutuhan seperti layaknya di antara anggota keluarga.

Cara-cara menegur yang diikuti umat di sekitar Matius menunjukkan adanya
keterbukaan satu sama lain. Karena itu langkah pertama ialah mengajak bicara
di bawah empat mata (ay. 15). Bila urusan selesai di situ, maka sudah cukup.
Rasa saling percaya sudah terbangun. Tidak perlu melibatkan pihak-pihak lain
sejak awal. Tetapi bila yang bersalah tidak menggubris, maka perlu
didatangkan seorang atau dua orang saksi atau lebih (ay. 16). Maksudnya agar
yang bersalah menyadari bahwa perbuatannya memang tidak bisa dibenarkan
bukan hanya berdasarkan pendapat satu orang saja. Ada kesempatan melihat
kedudukan diri sendiri dengan lebih kritis. Tetapi bila ia tetap tidak
bersedia mendengarkan, maka persoalannya patut dibawa ke kalangan yang dapat
memutuskan apakah cara hidupnya sebetulnya sudah tidak lagi cocok dengan
cara hidup umat. Ia boleh memeriksa diri apakah sepadan bila tetap
bersikeras mempertahankan sikapnya sendiri dengan akibat malah memisahkan
diri. Dalam langkah-langkah tadi jelas yang bersangkutan tetap diperlakukan
sebagai orang dewasa. Meskipun demikian, ia juga diharapkan berani
bertanggung jawab atas kelakuannya sendiri. Dengan cara ini bisa terbangun
rasa saling percaya. Para anggota umat juga dapat saling menunjang. Itulah
dinamika dalam umat yang dilayani Matius.

Orang yang tak mau memperbaiki diri akhirnya dikatakan berlaku sebagai orang
yang "tidak mengenal Allah". Dalam umat yang berlatar tradisi Yahudi, orang
yang dianggap demikian sebenarnya sudah tidak termasuk umat lagi. Juga
disebut "pemungut cukai", gambaran mengenai orang yang tega bekerja bagi
kepentingan penindas umat. Itulah gambaran paling buruk yang dapat
dibayangkan. Terlihat betapa Matius sedemikian mementingkan terbangunnya
umat yang saling menunjang.

MENGIKAT DAN MELEPASKAN

Dalam Mat 18:18 Yesus berkata, "perkara-perkara (jamak) yang kalian (jamak)
ikat di dunia akan terikat di surga dan perkara-perkara (jamak) yang kalian
(jamak) lepaskan di dunia akan terlepas di surga." Kata "kalian" di situ
merujuk kepada mereka yang hidupnya sesuai dengan tujuan umat, yakni
mengikuti Yesus dan oleh karenanya dapat memberi tuntunan kepada orang lain.
Mereka juga diminta memperhatikan keadaan umat. Terjemahan harfiah di atas
juga menunjukkan bahwa yang diikat atau dilepaskan bukanlah orang, melainkan
perkara, tindakan atau sikapnya. Mengenai orang, nanti akan diajarkan bahwa
pengampunan baginya tak terbatas (Mat 18:21-22; lihat juga Luk 17:4).

Dalam Mat 16:19 terdapat pernyataan yang mirip, tetapi hal yang diikat atau
dilepaskan ada dalam bentuk tunggal, bukan jamak seperti di atas. Ditekankan
dalam ulasan Injil Minggu XXII tahun A yang lalu bahwa yang disebut diikat
di bumi dan di surga dalam ayat itu ialah jalan ke arah alam maut, bukan
orang ini atau itu. Begitu pula, yang dilepaskan ialah keterkungkungan
kondisi manusia pada umumnya, bukan orang perorangan. Yang ditugasi sebagai
pelaku ialah Petrus. Ia dinyatakan sebagai batu karang penyumbat lubang
menuju alam maut dan tempat umat dibangun. Itulah ujud kuasa dan tanggung
jawabnya sebagai penjaga agar umat tidak tersedot masuk ke alam maut.

PERMOHONAN BERSAMA DAN IMAN YANG HIDUP

Pada akhir kutipan hari ini masih ditambahkan, bila dua orang atau lebih
memohon kepada Bapa, maka permintaan itu pasti akan dikabulkan. Gagasan yang
mendasarinya begini: bila pendapat satu orang mengenai apa yang baik bagi
kehidupan umat diterima oleh orang lain sebagai pendapat yang jujur dan bisa
dipertanggungjawabkan, maka pendapat tadi dijamin sejalan dengan yang
dikehendaki oleh Yesus sendiri. Dan permohonan yang diungkapkan dengan dasar
ini pasti dikabulkan Bapa.

Permohonan bersama yang dikatakan pasti dikabulkan seperti di atas tidak
dapat dipisahkan dari sikap saling percaya. Digarisbawahi dimensi horizontal
iman kepercayaan. Di situ besar artinya hubungan antara "umat dan diriku".
Dimensi vertikal, "Tuhan dan diriku", saja belum utuh. Juga diberikan
gambaran tentang iman yang dapat melegakan dan bukan yang mengekang. Sikap
iman yang merdeka ini membuat orang berani mencari kebenaran bersama dan
berani pula mempercayai satu sama lain. Iman bukanlah kesediaan mengiakan
begitu saja pernyataan-pernyataan doktrin, bukan pula melaksanakan
aturan-aturan secara ketat. Memang kejujuran dan ketulusan dipersyaratkan.
Iman kristiani itu memang sepenuhnya pemberian dari atas, seutuhnya anugerah
ilahi, tetapi pertumbuhan yang utuh bergantung pada kesediaan manusia
mengembangkannya bersama-sama dalam komunitas, dalam umat. Inilah
kreativitas iman yang hidup.

Umat yang memiliki integritas juga mempunyai peluang lebih untuk berbicara
dengan kelompok masyarakat luas. Pembicaraan bukan hanya pada taraf
rumusan-rumusan doktrin kepercayaan dan ibadat, melainkan langsung terarah
pada penanganan masalah-masalah bersama di masyarakat. Integritas umat
adalah sumbangan terbesar bagi masyarakat majemuk di negeri kita ini.

TENTANG BACAAN KEDUA  (Rom 13:8-10)

Pada bagian pertama ayat 8 Paulus menegaskan, "Janganlah kamu berhutang
apa-apa kepada siapa pun juga..." Baik diketahui bahwa dalam alam pemikiran
agama Yahudi, "dosa" digambarkan sebagai berhutang, berhutang sakit hati,
hinaan, kesalahan, dan tindakan seperti itu. Menghapus dosa sama dengan
menghapus hutang kesalahan. Timbul macam-macam aturan yang terhimpun dalam
Taurat untuk menjamin agar orang tidak menjalankan kesalahan. Hidup kerap
diukur dengan upaya menjalankan aturan-aturan Taurat dengan sebaik-baiknya.
Dalam kenyataannya ini kerap menjadi sumber kesulitan hidup bersama. Ada
sikap menilai orang lain sebagai pendosa, pezinah.... Maka Paulus
menunjukkan pengertian dasar yang menjiwai aturan-aturan Taurat tadi, yakni
"saling mengasihi" yang diungkapkannya dalam bagian kedua ayat 8, yakni,
"...tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab siapa saja yang mengasihi
sesama manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat."

Namun demikian, pernyataan itu tidak dimaksud untuk menggantikan "hukum
Taurat" dengan "saling mengasihi". Yang dikemukakan Paulus ialah apa yang
menjadi dasar hukum Taurat. Paulus berbicara kepada pengikut Kristus dari
lingkungan orang Yahudi yang berpendidikan modern waktu itu (orang Yahudi
helenist). Namun lingkungan budaya modern yang mereka alami, yakni dunia
helenist, membuat cara berpikir mereka agak berbeda dengan orang Yahudi
tradisional di tanah kelahiran mereka. Bagi orang ini ada kebutuhan
intelektual untuk mengenali dasar yang mengasalkan macam-macam hal. Katakan
saja, cara berpikir melihat prinsip umum mana yang menerangkan adanya
macam-macam kenyataan tertentu. Mana dasar umum hukum serta aturan yang amat
banyak seperti hukum-hukum Taurat. Maka Paulus, yang juga mengenal pemikiran
helenist, mau mengatakan bahwa hukum-hukum Taurat yang banyak yang mereka
kenal itu memiliki satu dasar yang umum, yakni "saling mengasihi" tadi.
Begitulah dalam ayat 9 ditunjukkan dasar yang mengasalkan larangan-larangan
dalam hukum Taurat. Malah dalam ayat 10 Paulus menambahkan bahwa dasar umum
Taurat, yakni "kasih" yang diutarakannya sebelumnya, bakal membuat Taurat
menjadi utuh, tidak lagi terasa macam-macam. Inilah yang dimaksud dengan
"kegenapan" yang disebut pada ayat itu.

Salam hangat,
A. Gianto

Minggu Biasa XXII A - Agu 2011

Minggu Biasa XXII A Agu 2011 (Mat 16:21-27)

Rekan-rekan peminat ruang Alkitab!
Injil Minggu Biasa XXII tahun A ini  (Mat 16:21-27) berbeda nadanya dengan petikan yang dibacakan Minggu sebelumnya (Mat 16:13-20). Kali ini Yesus menyampaikan pemberitahuan yang pertama mengenai penderitaan, kematian, dan kebangkitannya. Lho lha kok sekarang bicara begitu? Baru saja (Mat 16:16) Petrus menyatakannya sebagai "Mesias, anak Allah yang hidup". Tentunya ia tokoh yang luar biasa. Tentu saja Petrus tak habis mengerti. Dengan spontan ia menegur Yesus agar tidak berpikir aneh-aneh. Tapi ia malah balik dibentak. Yesus yang tadinya menyebut Petrus berbahagia kini meng-iblis-iblis-kannya! Malah Petrus disebut-sebut sebagai batu sandungan segala. Beberapa saat sebelumnya Yesus menyebutnya sebagai batu karang yang di atasnya akan dibangun umatnya dan alam maut tidak akan menguasainya!

Selanjutnya dalam ayat 21-27 Yesus malah menandaskan, siapa yang mau mengikutinya harus menyangkal diri terlebih dulu, lalu memikul salib, dan setelah itu baru bisa disebut menjadi pengikutnya. Barangsiapa kehilangan nyawa karena dia akan memperolehnya, katanya pula. Ke mana Yesus hendak membawa kita? Apa maksud Injil menampilkan semua ini?

Minggu Biasa XXI A - 21 Agu 11

Minggu Biasa XXI th A 21 Ag 11 (Mat 16:13-20)

TENTANG MESIAS, BATU KARANG, DAN KUNCI KERAJAAN SURGA

Rekan-rekan,
Injil memperkenalkan Yesus terutama lewat pengajarannya, lewat kisah
pelbagai penyembuhan yang dilakukannya, termasuk tindakan mengusir roh
jahat, dan lewat peristiwa perbanyakan roti. Karena itu orang mulai
bertanya-tanya, siapa sebenarnya dia itu dan bagaimana ia dapat mengerjakan
semua itu. Semakin disadari bahwa dia lain dari orang-orang luar biasa
lainnya. Siapakah dia sesungguhnya?

Dalam Mat 16:13-20 (Injil hari Minggu Biasa XXI tahun A) Petrus
mengungkapkan kesadaran para murid terdekat bahwa Yesus itu Mesias, anak
Allah yang hidup. Penegasan ini sebetulnya satu sisi saja dalam pewartaan
mengenai siapa sebenarnya Yesus. Sisi yang lain menyangkut perjalanan ke
arah penderitaan, wafat dan kebangkitan Yesus yang diungkapkan dalam Injil
langsung sesudah penegasan akan kemesiasan Yesus. Kali ini petikan Injil
Matius mengajak pembaca mendalami sisi yang pertama. Hari Minggu berikutnya
akan dilihat sisi yang lain.

APA YANG HENDAK DISAMPAIKAN?

Tentu saja ada pelbagai anggapan di masyarakat orang Yahudi dulu mengenai
siapa tokoh Yesus itu. Dan di Kaisaria Filipi para murid diajak Yesus
berbicara mengenai pelbagai pendapat mengenai dirinya. Sudah matang saatnya
para murid dituntun mengenali siapa dia itu sebenarnya. Mereka telah
mendengar ajarannya, telah melihat perbuatannya, dan menyaksikan
kekuatannya. Kini tibalah waktunya memahami siapa dia itu.

Tentu saja mulai disadari bahwa Yesus yang mempesona dan diikuti banyak
orang ini ialah dia yang resmi ditugasi Allah dan kedatangannya yang
dinanti-nantikan banyak orang. Dialah Mesias yang diharapkan membangun
kembali umat Allah seperti dahulu kala. Dialah yang bakal memimpin orang
banyak makin mendekat kepada Allah sendiri. Di dalam kesadaran orang banyak,
Mesias ini ialah keturunan Daud yang akan mengawali zaman adil dan damai.
Dalam keagamaan Yahudi, gagasan Mesias seperti ini disatukan dengan
pengertian "Anak Manusia", seperti terungkap dalam penglihatan Daniel (Dan
7:13). Gereja Awal juga percaya bahwa Yesus ialah tokoh ini.

Keyakinan di atas mau tak mau berhadapan dengan kenyataan bahwa Yesus
akhirnya mengalami penderitaan, ditolak oleh para pemimpin masyarakat Yahudi
yang sah ("tetua, imam kepala dan ahli Taurat" ialah tiga macam anggota di
dalam Sanhedrin, badan resmi masyarakat Yahudi) sampai dibunuh. Namun
demikian, nanti dengan pelbagai cara para murid Yesus juga mengalami
kebangkitan Yesus pada hari ketiga. Dan pengalaman inilah yang membuat
mereka percaya bahwa Yesus itulah sungguh Mesias.

PERKEMBANGAN DALAM GEREJA AWAL

Pokok kepercayaan yang tumbuh dalam Gereja Awal terungkap dalam rumusan
penegasan Petrus yang disampaikan secara sederhana tapi tegas dalam Mrk 8:29
"Engkaulah Mesias". Bukan tanpa arti bila dalam ketiga Injil Sinoptik
(Matius, Markus, dan Lukas) pemberitahuan pertama mengenai penderitaan,
wafat dan kebangkitan didahului dengan penegasan Petrus mengenai siapa
sebenarnya Yesus itu. Penegasan dalam Injil Markus ini kemudian dipertajam
rumusannya oleh Matius dan Lukas dengan cara masing-masing. Menurut Mat
16:16, Petrus berkata, "Engkaulah Mesias, anak Allah yang hidup!" (Mat
16:16). Matius menambahkan "anak Allah yang hidup" untuk menggarisbawahi
bahwa Allah-lah yang memilih Yesus sebagai pewarta kehadiranNya di dunia.
Matius juga bermaksud menjelaskan bahwa Mesias yang dinanti-nantikan ini
bukan pemimpin politik atau penguasa yang bakal membangun kembali kejayaan
Israel dengan kekuatan militer. Maklum di kalangan Yahudi harapan akan
Mesias politik ini amat kuat. Persoalan ini tidak amat terasa dalam
lingkungan Lukas yang bukan berasal dari kalangan Yahudi. Mereka lebih
berminat memahami apakah kuasa dan kekuatan Yesus itu memang berasal dari
Allah sendiri. Karena itu ditandaskan dalam Luk 9:20 bahwa Mesias tadi "dari
Allah". Maksudnya, Yesus datang dari Dia dan menunjukkan bahwa Allah sendiri
bertindak dalam diri Yesus untuk membebaskan manusia dari kuasa-kuasa jahat,
dari penyakit, dari kekersangan batin. Inilah yang membuat Yesus betul-betul
menjadi Mesias bagi semua orang.

APA ARTI "ANAK MANUSIA"?

Ketika Yesus menanyai murid-muridnya apa kata orang mengenai siapa "Anak
Manusia" ada jawaban yang bermacam-macam. Ungkapan "Anak Manusia" dipakai
merujuk pada diri Yesus. Dalam kesadaran orang Yahudi pada zaman Yesus, ada
kaitan antara tokoh yang dinanti-nantikan datangnya sebagai Mesias dengan
penglihatan dalam Dan 7:13 yang menggambarkan tokoh yang mirip manusia itu
terlihat datang mengarah kepada Yang Mahakuasa dan mendapat kuasa di bumi
dan di langit.

Dengan memakai ungkapan itu Yesus hendak memperkenalkan dirinya yang
sesungguhnya. Ia tidak bertanya mengenai apa kata orang mengenai ajarannya,
mengenai tindakannya, mengenai kelakuannya. Ia ingin mendengar bagaimana
orang menerapkan siapa tokoh yang terarah kepada Yang Mahakuasa itu, siapa
"Anak Manusia" tadi. Para murid diajak menengarai pelbagai pandangan yang
ada mengenai dirinya: ia seperti Yohanes Pembaptis, tokoh spiritual yang
masih segar dalam ingatan orang, juga bisa dibandingkan dengan Elia, seorang
nabi besar yang diceritakan telah naik ke langit dan tentunya akan kembali
diutus Allah mendatangi umat pada saat-saat mereka membutuhkan dampingan dan
arahan, atau seperti nabi Yeremia yang dikenal tak jemu-jemunya
memperingatkan umat dan para pemimpin agar tetap setia pada Allah di tengah
penderitaan dan mengajarkan kerohanian yang sejati dan bukan praktek
luar-luar saja.

"BAGI KALIAN, SIAPA AKU INI?"

Pendapat-pendapat itu tidak bisa dikatakan meleset. Walaupun demikian, ada
pemahaman yang dapat lebih menolong. Yesus menanyai Petrus dengan ungkapan
yang berbeda, "Tetapi apa katamu, siapakah aku ini?" Tidak lagi ditanyakan
apa kata orang, melainkan apa katamu. Juga tidak lagi dipakai sebutan "Anak
Manusia", melainkan "aku". Petrus kini tampil sebagai wakil para murid yang
kemudian mempersaksikan Yesus Kristus dan meneruskan wartanya. Pertanyaan
Yesus kepadanya bukan pertanyaan kepada individu Petrus saja. Setelah
menanyai para murid, pada ay. 15 disebutkan Yesus bertanya kepada "mereka" -
yakni para murid tadi. Terjemahan LAI "apa katamu" tidak amat jelas. Memang
dalam bahasa Indonesia "-mu" bisa berarti tunggal bisa pula jamak. Teks asli
dalam bahasa Yunani memakai kata "kalian" yang hanya bisa berarti jamak.
Maka pertanyaan tadi jelas ditujukan kepada para murid, begitu juga menurut
Injil Markus dan Lukas. Dalam situasi itulah Petrus tampil mewakili para
murid. Oleh karena itu, tak usah ditafsirkan bahwa di sini ada imbauan untuk
menumbuhkan jawaban iman yang digarap secara pribadi, bukan rumus-rumus yang
siap pakai saja. Memang iman yang dewasa dan kuat juga semakin pribadi
sifatnya. Tetapi tanya jawab dengan Petrus ini bukan ke sana arahnya.

Jawaban Petrus juga mencerminkan pemahaman para murid. Memang kemudian
Matius secara khusus menyoroti Petrus. Setelah penegasan tadi, pada ay. 17,
Matius menambahkan episode Yesus menyebut Petrus berbahagia karena
pengetahuan tadi didapat bukan dari manusia melainkan dari Bapa di surga.
Kemudian dalam dua ayat berikutnya Simon disebut Yesus sebagai batu karang
dasar Gereja dibangun yang tak bakal terkalahkan oleh maut, ia juga disebut
pemegang kunci surga (Mat 16:18-19). Tambahan ini tidak ada dalam Injil
lain.

BATU KARANG DAN KUNCI KERAJAAN SURGA

Batu karang jadi tempat berlindung dari hempasan ombak dan tempat berpegang
agar tak hanyut oleh arus-arus ganas. Dengan menyebut Petrus sebagai batu
karang, Yunaninya "petra", ditandaskan bahwa ia bertugas melindungi umat
yang dibangun Yesus dari marabahaya yang selalu menghunjam. Dikatakan juga
bahwa alam maut (Yunaninya "hades", Ibraninya "syeol") takkan bisa
menguasainya, maksudnya takkan dapat mematikan kumpulan orang yang percaya
tadi.

Orang dulu membayangkan jalan ke alam maut sebagai lubang yang menganga
lebar. Seperti liang lahat yang besar. Semua orang mati pasti akan ke sana
dan tak ada jalan kembali. Satu-satunya cara untuk mencegah agar orang tidak
tersedot ke dalamnya ialah dengan menyumbatnya dengan batu besar yang tidak
bakal tertelan dan tak tergoyah. Petrus digambarkan sebagai tempat Yesus
mendirikan umat yang takkan terkuasai alam maut.

Gambaran di atas dapat membantu mengerti mengapa kepada Petrus diberikan
kunci Kerajaan Surga. Bukannya ia dipilih menjadi orang yang menentukan
siapa boleh masuk siapa tidak, melainkan sebagai yang bertugas menahan agar
kekuatan-kekuatan maut tidak memasuki Kerajaan Surga! Ia mengunci surga dari
pengaruh yang jahat. Apa yang diikatnya di bumi, yang tetap dikunci di bumi,
yakni jalan ke alam maut akan tetap terikat dan tidak akan bisa merambat ke
surga. Tak ada jalan ke surga bagi daya-daya maut. Apa yang dilepaskannya di
bumi, yakni manusia yang bila dibiarkan sendirian akan menjadi mangsa lubang
syeol menganga tadi. Tidak amat membantu bila kata-kata itu ditafsirkan
sebagai penugasan Petrus menjadi "juru kunci gerbang surga" menentukan siapa
orang diperkenankan masuk dan dibiarkan di luar tidak peka konteks. Malah
tafsiran itu akan membuat warta Injil Matius kurang terasa.

Bisakah gagasan kunci Kerajaan Surga dipakai sebagai dasar bagi wibawa
takhta apostolik Paus penerus Petrus? Tentu saja, asal dilandasi dengan
pengertian di atas. Bukan dalam arti juru kunci gerbang ke arah keselamatan,
membuka atau menutup akses ke surga, melainkan sebagai penangkal
kekuatan-kekuatan alam maut. Pernyataan itu memuat penugasan melindungi
umat, bukan pemberian kuasa menghakimi atau memonopoli keselamatan.

Sampai lain kali, dan Pax!
A.Gianto

Minggu Biasa XX A - 09 Agustus 2011

Minggu Biasa XX/A - HARI RAYA MARIA DIANGKAT KE SURGA (Luk 1:39-56; Sabtu
petang Luk 11:27-28)

09 Agustus 2011 07:17

Meskipun sudah dirayakan sejak abad ke-4, baru pada tahun 1950-lah
pengangkatan Maria ke surga jiwa dan badan ditegaskan secara resmi sebagai
bagian ajaran kepercayaan iman. Sekitar awal abad ke-20 di beberapa kalangan
para teolog berkembang aliran berpikir yang pada dasarnya menolak hal-hal
yang tak bisa diterangkan dengan akal budi dan pengetahuan pada waktu itu.
Pendapat seperti ini meluas pengaruhnya dalam Gereja, juga di kalangan para
rohaniwan. Salah satu akibat dari cara berpikir tadi ialah penolakan adanya
sisi-sisi keramat dalam kehidupan, termasuk hal-hal yang biasa disebut
mukjizat, dan tentu saja tradisi mengenai Maria diangkat ke surga langsung
sesudah wafatnya. Tetapi pengalaman pahit dalam dua perang dunia mengajarkan
betapa orang sesungguhnya tidak berdaya menghadapi sisi-sisi gelap
kemanusiaan sendiri. Berangsur-angsur ketergantungan pada kekuatan ilahi
semakin disadari kembali. Dalam hubungan ini penegasan kepercayaan Maria
diangkat ke surga jiwa dan badan itu menjadi pernyataan resmi iman Gereja
dalam menerima kenyataan mukjizat yang terjadi pada Maria.

MARIA DIANGKAT KE SURGA

Merayakan peristiwa Maria diangkat ke surga dapat menjadi ungkapan
kepercayaan akan masa depan kemanusiaan sendiri. Pada satu saat nanti umat
manusia seluruhnya akan kembali berada bersama dengan Tuhan di surga. Hal
ini sering digambarkan bakal terjadi lewat "pemurnian" dengan pelbagai cara
seperti halnya tempat penantian, pengadilan terakhir yang memisahkan orang
baik dari orang jahat, atau pembersihan jiwa kedosaan. Inti pemikirannya
sama, yakni satu ketika nanti kita akan pulih menjadi warga Firdaus kembali
dan masuk ke sana. Dan kita percaya bahwa itu dapat terjadi karena salah
satu dari kemanusiaan, yakni Maria, sudah ada di sana dan kini ia
melantarkan doa-doa permohonan dari yang biasa hingga yang amat khusus
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Kita acap kali menyadari bahwa Tuhan lebih
mendengarkan kita - berkat Maria - daripada kita mendengarkanNya. Maria tahu
jalan-jalan menyampaikan doa kita kepada Yang Mahakuasa.

Diceritakan dalam Kitab Kejadian, manusia dan istrinya diusir dari Firdaus
karena melanggar larangan memakan buah pengetahuan baik dan buruk. Ini dosa.
Dosa membuat kemanusiaan merosot. Sebelumnya mereka akrab dengan dunia
ilahi, dapat bercakap-cakap dengan Tuhan. Manusia merasa aman di hadapanNya.
Tapi begitu mereka sadar telah melanggar larangannya mereka takut bertemu
denganNya dan menyembunyikan diri. Rasa saling percaya rusak dan tidak lagi
mereka dapat berdiam di Firdaus. Tuhan mengusir mereka dan bahkan
menempatkan malaikat penjaga berpedang api agar mereka tak bisa mendekat ke
pohon kehidupan. Manusia kini harus berjerih payah mencari makan agar hidup
terus. Istrinya harus menderita tiap kali mau menjadi ibu. Dan penggoda
mereka, ular, dikutuk jalan melata. Tapi juga dikatakan seorang keturunan
perempuan yang diperdayakannya itu nanti akan meremukkan kepalanya. Ini
semuanya ada dalam Kitab Kejadian 3.

Mari kita bayangkan kelanjutan yang tidak diceritakan dalam Alkitab, tapi
bisa kita rasa-rasakan. Setelah mengusir manusia dari Firdaus, Tuhan pun
menghela nafas. Dan semua penghuni surga pun tertunduk diam. Seluruh Firdaus
seperti berkabung. Dan memang suasana ini membuat Tuhan merasa kesepian.
Suatu hari Ia mengambil keputusan untuk turun ke dunia mencari manusia yang
sudah diusirNya. Ia mengubah diri menjadi suara batin yang ada dalam diri
manusia. Dengan demikian, manusia diam-diam dituntunNya melangkah, mungkin
dengan jatuh bangun, pada jalan kembali ke Firdaus, lewat jalan lain yang
tidak dijaga malaikat berpedang api. Begitulah Ia berharap satu ketika nanti
manusia akan bisa berada kembali di surga mengusir suasana murung untuk
selama-lamanya.

Hari ini dirayakan kembalinya satu dari keturunan yang telah terusir dari
Firdaus tadi. Bukan itu saja. Dirayakan pulihnya suasana gembira di surga.
Dirayakan kebesaran Tuhan yang dapat membawa kembali kemanusiaan ke sana.
Dirayakan pula kemampuan manusia untuk bekerja sama dengan Tuhan. Dirayakan
seorang yang hidup tulus mengikuti suara batin, yang membiarkan diri
dituntun suara batin. Dan lebih dari itu. Kandungan suara batinnya itu
menjadi darah daging juga - menjadi manusia. Manusia pertama yang bangkit
dari kematian dan naik ke surga. Yesus dan dia yang kini mengisi surga
dengan kegembiraan. Dia itulah yang menuntun manusia kembali ke sana.
Sebagai Guru. Sebagai Gembala yang baik. Sebagai Penyelamat. Tak
mengherankan yang pernah membawanya masuk ke dunia ini dengan sendirinya
ikut terbawa kembali ke surga. Dia itu Maria, ibu Yesus.

MAGNIFICAT!

Bacaan Injil pada perayaan ini (Luk 1:39-56) memuat dua bagian, yakni kisah
Maria mengunjungi Elisabet (ay. 39-45) dan Kidung Pujian "Magnificat" (ay.
46-55) yang berakhir dengan ay. 56 sebagai penutup kisah. Bagian pertama
mengisahkan dua orang perempuan yang mendapati diri beruntung. Elisabet yang
termasuk kaum yang kena aib karena tidak mengandung sampai usia senja kini
akan melahirkan Yohanes Pembaptis. Dan dia yang masih ada dalam rahim itu
melonjak kegirangan mendengar salam yang diucapkan Maria yang datang
berkunjung. Maria sendiri harus melewati hari-hari tak enak memikirkan
bagaimana menjelaskan keadaan dirinya kepada Yusuf, tunangannya. Ia bertanya
kepada malaikat yang datang kepadanya, bagaimana mungkin semuanya terjadi.
Jawab malaikat menunjuk pada peran Roh Kudus. Begitulah kisah yang
disampaikan kepada kita oleh Lukas. Dan kelanjutannya kita ketahui. Maria
membiarkan Roh Kudus bekerja dalam dirinya. Itu dia Tuhan yang mengubah diri
menjadi suara hati manusia. Dan suara hatinya itu jugalah yang membuatnya
berkata "Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu!"

Roh yang sama itu juga yang membuat Maria mengungkapkan pujian yang
dibacakan hari ini. Kidung itu mulai pada ay. 46 dengan pujian bagi Tuhan
yang turun untuk menyelamatkan. Ia membuat hidup ini berarti. Ia membuat
penderitaan bermakna. Kemudian dalam ay. 48 terungkap pengakuan bahwa Tuhan
menyayangi orang-orang yang kecil sehingga mereka menjadi besar di mata
orang. Tak perlu kita tafsirkan ini sebagai teologi pembalikan nasib orang
miskin jadi kaya dan orang kaya jadi melarat. Ayat itu mewartakan kebesaran
Tuhan yang tidak takut berdekatan dengan orang kecil, bukan karena tindakan
ini romantik, ideal, melainkan karena orang kecil itu dapat memberinya
naungan dan mengurangi kesepiannya! Orang sederhana biasanya ingat Tuhan dan
itu cukup membuatNya menemukan kembali secercah kegembiraan yang telah
hilang dari surga dulu. Ini teologi sehari-hari.

Ayat-ayat selanjutnya, yakni 49-55, berupa pembacaan kembali sejarah
terjadinya umat Israel. Ditekankan tindakan-tindakan hebat Tuhan yang
membela orang-orang yang dikasihiNya di hadapan pihak-pihak yang mau
menindas mereka. Puji-pujian yang terungkap dalam Magnificat ini senada
dengan ungkapan kegembiraan dan kepercayaan akan perlindungan ilahi seperti
terdapat dalam Kidung Hana dalam 1Sam 2:1-10.

Sering ada anggapan bahwa penderitaan, kemelaratan, ketidakberuntungan, aib,
semuanya ini dikenakan sebagai hukuman bagi kesalahan. Juga dianggap bahwa
hukuman bisa juga diturunkan kepada keturunan orang yang bersalah. Dosa
menurun, hukuman berkelanjutan. Dalam Kidung Magnificat pendapat seperti ini
tidak diikuti. Malah ditegaskan bahwa Tuhan membela orang yang percaya
kepadanya yang meminta pertolongan dariNya. Bagaimana dengan orang yang
hidupnya beruntung, menikmati kelebihan, tidak kurang suatu apa? Apakah
mereka itu akan dikenai malapetaka? Kiranya bukan itulah yang dimaksud.
Orang-orang yang beruntung dihimbau agar mengambil sikap seperti Tuhan
sendiri, yakni memperhatikan mereka yang kurang beruntung. Sama sekali
bertolak belakang bila orang membiarkan kekayaan, kedudukan, kepintaran
membuat sesama yang kurang beruntung menjadi terpojok atau kurang mendapat
kesempatan untuk maju. Inilah yang kiranya hendak disampaikan dalam ay.
52-53 yang mengatakan bahwa orang congkak hati akan diceraiberaikan, orang
berkedudukan akan direndahkan, orang kaya akan disuruh pergi dengan tangan
hampa. Kidung Magnificat mengajak orang-orang yang merasa beruntung
diberkati oleh Tuhan dengan kelebihan bukan untuk menikmatinya melainkan
untuk memungkinkan sesama ikut beruntung. Di sini tidak ditawarkan sebuah
teologi penjungkirbalikan nasib, melainkan pelurusan hakikat kehidupan
sendiri.

Kepercayaan akan kebesaran Tuhan tidak bisa diterapkan begitu saja untuk
memerangi ketimpangan sosial yang mengakibatkan adanya ketidakadilan yang
melembaga. Namun demikian, kepercayaan ini dapat membuat manusia makin peka
dan mencari jalan memperbaiki kemanusiaan sendiri. Keterbukaan kepada
dimensi ilahi akan membuat orang makin lurus.

MEMELIHARA FIRMAN ALLAH

Dalam bacaan Injil dalam Misa Vigilia (Luk 11:27-28) disebutkan ada seorang
perempuan yang menyebut bahagia ibu yang melahirkan Yesus (Luk 11:27). Yesus
menambahkan, "Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah
dan yang memeliharanya." Kata Indonesia "memelihara" ini dengan tepat
mengutarakan kembali ungkapan aslinya yang memuat pengertian menjaga,
menelateni, membesarkan. Agak disentuh teologi sabda seperti diutarakan
dalam pembukaan Injil Yohanes. Yang menarik ialah adanya penekanan pada
kegiatan pihak manusia. Dikatakan manusia memelihara sabda Allah. Berarti
sabda itu juga bisa berkembang dalam diri manusia dan bahkan menjadi bagian
kehidupannya. Maria ialah salah satu yang menjalankannya. Seperti diutarakan
dalam Luk 1:38 "Terjadilah padaku menurut perkataanmu itu", sabda Allah yang
dibawakan malaikat kepadanya menjadi kehidupan karena diterimanya dan
dikandungnya. Dan Maria melahirkannya tadi dalam ujud manusia. Kata-kata
Yesus yang diteruskan dalam Luk 11:28 tadi memperjelas apa artinya
berbahagia karena bisa melahirkan dan membesarkannya. Maria berbahagia
karena ia mendengarkan firman Allah serta memeliharanya.

Salam hangat,
A. Gianto